Cerpen: Misteri Bunyi Gamelan
Museum Cakraningrat (di Bangkalan, Madura) itu terlihat sepi dan sunyi—terkesan kuno dan angker. Diam-diam, Gendis bergidik saat memandanginya. Tapi, Kakaknya, Pranowo, santai saja berjalan menuju pintu utama. Mau tak mau, Gendis membuntuti langkah kakaknya.
Dua kakak beradik itu mendatangi Museum Cakraningrat itu lantaran tertarik pada cerita misteri gamelan kuno yang berbunyi sendiri tiap malam Jumat Legi. Gendis teringat cerita seram yang pernah dibacanya dari buku kumpulan cerpen Indonesia. Yang mengisahkan sebuah gamelan berhantu.
Mereka sudah sampai di ruang gamelan. Sewaktu melihat gamelan kuno itu, Gendis ketakutan. Sebaliknya, Pranowo justru bersemangat memeriksa set gamelan kuno itu dengan teliti. Gendis berusaha menepis pikiran negatifnya. Namun, ingatan akan cerita misteri dari buku cerpen Indonesia justru berkembang liar memenuhi imajinasinya.
"Mas, kita pulang saja, yuk!" rengek Gendis.
Melihat adiknya pucat ketakutan, Pranowo mengiyakan.
***
Di ruang tengah rumah pamannya, Pranowo tampak termenung memikirkan sesuatu.
"Ndis, aku curiga deh. Kenapa gamelan tua itu cuma berbunyi tiap malam Jumat Legi? Pasti ada orang yang sengaja membunyikan gamelan ini, supaya orang-orang menjauh setiap malam Jumat Legi. Lalu, penjahat itu bisa leluasa memakai ruangan itu tanpa diketahui orang lain," terang Pranowo panjang lebar.
"Jiah, ngarang kamu, Mas! Ini bukan cerita detektif. Dan tampaknya, nggak bakal mungkin terjadi di dunia nyata!" sahut Gendis, sambil geleng-geleng kepala.
"Hantu itu nggak ada, Ndis. Pasti yang memainkan gamelannya itu manusia, percaya deh sama aku! Eh, besok malam Jumat Legi lho. Gimana kalau kita ke sana?" tanya Mas Pranowo, seraya menunjuk kalender meja.
"Hah? Nggak mau ah!” tukas Gendis.
“Bahkan demi seporsi sate kambing?” Pranowo mencoba menyogok.
Gendis akhirnya mau dengan tawaran kakaknya itu.
***
Bayang-bayang malam membuat Museum Cakraningrat tampak spooky. Gendis nyaris tak percaya kalau Kakaknya berhasil membujuknya menunggui gamelan berhantu itu berbunyi demi seporsi sate kambing. Padahal, kenyataan yang dihadapinya jauh lebih berisiko. Bayangan buku cerpen bahasa Indonesia kembali menyeruak memenuhi rongga kepalanya, membuatnya menggigil.
Pranowo sendiri tampak sibuk menaburkan sesuatu pada gamelan itu. "Masuk sini, jangan berisik," bisik Pranowo sambil membuka lemari pendek di dalam ruangan itu.
Gendis menuruti apa kata Kakaknya. Mereka pun bersembunyi di dalam lemari itu.
"Mas, pulang saja, yuk..." tampaknya ketakutan Gendis sudah mencapai ubun-ubun.
"Ssst... pulang gimana? Gamelannya belum bunyi, nih!" bisik Pranowo.
"Justru itu, aku nggak mau lihat hantu," sahut Gendis kesal.
"Ssst... hantu itu nggak ada. Yang melakukannya pasti orang jahat!"
"Terserahlah, pokoknya aku nggak mau ketemu hantu atau penjahat ata..." KLOTAK! Deg! Gendis langsung bungkam.
Dengan hati-hati, Pranowo mengintip ke luar. Sesosok bayangan kecil tampak mendekati gamelan. Tangan dingin Gendis refleks meremas tangan kakaknya.
"Nong... nong..." bunyi gamelan mulai terdengar—membuat Gendis merinding.
Tiba-tiba terdengar suara lain. "Hatsyi!" Lho, hantu, kok, bersin? Sebelum Gendis bisa mencegah, Pranowo telah keburu keluar dari lemari kecil itu.
