20. Dan Senja Berpulang - Lanjutan Novel Layla Majnun
Tak ada yang lebih berarti daripada apa yang telah kau raih selama ini:
seorang wanita hanya dapat mengenakan pakaian yang dimilikinya;
seorang pria hanya dapat memanen hasil dari benih yang telah ia tanam.
Jika kau berharap untuk meraih kebaikan dalam hidupmu,
kau harus memulainya dari hari ini.
Dan ayah Majnun, si tua Sayyid– apakah yang telah terjadi kepada- nya selama ini?
Usia dan kesedihan telah membuat punggungnya bungkuk dan mengubah warna rambutnya menjadi putih. Ia bagaikan Nabi Yakub yang telah kehilangan putra kesayangannya Yusuf, namun keadaaannya jauh lebih buruk: Yakub masih memiliki beberapa putra lainnya yang dapat menghiburnya saat ia sedih, namun ayah Majnun hanya memiliki seorang putra dan dengan demikian ia ditakdirkan untuk menderita sendirian. Ia dapat melihat takdirnya dengan jelas, lebih gelap daripada kegelapan malam, sebuah malam tanpa akhir.
Dan hari-harinya sama gelapnya dengan malam-malamnya. Ia biasanya duduk di sudut tendanya, menanti adanya pertanda yang akan mengumumkan kedatangannya ke tempat peristirahatan terakhir. Ia tahu
bahwa sinyal itu akan datang tak lama lagi, karena ia telah melewati tiga papan penunjuk jalan yaitu Penderitaan, Kelemahan, serta Usia Tua.
Hanya ada satu tali yang mengikatnya di dunia dan tali itu adalah
Majnun. Si tua Sayyid tidak merasa takut akan kematian. Namun ia takut jika ia mati tanpa melihat putranya dan sinar matanya, hanya sekali saja sebelum ia pergi. Hanya sedikit yang dapat ditinggalkannya – kepemilikan duniawi tak berarti apa-apa baginya – namun ia sedih tatkala memikirkan bahwa apa yang dimilikinya akan menjadi milik orang asing daripada darah dagingnya sendiri.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Majnun dan berbicara kepadanya untuk terakhir kalinya. Mungkin saja ia dapat membuat putra- nya mengerti; mungkin saja ia dapat membujuknya untuk melepaskan jiwanya dari gurun pasir, untuk menyelamatkan hatinya dari obsesinya.
Harapannya untuk bertemu dengan Majnun sekali lagi menjadi tempat bergantung hidupnya yang rapuh; putranya bagaikan tali yang mengikatnya pada dunia ini. Dan begitulah, dengan tongkat di tangan dan didampingi dua pria muda dari sukunya, ia berkelana mencari putranya. Ia merasa yakin bahwa atas bimbingan Allah, ia akan mencapai tujuannya.
Perjalanan itu sangatlah menyiksa, bahkan bagi pria-pria muda yang mendampinginya. Mereka menyeberangi dataran luas yang terba- kar oleh panasnya sinar matahari. Mereka melewati pegunungan terisolir yang puncaknya berapi. Mereka digigiti oleh nyamuk dan hewan-hewan kecil yang berkeliaran di gurun, dan kaki-kaki mereka lecet-lecet karena pasir yang membakar. Mereka berkelana dari oase ke oase, beristirahat semalaman dan bertanya kepada setiap orang yang lewat tentang kabar keberadaan Majnun.
Setelah beberapa minggu, tampaknya mereka takkan pernah mencapai tujuan. Namun akhirnya, saat si tua Sayyid merasa khawatir bahwa ia akan meninggal karena hawa panas dan debu dan juga keputus- asaan karena tak tercapainya tujuan mereka, mereka bertemu dengan seorang Bedouin tua yang mengetahui kabar Majnun.
“Kalian sedang mencari Majnun?” tanyanya dengan mata terbelalak lebar. “Berarti aku dapat membantu, karena aku tahu di mana ia berada! Ia bersembunyi di sebuah gua kecil terpencil yang mirip dengan lubang api neraka. Aku tak menyarankan kalian ke sana – kecuali jika kalian tak takut kematian!”
