Aku Berbeda Aku mungkin tidak akan pernah  menyadari bahwa aku berbeda dengan orang-orang yang ada di sampingku.  Semuanya mulai kupahami, saat aku sadar bahwa aku tidaklah sama dengan  anak-anak lain yang kulihat. Ketika berjalan bersama  Nenek di halaman  rumahku, mereka dapat berbicara dengan mulutnya dan mendengar apa yang  sulit kupahami. Aku tidak mengerti apa itu yang disebut dengan  pendengaran.  Alat indra yang satu ini tidak pernah ada dalam hidupku.  Bahkan aku tak bisa mendengar suaraku sendiri.
Aku memiliki telinga dan fisikku tumbuh dengan baik saat berusia lima  tahun, tapi itu hanya tampak dari luar.  Sesungguhnya aku tidak pernah  bisa mendengar apapun selain suara hatiku sendiri.  Ayah yang  dari  sejak awal menyadari aku cacat, tidak pernah mau mengatakan kalau aku  adalah seorang gadis cacat. Ia dan Nenek memperlakukanku selayaknya   gadis  normal sejak dua tahun sebelumnya, setelah mendapatkan informasi  dari Dokter Intan tentang pelatih tunarungu.
Ayah langsung menghubungi pelatih itu yang  notabene seorang ibu yang  tampak sudah tua.  Ia datang setiap hari  ke rumahku   untuk memberikan  pelajaran kepada  Ayah dan  Nenek tentang bagaimana  cara  berkomunikasi  denganku. Ayah dengan  giat belajar pada ibu baik hati  yang kupanggil Bibi Anggun itu. Yang aku tahu, ia memiliki seorang anak  yang juga tunarungu. Jadi,  ia memiliki perasaan senasib dengan orang  tua yang juga memiliki seorang anak tunarungu Baginya, menjadi pelatih  orang tua tunarungu adalah cara  untuk berbakti sosial.
Setiap hari setelah pulang kerja, Ayah belajar pada Bibi Anggun.  Nenek juga ikut serta, sedangkan aku malah asyik bermain boneka tanpa  menyadari bahwa kelak akupun akan mempelajari bahasa tangan dari Ayah.  Ia dengan cepat mengerti sedikit demi sedikit hal-hal yang harus ia  ajarkan padaku. Ia tidak mengajarkan aku secara keras, tapi ia  menggunakan sedikit permainan. Misalnya, apabila ia ingin mengatakan  padaku bahwa ini adalah seekor kelinci, ia akan menunjukkan dengan  tangannya lalu memperagakannya padaku.
Aku yang saat itu masih kecil mengikuti saja apa yang Ayah ajarkan  walau itu sulit. Terkadang aku malah asyik bersama bonekaku, namun  akhirnya lama-kelamaan aku terbiasa untuk mengerti maksud Ayah. Aku  mulai mengerti bagaimana caranya untuk meminta minum pada Nenek, ingin  bermain atau bahkan ke toilet agar tidak buang air kecil di celanaku.   Dua tahun adalah masa-masa yang sangat sulit bagi Ayah, karena ia  menghabiskan banyak waktunya  untukku dengan setulus hati dan tanpa  lelah.
Setelah umurku cukup, Ayah menyekolahkanku di Sekolah Luar Biasa  dimana aku merasa sangat nyaman dan bertemu orang-orang yang sama  denganku. Aku memiliki banyak teman sepermainan yang mengerti apa yang  hendak aku katakan lewat bahasa tanganku. Di sekolah ini,  setiap  harinya aku menghabiskan waktu selama lima jam dari pagi hingga siang  hari sampai Nenek menjemputkupulang. Sedangkan pada pagi hari Ayahlah  yang bertugas mengantarkanku sebelum akhirnya melanjutkan pergi ke  kantornya.
Aku memiliki banyak guru yang baik hati dan sabar untuk mengajari  kami anak-anak tunarungu, dengan sepenuh hati. Sahabat-sahabat kecilku  saat itu semuanya sangat baik. Ada Lina yang umurnya setahun lebih tua  dariku atau Andri yang  sudah berumur sepuluh  tahun tapi masih perlu  belajar banyak bahasa isyarat tangan. Rasanya, aku selalu ingin bersama  teman-temanku ketika pulang dari sekolah. Namun kini, duniaku sudah  berubah. Aku tidak punya teman untuk berbagi cerita selain Nenek yang  terkadang sibuk dengan pesanan tetangga-tetangga yang menyukai rotinya.
