Tampilkan postingan dengan label Novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Layla dan Majnun

Kisah Novel Layla Majnun
Layla & Majnun: Kisah CInta Klasik dari Negeri Timur
Penulis: Nizami
Penerjemah: Nina Artanti Rudiyanto
Penyunting: Aning
192 hlm
ISBN: 979-878-045-0
Diterbitkan oleh: MedPress Digital 2012

PengantarPenerbit

Cinta sejati mampu menjelma menjadi kekuatan yang tak ada habis- nya. Cinta antara Qays dan Layla mampu membuktikannya, yang kemudian dikenal dengan kisah Layla dan Majnun. Kisah cinta abadi dari negeri Timur ini cukup termasyhur, hampir disamakan dengan kisah Romeo dan Juliet. Meski begitu, kisah ini lahir sebelum karya William Shakespeare itu tercipta.

Kisah cinta mengharukan yang dianggap nyata kebenaran peristiwa- nya ini awalnya tersebar dari satu orang kepada yang lain, sehingga terlahir ber- bagai versi dan varian. Baru pada abad ke-12 dituangkan kembali dalam bentuk tulisan oleh Nizami, seorang penyair dari Ganjavi (wilayah Azerbaijan). Versi ini yang paling dikenal orang, lalu menyebar ke wilayah lain sehingga sampai sekarang menjadi kisah saduran atau penceritaan kembali yang telah diterje- mahkan ke dalam berbagai bahasa.

Qays mencintai Layla dengan segenap jiwanya. Meski rasa cinta itu terhalang, namun laki-laki itu tak kenal menyerah atau memindahkan hatinya kepada gadis lain. Bahkan, ia terus memelihara rasa cintanya kepada Layla. Rasa cintanya yang terhalang itu membuat hidupnya tiba-tiba berubah. Ia berjalan tak tentu arah sambil mendendangkan lagu-lagu cintanya sambil me- neteskan air mata. Orang-orang yang berpapasan dengannya meneriakkan namanya, si “majnun”, ‘si orang gila’.

Cinta sejati adalah sesuatu yang nyata, dan api yang menjadi bahan bakarnya akan menyala selamanya, tanpa sebuah awalan dan tanpa sebuah akhiran….
api cinta sejati yang menyala di jiwanya bagaikan obor
yang terus menyala hingga akhir hayatnya.

Hanya Layla satu-satunya kekasih yang bertakhta dalam hatinya. Ia bertingkah bak seorang pemabuk, menangis, terisak, dan merintih. Bait demi bait terlantun dari hembusan napasnya. Jika datang kerinduan yang men- dalam, ia memanggil angin timur yang akan menyampaikan pesan untuk mawar merah pujaannya. Begitu besar cinta sejati yang dimilikinya, hingga angin pun bersahabat dengannya, hingga binatang-binatang buas di tempatnya berkelana pun mengasihi dan menjadi sahabat yang senantiasa menyertai langkahnya.

Majnun telah mengeluarkan seluruh daya dan upayanya untuk me- nunjukkan sikap cinta sejatinya kepada Layla. Namun, takdir tak berpihak. Akhirnya, cinta mereka bersatu dalam kematian.

Sepasang kekasih terbaring di makam ini,
Pada akhirnya bersatu dalam kegelapan kematian.
Begitu setia saat terpisah, benar-benar saling mencinta:
Satu hati, satu jiwa di surga.


Dengan mengenal tokoh Layla dan Majnun dalam kisah ini, kita akan tercerahkan bahwa perjuangan untuk meraih cinta yang abadi hanya bisa ditempuh dengan pengorbanan; darah, harta, pun kematian bukanlah sesuatu yang patut diperhitungkan.

Subhanallah, tak ada kisah cinta yang mampu menyamai kisah cinta Layla dan Majnun.

Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan penceritaan ulang dengan tujuan untuk mengenal dan menghayati secara mendalam kisah cinta klasik dari Negeri Timur yang tak akan lekang dimakan zaman. Pengungkapan- nya dengan bahasa yang sederhana membuat kisah ini mudah dipahami.

Selamat membaca!

Read more »

Jumat, 24 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Bintang yang Jatuh dari Surga - 24 - Lanjutan Novel Layla Majnun

24. Bintang yang Jatuh dari Surga - Lanjutan Novel Layla Majnun

Seorang wanita mungkin dapat mengalahkan seorang pahlawan 
dan meletakkan pedang kematian di atas kepalanya.
Namun ketika segalanya telah berakhir, ia tetaplah seorang wanita.
Tertindas dan tak mampu berbuat sesuai kehendaknya. 
Seorang wanita mungkin merasa ingin berjuang dan menunjukkan keberanian 
bagaikan seekor singa.
Namun atas nama kehormatan serta martabat 
ia harus bertindak sesuai kodratnya, seperti yang telah digariskan kepadanya.

Seringkali mimpi itu begitu nyata, begitu penuh kebenaran, sehingga sinarannya menembus diri manusia dan membuat harinya menjadi cemerlang. Begitulah mimpi Majnun.

Ketika terbangun, ia terbangun di pagi hari di mana berbagai kemungkinan tampak tak berujung. Langit cerah dan udara dipenuhi oleh aroma wangi yang dibawa hanya dari surga; setiap hembusannya bagaikan hembusan napas sang Nabi, yang dikirim untuk membangkitkan mereka-mereka yang telah mati dan menyuruh mereka untuk mewaspadai keindahan kehidupan.

Hari itu, dan juga di hari-hari yang akan disongsongnya, bagi Majnun tampak bagaikan taman bunga mawar yang indah yang dipenuhi dengan sihir. Bagaimana bisa benih-benih ketidakberuntungan tumbuh di tanah yang seindah surga itu?
Takdir juga telah merasa lelah akan penderitaan Majnun sehingga Ia memberikannya kebahagiaan demi kebahagiaan. Tapi apakah se- muanya telah terlambat?
Majnun sedang duduk-duduk di lereng gunung, di salah satu tempat persembunyiannya yang dikelilingi oleh bebatuan sebagai perlin- dungan. Seperti biasa, teman-teman hewannya berada di dekatnya, beberapa tertidur, sementara beberapa lagi menjaganya.
Tiba-tiba saja, ia melihat kepulan debu di dasar lembah. Kepulan debu itu berwarna keunguan di sinar pagi yang kekuningan, ia berputar- putar saat beranjak naik.

Perlahan ia bergerak mendekat, begitu dekatnya hingga tampak bagaikan kerudung yang menutupi wajah seorang wanita. Dan saat Majnun merasa ingin melihat wajah di balik kerudung itu, ia menyadari bahwa kepulan debu itu menyembunyikan seorang pengendara yang bergerak bagaikan angin.
“Siapakah ia dan apakah yang diinginkannya?” pikir Majnun.
“Tak ada perkemahan ataupun rombongan karavan sejauh bermil-mil, jadi apa yang dilakukannya di sini?” Sangatlah jelas bahwa si pengendara itu mencari Majnun. Majnun berdiri dan jantungnya berdegup kencang. Apakah ia si pengendara unta yang berjubah hitam yang membawakannya berita pernikahan Layla dengan Ibn Salam?

Sang pengendara menarik tali kekang kudanya dan turun, menaiki jalan terjal bebatuan dengan kesulitan, dan Majnun dapat melihat bahwa si pengendara adalah seorang pria tua dan wajahnya tak ia kenali. Majnun mengangkat tangannya untuk menenangkan hewan- hewan itu, yang telah mulai menggeram. Lalu ia melangkah ke depan untuk menyambut sang tamu.

Dengan ramah, Majnun berkata, “Tuan yang terhormat, sepertinya Anda telah tersesat. Katakan, ke mana seharusnya Anda pergi? Atau mungkinkah Anda datang kemari untuk menemui saya? Tidak, sepertinya tidak demikian, karena kita berdua tidak saling mengenal. Saya menyukai wajah Anda namun hewan-hewan saya tidak menyukai Anda.

Anda lihat sendiri bagaimana mereka menggeram kepada Anda. Dan saya pun merasa bahwa saya tidak dapat memercayai Anda. Seperti yang orang-orang bilang, mereka-mereka yang pernah digigit ular pasti akan takut walaupun hanya melihat bayangan seutas tali! Saya telah digigit ular semacam itu – bukan, bukan ular melainkan naga!”
“Beberapa waktu lalu, seorang pengendara lainnya mendatangi saya dan menusukkan kayu pancang ke jantung saya, serpihan kayu itu masih ada di sana dan mengakibatkan luka yang sangat dalam dan menya- kitkan. Jadi kini Anda mengerti bahwa saya mempunyai alasan untuk tidak memercayai Anda. Dan jika Anda datang untuk menyelesaikan apa yang telah dimulainya, maka lebih baik Anda diam dan kembali pulang.”

Mendengar kata-kata ini, sosok asing itu berlutut di kaki Majnun dan menjerit, “Di antara makhluk-makhluk lainnya, kaulah yang paling mulia, karena kau telah menjinakkan makhluk-makhluk terbuas dan menja- dikan mereka sebagai teman-temanmu! Para rusa menyerudukmu dengan penuh cinta; para harimau membelaimu dengan lembut dan perhatian; para singa bermain-main denganmu seolah mereka adalah kucing-kucing betina yang dibeli dari kedai di pasar.”
“Untuk apa kau dan hewan-hewanmu merasa takut kepada seorang pria tua lemah sepertiku? Aku tak ingin mengganggumu; aku ber- ada di sini untuk menyampaikan pesan dari kekasihmu. Ini adalah sebuah pesan rahasia, sebuah surat yang tak pernah dibawa oleh siapapun sebelum- nya. Surat ini darinya untukmu, dan hanya untukmu. Jika kau masih meng- inginkanku untuk diam dan kembali pulang, maka itulah yang akan kula- kukan, tapi kupikir kau harus membiarkanku bicara terlebih dahulu.”
Majnun tak menduga akan mendengar kata-kata itu, dan tiba- tiba saja hatinya dipenuhi oleh harapan. Sambil memegang bahu pria tua itu, ia berkata, “Demi Allah, bicaralah! Cepatlah bicara dan bebaskan aku dari penderitaanku!”

Sang pria tua itu melanjutkan, “Aku tahu bahwa takdir telah ber- buat kejam terhadapmu, bintang-bintangmu telah bertingkah bagaikan sekelompok keledai bodoh yang keras kepala, tapi tak ada alasan mengapa kau tak dapat menjinakkan mereka. Tapi pertama-tama, izinkan aku bercerita kepadamu tentang apa yang telah terjadi kepadaku.”

“Beberapa hari lalu, secara tidak sengaja aku melintasi sebuah perkemahan yang berada dekat dengan sebuah taman – hutan kecil yang teduh dengan sungai kecil mengalir, bunga-bunga dan pepohonan palem yang tinggi-tinggi. Aku berjalan-jalan selama beberapa saat hingga aku melihat seseorang sedang duduk sendirian, tersembunyi di balik dedaunan. Yang kukatakan memang ‘seseorang’, namun dalam kenyataannya, ku- pikir aku telah mendapatkan kesempatan untuk melihat bintang yang telah jatuh dari surga!

Taman itu bagaikan taman Firdaus, dan ia adalah seorang wanita muslim yang sangat cantik yang dijanjikan oleh Allah akan disandingkan dengan pria-pria beriman.

“Ada sungai kecil yang melewati oase itu, bagaikan aliran air susu dan madu yang mengaliri surga. Tapi ketika wanita muda yang cantik itu mulai berbicara, kata-kata yang keluar dari bibirnya begitu manis dan kefasihannya berbicara dapat membuat aliran sungai itu beriak dan berpercikan, seolah air sungai itu bergantung pada kata-katanya. Dan matanya – bagaimana aku bisa mendeskripsikannya?!
Bahkan seekor singa pun akan tersihir bila sepasang mata indah milik rusa betina menatapnya!” “Penampilannya sangat indah bagaikan buku yang hanya berisikan karakter-karakter cantik tertulis di dalamnya. Rambutnya ikal bagaikan ekor pada huruf ‘Jim’; tubuhnya lentur dan ramping bagaikan huruf ‘Alif’; bibirnya lengkung bagaikan huruf ‘Mim’. Ya, bila ketiga kata itu digabungkan akan menjadi ‘Jam’ (cangkir), dan memang seperti itulah dirinya, sebuah cangkir kristal berharga yang menggambarkan rahasia alam semesta ini!”