Para pendamping si tua Sayyid memohon agar mereka kembali pulang saja, namun Sayyid menolak permintaan mereka. Dan berangkatlah mereka; kali ini menuju arah yang diberikan oleh sang Bedouin, dan setelah melakukan perjalanan selama sehari penuh, mereka akhirnya tiba sampai tujuan.
Tempat itu begitu terisolir, begitu suram, sehingga membuat para pencarinya menangis. Dan ketika mereka menemukan Majnun – setidaknya makhluk yang mereka anggap sebagai Majnun – tangisan mereka semakin keras. Si tua Sayyid tak mengenalinya sebagai manusia, apalagi sebagai darah dagingnya sendiri. Majnun tak lebih dari beberapa tulang belulang yang kurus, yang disatukan oleh kain-kain kotor dan compang-camping. Ia merangkak bagaikan hewan buas, bagaikan roh mengerikan dari neraka yang bangkit dari waktu ke waktu untuk menghantui manusia. Rambutnya kusut, kulitnya berlumur debu, ia menggeliat di atas pasir bagaikan ular yang berada di ujung kematian. Pemandangan itu menggetarkan hati siapapun yang melihatnya, bahkan mereka-mereka yang berhati keras sekalipun.
Dibanjiri oleh rasa cinta dan iba, oleh keharuan serta penderitaan, si tua Sayyid terjatuh dan mendekap putranya di dadanya. Dengan halus, ia membelai wajah putranya, membersihkan debu dan kotoran dari wajah putranya dengan airmatanya sendiri. Majnun memandang ke arah ayahnya, namun ia tak melihatnya. Siapakah pria tua ini dan untuk siapakah ia menangis? Ia menatap wajah ayahnya dalam-dalam, namun ia tak mengenalinya. Bagaimana mungkin ia dapat mengenali ayahnya jika ia tak bisa mengenali dirinya sendiri? Ia menatap mata pria tua itu dan berkata, “Siapakah Anda? Dari mana asal Anda? Apa yang Anda inginkan dari saya?”
“Aku telah mencarimu selama ini, putraku,” sahut si tua Sayyid. Ketika Majnun mendengar suara ayahnya, akhirnya ia mengenali siapa sosok asing yang berada di hadapannya. Ia bergerak maju dan menjatuhkan dirinya di kedua tangan pria tua itu dan mulai menangis tak terkontrol. Si tua Sayyid mencium pipi putranya dan menekannya begitu keras ke dadanya hingga jantungnya nyaris meledak. Selama beberapa menit yang penuh airmata, mereka saling berpelukan.
Ketika mereka telah mendapatkan ketenangan kembali, si tua Sayyid mengambil jubah sutera terhalus dari tasnya, sepasang sepatu kulit dan sorban seputih damas. Baginya tidaklah pantas bagi putranya untuk berjalan kesana kemari bagaikan mayat hidup, bagaikan mayat yang dibangkitkan kembali saat hari kiamat dalam keadaan telanjang. Ia jelas harus melakukan sesuatu. Majnun sama sekali tak peduli dengan pakaiannya, namun demi menghormati ayahnya, ia mengenakan pakaian tersebut.
Lalu si tua Sayyid mendudukkan putranya dan mulai berbicara dengannya dengan tegas namun halus.
“Putraku tersayang!” katanya, “Tempat apa yang kau jadikan sebagai tempat tinggalmu ini? Apakah kau benar-benar telah memilih neraka ini sebagai tempat persembunyianmu? Beginikah caramu meminta sang takdir untuk menghabisimu, untuk menyerahkan tubuhmu kepada hewan buas saat kau telah mati sehingga mereka dapat memilih-milih tulang belulangmu dan menikmati dagingmu?
“Kumohon kepadamu, ayo keluar dari tempat ini selagi masih ada waktu. Bahkan anjing-anjing kota pun memiliki kehidupan yang lebih baik darimu.