"Siapa kamu? Kenapa memainkan gamelan ini?" tanya Pranowo langsung sambil menyorotkan senternya. Terkejut, sesosok bayangan itu mengangkat kepalanya.
"Ampuuuun!" pekik sosok bayangan. Ternyata itu anak kecil seumuran Gendis! Rupanya, Pranowo tadi menaburkan merica di sekitar gamelan itu. Logikanya, hantu, tidak mungkin bersin gara-gara merica.
Anak itu lalu bercerita. Namanya Rojan. Ayahnya dulu sangat menyukai barang-barang peninggalan Kerajaan Bangkalan, terutama set gamelannya. Sebelum meninggal sebulan lalu di malam Jumat Legi, ayah Tiko mengatakan ingin sekali mendengar suara gamelan tua itu dimainkan.
Karena itu, Rojan selalu datang pada malam Jumat Legi untuk memainkan gamelan tua itu. Tanpa terasa air mata Gendis meleleh mendengar cerita sedih anak itu.
"Hei, siapa di situ?" tiba-tiba terdengar suara bentakan diiringi sinar senter menyoroti mereka.
Yang datang ternyata Pak Yugo, kuncen Museum Cakraningrat. Pranowo menjelaskan apa yang telah terjadi. Pak Yugo mengatakan bahwa dia yang telah mengizinkan Rojan bermain gamelan semau dia. Pak Yugo pun mengantarkan mereka ke gerbang depan.
"Tuh, kan, Ndis, nggak ada yang namanya hantu!" ucap Pranowo bangga, seolah-olah telah membuktikan sesuatu yang ilmiah.
"Iya, iya, tapi bukan penjahat juga, kan?" sungut Gendis.
Pak Yugo yang mendengar percakapan mereka, kemudian merenung. Ayah Rojan baru meninggal sebulan lalu. Berarti baru sebulan lalu pulalah Rojan rajin memainkan gamelan setiap malam Jumat Legi. Sedangkan, gamelan tua itu sudah berbunyi sendiri sejak bertahun-tahun lalu.
Siapa pula yang membunyikannya?
"Nong," di kejauhan sayup terdengar bunyi gamelan. Mereka semua saling berpandangan.
Baca cerpen lainnya.[]
Museum Cakraningrat (di Bangkalan, Madura) itu terlihat sepi dan sunyi—terkesan kuno dan angker. Diam-diam, Gendis bergidik saat memandanginya. Tapi, Kakaknya, Pranowo, santai saja berjalan menuju pintu utama. Mau tak mau, Gendis membuntuti langkah kakaknya.
Dua kakak beradik itu mendatangi Museum Cakraningrat itu lantaran tertarik pada cerita misteri gamelan kuno yang berbunyi sendiri tiap malam Jumat Legi. Gendis teringat cerita seram yang pernah dibacanya dari buku kumpulan cerpen Indonesia. Yang mengisahkan sebuah gamelan berhantu.
Mereka sudah sampai di ruang gamelan. Sewaktu melihat gamelan kuno itu, Gendis ketakutan. Sebaliknya, Pranowo justru bersemangat memeriksa set gamelan kuno itu dengan teliti. Gendis berusaha menepis pikiran negatifnya. Namun, ingatan akan cerita misteri dari buku cerpen Indonesia justru berkembang liar memenuhi imajinasinya.
"Mas, kita pulang saja, yuk!" rengek Gendis.
Melihat adiknya pucat ketakutan, Pranowo mengiyakan.
***
Di ruang tengah rumah pamannya, Pranowo tampak termenung memikirkan sesuatu.
"Ndis, aku curiga deh. Kenapa gamelan tua itu cuma berbunyi tiap malam Jumat Legi? Pasti ada orang yang sengaja membunyikan gamelan ini, supaya orang-orang menjauh setiap malam Jumat Legi. Lalu, penjahat itu bisa leluasa memakai ruangan itu tanpa diketahui orang lain," terang Pranowo panjang lebar.
"Jiah, ngarang kamu, Mas! Ini bukan cerita detektif. Dan tampaknya, nggak bakal mungkin terjadi di dunia nyata!" sahut Gendis, sambil geleng-geleng kepala.
"Hantu itu nggak ada, Ndis. Pasti yang memainkan gamelannya itu manusia, percaya deh sama aku! Eh, besok malam Jumat Legi lho. Gimana kalau kita ke sana?" tanya Mas Pranowo, seraya menunjuk kalender meja.
