7. Mengasingkan Diri - (Lanjutan Kisah Layla Majnun)
Manusia berakal sehat mana yang memilih tempat terpencil seperti itu
sebagai tempat persembunyian?
Namun kemudian ia melihat sosok itu bergerak
dan mendengarnya mengerang…
Cerita tentang ibadah Majnun ke Makkah, ketukan kerasnya di pintu Ka’bah serta pengakuan cintanya yang berapi-api segera beredar ke mana-mana; tak membutuhkan waktu lama, kisah tentang cinta Majnun dan juga kegilaannya dibicarakan semua orang. Beberapa orang menyerangnya dengan cemooh kasar, sementara beberapa lainnya justru merasa kasihan kepadanya dan membelanya. Sebagian kecil orang menceritakan hal baik tentangnya, sementara begitu banyak yang tetap mengejeknya………...dan menyebarkan rumor-rumor jahat.
Berita tentang Majnun sampai di telinga Layla juga, namun tak banyak yang dapat dilakukannya untuk membela kekasihnya: ia hanya dapat duduk dalam keheningan dan meratapi kesedihannya. Tetapi para anggota sukunya merasa bahwa sudah tiba saatnya mereka melakukan suatu tindakan. Jadi mereka mengirim utusan kepada Menteri Utama Kalifah dan mengungkapkan keluhan mereka berkaitan dengan Majnun.
“Si orang bodoh ini,” kata Ketua Utusan, “Si gila, Majnun, telah mencemarkan suku kami dengan tingkah lakunya. Siang dan malam ia berkeliaran di sekitar desa, rambutnya kotor dan kusut, pakaiannya com pang-camping, dan ia berjalan dengan serombongan gelandangan. Ia tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan; ia menjerit, berteriak, berdansa dan berputar-putar, melompat ke udara, menjatuhkan dirinya di tanah dan menciumi tanah. Dan ia selalu mendendangkan soneta serta odenya, lagu-lagu serta sajak-sajaknya bait demi bait demi bait. Sayangnya, sajak- sajaknya sangat indah dan semua orang menghapalnya dengan baik. Hal ini buruk bagi kami dan juga bagi Anda, karena sebagian kata dalam lagu-lagunya merupakan penghinaan terhadap martabat publik serta standar moral di masyarakat kita. Seperti yang mungkin telah Anda dengar, sajak-sajaknya berkaitan dengan putri pemimpin kami, Layla; namanya kini diucapkan oleh semua pria, wanita, dan anak-anak di seluruh penjuru tanah ini.
Hal ini bukan saja penghinaan terhadap kesopanan, namun merupakan penghinaan terhadap kehormatan serta martabat Layla. Oleh karena itu, kami mohon agar Anda bersedia menahan si keparat ini dan menyelesaikan permasalahan ini, agar Layla dan juga para anggota suku kami dapat merasa aman dari kemalangan ini.”
Begitu sang utusan telah selesai berbicara, sang Menteri beranjak berdiri dari kursinya, menghunus pedangnya dan menunjukkannya kepada para utusan. “Jinakkan si gila dengan menggunakan ini, jika kalian bisa,” katanya. “Dan kudoakan kalian baik-baik saja.”
Tanpa sengaja ucapan sang Menteri terdengar oleh seorang anggota suku Majnun, Banu Amir, yang sedang berada di pengadilan saat itu. Tanpa membuang banyak waktu, ia bergegas memberitahu Sayyid, ayah Majnun, tentang apa yang telah didengarnya.
“Suku Layla sedang memburu Majnun,” jeritnya. “Sang Menteri Utama Kalifah telah menyetujuinya. Aku sedang berada di sana saat kese- pakatan itu terjadi: pria itu bagaikan dirasuki naga yang mengeluarkan api dari mulutnya dan memuntahkan ancaman. Kita harus memperingat- kan Majnun sebelum terlambat. Sebuah lubang telah terbuka di tengah jalannya; kita harus membuka penutup matanya, jika tidak, maka ia akan jatuh ke dalam lubang itu dan menghilang selamanya.”
Ucapan sang informan menancap di hati Sayyid bagaikan seratus anak panah. Karena khawatir akan keselamatan nyawa putranya, ia me- ngirimkan anak buahnya untuk mencari Majnun dan mengamankannya. Satu per satu mereka kembali dengan tangan kosong, dan membuat mereka berkecil hati. “Majnun tak dapat ditemukan di mana pun,” kata mereka, “dan kami khawatir jika takdirnya memang telah ditentukan. Entah memang demikian atau karena ia telah tewas dimakan hewan liar, siapa yang tahu?” Pada saat itu juga, teman-teman serta sanak saudara Majnun mulai terisak dan meratap seolah berduka atas kematiannya.
Namun Majnun masih hidup, ia aman –untuk sementara waktu– di salah satu pegunungan tempatnya mengasingkan diri. Ia sendirian – seperti sang Pencipta sebelum menciptakan semesta, Majnun menjadi ‘harta tersembunyi yang menunggu saatnya untuk ditemukan’. Ia tak menyadari apa yang sedang terjadi di dunia luar; memang baginya dunia tak lagi ada, jadi untuk apa ia peduli? Bukankah ia telah meninggalkan serta membuangnya? Ia memiliki masalah sendiri dalam dunianya, godaan serta kesengsaraan jadi untuk apa ia memedulikan dunia yang dulu ia tinggalkan? Bagaimana mungkin mereka dapat membantunya? Ia men- derita karena ia tak mampu meraih harta yang sangat berarti baginya meskipun ia telah mengorbankan nyawanya. Apa artinya teman serta ke- luarga di saat seperti ini?
Read more »
EmoticonEmoticon