“Kau telah datang dari jauh hanya untuk mendapatkan sesuatu yang sangat kecil, benarkah demikian? Percayalah, tindakanmu melarikan diri itu takkan menyelesaikan apapun; teruslah berlari hingga di hari kau mati dan kau tetap takkan menemukan apapun. Apa gunanya semua penderitaan ini? Apa gunanya? Takkan membantu siapapun bukan? Apa- kah kau benar-benar ingin menghancurkan dirimu?”
“Kau harus mencoba untuk mengatasi rasa sakitmu; jika tidak, ia akan menghabisimu. Kesedihan itu akan menelanmu bulat-bulat, karena kau hanyalah manusia biasa.
“Sudah terlalu lama kau memberontak. Cukup sudah semuanya! Kau harus menerima segala sesuatunya sebagaimana mestinya: dunia takkan berubah karena keinginanmu, terutama jika kau memalingkan dirimu darinya. Untuk apa kau hidup di alam liar ini bersama dengan hewan- hewan buas? Untuk apa kau bersembunyi di gua kotor ini? Kau bagaikan iblis penyair yang memakan kesedihannya sendiri.
“Cobalah untuk mengalihkan perhatianmu dari semua ini; coba
pikirkan hal lain, sesuatu yang sepele dan tak berisiko apapun. Tertawalah, bersenda guraulah, dan berbahagialah. Ya, memang awalnya terasa palsu tapi tak butuh waktu lama dan tawa itu akan menjadi nyata! Berlakulah sesuka hatimu, biarkan hatimu menikmati kenikmatan dunia.
“Dan mengapa tidak? Begitulah kehidupan. Kehidupan menghem- buskan napas panas dan dingin dan kau harus belajar untuk menerimanya. Entah janji-janji kehidupan itu nyata atau tidak, tapi kau harus belajar untuk bisa menikmati setiap momennya begitu ia datang. Kau harus meraih hari ini, karena kau tak dapat mempercayai esok hari. Nikmati apa yang kau miliki hari ini! Nikmatilah hasil dari benih yang telah kau sebarkan! Karena hari ini adalah harimu, esok hari adalah milik kematian, dan hanya milik kematian semata.
“Tak ada yang lebih berarti daripada apa yang telah kau raih selama ini: seorang wanita hanya dapat mengenakan pakaian yang dimiliki- nya; seorang pria hanya dapat memanen hasil dari benih yang telah ia ta- nam. Jika kau berharap untuk meraih kebaikan dalam hidupmu, kau harus memulainya dari hari ini.
“Kau harus memperlakukan hidup seolah hari ini adalah hari per-
tamamu sekaligus hari terakhirmu. Berlakulah seolah kematian sedang mengetuk pintumu saat ini; dan jika memang kematian itu tiba, kau tak- kan merasa takut lagi. Karena hanya mereka-mereka yang telah ‘mati’ sebelum mereka benar-benar matilah yang berharap dapat melarikan diri dari kematian.”
Pria tua itu menghapus airmata yang menetes di pipi putranya
dan melanjutkan, “Segala kesedihan pasti akan hilang pada akhirnya;
akhirilah kesedihanmu sekarang juga. Ikutlah pulang denganku. Apakah
kau hantu atau iblis? Ataukah kau manusia? Jika kau merasa dirimu manu- sia, maka kau harus hidup selayaknya manusia.”
“O, Putraku! Jadilah teman hidupku sekali lagi, untuk hidupku
yang tinggal sejengkal lagi. Hari-hariku akan segera usai; bagiku, malam telah menjelang. Jika kau tak ikut denganku hari ini, maka esok hari kau takkan berjumpa lagi denganku. Aku harus pergi, dan kau harus menge- nakan mantel kekuasaanku dan menggantikan posisiku. Tak lama lagi, kesengsaraanku akan berakhir dan aku akan mendapatkan kedamaian, jika Allah mengizinkan.
“Matahari dalam hidupku tenggelam dengan begitu cepatnya, ditutupi oleh debu-debu di hari yang teramat panjang. Kegelapan ini men- jadi pertanda, angin malam sedang menanti saatnya untuk membawa jiwaku pergi. Ayolah, Putraku, selagi kita punya waktu untuk saling ber- bagi. Ikutlah denganku dan gantikan posisiku, karena tempat itu hanya layak menjadi milikmu.”
