8. Sekuntum Bunga yang Terkoyak (Lanjutan Kisah Layla Majnun)
Mengapa kau berikan hatimu kepada mawar yang mekar tanpa kehadiranmu,
sementara kau masih tetap berkubang dalam debu?
Hanya hati sekeras batulah yang mampu menghancurkan hati seperti milikmu…
Dengan frustrasi, Sayyid merobek sorbannya dan membuangnya di tanah dengan putus asa. Dunianya telah hancur; hari-harinya telah berganti menjadi malam yang tak berkesudahan. Ia bernapas dengan keras dan berusaha untuk mendapatkan kembali ketenangannya. Dengan kekuatan serta keberanian, ia mulai bicara, “Kau dulu pernah menjadi sekuntum bunga bungaku tapi kini kelopakmu telah remuk dan terkoyak dan aku tak lagi mengenalimu! Lihatlah dirimu! Kau bocah belia yang dibodohi oleh cinta! Siapa yang telah menjatuhkan kutukan kepadamu? Dosa apa yang telah kau perbuat sehingga kau harus menanggung akibat yang seperti ini? Kau akan mati: katakan kepadaku, siapa yang telah mendorongmu hingga ke tepian seperti ini?”
“Ya, memang kau masih muda, dan kebodohan-kebodohan yang dilakukan oleh anak muda dapat dimaafkan. Namun kebodohan hingga ke titik ini? Ini bukan lagi kebodohan ini murni kegilaan. Bukankah penderitaanmu sudah cukup? Bukankah hatimu telah merasakan sakit? Cukup sudah! Hasratmu ini menghancurkanmu, aku dan kehormatanku. Bagaimana kau bisa kehilangan kontrol dirimu? Jika kau tak dapat melihatnya, maka biarlah aku menjadi cermin bagimu. Biarkan aku menunjukkan apa yang sedang kau lakukan, agar kau dapat menghentikannya. Lepaskan dirimu dari rantai perbudakan ini! Bebaskan hatimu dan pikiranmu dari kegilaan yang telah kau bawa pada dirimu ini!”
Pria tua itu mengusap pipi putranya dengan tangan gemetar. Lalu, dengan airmata menggenangi matanya, ia melanjutkan, “Kau bahkan tak mau menatapku. Tidakkah kau menganggapku sebagai temanmu? Kau tak harus sendirian, Putraku. Mereka-mereka yang melarikan diri dan berusaha untuk tetap menyendiri akan terus sendiri –sendirian dengan kesedihan mereka. Kau tak perlu melarikan diri, setidaknya bukan saat ini karena masih ada tempat untukmu di hatiku.
“Jangan lupakan bahwa kita memiliki darah dan daging yang sama. Saat kau mengerang-erang demi cintamu, aku berduka untukmu; saat kau merobek-robek jubahmu dalam keputusasaan, hatiku terbelah menjadi dua. Saat kau terbakar, aku juga terbakar; saat kau menangis, aku teng- gelam dalam airmatamu.
“Kumohon kepadamu, bangkitlah sebelum semuanya terlambat. Masih ada waktu, masih ada harapan. Kau seharusnya tak kehilangan harapan. Bahkan hal-hal sepele yang hanya tampak di permukaan yang kau anggap tak berarti dapat membantu untuk menyelamatkanmu, jika kau bisa pahami itu. Dan yakinlah pada Allah; berbekal keyakinanmu kepada-Nya, bahkan keputusasaan dapat berubah menjadi harapan, percayalah kepadaku.
“Berharaplah, dan berusahalah untuk gembira! Bergabunglah dengan mereka-mereka yang tertawa, bersenda gurau dan bergembira: jangan jauhkan dirimu dari mereka! Dengan bergabung dengan mereka- mereka yang ceria, aku yakin kau juga akan menemukan kebahagiaan. Akan sulit pada awalnya, tapi kau akan baik-baik saja, percayalah. Bukankah di pegunungan juga terdapat butir-butir kecil pasir? Bukankah lautan juga terdiri dari tetes-tetes kecil air? Dengan kesabaran maka kebahagiaanmu pasti akan tumbuh; kebahagiaan itu akan tumbuh dengan begitu besarnya sehingga kesedihan yang membuatmu menderita ini pasti akan terlupakan. Yang kau butuhkan hanya waktu - waktu dan kesabaran.
Read more »
EmoticonEmoticon