Pernah suatu ketika, aku mencoba untuk keluar dari rumahku seorang  diri  saat  Nenek sedang asyik membuat roti dan pintu terbuka lebar. Aku  selalu mengingat jalan menuju sekolahku dan berpikir untuk  sekali-sekali berjalan ke sekitar taman komplek. Di sana banyak mainan  yang disediakan untuk anak-anak. Ada sekolam pasir, ayunan dan kincir  angin kecil yang sesungguhnya membuatku begitu ingin mencobanya.
Saat aku tiba di taman, ada sekumpulan anak yang sedang bermain dan  perawat yang menjaga tak jauh dari mereka. Aku mendekat dan langsung  mencoba ayunan yang kosong. Namun tanpa aku sadari, ada seorang anak  laki-laki menunggu giliran dan melihat ke arahku.  Ia terus berteriak  padaku namun aku hanya terus mengayun tanpa henti. Karena kesal, ia pun  menahan tali pengikat ayunan dan aku agak terkejut sambil  memperhatikannya.
Dia berteriak padaku.
“Gantian dong, ini kan mainan bersama!”
Aku tidak mengerti apa yang ia katakana, jadi kuteruskan bermain.  Kemudian ia menangis  karena merasa aku terlalu egois sehingga anak-anak  lain pun berkumpul.  Semua melihatku  dengan tatapan aneh dan aku  merasa seperti seekor harimau  di atas panggung sirkus. Aku berhenti dan  memperhatikan mereka. Semua saling bicara satu sama lain, sedangkan aku  hanya bisa terdiam seperti merasa ada sebuah penolakan padaku.
“Ini kan anak cacat yang tinggal di samping komplek,” kata seorang  anak perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahku.
“O… jadi dia cacat. Sudah cacat jahat lagi tidak mau gentian main,  kasihan Hendra nangis gara-gara anak cacat ini, kita laporin suster  yuk!” ujar salah satu anak laki-laki lain. Aku baru menyadari bahwa anak  yang menangis itu bernama Hendra.
Perawat yang mereka sebut suster itu mendekatiku.  Aku menjadi  ketakutan. Semua berteriak bahwa aku jahat seolah aku ini maling. Walau  aku tidak mengerti apa yang mereka katakan tapi tatapan mereka terlihat  seperti  tidak menyukaiku,. Akhirnya aku pun berjalan meninggalkan  tempat itu sebelum perawat itu datang padaku. Mereka terus berteriak  menghinaku tapi perawat mereka justru hanya terdiam.
“Anak cacat jangan kembali, anak cacat jangan kembali,” teriak mereka  berulang-ulang.
Aku menoleh ke belakang  dan pada saat itu juga hatiku pun sedih.  Andai saja aku mengerti apa yang mereka katakan, pasti aku akan lebih  sedih lagi. Aku pulang dan melihat  Nenek begitu cemas menungguiku. Ia  menarik tanganku masuk ke rumah dan bertanya padaku lewat bahasa tangan.
“Kamu darimana Angel? Nenek cemas mencari – cari kamu!”
“Nenek, mengapa aku tidak bisa mengerti apa yang anak-anak lain  bicarakan? Kenapa mereka mengusirku dan menunjukkan wajah yang tidak  baik padaku?”
“Anak-anak mana?”
“Anak-anak di taman komplek,” ujarku sedih.
“Jadi kamu habis dari sana? Untuk apa?”
“Aku hanya ingin bermain ayunan, tapi mereka tidak suka padaku.”
Nenek lalu menarik tanganku dan membawaku ke taman tempat tadi aku  bermain, kemudian  Nenek berteriak pada anak-anak itu.
“Siapa yang melarang cucuku bermain di taman ini?”
Semua terdiam dan berhenti bermain mendengar suara Nenek yang cukup  terlihat marah dari wajahnya. Seorang perawat mendekati Nenek dan  mencoba menjelaskan,
“Kenapa Nek?”
“Siapa yang melarang cucuku untuk bermain disini?”
Akhirnya suster itu menjelaskan sesuatu kepada  Nenek,  sedangkan  anak-anak lain tampak ketakutan  bahkan sebagian pergi meninggalkan  taman.  Aku melihat mereka pergi dan langsung mendekati ayunan. Saat itu  aku langsung duduk dan mengayun diriku sendiri. Nenek sepertinya mulai  menyadari persoalannya dan terlihat lebih tenang dari sebelumnya setelah  perawat itu menjelaskan beberapa hal. Setelah perawat itu pergi,  Nenek  mendekatiku. Ia terlihat begitu murung, perlahan ia membantuku untuk  mendorong ayunan.