Awalnya, Majnun menuruti keinginan ayahnya: selama beberapa hari ia beristirahat, makan dan minum, ia mengenakan pakaian yang layak seperti orang-orang lainnya, ia meninggalkan ode serta sonetanya, dan ia mendengarkan ucapan-ucapan ayahnya tentang begitu dekatnya mere- ka untuk kembali ke peradaban dengan penuh perhatian.
Namun semuanya hanyalah kebohongan sedari awal hingga akhir.
Majnun sangat ingin membahagiakan ayahnya sehingga ia bersedia melaku- kan apa saja. Namun pada akhirnya, rasa malu karena kebohongannya membanjirinya. Ia menatap ayahnya dan berkata, “Ayah adalah hembus- an napas yang memberikan kehidupan pada jiwaku, dan masih terus memberikan kehidupan kepadaku. Aku adalah pelayan ayah, siap untuk me- matuhi setiap perintah ayah. Namun hanya ada satu hal yang tak dapat kulakukan. Aku tak dapat mengubah apa yang telah digariskan oleh takdir. “Ayahku tersayang, Ayah bagaikan mata uang yang dicetak dengan
tinta kebijaksanaan; sementara mata uangku dicetak oleh tinta cinta! Bahasa ayah adalah bahasa yang penuh logika, sementara bahasaku adalah ceracau seorang pria yang gila karena hasrat! Begitulah adanya; dan hal itu tak dapat diubah.”
“Tak dapatkah Ayah melihat bahwa aku telah melupakan masa laluku? Halaman demi halaman kenanganku telah kosong, kata demi kata yang tertera telah dihapuskan. Aku bukan lagi aku yang dulu. Jika Ayah memintaku untuk bercerita tentang apa yang telah terjadi, aku tak bisa menceritakannya karena aku sudah tak ingat lagi. Yang kutahu hanyalah bahwa Ayah adalah ayahku, dan aku adalah putra ayah. Aku bahkan tak ingat nama ayah…….”
Kata-katanya memudar dan untuk beberapa saat ia hilang dalam pikirannya. Kini, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia paham betul apa yang telah digariskan takdir kepadanya. Ia melanjutkan, “Memang benar, Ayahku tersayang, Ayah adalah sosok asing bagiku, tapi jangan bersedih atau terkejut dengan kenyataan ini. Karena bagi diriku sendiri, aku adalah sosok asing: aku tak lagi mengenal diriku. Aku terus bertanya kepada diriku sendiri, ‘Siapa kau? Siapa namamu? Apakah kau sedang jatuh cinta, dan jika benar demikian, dengan siapa kau jatuh cinta? Apakah kau dicintai, jika benar, oleh siapa?’ Api menyala dalam jiwaku, api yang begitu panas sehingga membakar habis keberadaanku dan menjadikannya abu. Dan kini aku tersesat di alam liar ini atas keinginanku sendiri.”
“Tidakkah Ayah lihat bahwa aku telah menjadi liar seperti sekelilingku, sebuas makhluk buas yang Ayah lihat di sini? Bagaimana mungkin aku dapat kembali ke dunia nyata? Aku bagaikan makhluk asing bagi mereka, dan dunia mereka sangat asing bagiku. Jangan paksa aku untuk kembali, ayah, karena hal itu takkan ada gunanya.Aku hanya akan men- jadi beban bagimu dan bahaya bagi lainnya. Di sinilah tempatku, aku tak membahayakan siapa pun di tempat ini.
“Andai saja Ayah dapat melupakan keberadaanku! Andai saja Ayah dapat menghapusku dari kenangan Ayah dan melupakan bahwa Ayah pernah memiliki seorang putra! Andai saja Ayah bisa menguburku di sini dan berpikir: ‘Di sini terbaring seorang pria bodoh yang malang, si pemabuk yang dirasuki oleh iblis yang telah mendapatkan benih yang telah disemainya dan menerima apa yang pantas diterimanya.