“Matanya bagaikan bunga narssisi yang tumbuh di tepi sungai, begitu kau melihatnya dalam-dalam, kau akan dapat melihatnya bermimpi! Tapi dengan kata-kata yang sedikit ini aku tak dapat membeberkan kecantikannya, karena ia adalah cahaya kehidupan itu sendiri. Meskipun begitu, kecantikannya ternoda oleh hatinya yang hancur. Kesedihan telah melemahkannya; telah begitu lama airmata memenuhi matanya sehingga ia tak lagi dapat melihat.”

Si pria tua itu menghembuskan napas panjang, menghapus air mata yang menetes dari matanya dan melanjutkan, “Percayalah, ia menikah karena rasa takut, pada kenyataannya, kaulah satu-satunya yang diharapkannya. Saat ia berbicara, airmata menggenangi matanya; bagaikan kerudung yang menghalangi sinar matahari. Pemandangan itu akan menggetarkan hati siapa saja, bahkan hati terdingin sekalipun!”

“Aku mendekatinya dan bertanya siapa dirinya dan mengapa ia begitu sedih. Ia mengangkat wajahnya, dengan senyum lemah tersung- ging di bibir merahnya ia berkata,

‘Mengapa Anda melumuri luka saya dengan garam? Saya dulu adalah Layla, tapi kini saya bukanlah Layla lagi. Kini saya sudah gila, lebih ‘majnun’ dari seribu Majnun. Ia mungkin seorang penganut agama yang gila, pengelana liar yang tersiksa karena cinta, tapi percayalah, penderitaan saya seribu kali lebih buruk!”

“Memang benar, ia adalah sasaran bagi panah-panah kesedihan, tapi begitupun saya dan ia adalah seorang pria, sementara saya adalah seorang wanita! Ia bebas dan dapat mencurahkan kepedihannya kepada pegunungan; ia dapat bepergian ke manapun ia mau, ia bisa menangis, berteriak dan mengekspresikan perasaan terdalamnya dalam sajak-sajaknya. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya adalah seorang tawanan yang tak mampu berbuat apa-apa. Saya tak bisa berbicara dengan siapa pun karena tak ada seorang pun yang dapat saya percayai; jika saya membuka hati saya kepada semua orang yang ada di sekitar saya, maka rasa malulah yang akan saya dapatkan sebagai balasannya.

Madu berubah menjadi racun di dalam mulut saya dan segala sesuatu yang saya sentuh berubah menjadi debu. Siapa yang tahu bagaimana perasaan saya? Siapa yang tahu bagaimana penderitaan saya? Saya memasang topeng keberanian pada wajah saya, saya tutupi seluruh penderitaan saya dengan senyuman serta tawa palsu, tapi sepanjang waktu saya terbakar, terbakar, dan terbakar!”

“’Cinta menjerit-jerit di dalam hati saya, ‘Larilah selagi kau bisa, terbang menjauhlah dari ayahmu yang seperti burung gagak dan suamimu yang bagaikan burung hering!’

Tapi kemudian saya diperingatkan oleh akal sehat saya yang berkata, ‘Jangan, dengan terbangnya  dirimu hanya akan semakin mempermalukanmu. Kau harus tetap di sini dan menyerah- lah pada takdirmu!’”

“’Seorang wanita mungkin dapat mengalahkan seorang pahlawan dan meletakkan pedang kematian di atas kepalanya, namun ketika segalanya telah berakhir, ia tetaplah seorang wanita, tertindas, dan tak mampu berbuat sesuai kehendaknya. Seorang wanita mungkin merasa ingin berjuang dan menunjukkan keberanian bagaikan seekor singa, namun atas nama kehormatan serta martabat ia harus bertindak sesuai kodratnya, seperti yang telah digariskan kepadanya.
Karena bukan kuasa saya untuk mengakhiri penderitaan ini, saya tak punya pilihan selain tunduk terhadapnya. Saya tak diizinkan untuk bersama Majnun, tapi saya perlu tahu apa yang dilakukannya, saya haus akan beritanya.”
‘Bagaimana ia menghabiskan hari-harinya dan di mana ia tidur saat malam tiba? Apa yang dilakukannya saat ia berkelana di gurun dan siapa saja yang menemaninya, jika memang ada? Apa saja yang dikatakannya dan apa yang dipikirkannya? Jika Anda mengetahui apa saja tentangnya, wahai orang asing, katakan pada saya sekarang juga!’

“Begitulah ucapan Layla. Meskipun baru pertama kali ini aku bertemu denganmu hari ini, tapi aku merasa telah mengenalmu dengan baik. Tak sia-sia aku menjadi tua dan melihat dunia dengan baik dan merasakan apa saja yang ditawarkannya kepadaku. Kisah tentang dirimu dan cintamu telah menjadi pembicaraan semua orang; adakah orang lain di negeri Arab ini yang lebih terkenal daripadamu? Betapa anehnya semua ini dan juga betapa kejamnya, seluruh dunia tahu tentangmu namun Layla tak diperbolehkan untuk mendengarnya! Karena itulah aku menemaninya di sana selama beberapa saat, untuk membicarakanmu. Dan percayalah, kata-kataku membuatnya terkesan.

“Kukatakan kepadanya, Majnun hidup sendirian, bagaikan seorang pertapa, tanpa teman ataupun keluarga; ia sendirian dengan kenangan cintanya. Satu-satunya yang menemaninya begitulah yang di- katakan semua orang – adalah hewan-hewan liar, seperti keledai liar dan singa pegunungan yang menjauhkan diri dari dunia manusia. Namun penderitaan telah menghancurkannya: kekuatan cinta terlalu kuat untuk dapat ditolak oleh makhluk-makhluk lemah seperti pria. Majnun hancur, pikirannya melemah dan sakit. Kematian ayahnya membuatnya semakin menderita.”

“Hari demi hari, takdir menebarkan duri di jalan yang dilaluinya dan kini ia telah menjadi seorang penyair yang mencatat ketidakberuntungannya sendiri. Sajak-sajaknya menceritakan kisah hidupnya, dan kisah hidupnya adalah kisah tentang cinta dan penderitaan. Airmata menetes dari matanya bagaikan hujan di tengah musim semi, dan saat ia berbicara mengenai ayahnya yang telah tiada, kata-katanya akan meluluhkan hati yang beku sekalipun.”

“Lalu aku mendendangkan beberapa sajak ciptaanmu, yang pernah kudengar di pasar dan kuhafalkan dalam ingatanku. Desah napas panjang keluar dari bibirnya dan kepalanya terkulai seolah akan pingsan atau mati. Ia terisak-isak hingga airmatanya terkuras habis. Dan saat menangis, ia mengucapkan doa untuk ketenangan jiwa ayahmu.”

“Ia ingin menemanimu karena ia tahu kau sendirian, dipisahkan dari dirinya dan ayahmu tercinta, tapi apa yang dapat dilakukannya?”

“Tiba-tiba saja ia mendapatkan sebuah ide. Ia menunjukkan tendanya dari kejauhan dan berkata, ‘Anda adalah seorang pria jujur yang memiliki ketulusan hati. Saya memercayai Anda. Saya akan kembali ke tenda saya dan saya akan menulis surat untuk Majnun. Berjanjilah bahwa Anda akan kembali esok hari agar saya dapat menyerahkan surat untuk Anda berikan kepadanya. Maukah Anda berjanji kepada saya?’

“Saya pun berjanji kepadanya, dan keesokan harinya saya menuju tendanya. Sebagai tanda berduka cita atas kematian ayahmu, ia mengenakan pakaian berwarna biru tua: ia bagaikan bunga violet yang paling cantik di gurun. Dalam lipatan roknya ia menyembunyikan sebuah surat. Inilah surat yang kumaksud!”
Sang pengantar surat berusia tua itu mengambil surat dari tasnya dan menyerahkannya kepada Majnun. Awalnya, Majnun tak menunjukkan reaksi apapun. Ia menatap perkamen yang ada di tangannya seolah ia sedang bermimpi.

Bukankah semua ini terlalu berlebihan untuk diterimanya? Apakah ucapan manis sang kekasih datang terlalu dini? Apakah semua terlalu berlebihan untuk dihadapinya?
Tiba-tiba ia bertingkah aneh. Seolah ia sedang ditawan oleh beberapa iblis gila yang ingin menarik tubuhnya dari berbagai arah. Tubuhnya bergerak ke sana kemari, lalu ia berputar-putar dengan begitu kerasnya hingga segalanya menjadi kabur. Akhirnya, dengan keringat yang mengucur deras dari kulitnya, ia terjatuh di kaki pria tua itu.

Di sana ia berbaring, bagaikan seseorang yang dibuat pingsan karena terlalu banyak minum anggur, benar-benar kehilangan akal. Meskipun terbaring tak sadarkan diri, namun surat dari Layla masih tergenggam di tangannya.
Dan ketika ia tersadar, hal pertama yang dilihatnya adalah surat itu. Jantungnya tak lagi berdegup kencang, dan dengan pelan ia membuka segel dari surat itu.

Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun

Kamis, 23 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Langit Tak Memberi Jawaban - 23 - Lanjutan Novel Layla Majnun

23. Langit Tak Memberi Jawaban - Lanjutan Novel Layla Majnun


Majnun berdiri menatap ke langit, 
matanya bergerak dari satu planet menuju planet lainnya, 
dari satu bintang ke bintang lainnya. 
Yang manakah yang akan mendengar permohonannya?
Yang manakah akan datang untuk membantunya?

Rembulan menunjukkan sinarnya yang keperakan, sementara di kaki langit Venus terbakar bagaikan sulfur. Meteor berjatuhan ke bumi bagaikan tombak-tombak api yang dilemparkan oleh tangan-tangan dari surga, sementara bintang-bintang bersinar bagaikan ribuan perhiasan berkelap-kelip yang dijahitkan ke jubah langit yang berwarna nila.

Majnun berdiri menatap ke langit, matanya bergerak dari satu planet menuju planet lainnya, dari satu bintang ke bintang lainnya. Yang manakah yang akan mendengar permohonannya? Yang manakah akan datang untuk membantunya?

Saat matanya menjelajahi langit, untuk pertama kalinya ia mem- perhatikan Venus, lalu menjerit, “O, Venus! Kau adalah lentera yang me- mandu semua orang yang mencari kebahagiaan di dunia ini. Kekasih sang penyair dan penyanyi, kunci kesuksesan ada di tanganmu. Kau adalah stem- pel yang tertera pada cincin sang Raja, kau adalah ratu di istana kemak- muran dunia, kau adalah bintang yang berkuasa atas para pecinta. Kau adalah hadiah berupa kata-kata indah yang terlontar dari bibir semerah mirah delima; bibir-bibir milik kaummu, dan minumlah anggurmu yang beraroma ambergris. Masukkan ke dalam lingkaranmu dan limpahkanlah kebaikanmu kepadaku! Bukalah gerbang harapan: jangan biarkan aku mati karena menunggu! Jiwaku sakit dan hanya kaulah yang tahu obatnya. Biarkan angin malam membawa aroma wangi kekasihku kepadaku selagi masih ada waktu!”

Setelah mengajukan permohonan kepada Venus, Majnun ber- alih kepada Jupiter. Apakah ia juga bisa membantunya? Majnun berkata, “O Jupiter, bintang kebahagiaan! Kau adalah jiwa yang setia, karena kau selalu menepati janjimu. Kau mempertahankan kejujuran serta keadilan; pada setiap alam kau meninggalkan tanda keberadaanmu, karena kau adalah bintang bagi para penguasa serta hakim yang adil. Kaulah yang menentukan siapa yang akan menang. Pena takdir berada di tanganmu! Masa depan seluruh kosmos bergantung kepadamu! Percayalah kepa- daku karena hatiku mendapatkan seluruh kekuatannya darimu. Jangan pejamkan matamu saat aku membutuhkanmu!”

Majnun memohon kepada semua planet yang dilihatnya, satu demi satu, lalu bintang demi bintang, namun ia tak mendapatkan jawaban. Langit masih tetap diam dan jiwa Majnun beku di tengah dinginnya ke- cantikan malam itu. Para penghias malam itu terus bergerak dan tak meng- hiraukan rasa sakit hatinya yang menyedihkan. Apa peduli mereka? Untuk apa mereka repot-repot membantunya?