Aku tersenyum padanya dan berkata untuk lebih cepat. Nenek dengan  senang hati melakukan apa yang aku inginkan. Aku tertawa  kegirangan  karena akhirnya bisa menikmati ayunan yang semakin kencang dan merasakan  angin menyentuh tubuhku dan membuat rambutku berterbangan. Nenek  berhenti mengayun dan melepas kacamatanya, air matanya terjatuh dan ia   hapus dengan perlahan. Saat ayunan berhenti,  aku menoleh ke arah  Nenek  di belakangku. Karena aku melihat Nenek menangis, maka  kuhentikan  ayunan dan mendekatinya.
“Kenapa Nenek menangis?” tanyaku.
“Tidak apa-apa. Sudah puas mainnya?”
“Sudah. Ayah kapan pulang?” tanyaku lagi.
Nenek menundukkan badannya lalu mengatakan sesuatu padaku,
“Angel, lain kali kalau kamu ingin bermain ke mana pun, ajaklah  Nenek. Nenek akan dengan senang hati menemani kamu.”
“Iya.”
Aku yang masih kecil itu belum menyadari mengapa Nenek berkata  demikian. Karena sesungguhnya Nenek hanya bersedih di dalam hatinya. Ia  sadar, bahwa cucunya yang tunarungu, memiliki dunia yang berbeda dengan  anak-anak lain yang melihatku dengan aneh. Ia cemas melihat masa depanku  di dunia ini, ia cemas untuk membayangkan bagaimana aku nanti hidup di  dalam kehidupan bermasyarakat. Usianya yang sudah sepuh, memiliki  sedikit waktu untuk menjagaku. Saat aku tiba dirumah, ia berkata padaku,
“Angel, belajarlah dengan benar di sekolah. Karena dengan begitu kamu  akan bisa mengerti bagaimana cara bicara dan berkomunikasi dengan orang  lain.”
“Memangnya kenapa, Nek?”
“Karena itulah cara kamu untuk belajar tentang bermain, memiliki  teman dan meminta pertolongan pada orang lain.”
“Aku kan sudah punya teman di sekolah. Mereka mengerti apa yang aku  katakan dan semua tampak normal?”
Nenek mungkin tidak ingin melanjutkan pembicaraan lebih dalam dan ia  hanya memintaku untuk belajar lebih giat. Dalam hatinya, ia ingin  berkata bahwa aku berbeda dengan orang lain yang normal. Satu-satunya  cara agar aku dapat hidup bermasyarakat adalah dengan belajar untuk  mengerti bagaimana cara untuk dapat hidup di dunia ini dengan keadaanku  yang tidak sempurna. Tapi ia mengurungkan niat itu karena sadar bahwa  aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehidupan yang keras ini.
Nenekku yang baik hati, ia adalah malaikat yang selalu siap   melindungiku walau harus kusadari usianya telah senja.
***
Di sekolahku, aku mulai mempelajari bagaimana caranya berhitung,  membaca dan memperhatikan mimik muka atau gerak bibir untuk manangkap  maksud apa yang hendak dibicarakan  lawan bicara. Aku berpikir itulah  kehidupan normal yang aku jalani dan merasa bahwa seisi kelasku juga  sama dengan kondisiku, jadi aku menikmati semuanya  seiring berjalannya  waktu.
Saat mengambil raport kelas setiap semester, aku selalu mendapatkan  rangking satu dan itu membuat  Ayah cukup senang. Saat pengambilan  raport, wali kelasku berkata kepada  Ayah,
“Angel terlalu pandai untuk bersekolah di tempat seperti ini, apakah   Bapak berpikir untuk menyekolahkannya di sekolah yang umum dan normal?”
“Tapi dia masih terlalu kecil dan saya tidak yakin.”
“Kami para guru sepakat untuk mengatakan bahwa kemampuan pendidikan  Angel setara dengan anak kelas 6 SD di sekolah normal. Ia pandai  berhitung, menulis dan menangkap apa yang kami bicarakan lewat mulut   juga tampak seperti anak normal lainnya. Mungkin kesulitannya hanya  tidak dapat mendengar dan bicaranya kurang sempurna, tapi semua itu  bukanlah masalah.”
