Jumat, 03 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

3. Mantra sang Takdir - Layla Majnun

Tags

3. Mantra sang Takdir (Lanjutan Kisah Layla Majnun)

Buah Hati yang Sempurna- Layla Majnun

Bait demi bait sajak mengalir dari bibirnya;
ketika sajak itu terhenti, pesan-pesan mulai disampaikan.
Ia memanggil angin timur untuk menyampaikan pesan kepada Layla,

Perpisahan Qays dengan Layla juga menjauhkannya dari semua yang dicintainya, dari sanak saudara serta teman-temannya, orangtua serta rumahnya. Jika Layla menangis secara sembunyi-sembunyi, Qays menangis secara terbuka, menunjukkan kepedihannya kepada seluruh dunia. Ia berjalan tanpa tujuan di kedai-kedai milik pedagang di pasar, tanpa berbicara kepada siapapun. Ia digerakkan hanya oleh rasa sakit hatinya, yang membuatnya lupa akan orang-orang di sekitarnya yang memandangnya serta menunjuk nunjukkan jari ke arahnya. Dan saat berjalan tanpa tujuan dari kedai ke kedai, tenda ke tenda, ia menyanyi- kan lagu-lagu cinta sambil meneteskan airmata. Orang-orang yang berpapasan dengannya berteriak-teriak, “Ini dia si ‘majnun’, si orang gila. Hey, Majnun!”

Kulit luarnya telah terbuka lebar dan menunjukkan jiwanya yang sakit. Ia membiarkan perasaan serta emosi terdalamnya terbuka. Tidak hanya ia kehilangan Layla, namun juga ia telah kehilangan dirinya. Kesedihan hatinya terpancar di wajahnya, bersinar bagaikan api dan siapapun dapat melihatnya. Qays berjalan ke sana kemari dengan hati yang terluka. Qays yang kehilangan, yang terlupakan; Qays yang menjadi korban sang takdir.

Semakin lama penderitaannya, semakin pula ia menjadi sosok yang diteriakkan semua orang kepadanya: Majnun, si orang gila. Apakah bukan kegilaan namanya jika menyala sepanjang waktu bagaikan lilin? Bukankah kegilaan namanya jika tak dapat makan ataupun tidur? Semakin keras usahanya mencari obat untuk menyembuhkan lukanya, semakin ia merasakan sakitnya. Dan saat malam tiba, momok dari cita-cita serta ambisinya yang sia-sia membawanya menuju pinggiran kota dan menuntunnya ke arah gurun, tanpa alas kaki dan hanya berbekal jubah yang menutupi bahunya.

Ia memang telah menjadi gila, namun ia juga seorang penyair. Akibat perpisahannya dengan Layla perpisahan yang membuatnya menjadi budak bagi gadis itu membuatnya tergerak untuk menciptakan ode dan soneta terindah yang berisikan namanya, dan bait-bait sajak yang belum pernah didengar oleh siapapun juga. Di tengah ketenangan malam, ia menyelimuti dirinya dengan jubah dan mengendap-ngendap menuju tenda Layla. Kadangkala ada yang menemaninya –teman-teman yang seperti dirinya, pernah merasakan keindahan cinta dan juga pedihnya perpisahan– namun seringkali ia pergi sendirian. Ia bergerak bagaikan angin gurun menuju tenda Layla, berdiri diambang pintu tenda dan meng- ucapkan doa, kemudian bergegas pergi secepat ia datang.

Begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Betapa sulit baginya un- tuk bergerak menjauh dari tenda kekasihnya dan kemudian pergi! Dalam perjalanan menuju tenda Layla, ia seakan terbang; namun tatkala melang- kah pergi, ia berjalan terseok-seok bagaikan orang yang sedang mabuk atau hewan yang sedang terluka. Mengapa takdir tidak berpihak kepa- danya? Hatinya hancur bagaikan sebuah kapal yang terjebak di tengah hujan badai; sisa-sisa dirinya kini bergerak mengapung berkat belas kasih sang ombak. Rumahnya telah menjadi penjara di mana semua orang ber- bicara namun tak pernah mendengarkannya; semua orang memberikan nasihat namun tak pernah bisa memahaminya. Ia telah tiba di satu titik di mana ia tak lagi memperhatikan ucapan semua orang; ia sudah tak peduli lagi. Hanya kata ‘Layla-lah’ yang berarti baginya saat ini; ketika orang membicarakan hal-hal lain, ia akan menutup kedua telinganya dan tak mengucapkan sepatah kata pun.

Suatu hari ia berjalan seolah tak sadarkan diri; keesokan harinya ia bertingkah bak seorang pemabuk, berjalan terseok-seok, menangis terisak-isak dan merintih-rintih. Bait demi bait sajak mengalir dari bibirnya; ketika sajak itu terhenti, pesan-pesan mulai disampaikan. Ia memang- gil angin timur untuk menyampaikan pesan kepada Layla, di mana suku- nya telah membangun perkemahan di Pegunungan Najd.

“Angin timur, cepatlah kau bergerak dan kau akan menemukannya di sana,” katanya. “Belailah rambutnya dengan halus dan bisikkan di telinganya, katakan, ‘Seseorang yang telah mengorbankan segalanya untukmu menyampaikan salam dari jauh. Kirimkan kecupan melalui angin untuk memberitahunya bahwa kau masih memikirkannya.’”

“Oh Cintaku, andai saja aku tak memberikan jiwaku kepadamu, maka akan lebih baik jika aku kehilangan jiwaku untuk selamanya, demi kebaikanku. Aku terbakar dalam api cinta; dan aku tenggelam dalam air mata kepedihan. Bahkan matahari yang menyinari bumi tak dapat mera- sakan besarnya hasratku. Aku adalah ngengat yang beterbangan di tengah malam untuk mencari sinar lilin. Oh lilin jiwaku yang tak kelihatan, jangan siksa aku saat aku terbang mengelilingimu! Kau telah menyihirku, kau telah mencuri tidurku, akal sehatku, dan juga keberadaanku.

Read more »


EmoticonEmoticon