Lalu Majnun menyadarinya, untuk pertama kali segalanya menjadi jelas. Bintang-bintang tidak mempedulikannya karena sama saja dengan butiran-butiran pasir yang berada di bawah kakinya, mereka buta, tuli dan bisu! Gemerlap yang mereka tunjukkan semata-mata hanyalah sebuah pertunjukan. Di bawah tampilan luar mereka yang begitu luar biasa, me- reka hanyalah benda mati yang tak memiliki suara ataupun mata. Apalah artinya penderitaan jiwa seorang manusia bagi mereka?
Dan Majnun mengangkat wajahnya sekali lagi ke angkasa, tapi kali ini ia tak membuat permohonan. Mereka hanyalah subjek, pikirnya.

Dan di mana ada subjek, maka pasti ada sang penguasa. Jika ciptaan-Nya tak mau menjawabku, pikirnya, mungkin sang Pencipta bersedia men- jawabku.
Akhirnya Majnun berdoa kepada Yang Mahakuasa yang telah menciptakan bumi beserta isinya dan Ia yang tak pernah memiliki keperluan apapun. Ia berkata, “Ya Allah! Kepada siapa aku harus menghadap, jika bukan kepada-Mu? Venus dan Jupiter hanyalah ciptaan-Mu yang me- lakukan perintah-Mu, sementara Kau adalah sumber mata air bagi segala ciptaan-Mu. Pengetahuan-Mu mencakup segalanya dan luasnya karunia- Mu tak dapat diukur. Semua kekuasaan berada di tangan-Mu, dan tak ada rantai yang sebegitu kuatnya yang tak dapat Kau patahkan. Kau adalah Hakim Tertinggi, Perawat, serta Penjaga seluruh makhluk.

Apapun yang dimiliki oleh orang-orang hebat di dunia ini, mereka memilikinya karena- Mu. Kau adalah satu-satunya yang datang untuk membantu mereka-me- reka yang membutuhkan bantuan. Kami semua adalah tawanan yang terikat oleh rantai dan takkan ada yang dapat membantu kami jika Kau tak berkehendak demikian.
“Ketujuh surga dan segala yang berada di dalamnya adalah milik- Mu. Seluruh makhluk – seberapa pun hebatnya atau seberapa pun kecil- nya – menunduk patuh kepada perintah-Mu.
“Ya, Allah! Kau menciptakanku dari tanah liat, bergaung, berwarna hitam dan berat, lalu Kau hembuskan napas dari ruh-Mu kepadaku. Kehidupan berasal dari-Mu dan Kau memiliki kuasa untuk mempercepat datangnya kematian. Malam ini aku berdiri di hadapan-Mu sebagai makh- luk-Mu yang hidup dan bernapas, namun juga sebagai makhluk yang jiwa- nya telah mati. Hanya belas kasih-Mu-lah yang dapat menyelamatkan- ku; hanya pengampunan-Mu-lah yang dapat menyelamatkan aku dari ku- tukan abadi. Hanya rasa sayang-Mu-lah yang dapat mengubah kegelapan- ku menjadi sinar benderang, malam-malamku menjadi siang.”

Saat Majnun selesai mengucapkan doanya, ia merasa diliputi oleh ketenangan yang luar biasa. Ia tak lagi merasa perlu untuk memandang atau mengintai langit malam. Hatinya telah menemukan tempat peristira- hatan dan tatkala kantuk melandanya, ia tak memperhatikannya. Karena tak lama kemudian, ia pun mulai bermimpi dan dalam mimpinya ia meli- hat banyak hal aneh:

Di hadapannya ada sebuah pohon yang muncul secara tiba-tiba dan mulai tumbuh dengan begitu cepatnya hingga tanpa disadari pohon itu sudah jauh melebihi tinggi tubuhnya. Pohon itu terus tumbuh hingga menembus langit, Majnun memperhatikan ada seekor burung yang duduk di atas dahan tertinggi pohon itu. Ada sesuatu yang bersinar di paruh burung itu. Burung itu meninggalkan pohon itu dan terbang di atas Majnun selama beberapa saat. Lalu ia membuka paruhnya dan membiarkan benda bersinar itu terjatuh. Benda bersinar itu adalah sebuah permata dan ia terjatuh tepat di atas kepala Majnun. Dan permata itu tetap berada di sana, bagaikan penghias mahkota raja yang berkilauan.

Majnun terbangun saat matahari mulai naik. Mimpi indahnyatelah hilang, namun dirinya dipenuhi oleh rasa senang dan bahagia. Ia tak pernah merasa begitu lepas dari permasalahan dan tenang untuk waktu yang sangat lama.

Tubuhnya terasa ringan seolah ia memiliki kemampuan untuk terbang. Apakah jiwanya akan segera terbang? Apakah kebahagiaan yang muncul secara tiba-tiba ini karena mimpi yang begitu sederhana itu?

Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun

Rabu, 22 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kekuatan Cinta Majnun - 22 - Lanjutan Novel Layla Majnun

22. Kekuatan Cinta Majnun - Lanjutan Novel Layla Majnun

Di alam liar itu, Majnun adalah seorang raja, 
benar-benar seorang Sulaiman 
yang memerintah dengan bijaksana dan penuh belas kasih. 
Ia adalah raja kebaikan dan cinta; 
sorang raja yang tak pernah kejam terhadap kaumnya, 
tak pernah memaksakan pembayaran pajak, 
ataupun memaksa mereka untuk mengorbankan hidup mereka 
atau menumpahkan darah musuh mereka 
pada pertempuran yang tak berguna sama sekali.

Masih membicarakan kekasihnya, Majnun segera meninggalkan keru- munan serta perkemahan mereka itu. Ia lekas kembali ke tempat persembunyiannya. Ia terbakar oleh api cinta, bersinar bagaikan batubara yang sedang terbakar. Setiap saat batubara itu meledak dan mengeluarkan nyala api, mencambuk lidahnya dan melepaskan semburan kata-kata dari bibirnya, sajak-sajak yang dirajutnya menjadi satu bagaikan mutiara yang terangkai dalam sebuah tasbih. Ia mencurahkannya kepada sang angin, mengizinkannya untuk menyebarkan kata-kata itu dan membiarkannya jatuh berlimpah – sungguh sebuah karunia bagi mereka yang sedang di- mabuk cinta dan para pecinta sajak, yang mendengarnya kemudian me- nyebarkannya. Bakat
Majnun dalam seni memang sangat luar biasa, tapi apalah artinya semua itu? Bukankah ia tidak memiliki apa-apa? Bukankah ia bebas melakukan apapun yang ia inginkan?

Bagi orang lain, Majnun kini sedikit lebih buas dari makhluk buas, ia bagaikan seekor hewan buas yang patut dikasihani karena ia terjebak dalam isolasi serta keburukannya sendiri. Namun ia tak sendiri, bahkan orang gila pun memiliki teman. Teman-teman Majnun adalah para hewan; hewan-hewan liar yang berkeliaran di gurunlah yang menjadi teman- temannya, dan ia cukup senang dengan kenyataan itu.

Majnun telah memasuki dunia hewan gurun sebagai sosok asing, namun mereka dapat menerimanya dengan baik karena Majnun datang secara damai. Ia tidak datang untuk memburu, menjebak, memotong, atau membunuh mereka. Ia merangkak memasuki gua serta sarang mere- ka bukan sebagai musuh yang jahat tapi sebagai tamu yang baik. Mereka tak melihat kejahatan pada kedua tangannya sehingga mereka semua menghormatinya.

Mungkin juga para hewan itu berpikir bahwa Majnun merupakan salah satu dari mereka, tapi itu hanya sebatas asumsi semata. Berdasarkan insting, mereka tahu bahwa ia berbeda dari manusia-manusia lainnya. Ia memiliki kekuatan khusus, kekuatan yang tak ada kaitannya dengan kekuatan tubuh ataupun ketajaman gigi seperti yang dimiliki oleh singa, puma, atau serigala gurun. Kekuatan Majnun  sumber kemampuannya untuk mengendalikan para hewan itu adalah kenyataan bahwa ia tidak membu- nuh segala hal yang lebih kecil darinya. Ia bukanlah seorang predator, karena itulah mereka semua merasa aman dan nyaman bersamanya.
Meskipun begitu, pada awalnya mereka tak memahaminya.

Makhluk macam apakah dirinya, yang dapat dengan mudah membunuh makhluk-makhluk lainnya untuk dimakan namun tak melakukannya? Mengapa ia bisa begitu? Siapa yang dapat memahami pikirannya? Yang dimakannya hanyalah akar-akaran serta buah beri  hanya untuk bertahan hidup – dan ia tak menunjukkan rasa takut ketika dikelilingi oleh hewan- hewan pemangsa buas yang dapat dengan mudah merobek-robeknya menjadi beberapa bagian kecil, lalu memakannya. Meskipun demikian, ia tak pernah diserang, tak pernah sekalipun hal itu terjadi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Majnun tak pernah merasa terancam ataupun terintimi- dasi oleh hewan buas apapun di gurun tersebut.

Para hewan itu akhirnya terbiasa dengan makhluk asing dari dunia manusia itu. Setiap kali mereka melihatnya atau mencium baunya yang dibawa oleh angin, mereka semua akan berlarian atau meloncat- loncat, merangkak, atau terbang untuk berkumpul di sekitarnya. Tak butuh waktu lama, Majnun bertemankan dengan seluruh hewan liar dari berbagai bentuk maupun ukuran. Dengan kehadirannya, para hewan itu seolah ter- sihir karena mereka lupa akan sifat dasar mereka yang liar dan berubah menjadi jinak dan bersahabat. Begitu terikatnya mereka dengan Majnun sehingga pada akhirnya mereka menjadi penjaganya saat ia tertidur. Awal- nya seekor singa yang menjaganya, bagaikan seekor anjing penggembala yang menjaga sekawanan hewan ternak. Tak lama kemudian yang lainnya mengikuti – para rusa jantan, serigala, lynx, puma, rubah gurun – dan akhir- nya Majnun tak dapat beristirahat dengan tenang barang lima menit saja karena tempat itu akhirnya berubah menjadi perkemahan bagi para hewan gurun.

Di alam liar itu, Majnun adalah seorang raja, benar-benar seorang Sulaiman yang memerintah dengan bijaksana dan penuh belas kasih. Ia adalah raja kebaikan dan cinta; sorang raja yang tak pernah kejam ter hadap kaumnya, tak pernah memaksakan pembayaran pajak, ataupun memaksa mereka untuk mengorbankan hidup mereka atau menumpahkan darah musuh mereka pada pertempuran yang tak berguna sama sekali.

Dengan dibimbing oleh sang penguasa melalui tindakannya, secara perlahan para hewan itu kehilangan dorongan untuk membunuh. Serigala-serigala tak lagi menyiksa para kambing, para puma mulai ber- teman dengan rusa, singa betina menyusui anak-anak rusa yang tak punya induk, dan rubah-rubah telah berdamai dengan kelinci. Pasukan hewan buas yang mengikuti ke mana pun Majnun pergi adalah pasukan yang damai, pasukan yang digerakkan oleh rasa cinta, keharuan serta persaudaraan.

Cinta para hewan kepada si majikannya yang tanpa pamrih itu seringkali melampaui intensitas cinta manusia kepada manusia lainnya. Pertemanan Majnun dengan para hewan itu adalah contoh rasa cinta yang tak mengenal pamrih. Sebagai contoh, setiap kali Majnun berke- inginan untuk tidur, si rubah gurun akan membersihkan tempat itu dari debu dan duri dengan menggunakan ekornya, sementara hewan lainnya akan menawarkan leher mereka sebagai bantal. Dan tatkala Majnun tertidur, singa akan menjaganya, bersiap-siap untuk mengusir musuh mana pun yang datang mendekat, sementara serigala dan puma akan menjaga area mereka jika ada tamu tak diundang ataupun penyelundup yang datang. Setiap hewan itu melakukan tugasnya masing-masing, menjaga dan melindungi Majnun dengan ketulusan hati yang menyentuh perasaan Majnun.

Namun semakin ia merasa terbiasa dengan teman-teman hewan- nya, semakin jarang ia melihat manusia lainnya. Mereka-mereka yang telah mengunjunginya di persembunyiannya takut dengan para hewan- hewan yang selalu berada di sekeliling Majnun dan mereka tak ingin me- ngunjunginya lagi. Dan ketika Majnun muncul di sebuah perkemahan atau pun oase dengan rombongan teman-teman hewannya, semua orang akan melarikan diri darinya. Setiap kali sesosok asing mendekati Majnun untuk berbicara, para hewan itu akan menunjukkan gigi tajam mereka dan mulai menggertak serta melolong hingga sang majikan menyuruh mereka untuk diam dan menghilangkan kecurigaan mereka. Setelah itu barulah sosok asing itu merasa aman. Mereka-mereka yang datang hanya untuk mengejek atau mengganggu Majnun seringkali dipaksa untuk berlari secepat mungkin jika tak ingin gigi-gigi, cakar-cakar serta taring-taring tajam merobek-robek mereka menjadi beberapa bagian.

Apakah sejarah pernah mengenal majikan sebaik Majnun? Apa- kah pernah ada penggembala dengan hewan ternak seperti itu? Ketika kisah tentang Majnun dan teman-teman barunya sampai di telinga semua orang, mereka sulit untuk mempercayainya. Apakah ini hanya sekedar dongeng dari masa lalu yang digubah sedemikian rupa? Begitu banyak orang yang tak mempercayainya hingga mereka melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri. Oleh karena itu mereka berkelana di gurun pasir dengan harapan dapat melihat pemandangan itu. Ketika menemukan Majnun dengan rombongan hewan buas, mereka kehilangan kata-kata, tak tahu harus berkata atau berpikir apa. Dalam banyak kasus, keter- kejutan mereka bercampur dengan rasa iba; menyadari bahwa karena cintalah eksistensi Majnun bisa menurun, mereka membawakan makan- an dan minuman demi membebaskannya dari penderitaannya. Meskipun Majnun menerima pemberian mereka, namun ia tak memakannya dan justru menyerahkannya kepada teman-teman hewannya. Dan karena ia adalah kebaikan, maka mereka juga menjadi baik.

Apakah hewan mencontoh tingkah laku manusia? Apakah atribut yang biasanya disertakan pada setiap nama hewan buas di bumi ini hanya merupakan gema suara manusia sendiri? Renungkanlah hal ini selagi kita mengalihkan perhatian ke tempat lain…….

Dulu pernah ada seorang raja, sang penguasa Marv, yang memiliki beberapa ekor anjing penjaga. Anjing-anjing itu bukanlah anjing biasa, bisa dikatakan bahwa anjing-anjing itu adalah iblis yang terlepas dari ikat- annya, benar-benar anjing hound dari neraka. Setiap ekornya memiliki kekuatan bak puma, rahang mereka cukup kuat untuk memutuskan leher unta hanya dengan satu kali gigitan saja. Tapi untuk apa sang Raja memelihara anjing-anjing buas semacam itu?

Alasannya sederhana saja. Setiap kali ada seseorang yang tak disukai oleh sang Raja atau membuatnya marah entah dengan cara apa, maka sang Raja akan melemparkannya ke anjing-anjing tersebut. Anjing- anjing itu akan merobek-robek si orang malang itu menjadi beberapa bagian kemudian memakan dagingnya.
Di antara para anggota kerajaan, ada seorang pria muda yang bijaksana serta pandai, ia memiliki keahlian berdiplomasi dan beretiket. Tentu saja pria muda ini mengetahui keberadaan hewan sebuas syaitan tersebut serta kegunaan mereka di istana itu. Ia beserta teman-temannya juga menyadari bahwa sang Raja adalah seorang pria yang temperamental, ia sangat mudah marah.

Siapapun yang disenangi oleh Raja pada hari ini, tiba-tiba saja tak disenanginya keesokan harinya, biasanya tanpa alasan yang jelas. Suasana hati sang Raja tak bisa diprediksi; apa yang telah terjadi pada yang lainnya, pikir si pria muda, bisa saja terjadi kepadaku. Dan begitulah, ia tak dapat tidur setiap malam, memikirkan takdir yang akan segera ia hadapi. Apa yang harus ia lakukan?

Akhirnya, si pria muda itu mendapatkan sebuah ide. Setiap kali ada kesempatan, ia selalu melewati kandang tempat anjing-anjing buas itu dirantai. Di sana ia akan berbicara dengan sang penjaga selama bebe- rapa waktu dan kemudian memberikan hadiah kepada mereka untuk mendapatkan kepercayaan para penjaga itu.
Dengan demikian, dimulailah rencana keduanya. Pertemanan yang dibina dengan para penjaga anjng itu membuka peluang baginya untuk berteman dengan para anjing itu.

Beberapa hari sekali, ia membawakan beberapa potong daging untuk mereka; terkadang, saat ia mendapatkan akses menyelinap ke dapur istana, ia akan membawa kambing atau domba secara utuh.
Secara perlahan, ia mendapatkan kepercayaan para anjing itu; tak lama kemudian, mereka telah terbiasa dengan kunjungannya sehingga mereka biasanya melompat-lompat dan menggonggong kesenangan setiap kali mereka melihatnya datang mendekat.

Dan ia telah mengatasi rasa takutnya. Ia membelai mereka dan bermain dengan mereka seolah mereka hanyalah anak-anak kucing. Memang itulah rencananya sedari awal. Suatu hari, tanpa alasan yang jelas, sang Raja menjadi marah dengan si pria muda itu, seperti yang telah dikhawatirkan oleh si pria muda selama ini.
Sang Raja memanggil para penjaganya dan memerintahkan agar si pria muda itu dilemparkan ke kandang anjing. Para penjaga mengikat tangan serta kaki pria muda itu dan menyeretnya menuju kandang anjing. Mereka kemudian memaksanya masuk ke dalam kandang dan menguncinya.
Lalu mereka berdiri dan menunggu para anjing buas itu menyerang mangsa barunya.

Tapi tentu saja, hal itu tak terjadi. Manusia mungkin tak selalu membalas kebaikan dengan kebaikan, tapi anjing – seberapa pun buasnya mereka – melakukannya. Begitu mereka mengenali si pria muda itu seba- gai sosok yang telah membawakan makanan serta mencurahkan perha- tian kepada mereka, mereka berlarian mendekatinya dan mulai menjilati tangan serta wajahnya sebagai wujud sayang mereka terhadapnya.

Lalu mereka duduk dengan tegak di sisinya, bersiap-siap untuk melindunginya dari segala bahaya. Bahkan tulang terlezat ataupun daging terempuk yang dilemparkan oleh para penjaga mereka tetap tak dapat menjauhkan mereka dari pria muda itu.

Para penjaga Raja memandangnya dengan takjub. Mereka datang untuk melihat ceceran darah; tapi yang mereka lihat justru pertun- jukan mengharukan tentang kasih sayang yang terjalin antara manusia dengan hewan buas. Tak mampu mempercayai apa yang mereka lihat, para penjaga berteriak-teriak pada anjing-anjing itu, mendorong mereka untuk menyerang pria muda itu, namun jeritan para penjaga itu tak diindahkan oleh para anjing.

Saat matahari mulai terbenam di pegunungan, menutupi puncak-puncak pegunungan salju itu dengan mantel merah keemasan, sang Raja duduk di singgasananya, kemarahannya kini berkurang. Bahkan, ia kini merasakan penyesalan karena telah bertindak secara ceroboh. Ia telah menghancurkan hidup seorang pria muda tanpa alasan yang jelas. Tentu saja ia tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi di kandang
anjingnya, dan tak ada seorang pun anggota istana yang berani memberi- tahunya.

Saat malam menjelang, ia menjadi sangat bingung sekali. “Me- ngapa?” jeritnya, suaranya menggema. “Mengapa kuperintahkan agar pria muda itu dilemparkan ke kandang anjing? Mengapa aku bertindak dengan begitu ceroboh? Pergilah! Pergilah sekarang dan cari tahu kabar- nya. Pergi dan lihatlah apa yang telah terjadi dengan pria malang itu.”

Para anggota istana bergegas menuju kandang dan kembali de- ngan salah seorang penjaga kandang anjing, memerintahkannya agar melaporkan segalanya pada sang Raja. Tentu saja sang penjaga merasa takut untuk menceritakan kepada Raja apa yang telah dilihatnya pada hari itu; bagaimana mungkin ia me- ngaku bahwa sang pria muda itu telah selamat dari kematian hanya de- ngan menunjukkan kasih sayangnya kepada anjing-anjing dari neraka itu dan dengan hadiah-hadiah yang selalu dibawakannya untuk anjing-anjing itu?

Ia mendekati sang Raja, memberikan hormat kepadanya, dan dengan suara gemetar berkata, “Yang Mulia! Pria ini tak mungkin seorang manusia. Benar, saya nyatakan bahwa ia mungkin sebentuk jin atau malaikat di mana Allah yang Mahakuasa telah memberikan keajaiban kepadanya. “Mari, Yang Mulia, dan lihatlah sendiri! Ia duduk di tengah kandang dan dikelilingi oleh anjing-anjing peliharaan Tuan. Dan apa yang mereka
lakukan? Bukannya merobek-robek tubuhnya, mereka justru mengusap- usapnya dengan penuh kasih sayang dan menjilati wajahnya!

“Bukankah itu sebuah keajaiban? Bukankah itu sebuah pertanda dari Allah? Anjing-anjing ini bukanlah makhluk buas biasa – mereka lebih mirip iblis daripada anjing namun dengan kehadiran pria muda itu, mereka bagaikan anak-anak kucing yang senang bermain.” Sang Raja melompat dari singgasananya dan bergegas keluar dari ruangannya, melewati tanah lapang istana menuju kandang anjing.

Melihat keajaiban itu dengan mata kepalanya sendiri, sang Raja mulai terisak. Dan ketika para penjaga mengeluarkan pria muda itu dari kandang, sang Raja, yang masih terus terisak dengan keras, memeluknya dan memohon maaf.

Beberapa hari kemudian, sang Raja memerintahkan agar si pria muda itu dibawa ke ruangannya, agar mereka dapat berbicara secara pribadi. Sang Raja yang tidak memercayai keajaiban semacam itu me rasa penasaran terhadap apa yang sebenarnya telah terjadi di dalam kandang, dan mengapa si pria muda itu tidak diserang seperti orang-orang sebelumnya. “Katakan padaku, pria muda,” katanya, “Mengapa anjing- anjingku tidak membunuhmu? Apa rahasiamu?”
Begitu si pria muda itu menceritakan semuanya, mata sang Raja
terbeliak lebar dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tak per- caya.
Si pria muda menjawabnya, “Memang benar bahwa anjing-anjing Tuan telah menjadi teman-teman saya dan saya terselamatkan hanya ber- kat beberapa potong tulang dan daging. Saya menunjukkan kebaikan kepada mereka dan mereka membalasnya dengan menyelamatkan nyawa saya.”
“Tapi bagaimana dengan Anda, Yang Mulia? Saya telah melayani Anda dengan setia selama sepuluh tahun – sebagian besar dari hidup saya bahkan, dan Anda mengetahuinya dengan baik. Meskipun begitu Anda tak ragu untuk membiarkan saya mati oleh anjing-anjing Anda hanya karena kesalahan ringan saya yang membuat Anda tak senang.
“Hanya karena saya membuat Anda kesal selama beberapa saat, Anda mengeluarkan perintah agar saya dibunuh! Sekarang Anda katakan pada saya, siapa yang menjadi teman terbaik: Anda ataukah anjing- anjing buas dari neraka itu? Siapa yang layak menerima hormat saya: Yang Mulia ataukah iblis-iblis berbentuk anjing itu?”

Si pria muda itu berbicara dengan berani dan terus terang, namun sang Raja tidak menjadi marah, ia justru merendahkan hatinya. Sangatlah jelas bahwa seluruh kejadian itu merupakan sebuah ujian dari Allah untuk semua umat manusia, dan dari kisah tersebut ada sebuah pelajaran yang dapat dipetik.

Sang Raja memutuskan untuk tak lagi bertindak ceroboh dengan melemparkan orang-orang tak bersalah ke anjing-anjing buasnya; ia akan berusaha untuk menjinakkan anjing-anjing buas itu dengan jiwanya. Tapi kita telah melangkah terlalu jauh. Apa kaitan kisah itu dengan Majnun? Ia berbuat baik kepada hewan-hewan itu bukan karena ia takut kepada mereka, tapi karena kebaikan merupakan bagian dari dirinya; ia tak dapat menolak untuk memperlakukan mereka dengan penuh hormat dan kasih sayang.