“Lalu apa saran Ibu?”
“Semua pelajaran telah ia serap dengan baik. Walau usianya saat ini  baru  delapan tahun, tapi ia sudah belajar dengan  anak usia tiga belas  tahun tahun. Mungkin lebih baik ia disekolahkan di tempat yang normal.  Saya yakin Angel bahkan bisa lebih pintar dari anak-anak normal  lainnya.”
“Akan kami pikirkan, karena sulit untuk membayangkan Angel sekolah  umum.  Saya takut ia tidak siap dan tidak bisa diterima.”
“Bapak tidak perlu  pesimis begitu. Sekarang, kami guru-guru akan  fokus untuk mengajarkan Angel untuk bahasa isyarat sehingga ia dapat  dengan cepat sekolah di tempat normal. Yang terpenting sekarang  adalah  kita menyiapkan dia untuk ke depannya. Banyak kok anak-anak seperti  Angel yang akhirnya memutuskan untuk sekolah di tempat umum dan selama  ini tidak ada masalah.”
Ayah hanya terdiam kemudian kami pulang ke rumah. Ketika makan  malam,  Ayah dan  Nenek berdiskusi, sepertinya Nenek sedikit tidak  setuju dengan pendapat  Ayah. Ia lebih berharap aku bersekolah di tempat  yang lama karena ia tidak ingin aku terluka oleh anak-anak normal lain  seperti ia melihatku ketika di taman dulu. Ketika malam saatnya tidur,   Ayah mengantarkan aku hingga ke ranjang lalu mengajakku untuk bicara  sebelum tidur.
“Angel, apakah kamu merasa diri kamu berbeda dengan anak-anak lain?”   tanya Ayah tampak serius.
“TIdak,” jawabku.
“Angel, apakah kamu tau, bahwa kamu adalah seorang tunarungu?”
“Tunarungu, bukannya semua teman-temanku juga tunarungu?”
“Tidak semua anak-anak yang kamu tau itu adalah tunarungu. Kamu  berbeda Angel. Kamu tidak dapat mendengar dan  hanya sedikit dari  anak-anak lain yang bisa mendengar. Bisa kamu pahami?”
Aku terdiam seperti tampak tidak mengerti.
“Baiklah, kalau begitu kamu  lekas tidur sana,” kata Ayah menyerah  dan hendak pergi. Aku meraih tangannya sambil berkata.
“Ayah, yang aku tau tentang diriku, aku hanya ingin bersamamu. Itu  saja cukup. Aku tau, aku tidak mendengar dan tidak mengerti apa itu  mendengar, tapi aku merasa cukup dengan keadaanku saat ini. Aku bahagia  memiliki teman-teman yang bisa bermain bersamaku. Tidak sulit buat aku  bicara dengan mereka.”
“Tapi kelak kamu harus mencoba untuk hidup dengan lingkungan berbeda.  Karena kamu akan terus tumbuh menjadi besar.”
“Hmm… teman-temanku juga akan tumbuh dewasa dan sama dengan  kondisiku.”
“Kamu memangnya tidak ingin punya teman yang bisa mendengar?”
Aku terdiam. Belum pernah terpikir olehku memiliki teman yang bisa  mendengar, malah berpikir bahwa bisa mendengar adalah sesuatu yang aneh.
“Aku tidak pernah berpikir tentang itu,” jawabku.
“Baiklah, lupakan pertanyaan  Ayah hari ini, lekas tidur. Besok kamu  kan harus sekolah. Ayah tidak ingin kamu terlambat bangun. Oke?”
“Oke,” jawabku.
“Selamat malam Ayah…” ucapku pada  Ayah yang langsung menjawab dengan  tersenyum.
Sejak malam itu, aku mulai berpikir tentang sebuah pertanyaan dari  Ayah. Apakah aku bisa memiliki teman lain selain teman-temanku  yang  tunarungu? Bagaimana rasanya memiliki teman yang bisa mendengar? Bagiku,  melihat orang lain bicara adalah sesuatu yang aneh. Dalam  duniaku  hanya ada satu cara untuk berkomunikasi yaitu lewat bahasa tangan. Ayah  sungguh membuatku bingung dan berpikir tanpa henti dengan  pertanyaan-pertanyannya.
***
kisah selanjutnya bisa kamu baca dan dapatkan di novelnya
Recent Posts :
Minggu, 14 Agustus 2016
Ayah, Mengapa aku berbeda? bagian 3
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon