Selasa, 03 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Suku Melayu Timur Di Kuala Tungkal

Suku Melayu Timur termasuk salah satu suku bangsa Melayu yang kini sebagian besar mendiami daerah Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Konon, orang yang disebut-sebut sebagai nenek moyang suku ini bernama Datuk Kedanding, yang diduga merupakan keturunan dari orang-orang Minadanau (Filipina). Bagaimana kisah selengkapnya mengenai asal-usul suku ini? Simak kisahnya dalam cerita Asal Mula Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal berikut ini.

Ratusan tahun silam, di Negeri Melabang, Mindanau (kini menjadi sebuah wilayah di Filipina), berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Sultan Iskandar Bananai. Sang Raja memiliki dua orang putra yang bernama Patukan (sulung) dan Mata Empat (bungsu). Kedua pangeran itu memiki tabiat yang bertolak belakang. Pangeran Patukan adalah seorang pemuda tampan yang baik hati, berbudi luhur, dan suka menolong. Sedangkan, Pangeran Mata Empat memiliki sifat yang sangat buruk, kasar, tidak sopan, dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Raja sudah menasehati anak bungsunya itu, tapi kelakuan Pangeran Mata Empat justru semakin menjadi-jadi. Sang Raja sangat malu dengan sifat dan kelakuan putranya itu.
Suatu hari, Sultan Iskandar Bananai memanggil seluruh panglima dan penasehatnya untuk bermusyawarah di ruang sidang istana.
“Wahai, para panglima dan penasehat kerajaan! Kalian pasti sudah tahu dengan sifat dan perilaku putraku, Mata Empat. Aku mengumpulkan kalian untuk membicarakan masalah ini,” kata sang Raja, “Terus terang, aku sudah tidak sanggup lagi mengatasi kelakuannya. Apakah kalian mempunyai pandangan mengenai hal ini?”
Mendengar pertanyaan sang Raja, para panglima dan penasehat kerajaan tertunduk diam. Mereka semua berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Beberapa saat kemudian, salah seorang penasehat kerajaan angkat bicara.
“Ampun, Baginda. Izinkanlah hamba menyampaikan saran untuk mengatasi kelakuan putra Baginda,” kata penasehat kerajaan itu.
“Apakah saranmu itu? Katakanlah!” jawab sang Raja dengan tidak sabar.
“Ampun, Baginda. Jika hamba boleh menyarankan, alangkah baiknya jika Pangeran Mata Empat diasingkan dari negeri ini,” ungkap penasehat kerajaan itu.
“Apa maksudmu diasingkan?” tanya sang Raja bingung.
“Ampun Baginda jika kata-kata hamba terlalu kasar. Maksud hamba, barangkali akan lebih baik jika Pangeran Mata Empat diperintahkan untuk pergi merantau mencari pengalaman,” jelas penasehat itu.
“Hmmm... saran yang bagus,” sahut sang Raja, “Aku setuju saran itu.”
“Bagaimana dengan pendapat yang lain? Apakah kalian setuju saran ini?” tanyanya seraya memandangi para peserta sidang lainnya.
“Setuju, Baginda,” jawab para peserta sidang dengan serentak.
“Baiklah kalau begitu. Tolong panggilkan Pangeran Mata Empat untuk menghadapku sekarang,” titah sang Raja.
Salah seorang panglima bergegas memanggil sang Pangeran. Tidak lama kemudian, panglima itu pun kembali bersama Pangeran Mata Empat. Saat tiba di ruang sidang, sang Pangeran terlihat kebingungan melihat semua pembesar kerajaan sedang berkumpul menghadap ayahandanya.
“Ada apa Ayah memanggilku?” tanya Pangeran Mata Empat.
Dengan halus, Sultan Iskandar Bananai pun menyampaikan hasil keputusan rapat itu kepada putranya. Mendengar keputusan itu, Pangeran Mata Empat sangat marah.
“Ayah, keputusan ini tidak adil. Kenapa aku saja yang disuruh merantau, sementara Abangku tidak?” tanya Pangeran Mata Empat dengan kesal.
“Maafkan Ayah, Putraku! Ini sudah keputusan bersama dalam sidang,” jawab sang Raja.
Pangeran Mata Empat tetap saja merasa keberatan. Ia tidak ingin kalau hanya dirinya saja yang disuruh pergi merantau.
“Ayah, demi keadilan, Abang Patukan juga harus pergi merantau. Tidak hanya aku,” pinta Pangeran Mata Empat.
Mendengar permintaan itu, Sultan Iskandar Bananai justru yang keberatan. Ia amat sayang kepada Patukan. Ia adalah tumpuan harapannya yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai raja. Setelah lama berpikir, akhirnya sang Raja memenuhi permintaan itu.
“Baiklah, Putraku. Demi keadilan, Ayah memenuhi permintaanmu. Abangmu pun akan Ayah perintahkan untuk pergi merantau,” ujar sang Raja.
Pangeran Patukan adalah pemuda yang penurut. Maka, ketika sang Ayah memintanya pergi merantau, ia tidak menolak. Bahkan, ia menyambutnya dengan senang hati. Keesokan harinya, kedua pangeran itu bersiap-siap untuk berlayar. Pangeran Patukan diberi sebuah kapal layar yang dilengkapi perbekalan makanan serta beberapa pengawal dan dayang-dayang. Sementara itu, Pangeran Mata Empat diberi sebuah rakit yang juga dilengkapi dengan perbekalan, pengawal, dan dayang-dayang. Ketika keduanya hendak berangkat, Sultan Iskandar Bananai bersama permaisuri dan segenap rakyat berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk melepas kepergian dua pangeran itu. 