Pada akhirnya, para hewan buas yang berkumpul di sekitarnya menyayanginya sebesar rasa sayangnya kepada mereka. Kesetiaan mereka kepadanya tak terpatahkan dan seperti yang akan kita saksikan nanti, mereka akan terus berada di sisinya hingga akhir. Apakah arti dari anekdot ini mudah untuk diterima? Apakah kalian semua memahami artinya, pembaca? Kisah di atas berarti bahwa jika kita mencontoh Majnun, kita takkan menderita oleh siksaan serta keseng- saraan dari dunia ini.

Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun

Senin, 20 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Dan Senja Berpulang - 20 - Lanjutan Novel Layla Majnun

20. Dan Senja Berpulang - Lanjutan Novel Layla Majnun

Tak ada yang lebih berarti daripada apa yang telah kau raih selama ini: 
seorang wanita hanya dapat mengenakan pakaian yang dimilikinya; 
seorang pria hanya dapat memanen hasil dari benih yang telah ia tanam. 
Jika kau berharap untuk meraih kebaikan dalam hidupmu, 
kau harus memulainya dari hari ini.

Dan ayah Majnun, si tua Sayyid– apakah yang telah terjadi kepada- nya selama ini?
Usia dan kesedihan telah membuat punggungnya bungkuk dan mengubah warna rambutnya menjadi putih. Ia bagaikan Nabi Yakub yang telah kehilangan putra kesayangannya Yusuf, namun keadaaannya jauh lebih buruk: Yakub masih memiliki beberapa putra lainnya yang dapat menghiburnya saat ia sedih, namun ayah Majnun hanya memiliki seorang putra dan dengan demikian ia ditakdirkan untuk menderita sendirian. Ia dapat melihat takdirnya dengan jelas, lebih gelap daripada kegelapan malam, sebuah malam tanpa akhir.

Dan hari-harinya sama gelapnya dengan malam-malamnya. Ia biasanya duduk di sudut tendanya, menanti adanya pertanda yang akan mengumumkan kedatangannya ke tempat peristirahatan terakhir. Ia tahu
bahwa sinyal itu akan datang tak lama lagi, karena ia telah melewati tiga papan penunjuk jalan yaitu Penderitaan, Kelemahan, serta Usia Tua.
Hanya ada satu tali yang mengikatnya di dunia dan tali itu adalah
Majnun. Si tua Sayyid tidak merasa takut akan kematian. Namun ia takut jika ia mati tanpa melihat putranya dan sinar matanya, hanya sekali saja sebelum ia pergi. Hanya sedikit yang dapat ditinggalkannya – kepemilikan duniawi tak berarti apa-apa baginya – namun ia sedih tatkala memikirkan bahwa apa yang dimilikinya akan menjadi milik orang asing daripada darah dagingnya sendiri.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Majnun dan berbicara kepadanya untuk terakhir kalinya. Mungkin saja ia dapat membuat putra- nya mengerti; mungkin saja ia dapat membujuknya untuk melepaskan jiwanya dari gurun pasir, untuk menyelamatkan hatinya dari obsesinya.
Harapannya untuk bertemu dengan Majnun sekali lagi menjadi tempat bergantung hidupnya yang rapuh; putranya bagaikan tali yang mengikatnya pada dunia ini. Dan begitulah, dengan tongkat di tangan dan didampingi dua pria muda dari sukunya, ia berkelana mencari putranya. Ia merasa yakin bahwa atas bimbingan Allah, ia akan mencapai tujuannya.

Perjalanan itu sangatlah menyiksa, bahkan bagi pria-pria muda yang mendampinginya. Mereka menyeberangi dataran luas yang terba- kar oleh panasnya sinar matahari. Mereka melewati pegunungan terisolir yang puncaknya berapi. Mereka digigiti oleh nyamuk dan hewan-hewan kecil yang berkeliaran di gurun, dan kaki-kaki mereka lecet-lecet karena pasir yang membakar. Mereka berkelana dari oase ke oase, beristirahat semalaman dan bertanya kepada setiap orang yang lewat tentang kabar keberadaan Majnun.

Setelah beberapa minggu, tampaknya mereka takkan pernah mencapai tujuan. Namun akhirnya, saat si tua Sayyid merasa khawatir bahwa ia akan meninggal karena hawa panas dan debu dan juga keputus- asaan karena tak tercapainya tujuan mereka, mereka bertemu dengan seorang Bedouin tua yang mengetahui kabar Majnun.
“Kalian sedang mencari Majnun?” tanyanya dengan mata terbelalak lebar. “Berarti aku dapat membantu, karena aku tahu di mana ia berada! Ia bersembunyi di sebuah gua kecil terpencil yang mirip dengan lubang api neraka. Aku tak menyarankan kalian ke sana – kecuali jika kalian tak takut kematian!”

Para pendamping si tua Sayyid memohon agar mereka kembali pulang saja, namun Sayyid menolak permintaan mereka. Dan berangkatlah mereka; kali ini menuju arah yang diberikan oleh sang Bedouin, dan setelah melakukan perjalanan selama sehari penuh, mereka akhirnya tiba sampai tujuan.

Tempat itu begitu terisolir, begitu suram, sehingga membuat para pencarinya menangis. Dan ketika mereka menemukan Majnun – setidaknya makhluk yang mereka anggap sebagai Majnun – tangisan mereka semakin keras. Si tua Sayyid tak mengenalinya sebagai manusia, apalagi sebagai darah dagingnya sendiri. Majnun tak lebih dari beberapa tulang belulang yang kurus, yang disatukan oleh kain-kain kotor dan compang-camping. Ia merangkak bagaikan hewan buas, bagaikan roh mengerikan dari neraka yang bangkit dari waktu ke waktu untuk menghantui manusia. Rambutnya kusut, kulitnya berlumur debu, ia menggeliat di atas pasir bagaikan ular yang berada di ujung kematian. Pemandangan itu menggetarkan hati siapapun yang melihatnya, bahkan mereka-mereka yang berhati keras sekalipun.

Dibanjiri oleh rasa cinta dan iba, oleh keharuan serta penderitaan, si tua Sayyid terjatuh dan mendekap putranya di dadanya. Dengan halus, ia membelai wajah putranya, membersihkan debu dan kotoran dari wajah putranya dengan airmatanya sendiri. Majnun memandang ke arah ayahnya, namun ia tak melihatnya. Siapakah pria tua ini dan untuk siapakah ia menangis? Ia menatap wajah ayahnya dalam-dalam, namun ia tak mengenalinya. Bagaimana mungkin ia dapat mengenali ayahnya jika ia tak bisa mengenali dirinya sendiri? Ia menatap mata pria tua itu dan berkata, “Siapakah Anda? Dari mana asal Anda? Apa yang Anda inginkan dari saya?”

“Aku telah mencarimu selama ini, putraku,” sahut si tua Sayyid. Ketika Majnun mendengar suara ayahnya, akhirnya ia mengenali siapa sosok asing yang berada di hadapannya. Ia bergerak maju dan menjatuhkan dirinya di kedua tangan pria tua itu dan mulai menangis tak terkontrol. Si tua Sayyid mencium pipi putranya dan menekannya begitu keras ke dadanya hingga jantungnya nyaris meledak. Selama beberapa menit yang penuh airmata, mereka saling berpelukan.

Ketika mereka telah mendapatkan ketenangan kembali, si tua Sayyid mengambil jubah sutera terhalus dari tasnya, sepasang sepatu kulit dan sorban seputih damas. Baginya tidaklah pantas bagi putranya untuk berjalan kesana kemari bagaikan mayat hidup, bagaikan mayat yang dibangkitkan kembali saat hari kiamat dalam keadaan telanjang. Ia jelas harus melakukan sesuatu. Majnun sama sekali tak peduli dengan pakaiannya, namun demi menghormati ayahnya, ia mengenakan pakaian tersebut.

Lalu si tua Sayyid mendudukkan putranya dan mulai berbicara dengannya dengan tegas namun halus.
“Putraku tersayang!” katanya, “Tempat apa yang kau jadikan sebagai tempat tinggalmu ini? Apakah kau benar-benar telah memilih neraka ini sebagai tempat persembunyianmu? Beginikah caramu meminta sang takdir untuk menghabisimu, untuk menyerahkan tubuhmu kepada hewan buas saat kau telah mati sehingga mereka dapat memilih-milih tulang belulangmu dan menikmati dagingmu?
“Kumohon kepadamu, ayo keluar dari tempat ini selagi masih ada waktu. Bahkan anjing-anjing kota pun memiliki kehidupan yang lebih baik darimu.
“Kau telah datang dari jauh hanya untuk mendapatkan sesuatu yang sangat kecil, benarkah demikian? Percayalah, tindakanmu melarikan diri itu takkan menyelesaikan apapun; teruslah berlari hingga di hari kau mati dan kau tetap takkan menemukan apapun. Apa gunanya semua penderitaan ini? Apa gunanya? Takkan membantu siapapun bukan? Apa- kah kau benar-benar ingin menghancurkan dirimu?”
“Kau harus mencoba untuk mengatasi rasa sakitmu; jika tidak, ia akan menghabisimu. Kesedihan itu akan menelanmu bulat-bulat, karena kau hanyalah manusia biasa.

“Sudah terlalu lama kau memberontak. Cukup sudah semuanya! Kau harus menerima segala sesuatunya sebagaimana mestinya: dunia takkan berubah karena keinginanmu, terutama jika kau memalingkan dirimu darinya. Untuk apa kau hidup di alam liar ini bersama dengan hewan- hewan buas? Untuk apa kau bersembunyi di gua kotor ini? Kau bagaikan iblis penyair yang memakan kesedihannya sendiri.

“Cobalah untuk mengalihkan perhatianmu dari semua ini; coba
pikirkan hal lain, sesuatu yang sepele dan tak berisiko apapun. Tertawalah, bersenda guraulah, dan berbahagialah. Ya, memang awalnya terasa palsu tapi tak butuh waktu lama dan tawa itu akan menjadi nyata! Berlakulah sesuka hatimu, biarkan hatimu menikmati kenikmatan dunia.
“Dan mengapa tidak? Begitulah kehidupan. Kehidupan menghem- buskan napas panas dan dingin dan kau harus belajar untuk menerimanya. Entah janji-janji kehidupan itu nyata atau tidak, tapi kau harus belajar untuk bisa menikmati setiap momennya begitu ia datang. Kau harus meraih hari ini, karena kau tak dapat mempercayai esok hari. Nikmati apa yang kau miliki hari ini! Nikmatilah hasil dari benih yang telah kau sebarkan! Karena hari ini adalah harimu, esok hari adalah milik kematian, dan hanya milik kematian semata.
“Tak ada yang lebih berarti daripada apa yang telah kau raih selama ini: seorang wanita hanya dapat mengenakan pakaian yang dimiliki- nya; seorang pria hanya dapat memanen hasil dari benih yang telah ia ta- nam. Jika kau berharap untuk meraih kebaikan dalam hidupmu, kau harus memulainya dari hari ini.
“Kau harus memperlakukan hidup seolah hari ini adalah hari per-
tamamu sekaligus hari terakhirmu. Berlakulah seolah kematian sedang mengetuk pintumu saat ini; dan jika memang kematian itu tiba, kau tak- kan merasa takut lagi. Karena hanya mereka-mereka yang telah ‘mati’ sebelum mereka benar-benar matilah yang berharap dapat melarikan diri dari kematian.”
Pria tua itu menghapus airmata yang menetes di pipi putranya
dan melanjutkan, “Segala kesedihan pasti akan hilang pada akhirnya;
akhirilah kesedihanmu sekarang juga. Ikutlah pulang denganku. Apakah

