24. Bintang yang Jatuh dari Surga - Lanjutan Novel Layla Majnun
Seorang wanita mungkin dapat mengalahkan seorang pahlawan
dan meletakkan pedang kematian di atas kepalanya.
Namun ketika segalanya telah berakhir, ia tetaplah seorang wanita.
Tertindas dan tak mampu berbuat sesuai kehendaknya.
Seorang wanita mungkin merasa ingin berjuang dan menunjukkan keberanian
bagaikan seekor singa.
Namun atas nama kehormatan serta martabat
ia harus bertindak sesuai kodratnya, seperti yang telah digariskan kepadanya.
Seringkali mimpi itu begitu nyata, begitu penuh kebenaran, sehingga sinarannya menembus diri manusia dan membuat harinya menjadi cemerlang. Begitulah mimpi Majnun.
Ketika terbangun, ia terbangun di pagi hari di mana berbagai kemungkinan tampak tak berujung. Langit cerah dan udara dipenuhi oleh aroma wangi yang dibawa hanya dari surga; setiap hembusannya bagaikan hembusan napas sang Nabi, yang dikirim untuk membangkitkan mereka-mereka yang telah mati dan menyuruh mereka untuk mewaspadai keindahan kehidupan.
Hari itu, dan juga di hari-hari yang akan disongsongnya, bagi Majnun tampak bagaikan taman bunga mawar yang indah yang dipenuhi dengan sihir. Bagaimana bisa benih-benih ketidakberuntungan tumbuh di tanah yang seindah surga itu?
Takdir juga telah merasa lelah akan penderitaan Majnun sehingga Ia memberikannya kebahagiaan demi kebahagiaan. Tapi apakah se- muanya telah terlambat?
Majnun sedang duduk-duduk di lereng gunung, di salah satu tempat persembunyiannya yang dikelilingi oleh bebatuan sebagai perlin- dungan. Seperti biasa, teman-teman hewannya berada di dekatnya, beberapa tertidur, sementara beberapa lagi menjaganya.
Tiba-tiba saja, ia melihat kepulan debu di dasar lembah. Kepulan debu itu berwarna keunguan di sinar pagi yang kekuningan, ia berputar- putar saat beranjak naik.
Perlahan ia bergerak mendekat, begitu dekatnya hingga tampak bagaikan kerudung yang menutupi wajah seorang wanita. Dan saat Majnun merasa ingin melihat wajah di balik kerudung itu, ia menyadari bahwa kepulan debu itu menyembunyikan seorang pengendara yang bergerak bagaikan angin.
“Siapakah ia dan apakah yang diinginkannya?” pikir Majnun.“Tak ada perkemahan ataupun rombongan karavan sejauh bermil-mil, jadi apa yang dilakukannya di sini?” Sangatlah jelas bahwa si pengendara itu mencari Majnun. Majnun berdiri dan jantungnya berdegup kencang. Apakah ia si pengendara unta yang berjubah hitam yang membawakannya berita pernikahan Layla dengan Ibn Salam?
Sang pengendara menarik tali kekang kudanya dan turun, menaiki jalan terjal bebatuan dengan kesulitan, dan Majnun dapat melihat bahwa si pengendara adalah seorang pria tua dan wajahnya tak ia kenali. Majnun mengangkat tangannya untuk menenangkan hewan- hewan itu, yang telah mulai menggeram. Lalu ia melangkah ke depan untuk menyambut sang tamu.
Anda lihat sendiri bagaimana mereka menggeram kepada Anda. Dan saya pun merasa bahwa saya tidak dapat memercayai Anda. Seperti yang orang-orang bilang, mereka-mereka yang pernah digigit ular pasti akan takut walaupun hanya melihat bayangan seutas tali! Saya telah digigit ular semacam itu – bukan, bukan ular melainkan naga!”
“Beberapa waktu lalu, seorang pengendara lainnya mendatangi saya dan menusukkan kayu pancang ke jantung saya, serpihan kayu itu masih ada di sana dan mengakibatkan luka yang sangat dalam dan menya- kitkan. Jadi kini Anda mengerti bahwa saya mempunyai alasan untuk tidak memercayai Anda. Dan jika Anda datang untuk menyelesaikan apa yang telah dimulainya, maka lebih baik Anda diam dan kembali pulang.”