“Ayahku tersayang, Ayah berkata bahwa matahari Ayah akan ter- benam dan Ayah akan segera pergi, dan karena itulah Ayah datang untuk
mengajakku kembali. Tapi matahariku juga akan segera terbenam, karena aku telah dibawa menuju kematian dan kenyataan itu sudah tak dapat ditawar-tawar lagi; bahkan bisa dikatakan jika kematian itu berada dalam diriku sendiri, memakanku dari dalam. Jika segalanya sudah terlambat, maka sudah terlambat bagi kita berdua. Siapa yang tahu, mungkin keper- gianku justru mendahului Ayah. Bagian dalamku telah mati dan aku telah membunuh Ayah dengan kesedihan. Jadi jangan biarkan yang mati mena- ngisi yang mati.”
Melalui kata-kata itu, si tua Sayyid memahami dengan jelas bahwa
Majnun bukan lagi miliknya. Si bodoh yang gila ini adalah tawanan yang terperangkap dalam benteng cinta yang gelap, begitu kuat ikatannya se- hingga tak ada yang dapat membebaskannya.
Si pria tua itu menggenggam tangan Majnun dan berkata, “Putraku
tersayang! Kau memakan dirimu sendiri dalam kesedihanmu dan kesedihan itu memakan darahmu. Apa yang harus kulakukan denganmu? Kau adalah rasa sakitku – namun kau juga adalah kebanggaanku. Sangatlah jelas bahwa tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk membujukmu kembali pulang denganku. Karena itu aku akan pergi; aku akan meninggalkanmu dan kem- bali pulang, lalu aku akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
“Genggamlah tanganku erat-erat, Putraku! Lihatlah bagaimana airmata menetes dan mengalir menjadi sungai. Airmata ini akan mem- bersihkanku sehingga aku akan memulai perjalanan dalam keadaan segar. Pegang aku erat-erat, sayangku! Menit-menit terakhir bersamamu ini bagaikan persediaan makanan yang cukup untuk perjalananku. Aku telah mengepak barang-barangku dan telah siap untuk berangkat. Bergerak, bergerak – selama hidupnya manusia harus bergerak! Dan begitulah se- harusnya.”
“Selamat tinggal, Putraku! Takkan pernah lagi mataku melihatmu di dunia ini. Selamat tinggal! Kapal yang menungguku telah bersiap-siap untuk berlayar dan takkan pernah kembali lagi. Sungguh aneh, aku merasa bahwa jiwaku telah terbebas! Selamat tinggal, Putraku tercinta! Takkan pernah lagi kita bertemu di dunia ini!”
Majnun memperhatikan begitu Sayyid dan dua teman seperjalan- annya bergerak melintasi pasir. Ia tahu bahwa ayahnya telah berbicara dengan jujur bahwa mereka takkan pernah bertemu lagi – setidaknya bukan di dunia ini. Benar adanya, dua hari setelah tiba di kediamannya, pria tua itu meninggal dunia, jiwa serta rohnya akhirnya terbebas.
Setiap jiwa bagaikan kilatan cahaya, tercipta untuk bersinar se- saat sebelum akhirnya menghilang untuk selamanya. Dalam alam semesta ini, segala sesuatunya ditakdirkan untuk mati, tak ada yang tercipta untuk berlangsung selamanya. Namun jika kau ‘mati’ sebelum kau benar-benar mati, saat kau palingkan wajahmu dari dunia yang wajahnya bak dewa Janus, kau akan menerima penyelamatan tertinggi dari kehidupan abadi. Segalanya tergantung kepadamu: kau adalah takdirmu sendiri, dan apapun takdir itu atau akan seperti apa nantinya, ia berada dalam dirimu. Dan pada akhirnya, yang baik akan berkumpul dengan sesamanya, dan yang buruk juga akan berkumpul dengan kaumnya. Rahasiamu akan diumumkan dari puncak gunung dan ketika gema itu kembali, kau menyadari bahwa itu adalah suaramu sendiri…….