kau hantu atau iblis? Ataukah kau manusia? Jika kau merasa dirimu manu- sia, maka kau harus hidup selayaknya manusia.”
“O, Putraku! Jadilah teman hidupku sekali lagi, untuk hidupku
yang tinggal sejengkal lagi. Hari-hariku akan segera usai; bagiku, malam telah menjelang. Jika kau tak ikut denganku hari ini, maka esok hari kau takkan berjumpa lagi denganku. Aku harus pergi, dan kau harus menge- nakan mantel kekuasaanku dan menggantikan posisiku. Tak lama lagi, kesengsaraanku akan berakhir dan aku akan mendapatkan kedamaian, jika Allah mengizinkan.
“Matahari dalam hidupku tenggelam dengan begitu cepatnya, ditutupi oleh debu-debu di hari yang teramat panjang. Kegelapan ini men- jadi pertanda, angin malam sedang menanti saatnya untuk membawa jiwaku pergi. Ayolah, Putraku, selagi kita punya waktu untuk saling ber- bagi. Ikutlah denganku dan gantikan posisiku, karena tempat itu hanya layak menjadi milikmu.”
Awalnya, Majnun menuruti keinginan ayahnya: selama beberapa hari ia beristirahat, makan dan minum, ia mengenakan pakaian yang layak seperti orang-orang lainnya, ia meninggalkan ode serta sonetanya, dan ia mendengarkan ucapan-ucapan ayahnya tentang begitu dekatnya mere- ka untuk kembali ke peradaban dengan penuh perhatian.
Namun semuanya hanyalah kebohongan sedari awal hingga akhir.
Majnun sangat ingin membahagiakan ayahnya sehingga ia bersedia melaku- kan apa saja. Namun pada akhirnya, rasa malu karena kebohongannya membanjirinya. Ia menatap ayahnya dan berkata, “Ayah adalah hembus- an napas yang memberikan kehidupan pada jiwaku, dan masih terus memberikan kehidupan kepadaku. Aku adalah pelayan ayah, siap untuk me- matuhi setiap perintah ayah. Namun hanya ada satu hal yang tak dapat kulakukan. Aku tak dapat mengubah apa yang telah digariskan oleh takdir. “Ayahku tersayang, Ayah bagaikan mata uang yang dicetak dengan
tinta kebijaksanaan; sementara mata uangku dicetak oleh tinta cinta! Bahasa ayah adalah bahasa yang penuh logika, sementara bahasaku adalah ceracau seorang pria yang gila karena hasrat! Begitulah adanya; dan hal itu tak dapat diubah.”

“Tak dapatkah Ayah melihat bahwa aku telah melupakan masa laluku? Halaman demi halaman kenanganku telah kosong, kata demi kata yang tertera telah dihapuskan. Aku bukan lagi aku yang dulu. Jika Ayah memintaku untuk bercerita tentang apa yang telah terjadi, aku tak bisa menceritakannya karena aku sudah tak ingat lagi. Yang kutahu hanyalah bahwa Ayah adalah ayahku, dan aku adalah putra ayah. Aku bahkan tak ingat nama ayah…….”
Kata-katanya memudar dan untuk beberapa saat ia hilang dalam pikirannya. Kini, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia paham betul apa yang telah digariskan takdir kepadanya. Ia melanjutkan, “Memang benar, Ayahku tersayang, Ayah adalah sosok asing bagiku, tapi jangan bersedih atau terkejut dengan kenyataan ini. Karena bagi diriku sendiri, aku adalah sosok asing: aku tak lagi mengenal diriku. Aku terus bertanya kepada diriku sendiri, ‘Siapa kau? Siapa namamu? Apakah kau sedang jatuh cinta, dan jika benar demikian, dengan siapa kau jatuh cinta? Apakah kau dicintai, jika benar, oleh siapa?’ Api menyala dalam jiwaku, api yang begitu panas sehingga membakar habis keberadaanku dan menjadikannya abu. Dan kini aku tersesat di alam liar ini atas keinginanku sendiri.”

“Tidakkah Ayah lihat bahwa aku telah menjadi liar seperti sekelilingku, sebuas makhluk buas yang Ayah lihat di sini? Bagaimana mungkin aku dapat kembali ke dunia nyata? Aku bagaikan makhluk asing bagi mereka, dan dunia mereka sangat asing bagiku. Jangan paksa aku untuk kembali, ayah, karena hal itu takkan ada gunanya.Aku hanya akan men- jadi beban bagimu dan bahaya bagi lainnya. Di sinilah tempatku, aku tak membahayakan siapa pun di tempat ini.
“Andai saja Ayah dapat melupakan keberadaanku! Andai saja Ayah dapat menghapusku dari kenangan Ayah dan melupakan bahwa Ayah pernah memiliki seorang putra! Andai saja Ayah bisa menguburku di sini dan berpikir: ‘Di sini terbaring seorang pria bodoh yang malang, si pemabuk yang dirasuki oleh iblis yang telah mendapatkan benih yang telah disemainya dan menerima apa yang pantas diterimanya.
“Ayahku tersayang, Ayah berkata bahwa matahari Ayah akan ter- benam dan Ayah akan segera pergi, dan karena itulah Ayah datang untuk

mengajakku kembali. Tapi matahariku juga akan segera terbenam, karena aku telah dibawa menuju kematian dan kenyataan itu sudah tak dapat ditawar-tawar lagi; bahkan bisa dikatakan jika kematian itu berada dalam diriku sendiri, memakanku dari dalam. Jika segalanya sudah terlambat, maka sudah terlambat bagi kita berdua. Siapa yang tahu, mungkin keper- gianku justru mendahului Ayah. Bagian dalamku telah mati dan aku telah membunuh Ayah dengan kesedihan. Jadi jangan biarkan yang mati mena- ngisi yang mati.”
Melalui kata-kata itu, si tua Sayyid memahami dengan jelas bahwa
Majnun bukan lagi miliknya. Si bodoh yang gila ini adalah tawanan yang terperangkap dalam benteng cinta yang gelap, begitu kuat ikatannya se- hingga tak ada yang dapat membebaskannya.
Si pria tua itu menggenggam tangan Majnun dan berkata, “Putraku
tersayang! Kau memakan dirimu sendiri dalam kesedihanmu dan kesedihan itu memakan darahmu. Apa yang harus kulakukan denganmu? Kau adalah rasa sakitku – namun kau juga adalah kebanggaanku. Sangatlah jelas bahwa tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk membujukmu kembali pulang denganku. Karena itu aku akan pergi; aku akan meninggalkanmu dan kem- bali pulang, lalu aku akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
“Genggamlah tanganku erat-erat, Putraku! Lihatlah bagaimana airmata menetes dan mengalir menjadi sungai. Airmata ini akan mem- bersihkanku sehingga aku akan memulai perjalanan dalam keadaan segar. Pegang aku erat-erat, sayangku! Menit-menit terakhir bersamamu ini bagaikan persediaan makanan yang cukup untuk perjalananku. Aku telah mengepak barang-barangku dan telah siap untuk berangkat. Bergerak, bergerak – selama hidupnya manusia harus bergerak! Dan begitulah se- harusnya.”
“Selamat tinggal, Putraku! Takkan pernah lagi mataku melihatmu di dunia ini. Selamat tinggal! Kapal yang menungguku telah bersiap-siap untuk berlayar dan takkan pernah kembali lagi. Sungguh aneh, aku merasa bahwa jiwaku telah terbebas! Selamat tinggal, Putraku tercinta! Takkan pernah lagi kita bertemu di dunia ini!”

Majnun memperhatikan begitu Sayyid dan dua teman seperjalan- annya bergerak melintasi pasir. Ia tahu bahwa ayahnya telah berbicara dengan jujur bahwa mereka takkan pernah bertemu lagi – setidaknya bukan di dunia ini. Benar adanya, dua hari setelah tiba di kediamannya, pria tua itu meninggal dunia, jiwa serta rohnya akhirnya terbebas.
Setiap jiwa bagaikan kilatan cahaya, tercipta untuk bersinar se- saat sebelum akhirnya menghilang untuk selamanya. Dalam alam semesta ini, segala sesuatunya ditakdirkan untuk mati, tak ada yang tercipta untuk berlangsung selamanya. Namun jika kau ‘mati’ sebelum kau benar-benar mati, saat kau palingkan wajahmu dari dunia yang wajahnya bak dewa Janus, kau akan menerima penyelamatan tertinggi dari kehidupan abadi. Segalanya tergantung kepadamu: kau adalah takdirmu sendiri, dan apapun takdir itu atau akan seperti apa nantinya, ia berada dalam dirimu. Dan pada akhirnya, yang baik akan berkumpul dengan sesamanya, dan yang buruk juga akan berkumpul dengan kaumnya. Rahasiamu akan diumumkan dari puncak gunung dan ketika gema itu kembali, kau menyadari bahwa itu adalah suaramu sendiri…….

Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun

Minggu, 19 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sajak Cinta yang Sia-sia - 19 - Novel Layla Majnun

19. Sajak Cinta yang Sia-sia  - Novel Layla Majnun

Bahkan sajak-sajak yang didendangkan dari bibirnya seolah sia-sia saja. 
Apalah artinya sajak-sajak itu, jika untuk siapa ditujukannya 
sajak itu takkan pernah mendengarnya.


Majnun sama sekali tak mengetahui tentang pernikahan Layla dengan Ibn Salam; bahkan hingga satu tahun berlalu, ia tak juga berubah. Cinta telah mengubahnya menjadi pengembara buta dan mabuk, terhu- yung-huyung dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa tahu tujuan. Kesedihan telah membuat tubuhnya kurus dan pucat, dan keadaannya bertambah buruk dengan berlalunya waktu. Namun bagi penyakit yang dideritanya –penyakit cinta– tak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Di suatu sore, seseorang melihatnya berbaring, kelelahan seperti biasanya, di bawah semak berduri yang menjalar bergelantungan. Majnun tak melihat datangnya seorang pengendara mendekatinya, ataupun bunyi derap unta, hingga sang pengendara itu berada sangat dekat dengannya. Sang pengendara, seorang pria berkulit kehitaman yang mengenakan jubah hitam, turun dari untanya dan berdiri di atas Majnun bagaikan iblis hitam mengerikan. Suaranya sama menakutkannya dengan penampilannya. Ia menendang Majnun di bagian tulang kering dan berkata:

“Hei, kau! Pemujaanmu telah menjauhkanmu dari dunia dan membiarkanmu tak sadar dengan apa yang sedang terjadi. Tapi izinkan aku mengatakan kepadamu: sia-sia saja kau mendedikasikan hatimu untuk Layla. Kau makhluk bodoh! Apakah kau benar-benar berharap ia akan tetap setia kepadamu? Apakah kau pikir ia akan menunggumu? Apakah kau masih tetap mengharapkan datangnya sinar, sementara yang ada hanyalah kegelapan?

“Betapa tololnya dirimu! Lentera ketidak bersalahan yang bersinar serta cinta yang kau harapkan dari jauh hanyalah sebuah ilusi, sebuah muslihat. Cintanya untukmu hanya ada dalam imajinasimu; baginya kau tak berarti apa-apa!”

Majnun membuka mulutnya hendak berbicara namun si pengendara asing itu memotongnya, dan berbicara dengan suara lebih keras dan kasar kali ini.
“Kau sungguh makhluk bodoh dan malang, dan kau telah tersesat! Tidakkah kau menyadari bahwa ia telah membohongimu? Kau telah menyerahkan hatimu kepadanya dan ia telah menyerahkan hatinya kepada pihak musuh!”

“Ia telah melupakanmu, Majnun, dan ia telah membiarkan kenangannya bersamamu terbang terbawa angin. Ia telah menikah dengan pria lain – sebuah pernikahan yang dengan senang hati diterimanya. Kini pikirannya hanya tertuju pada suaminya, untuk ciumannya, untuk permainan cintanya, kehangatan pelukannya, kekuatan tubuhnya dan keindahan hartanya yang tersembunyi!”

“Ia telah hilang selamanya dan larut dalam pikiran-pikiran menyenangkan tentang suaminya sementara kau terperangkap dalam kesedihan serta penderitaanmu. Apakah hal itu benar? Apakah itu adil?
“Lihatlah betapa luasnya jurang pemisah antara kau dan dirinya, pikirkanlah: untuk apa kau masih menyayanginya sementara kenyataannya telah jelas bahwa ia sudah tak lagi menyayangimu?” Majnun merasa seolah ada seribu ular yang menancapkan taring mereka di dalam jiwanya. Ia membuka mulutnya untuk menjerit dan memohon belas kasih, namun si iblis hitam itu terus melanjutkan ucapannya.