Mendengar kata-kata ini, sosok asing itu berlutut di kaki Majnun dan menjerit, “Di antara makhluk-makhluk lainnya, kaulah yang paling mulia, karena kau telah menjinakkan makhluk-makhluk terbuas dan menja- dikan mereka sebagai teman-temanmu! Para rusa menyerudukmu dengan penuh cinta; para harimau membelaimu dengan lembut dan perhatian; para singa bermain-main denganmu seolah mereka adalah kucing-kucing betina yang dibeli dari kedai di pasar.”
“Untuk apa kau dan hewan-hewanmu merasa takut kepada seorang pria tua lemah sepertiku? Aku tak ingin mengganggumu; aku ber- ada di sini untuk menyampaikan pesan dari kekasihmu. Ini adalah sebuah pesan rahasia, sebuah surat yang tak pernah dibawa oleh siapapun sebelum- nya. Surat ini darinya untukmu, dan hanya untukmu. Jika kau masih meng- inginkanku untuk diam dan kembali pulang, maka itulah yang akan kula- kukan, tapi kupikir kau harus membiarkanku bicara terlebih dahulu.”Majnun tak menduga akan mendengar kata-kata itu, dan tiba- tiba saja hatinya dipenuhi oleh harapan. Sambil memegang bahu pria tua itu, ia berkata, “Demi Allah, bicaralah! Cepatlah bicara dan bebaskan aku dari penderitaanku!”
Sang pria tua itu melanjutkan, “Aku tahu bahwa takdir telah ber- buat kejam terhadapmu, bintang-bintangmu telah bertingkah bagaikan sekelompok keledai bodoh yang keras kepala, tapi tak ada alasan mengapa kau tak dapat menjinakkan mereka. Tapi pertama-tama, izinkan aku bercerita kepadamu tentang apa yang telah terjadi kepadaku.”
“Beberapa hari lalu, secara tidak sengaja aku melintasi sebuah perkemahan yang berada dekat dengan sebuah taman – hutan kecil yang teduh dengan sungai kecil mengalir, bunga-bunga dan pepohonan palem yang tinggi-tinggi. Aku berjalan-jalan selama beberapa saat hingga aku melihat seseorang sedang duduk sendirian, tersembunyi di balik dedaunan. Yang kukatakan memang ‘seseorang’, namun dalam kenyataannya, ku- pikir aku telah mendapatkan kesempatan untuk melihat bintang yang telah jatuh dari surga!
Taman itu bagaikan taman Firdaus, dan ia adalah seorang wanita muslim yang sangat cantik yang dijanjikan oleh Allah akan disandingkan dengan pria-pria beriman.
“Ada sungai kecil yang melewati oase itu, bagaikan aliran air susu dan madu yang mengaliri surga. Tapi ketika wanita muda yang cantik itu mulai berbicara, kata-kata yang keluar dari bibirnya begitu manis dan kefasihannya berbicara dapat membuat aliran sungai itu beriak dan berpercikan, seolah air sungai itu bergantung pada kata-katanya. Dan matanya – bagaimana aku bisa mendeskripsikannya?!
Bahkan seekor singa pun akan tersihir bila sepasang mata indah milik rusa betina menatapnya!” “Penampilannya sangat indah bagaikan buku yang hanya berisikan karakter-karakter cantik tertulis di dalamnya. Rambutnya ikal bagaikan ekor pada huruf ‘Jim’; tubuhnya lentur dan ramping bagaikan huruf ‘Alif’; bibirnya lengkung bagaikan huruf ‘Mim’. Ya, bila ketiga kata itu digabungkan akan menjadi ‘Jam’ (cangkir), dan memang seperti itulah dirinya, sebuah cangkir kristal berharga yang menggambarkan rahasia alam semesta ini!”
“Matanya bagaikan bunga narssisi yang tumbuh di tepi sungai, begitu kau melihatnya dalam-dalam, kau akan dapat melihatnya bermimpi! Tapi dengan kata-kata yang sedikit ini aku tak dapat membeberkan kecantikannya, karena ia adalah cahaya kehidupan itu sendiri. Meskipun begitu, kecantikannya ternoda oleh hatinya yang hancur. Kesedihan telah melemahkannya; telah begitu lama airmata memenuhi matanya sehingga ia tak lagi dapat melihat.”