"Hah? Nggak mau ah!” tukas Gendis.
“Bahkan demi seporsi sate kambing?” Pranowo mencoba menyogok.
Gendis akhirnya mau dengan tawaran kakaknya itu.
***
Bayang-bayang malam membuat Museum Cakraningrat tampak spooky. Gendis nyaris tak percaya kalau Kakaknya berhasil membujuknya menunggui gamelan berhantu itu berbunyi demi seporsi sate kambing. Padahal, kenyataan yang dihadapinya jauh lebih berisiko. Bayangan buku cerpen bahasa Indonesia kembali menyeruak memenuhi rongga kepalanya, membuatnya menggigil.
Pranowo sendiri tampak sibuk menaburkan sesuatu pada gamelan itu. "Masuk sini, jangan berisik," bisik Pranowo sambil membuka lemari pendek di dalam ruangan itu.
Gendis menuruti apa kata Kakaknya. Mereka pun bersembunyi di dalam lemari itu.
"Mas, pulang saja, yuk..." tampaknya ketakutan Gendis sudah mencapai ubun-ubun.
"Ssst... pulang gimana? Gamelannya belum bunyi, nih!" bisik Pranowo.
"Justru itu, aku nggak mau lihat hantu," sahut Gendis kesal.
"Ssst... hantu itu nggak ada. Yang melakukannya pasti orang jahat!"
"Terserahlah, pokoknya aku nggak mau ketemu hantu atau penjahat ata..." KLOTAK! Deg! Gendis langsung bungkam.
Dengan hati-hati, Pranowo mengintip ke luar. Sesosok bayangan kecil tampak mendekati gamelan. Tangan dingin Gendis refleks meremas tangan kakaknya.
"Nong... nong..." bunyi gamelan mulai terdengar—membuat Gendis merinding.
Tiba-tiba terdengar suara lain. "Hatsyi!" Lho, hantu, kok, bersin? Sebelum Gendis bisa mencegah, Pranowo telah keburu keluar dari lemari kecil itu.
"Siapa kamu? Kenapa memainkan gamelan ini?" tanya Pranowo langsung sambil menyorotkan senternya. Terkejut, sesosok bayangan itu mengangkat kepalanya.
"Ampuuuun!" pekik sosok bayangan. Ternyata itu anak kecil seumuran Gendis! Rupanya, Pranowo tadi menaburkan merica di sekitar gamelan itu. Logikanya, hantu, tidak mungkin bersin gara-gara merica.
Anak itu lalu bercerita. Namanya Rojan. Ayahnya dulu sangat menyukai barang-barang peninggalan Kerajaan Bangkalan, terutama set gamelannya. Sebelum meninggal sebulan lalu di malam Jumat Legi, ayah Tiko mengatakan ingin sekali mendengar suara gamelan tua itu dimainkan.
Karena itu, Rojan selalu datang pada malam Jumat Legi untuk memainkan gamelan tua itu. Tanpa terasa air mata Gendis meleleh mendengar cerita sedih anak itu.
"Hei, siapa di situ?" tiba-tiba terdengar suara bentakan diiringi sinar senter menyoroti mereka.
Yang datang ternyata Pak Yugo, kuncen Museum Cakraningrat. Pranowo menjelaskan apa yang telah terjadi. Pak Yugo mengatakan bahwa dia yang telah mengizinkan Rojan bermain gamelan semau dia. Pak Yugo pun mengantarkan mereka ke gerbang depan.
"Tuh, kan, Ndis, nggak ada yang namanya hantu!" ucap Pranowo bangga, seolah-olah telah membuktikan sesuatu yang ilmiah.
"Iya, iya, tapi bukan penjahat juga, kan?" sungut Gendis.
Pak Yugo yang mendengar percakapan mereka, kemudian merenung. Ayah Rojan baru meninggal sebulan lalu. Berarti baru sebulan lalu pulalah Rojan rajin memainkan gamelan setiap malam Jumat Legi. Sedangkan, gamelan tua itu sudah berbunyi sendiri sejak bertahun-tahun lalu.
Siapa pula yang membunyikannya?
"Nong," di kejauhan sayup terdengar bunyi gamelan. Mereka semua saling berpandangan.
Baca cerpen lainnya.[]
EmoticonEmoticon