“Wanita tetaplah wanita, Majnun! Apakah kau berharap ia berbeda dari lainnya? Mereka semua sama saja, tidak tetap pendirian, tak dapat ditebak serta berwajah dua. Ia sama saja seperti wanita- wanita lainnya, dan wanita-wanita lainnya sama saja sepertinya.”

“Kemarin, kau menjadi sesosok pahlawan di matanya; hari ini kau adalah iblis yang menyamar sebagai manusia! Kemarin, kau adalah segalanya baginya; hari ini kau tak berarti sama sekali! Memang benar bahwa wanita memiliki hasrat seperti kita, namun hasrat mereka hanya digerakkan oleh kepentingan pribadi semata: ada kemunafikan serta kebohongan dalam apapun yang mereka lakukan.”

“Memalukan sekali caramu mempercayainya sedari awal!
Apakah pria dapat mempercayai wanita? Jika kita mempercayai wanita maka ia akan membalas kepercayaanmu dengan siksaan. Dan kau pasti akan menyalahkan dirimu sendiri!”
“Mengapa demikian? Karena seorang pria yang mempercayai
seorang wanita patut disiksa; seorang pria yang mempercayai seorang wanita dan meyakini bahwa wanita itu akan setia kepadanya adalah pria bodoh dan dengan demikian ia patut menerima siksaan!”
“Lagipula, apalah artinya wanita? Seorang wanita tak lebih
dari jamban penuh kepalsuan dan kesombongan, kekejaman serta kebohongan.
“Memang benar, pada sampul luarnya wanita tampak bagaikan tempat berlindung yang menjanjikan ketenangan; meskipun begitu, galilah lebih dalam, dan yang akan kau dapatkan hanyalah gelombang masalah serta kekacauan. Sebagai musuhmu, ia merusak seluruh dunia dan mem- buatnya menentangmu; sebagai temanmu, ia merusak jiwamu. Jika kau berkata ‘Lakukan ini!’, bisa dipastikan bahwa ia takkan melakukannya; jika kau katakan ‘Jangan lakukan ini!’, bisa dipastikan ia akan pergi ke ujung dunia dan melakukannya! Saat kau menderita, ia akan bahagia; ketika kau bahagia, ia akan berada di neraka. Begitulah kaum wanita, temanku, dan kau harus mengingatnya.”

Begitu ucapan sang pengendara hitam itu selesai, sebuah erangan putus asa keluar dari kedalaman jiwa Majnun. Ia terjatuh ke belakang dan saat itu kepalanya menghantam sebuah batu dengan begitu kerasnya hingga darah keluar dengan deras bagaikan air mancur dan mengubah warna pasir di bawahnya menjadi merah. Ia berbaring di sana tak sadarkan diri, bibirnya masih terbuka seakan menjeritkan sesuatu yang tak terdengar oleh siapapun.

Sang pengendara, yang entah sebenarnya manusia atau jin, merasa iba terhadap Majnun. Mungkin ia merasa malu dengan pengaruh ucapannya kepada si orang gila itu, ia membungkuk di sebelah tubuh yang meringkuk hingga Majnun kembali sadar.

Lalu dengan suara yang lebih halus dari sebelumnya, ia memohon ampunan Majnun, “Tolong dengarkan aku, kumohon! Setiap kata yang kuucapkan kepadamu adalah kebohongan. Ini semua adalah lelucon yang menyedihkan, tak lebih dari itu. Layla tak pernah membohongimu ataupun mengkhianatimu. Dan yang pasti ia tak pernah melupakanmu. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu?”

“Dan tentang suaminya, ya, statusnya memang sebagai suami: mereka telah menikah selama setahun dan tak pernah sekalipun ia mengizinkan suaminya mendekatinya.”

“Ya, ia memang menikah dengan pria itu, namun kesetiaannya
hanyalah untukmu seorang. Ia telah mengurung dirinya dalam tendanya dan di sanalah ia menderita, berusaha untuk merawat hatinya yang hancur karena sangat mendambakanmu. Baginya tak ada pria lain di dunia ini, dan tak ada detik yang terlewat tanpa memikirkanmu dan cintamu untuk-
nya.”
“Bagaimana mungkin ia dapat melupakanmu? Bahkan jika kalian dipisahkan oleh seribu tahun, ia tetap takkan melupakanmu!”
Majnun mendengarkan perkataan si pengendara asing itu dengan perhatian penuh. Tapi apakah ia mengatakan yang sebenarnya? Kata-kata itulah yang ingin didengarnya, tapi apakah kata-kata itu diucapkan dengan tulus? Meskipun begitu, kata-kata itu menyembuhkan hatinya yang sakit!

Ia mulai terisak dan, duduk di atas pasir dengan airmata menetes di pipinya, ia tampak bagaikan bocah yang kehilangan arah, bagaikan se- ekor burung kecil yang sayapnya telah patah oleh hantaman kayu dan batu. Ia tak tahu harus ke mana dan harus berbuat apa. Bahkan sajak-sajak yang didendangkan dari bibirnya seolah sia-sia saja. Apalah artinya sajak- sajak itu, pikirnya, jika untuk siapa ditujukannya sajak itu takkan pernah mendengarnya.

Majnun menyeret dirinya bagaikan hewan yang terluka. Kesedihan telah membuat tubuhnya kurus; nyaris tak ada hawa kehidupan dalam tubuhnya. Satu-satunya yang ada dalam pikirannya hanyalah Layla; wajah Laylalah yang dilihatnya setiap kali ia memejamkan matanya, dan bayangan- nyalah yang terus ada setiap ia membuka matanya kembali.

Ia mendamba untuk berbicara dengannya, tapi bagaimana caranya? Menyadari bahwa ia takkan pernah dapat mendendangkan sajak- sajaknya di hadapan Layla, maka ia meminta angin untuk menyampaikan kepada kekasihnya. Saat ia menyanyikan lagu-lagu cinta, angin membawa kata-katanya pergi……..namun tanpa ada balasan.

Anggur cinta yang tak berbalas sama pahitnya seperti wormwood, namun begitu besarnya hasrat Majnun hingga ia tak sanggup menolak untuk meminumnya. Begitu ia meminumnya, sajak-sajaknya pun tak ber- henti mengalir:

Kau adalah penyebab kematianku saat aku masih hidup, Hasratku untukmu bertumbuh, dan aku memaafkanmu.
Kau adalah sang mentari sementara aku adalah sang bintang di tengah malam:
Kau muncul untuk mempermalukan sinarku.
Sorot matamu membuat setiap nyala lilin cemburu;
Mawar-mawar berkembang dan bermekaran atas namamu. Berpisah darimu? Takkan pernah!
Kuakui cinta dan kesetiaanku hingga mati;
Aku akan tetap menjadi sasaran bagi seranganmu dan menderita siksaan: Saat ku mati, darahku yang mengalir akan menjadi milikmu.

Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun
Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Mengubah Jiwa Menjadi Nisan - 18 - Layla Majnun

18. Mengubah Jiwa Menjadi Nisan - Lanjutan kisah novel Layla Majnun

Ketika setiap kali keserasian itu terusik, kematian akan bergerak perlahan…
Dan betapa pun usahanya untuk menunjukkan kebahagiaan di wajahnya, 
tak dapat dipungkiri bahwa kematian telah muncul di hati Layla 
dan kini menanti tiba saatnya untuk mengubah jiwanya menjadi sebuah nisan

Ayahnyalah yang memberitahu Layla tentang kemenangan Nowfal. Ia berlari menuju tenda putrinya, jubahnya penuh dengan darah dan sorbannya miring. Ia kelelahan, tentu saja, meskipun begitu ada rasa kemenangan dalam suaranya. Layla mengobati luka-luka serta lebam-lebam di tubuh ayahnya sementara sang ayah menceritakannya apa yang terjadi. Si pria tua itu menepuk pahanya dan dengan bangganya berkata, “Benar-benar pukulan telak! Sungguh brilian! Aku telah melakukan sesuatu yang tak mungkin: aku telah menjinakkan makhluk buas yang bernama Nowfal ini dengan lidahku; beberapa menit setelah kemenangan yang telah diraihnya atas suku kita, kutunjukkan kepadanya siapa pemenang sesungguhnya! Dan kini aku telah terbebas dari bencana, dan semua hanya dalam satu helaan napas!”

“Dan tentang si maniak itu, si iblis gila Majnun – jika saja ia memaksa dirinya, seperti yang telah ia coba lakukan, pasti ia akan merusak semuanya. Tak perlu dikhawatirkan lagi. Meskipun Nowfal telah memenangkan pertempuran dengan adil – tentu saja, karena ia berperang dengan bersungguh-sungguh atas nama Allah – berkat kemahiranku berunding, ia telah pergi dan kita selamat.”

Layla mendengarkan, sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya, namun hatinya hancur. Ia merasa bahwa tak lama lagi ia akan mati karena rasa sedihnya yang teramat besar, tapi tentu saja ia tak dapat mengungkapkan perasaannya.

Sepanjang hari ia merana dalam diam, berpura-pura tersenyum dan tertawa, berusaha menanggapi jika diajak bicara, namun kala malam tiba ia segera berbaring di atas tempat tidurnya dan menangis hingga airmatanya tak lagi dapat keluar. Di saat itulah ia merasa aman dari mata- mata yang mengintainya.

Kediaman orangtuanya telah menjadi penjara baginya; tidak, lebih tepatnya makam, karena ia merasa dirinya telah mati. Ia menjaga rahasia cintanya bagaikan seorang penjaga yang bertugas untuk menjaga harta berharga, namun kerahasiaan itu ada harganya. Kenyataan bahwa tak ada seorang pun yang dapat ia percaya membuatnya merasa bak seekor burung yang terjebak dalam perangkap: ia merasa lelah akan penderitaannya dan mendambakan kebebasan, walaupun jika kebebasan itu berarti kematian.

Dan sementara ia menderita dalam keterdiaman, ia menunggu dan mendengarkan bunyi hembusan angin, berharap bahwa hembusan angin itu akan menyampaikan pesan kekasihnya.
Sementara itu, soneta serta ode karya Majnun yang memuji Layla dan kecantikannya telah tersebar ke seluruh pelosok Arab; sajak-sajak itu membuat Layla terkenal hingga membuat para pria-pria datang hendak meminangnya. Beberapa dari mereka menawarkan kebun serta hewan ternak, sementara yang lainnya menawarkan emas dan perak. Mereka semua merasa mabuk akan kecantikannya sehingga mereka berusaha untuk mengatur strategi serta muslihat demi mencapai tujuan.
Namun betapapun hebatnya mereka dalam hal membujuk, usaha mereka percuma saja: seluas apapun tanah, sebanyak apapun hewan ternak serta emas dan perak yang ditawarkan tak mampu meyakinkan hati ayah Layla.

Baginya, Layla adalah sebuah berlian yang teramat berharga yang harus dijaga dengan kelembutan dan cinta kasih; baginya, ia adalah peti yang penuh berisi permata, dan kunci dari peti itu tak bisa diberikan dengan mudah kepada siapa pun. Layla merasa tersentuh oleh kasih sayang ayahnya dan menunjukkan rasa terima kasihnya dengan senyuman dan perhatian. Namun sesungguhnya senyuman yang disunggingkan di bibirnya itu palsu, karena di balik senyumnya, ia menangis; senyumannya bagaikan senyuman bunga mawar yang menyembunyikan duri-durinya.

Berita tentang datang dan perginya para peminang Layla sampai juga di telinga Ibn Salam, yang merasa marah dengan kenyataan bahwa ada begitu banyak tangan-tangan kotor yang berusaha untuk meraih permata yang dijanjikan akan menjadi miliknya. Kesabarannya diuji dan hasratnya membara, ia tak lagi dapat menghadapinya. Dengan segera ia menyiapkan sebuah karavan dengan muatan yang layak dimiliki oleh seorang sultan: lima-puluh ekor keledai, masing-masing membawa bahan pem- buat ornamen dan wewangian berbagai aroma serta daging yang cukup untuk memberi makan satu pasukan. Unta-untanya, yang nyaris tak terlihat dibalik muatan yang penuh berisi kain indah, tampak bagaikan pegu- nungan kain sutra dan brokat yang bergerak. Ibn Salam sendiri mengena- kan pakaian bak raja, dan karavan itu bergerak dari satu oase ke oase lain- nya, dan memberikan emas kepada setiap orang yang ditemuinya.