Si pria tua itu menghembuskan napas panjang, menghapus air mata yang menetes dari matanya dan melanjutkan, “Percayalah, ia menikah karena rasa takut, pada kenyataannya, kaulah satu-satunya yang diharapkannya. Saat ia berbicara, airmata menggenangi matanya; bagaikan kerudung yang menghalangi sinar matahari. Pemandangan itu akan menggetarkan hati siapa saja, bahkan hati terdingin sekalipun!”
“Aku mendekatinya dan bertanya siapa dirinya dan mengapa ia begitu sedih. Ia mengangkat wajahnya, dengan senyum lemah tersung- ging di bibir merahnya ia berkata,
‘Mengapa Anda melumuri luka saya dengan garam? Saya dulu adalah Layla, tapi kini saya bukanlah Layla lagi. Kini saya sudah gila, lebih ‘majnun’ dari seribu Majnun. Ia mungkin seorang penganut agama yang gila, pengelana liar yang tersiksa karena cinta, tapi percayalah, penderitaan saya seribu kali lebih buruk!”
“Memang benar, ia adalah sasaran bagi panah-panah kesedihan, tapi begitupun saya dan ia adalah seorang pria, sementara saya adalah seorang wanita! Ia bebas dan dapat mencurahkan kepedihannya kepada pegunungan; ia dapat bepergian ke manapun ia mau, ia bisa menangis, berteriak dan mengekspresikan perasaan terdalamnya dalam sajak-sajaknya. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya adalah seorang tawanan yang tak mampu berbuat apa-apa. Saya tak bisa berbicara dengan siapa pun karena tak ada seorang pun yang dapat saya percayai; jika saya membuka hati saya kepada semua orang yang ada di sekitar saya, maka rasa malulah yang akan saya dapatkan sebagai balasannya.
Madu berubah menjadi racun di dalam mulut saya dan segala sesuatu yang saya sentuh berubah menjadi debu. Siapa yang tahu bagaimana perasaan saya? Siapa yang tahu bagaimana penderitaan saya? Saya memasang topeng keberanian pada wajah saya, saya tutupi seluruh penderitaan saya dengan senyuman serta tawa palsu, tapi sepanjang waktu saya terbakar, terbakar, dan terbakar!”
“’Cinta menjerit-jerit di dalam hati saya, ‘Larilah selagi kau bisa, terbang menjauhlah dari ayahmu yang seperti burung gagak dan suamimu yang bagaikan burung hering!’
Tapi kemudian saya diperingatkan oleh akal sehat saya yang berkata, ‘Jangan, dengan terbangnya dirimu hanya akan semakin mempermalukanmu. Kau harus tetap di sini dan menyerah- lah pada takdirmu!’”
“’Seorang wanita mungkin dapat mengalahkan seorang pahlawan dan meletakkan pedang kematian di atas kepalanya, namun ketika segalanya telah berakhir, ia tetaplah seorang wanita, tertindas, dan tak mampu berbuat sesuai kehendaknya. Seorang wanita mungkin merasa ingin berjuang dan menunjukkan keberanian bagaikan seekor singa, namun atas nama kehormatan serta martabat ia harus bertindak sesuai kodratnya, seperti yang telah digariskan kepadanya.
Karena bukan kuasa saya untuk mengakhiri penderitaan ini, saya tak punya pilihan selain tunduk terhadapnya. Saya tak diizinkan untuk bersama Majnun, tapi saya perlu tahu apa yang dilakukannya, saya haus akan beritanya.”
‘Bagaimana ia menghabiskan hari-harinya dan di mana ia tidur saat malam tiba? Apa yang dilakukannya saat ia berkelana di gurun dan siapa saja yang menemaninya, jika memang ada? Apa saja yang dikatakannya dan apa yang dipikirkannya? Jika Anda mengetahui apa saja tentangnya, wahai orang asing, katakan pada saya sekarang juga!’
“Begitulah ucapan Layla. Meskipun baru pertama kali ini aku bertemu denganmu hari ini, tapi aku merasa telah mengenalmu dengan baik. Tak sia-sia aku menjadi tua dan melihat dunia dengan baik dan merasakan apa saja yang ditawarkannya kepadaku. Kisah tentang dirimu dan cintamu telah menjadi pembicaraan semua orang; adakah orang lain di negeri Arab ini yang lebih terkenal daripadamu? Betapa anehnya semua ini dan juga betapa kejamnya, seluruh dunia tahu tentangmu namun Layla tak diperbolehkan untuk mendengarnya! Karena itulah aku menemaninya di sana selama beberapa saat, untuk membicarakanmu. Dan percayalah, kata-kataku membuatnya terkesan.
“Kukatakan kepadanya, Majnun hidup sendirian, bagaikan seorang pertapa, tanpa teman ataupun keluarga; ia sendirian dengan kenangan cintanya. Satu-satunya yang menemaninya begitulah yang di- katakan semua orang – adalah hewan-hewan liar, seperti keledai liar dan singa pegunungan yang menjauhkan diri dari dunia manusia. Namun penderitaan telah menghancurkannya: kekuatan cinta terlalu kuat untuk dapat ditolak oleh makhluk-makhluk lemah seperti pria. Majnun hancur, pikirannya melemah dan sakit. Kematian ayahnya membuatnya semakin menderita.”
“Hari demi hari, takdir menebarkan duri di jalan yang dilaluinya dan kini ia telah menjadi seorang penyair yang mencatat ketidakberuntungannya sendiri. Sajak-sajaknya menceritakan kisah hidupnya, dan kisah hidupnya adalah kisah tentang cinta dan penderitaan. Airmata menetes dari matanya bagaikan hujan di tengah musim semi, dan saat ia berbicara mengenai ayahnya yang telah tiada, kata-katanya akan meluluhkan hati yang beku sekalipun.”
“Lalu aku mendendangkan beberapa sajak ciptaanmu, yang pernah kudengar di pasar dan kuhafalkan dalam ingatanku. Desah napas panjang keluar dari bibirnya dan kepalanya terkulai seolah akan pingsan atau mati. Ia terisak-isak hingga airmatanya terkuras habis. Dan saat menangis, ia mengucapkan doa untuk ketenangan jiwa ayahmu.”
“Ia ingin menemanimu karena ia tahu kau sendirian, dipisahkan dari dirinya dan ayahmu tercinta, tapi apa yang dapat dilakukannya?”
“Tiba-tiba saja ia mendapatkan sebuah ide. Ia menunjukkan tendanya dari kejauhan dan berkata, ‘Anda adalah seorang pria jujur yang memiliki ketulusan hati. Saya memercayai Anda. Saya akan kembali ke tenda saya dan saya akan menulis surat untuk Majnun. Berjanjilah bahwa Anda akan kembali esok hari agar saya dapat menyerahkan surat untuk Anda berikan kepadanya. Maukah Anda berjanji kepada saya?’
“Saya pun berjanji kepadanya, dan keesokan harinya saya menuju tendanya. Sebagai tanda berduka cita atas kematian ayahmu, ia mengenakan pakaian berwarna biru tua: ia bagaikan bunga violet yang paling cantik di gurun. Dalam lipatan roknya ia menyembunyikan sebuah surat. Inilah surat yang kumaksud!”
Sang pengantar surat berusia tua itu mengambil surat dari tasnya dan menyerahkannya kepada Majnun. Awalnya, Majnun tak menunjukkan reaksi apapun. Ia menatap perkamen yang ada di tangannya seolah ia sedang bermimpi.
Bukankah semua ini terlalu berlebihan untuk diterimanya? Apakah ucapan manis sang kekasih datang terlalu dini? Apakah semua terlalu berlebihan untuk dihadapinya?
Tiba-tiba ia bertingkah aneh. Seolah ia sedang ditawan oleh beberapa iblis gila yang ingin menarik tubuhnya dari berbagai arah. Tubuhnya bergerak ke sana kemari, lalu ia berputar-putar dengan begitu kerasnya hingga segalanya menjadi kabur. Akhirnya, dengan keringat yang mengucur deras dari kulitnya, ia terjatuh di kaki pria tua itu.
Di sana ia berbaring, bagaikan seseorang yang dibuat pingsan karena terlalu banyak minum anggur, benar-benar kehilangan akal. Meskipun terbaring tak sadarkan diri, namun surat dari Layla masih tergenggam di tangannya.
Dan ketika ia tersadar, hal pertama yang dilihatnya adalah surat itu. Jantungnya tak lagi berdegup kencang, dan dengan pelan ia membuka segel dari surat itu.
EmoticonEmoticon