“Semoga kalian berhasil, wahai putra-putraku,” ucap sang Raja melepas kedua putranya dengan doa.
“Terima kasih, Ayahanda! Nanda pun berharap agar Ayah dan Ibunda tetap menjaga kesehatan,” kata Pangeran Patukan seraya mencium tangan kedua orang tuanya.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat sudah berada di atas rakit tanpa menyalami ayah dan ibundanya. Bahkan, ketika rakit itu mulai meninggalkan pelabuhan, ia berkacak pinggang, tanpa melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Rupanya, ia masih kesal dengan keputusan ayahnya yang mengharuskan dirinya pergi meninggalkan istana. Lain halnya dengan Pangeran Patukan, ia terus melambaikan tangan kepada orang-orang yang melepasnya di pelabuhan hingga kapal layarnya hilang dari pandangan mata.
Kedua pangeran itu berlayar terpisah tanpa tentu arah untuk mencari keberuntungan masing-masing. Setelah berhari-hari berlayar, kedua putra raja itu terombang-ambing di tengah laut. Suatu ketika, rakit Pangeran Empat Mata terhempas badai hingga hancur berkeping-keping. Seluruh penumpangnya jatuh ke laut dan terbawa arus gelombang. Untung ia berhasil meraih salah satu potongan rakitnya. Ia pun terapung-apung di atas potongan rakit itu hingga akhirnya terdampar di Tanah Merah (kini dekat Palembang). Konon, Pangeran Empat Mata menetap di daerah itu hingga akhir hayatnya.
Sementara itu, Pangeran Patukan juga mengalami nasib sama. Kapal layarnya dihempas badai dan gelombang besar hingga hancur. Seluruh pengawal dan dayang-dayangnya tenggelam di tengah laut. Sang Pangeran pun dapat menyelamatkan diri hingga terdampar di Pulau Lingga. Untung nasib baik berpihak kepadanya karena ia berhasil ditemukan oleh Raja Lingga dan kemudian dibawa ke istana.
“Hai, anak muda siapa kamu dan dari mana asalmu?” tanya Raja Lingga.
“Ampun, Baginda. Hamba Pangeran Patukan, putra sulung Sultan Iskandar Bananai dari Negeri Mindanau,” jawab sang Pangeran.
Pangeran Patukan kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga terdampar di Pulau Lingga. Mendengar cerita itu, Raja Lingga merasa amat gembira.
“Oh, kebetulan sekali, Pangeran. Sudah bertahun-tahun kami menikah, tapi sampai sekarang Tuhan belum juga mengaruniai kami seorang putra,” ungkap Raja Lingga, “Jika Pangeran berkenan, aku ingin mengangkat Pangeran sebagai putraku. Setelah aku wafat kelak, engkaulah yang akan menggantikanku sebagai raja di negeri ini.”
Mulanya, Pangeran Patukan bingung atas permintaan Raja Lingga itu. Di negerinya, ia juga diharapkan untuk menjadi pengganti ayahandanya sebagai raja. Namun, setelah mempertimbangkan bahwa Raja Lingga telah menyelamatkannya, maka ia pun menerima permintaan tersebut. Sejak itulah, Pangeran Patukan tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja Lingga.
Beberapa tahun kemudian, Raja Lingga wafat. Pangeran Patukan pun dinobatkan sebagai Raja Lingga yang baru. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dalam waktu singkat negeri itu menjadi makmur dan sejahtera. Ia pun amat dicintai oleh rakyatnya.
Suatu hari, berita tentang Pangeran Patukan menjadi Raja Lingga sampai juga ke Negeri Mindanau. Seluruh rakyat Mindanau menyambut gembira kabar tersebut, terutama Sultan Iskandar Bananai dan permaisurinya. Banyak di antara rakyat Mindanau yang ingin pindah ke Pulau Lingga untuk mengabdi kepada Pangeran Patukan. Maka, dengan izin Sultan Iskandar Bananai, penduduk Mindanau pun mulai berangsur-angsur pindah ke Negeri Lingga.
Semasa perpindahan penduduk Mindanau ke Pulau Lingga, sebagian di antara mereka ada yang tersesat sampai ke Kuala Tungkal akibat tidak tahu arah. Salah satunya adalah adalah Datuk Kedanding bersama keluarganya. Konon, Datuk Kedanding inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang orang-orang Suku Melayu Timur yang bermukim di daerah Kuala Tungkal.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal dari Provinsi Jambi. Kisah ini hanyalah sebuah cerita rakyat yang diyakini oleh masyarakat tempat cerita ini berasal. Sebuah cerita rakyat tidak selalu terkait dengan fakta-fakta sejarah. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa memahami dan mengamalkan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Salah pesan moral tersebut adalah bahwa orang yang baik hati seperti Pangeran Patukan pada akhirnya akan mendapat anugerah. Terbukti, ketika ia diangkat sebagai anak oleh Raja Lingga dan kemudian dinobatkan menjadi raja di negeri tersebut.


EmoticonEmoticon