Ia beserta rombongan mendirikan perkemahan di dekat perkemahan Layla dan sukunya, dan ia mengizinkan rombongannya untuk beristirahat sebelum mengirimkan seorang mediator untuk menghadap keluarga Layla. Mediator ini adalah seorang pria yang memiliki kemampuan hebat dalam hal berbicara, sangat mahir dalam menggunakan kata-kata.

Ia dapat merajut mantera dengan kata-kata; begitu efektifnya ucapannya hingga ia dapat melelehkan hati yang sedingin es; begitu hebatnya kemampuannya hingga ia dapat membangkitkan mereka-mereka yang telah mati hanya dengan kekuatan logika serta argumennya.

Ketetapan hati mediator Ibn Salam sangatlah sulit untuk dapat ditolak; yang lebih sulit untuk ditolak lagi adalah hadiah yang begitu banyak yang telah dibawa oleh Ibn

Salam. Bumbu-bumbu dari India, karpet dari Persia, kain brokat dari Cina, wewangian dari Byzantium – tak diragukan lagi bahwa setiap hadiah didesain untuk memuluskan permintaan Ibn Salam dan untuk membantu membuka gembok yang telah terbuka sete- ngahnya, berkat kemahiran sang mediator dalam berbicara.

Si mediator mulai menebarkan pesonanya kepada ayah Layla: “Ibn Salam bukanlah pria biasa. Ia bagaikan singa, kebanggaan bagi selu- ruh penjuru Arab! Kekuatannya sebanding dengan sepuluh orang terkuat jika digabungkan dan ia adalah tulang punggung bagi pasukan mana pun.” “Tapi ia bukan saja ulung saat memegang pedang, karena kemana pun ia pergi, ia selalu dituruti. Ke mana pun ia melangkah, kemashyurannya mendahuluinya. Kemuliaannya tak perlu dipertanyakan lagi, kehormatan serta integritasnya tanpa cacat sedikit pun. Kemarahannya tak ada bandingannya: jika memang harus ia akan menumpahkan darah seolah hanya air semata. Kemurahan hatinya telah melegenda: jika perlu, ia akan menebarkan emas seolah hanyalah butiran pasir semata.”

“Apakah ada alasan untuk menolak pria yang sehebat itu sebagai menantu Anda? Jika Anda membutuhkan orang-orang yang dapat dipercaya, maka ia akan mencarikannya untuk

Anda. Jika Anda membutuhkan perlindungan, maka ia akan mengabulkannya untuk Anda.”

Bagaikan hujan di musim semi, ucapan sang mediator mengguyur ayah Layla, nyaris tak memberikan kesempatan untuk menyahut. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus diucapkannya?
Bukankah ia telah menjanjikan putrinya kepada Ibn Salam? Segalanya terjadi terlalu cepat dan ia lebih memilih untuk menunggu sedikit lebih lama, namun faktanya tetaplah sama, ia telah membuat janji yang tak dapat diingkari. Ia mencari-cari alasan atau jalan keluar namun tak dapat ia temukan. Ia bagaikan seorang pria yang tiba-tiba saja dikejutkan oleh sang musuh, berusaha keras mencari persenjataan terdekat untuk membela dirinya, namun tak ia temukan satu pun.

Dan sekian lamanya ia digerakkan semakin jauh dan semakin jauh oleh kehebatan lawannya dalam berbicara. Pada akhirnya, ia menyerah dan sebuah tanggal pun ditetapkan untuk hari penikahan.
Ketika hari pernikahan tiba, matahari menjatuhkan sinarnya di atas wajah malam, seperti seseorang yang menjatuhkan kerudung ke wajah sang pengantin wanita. Ayah Layla bangun lebih pagi, antusias untuk menyiapkan pernikahan; di siang harinya, segalanya telah siap.

Ibn Salam, rombongannya serta para tamu dituntun menuju sebuah paviliun yang telah didirikan khusus untuk merayakan pernikah- an itu. Menurut tradisi yang berlaku,

para tamu duduk bersama, menga- gumi hadiah-hadiah yang diterima oleh sang pengantin wanita, melempar- lemparkan emas dan perak ke udara, menikmati makanan lezat dan saling menjalin hubungan pertemanan. Gelak tawa memenuhi udara dan semua- nya merasa damai.

Tapi bagaimana dengan Layla? Ia duduk di ruang pengantin, dikelilingi oleh wanita-wanita yang ramai berbicara dan anak-anak yang merengek-rengek.
Para wanita telah menghiasi dinding ruangan itu dengan kain sutera dan permadani, kini mereka mulai membakar wewangian di mang- kuk-mangkuk kuningan. Aroma manisnya memenuhi ruangan. Begitu sema- ngatnya mereka dalam persiapan itu sehingga mereka tak memperhati- kan airmata Layla.

Di antara semua orang yang sedang bergembira dan tersenyum, hanya dirinya sendirilah yang sedang bersedih. Belati kesunyian dan keputusasaan yang sedingin es menghujam jiwanya; tak pernah sebelumnya ia merasa begitu sendiri. Betapa dekatnya ia dan Majnun untuk meraih tujuannya……..dan kini segalanya telah sirna: begitu cangkir itu

menyen- tuh bibir mereka, segera saja pecah dan menumpahkan anggur kebaha- giaan ke pasir.Tak ada yang dapat membaca pikiran Layla; tak ada seorang pun yang tahu badai yang bergejolak dalam hatinya. Dapatkah seorang pelari melihat duri yang telah membuat kakinya pincang? Bahkan jika ia memiliki keberanian untuk menumpahkan ketidakbahagiaannya, keluarganya tetap takkan memahaminya. Dan ia telah menetapkan akan tetap bungkam. Apa untungnya jika ia berbicara? Orang-orang yang melakukan pemberontakan terhadap suku mereka akan kehilangan suku; jari yang digigit oleh ular harus dipotong dan dibuang sebelum racunnya menjalar.

Kehidupan dibangun atas dasar keserasian dan keseimbangan dari seluruh elemennya: ketika setiap kali keserasian itu terusik, kema- tian akan bergerak perlahan dan terjadilah hal yang sangat buruk. Dan betapa pun usahanya untuk menunjukkan kebahagiaan di wajahnya, tak dapat dipungkiri bahwa kematian telah muncul di hati Layla dan kini menanti tiba saatnya untuk mengubah jiwanya menjadi sebuah nisan.

Kapal malam mengangkut muatan yang berupa bintang yang menyala di langit sementara matahari mulai membangun tenda ke- emasannya di atas bumi. Pagi telah tiba. Ibn

Salam, pria yang paling bahagia, memberikan tanda kepada rombongannya untuk memulai perjalanan kembali pulang. Keledai-keledai serta unta-untanya beranjak pergi dengan kecepatan tinggi karena tak lagi membawa muatan di atas punggung mereka. Walaupun Ibn Salam telah menghabiskan uang yang tak sedikit untuk membelikan hadiah untuk keluarga sang pengantin wanita, ia tak menyesalinya. Lagipula, bukankah Layla harta yang paling berharga di seluruh dunia ini?

Tandu yang telah disiapkan untuk Layla tak hanya mewah dibagian dalam tapi juga di bagian luar. Dengan tandu yang diangkut oleh beberapa unta dan beberapa orang pelayan yang siap membantunya, Layla diperlakukan bak seorang putri. Ia diberitahu bahwa selama perjalanan yang perlu dilakukannya hanyalah menepuk kedua tangannya dan rombongan akan berhenti agar ia dapat turun barang sejenak untuk sekedar meluruskan kakinya; hanya dengan batuk maka es serbat akan disediakan untuk menghilangkan dahaganya; hanya dengan menguap maka sebuah paviliun yang terbuat dari kain sutera akan didirikan agar ia dapat tidur. Namun Layla tak menghendaki semua itu.
Ketika akhirnya mereka tiba di perkemahan Ibn Salam, pria itu menoleh kepada Layla dan berkata, “Sayangku, apapun yang berada disini adalah milikmu. Seluruh milikku menjadi milikmu: kerajaanku berada di bawah kekuasaanmu.”

Dan bagaimanakah tanggapan Layla? Tanggapan yang diberian oleh Layla cukup membuat kebahagiaan Ibn Salam pudar; hatinya, yang sebelumnya bersinar terang bagaikan matahari, kini tertutupi oleh kegelapan yang sepertinya semakin kuat seiring dengan berlalunya hari. Layla tak mau makan, tidur, dan ia juga tak mengizinkan Ibn Salam untuk menyentuh tempat tidurnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Telah lama Ibn Salam mengejarnya, dan kini saat kunci dari peti tempat permata indah itu tersimpan telah berada di tangan, peti itu tetap tak mau terbuka. Penasihatnya terus menyarankan agar ia bersabar dan dapat menahan diri. Dan berharap. Ia mencoba sebisanya untuk menyenangkan hati Layla dan mencoba untuk bisa memahami mengapa Layla menolak dirinya, tapi semuanya sia-sia saja. Ia tak dapat membaca pancaran mata istrinya, yang dapat dilihatnya hanyalah airmata, dan setiap malam tiba, Ibn Salam terbaring sendirian di atas tempat tidurnya dan tak sanggup memejam- kan matanya.

Ibn Salam menjadi benar-benar frustrasi sehingga ia berpikir bahwa ia harus memaksa Layla. Lagipula, tanyanya pada dirinya sendiri, bukankah Layla istrinya? Bukankah aku memiliki hak atas dirinya? Siapa tahu memang itulah yang diharapkannya? Ibn Salam akhirnya menghentikan usahanya untuk memenangkan hati Layla dengan kebaikan, ia

justru melakukan aksi yang lebih berani. Namun lagi-lagi ia gagal. Dalam usahanya untuk memetik buah, ia hanya menggoreskan tangannya pada duri; dalam usahanya untuk menikmati manisnya buah, satu-satunya hal yang dapat dirasakannya hanyalah rasa yang jauh lebih pahit dari wormwood. Karena setiap kali Ibn Salam mencoba untuk menyentuh istrinya, Layla menggigit lengan suaminya dan mencakar wajahnya hingga berdarah.

“Aku bersumpah demi Allah jika kau mencoba melakukannya sekali lagi,” katanya sambil menangis, “Kau akan menyesalinya seumur hidupmu – apapun yang tersisa dari

hidupmu! Aku telah bersumpah kepada sang Pencipta bahwa aku takkan menyerahkan diriku kepadamu. Kau boleh menggorok leherku dengan pedangmu, jika kau mau, tapi kau takkan dapat memaksaku!”

Ibn Salam tak dapat berbuat apa-apa. Karena sangat mencintai Layla, ia tidak mau melakukan apa yang tak dikehendaki olehnya. Ia berkata kepada dirinya sendiri,

“Meskipun ia tak mencintaiku, tapi ia kini berada di rumahku. Aku memang bisa melihatnya, tapi aku tak boleh menyentuhnya. Jadi biarkanlah begitu kenyataannya! Lebih baik aku diperboleh- kan untuk melihatnya tapi tak boleh menyentuhnya daripada tak boleh memilikinya sama sekali. Setidaknya aku dapat memandang kecantikannya setiap kali kuinginkan.”

Lalu ia berlutut di sisi Layla, meraih tangannya dan dengan rendah hati berkata, “Maafkan aku, sayangku. Kumohon jangan larang aku untuk memandangmu; aku takkan meminta lebih banyak lagi, karena hal itu sama saja dengan pencurian dan aku bukanlah seorang pencuri.”

Meskipun Layla memberikan izin kepada Ibn Salam untuk memandangnya setiapkali ia ingin, namun tak sekalipun ia bersedia memandang suaminya. Sementara mata Ibn Salam selalu mencari mata Layla, namun mata Layla hanya mencari Majnun. Layla selalu mendengarkan bunyi gemuruh angin, berharap angin akan membawa berita tentang kekasihnya; ia memandang sinar matahari menari-nari karena mungkin saja partikel kecil dari kekasihnya akan datang menghampirinya dengan membawa aroma wanginya. Kadangkala ia membuka tirai tendanya dan memandang langit malam; lalu jiwanya akan berkelana selama beberapa saat dan melupakan dirinya. Hari-harinya hanya terisi oleh bayangan Majnun dan ia hidup dengan harapan akan mendapatkan pesan darinya. Suatu hari nanti, katanya pada dirinya sendiri. Suatu saat nanti……..

Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun