22. Kekuatan Cinta Majnun - Lanjutan Novel Layla Majnun
Di alam liar itu, Majnun adalah seorang raja,
benar-benar seorang Sulaiman
yang memerintah dengan bijaksana dan penuh belas kasih.
Ia adalah raja kebaikan dan cinta;
sorang raja yang tak pernah kejam terhadap kaumnya,
tak pernah memaksakan pembayaran pajak,
ataupun memaksa mereka untuk mengorbankan hidup mereka
atau menumpahkan darah musuh mereka
pada pertempuran yang tak berguna sama sekali.
Masih membicarakan kekasihnya, Majnun segera meninggalkan keru- munan serta perkemahan mereka itu. Ia lekas kembali ke tempat persembunyiannya. Ia terbakar oleh api cinta, bersinar bagaikan batubara yang sedang terbakar. Setiap saat batubara itu meledak dan mengeluarkan nyala api, mencambuk lidahnya dan melepaskan semburan kata-kata dari bibirnya, sajak-sajak yang dirajutnya menjadi satu bagaikan mutiara yang terangkai dalam sebuah tasbih. Ia mencurahkannya kepada sang angin, mengizinkannya untuk menyebarkan kata-kata itu dan membiarkannya jatuh berlimpah – sungguh sebuah karunia bagi mereka yang sedang di- mabuk cinta dan para pecinta sajak, yang mendengarnya kemudian me- nyebarkannya. Bakat
Majnun dalam seni memang sangat luar biasa, tapi apalah artinya semua itu? Bukankah ia tidak memiliki apa-apa? Bukankah ia bebas melakukan apapun yang ia inginkan?
Bagi orang lain, Majnun kini sedikit lebih buas dari makhluk buas, ia bagaikan seekor hewan buas yang patut dikasihani karena ia terjebak dalam isolasi serta keburukannya sendiri. Namun ia tak sendiri, bahkan orang gila pun memiliki teman. Teman-teman Majnun adalah para hewan; hewan-hewan liar yang berkeliaran di gurunlah yang menjadi teman- temannya, dan ia cukup senang dengan kenyataan itu.
Majnun telah memasuki dunia hewan gurun sebagai sosok asing, namun mereka dapat menerimanya dengan baik karena Majnun datang secara damai. Ia tidak datang untuk memburu, menjebak, memotong, atau membunuh mereka. Ia merangkak memasuki gua serta sarang mere- ka bukan sebagai musuh yang jahat tapi sebagai tamu yang baik. Mereka tak melihat kejahatan pada kedua tangannya sehingga mereka semua menghormatinya.
Mungkin juga para hewan itu berpikir bahwa Majnun merupakan salah satu dari mereka, tapi itu hanya sebatas asumsi semata. Berdasarkan insting, mereka tahu bahwa ia berbeda dari manusia-manusia lainnya. Ia memiliki kekuatan khusus, kekuatan yang tak ada kaitannya dengan kekuatan tubuh ataupun ketajaman gigi seperti yang dimiliki oleh singa, puma, atau serigala gurun. Kekuatan Majnun sumber kemampuannya untuk mengendalikan para hewan itu adalah kenyataan bahwa ia tidak membu- nuh segala hal yang lebih kecil darinya. Ia bukanlah seorang predator, karena itulah mereka semua merasa aman dan nyaman bersamanya.
Meskipun begitu, pada awalnya mereka tak memahaminya.
Makhluk macam apakah dirinya, yang dapat dengan mudah membunuh makhluk-makhluk lainnya untuk dimakan namun tak melakukannya? Mengapa ia bisa begitu? Siapa yang dapat memahami pikirannya? Yang dimakannya hanyalah akar-akaran serta buah beri hanya untuk bertahan hidup – dan ia tak menunjukkan rasa takut ketika dikelilingi oleh hewan- hewan pemangsa buas yang dapat dengan mudah merobek-robeknya menjadi beberapa bagian kecil, lalu memakannya. Meskipun demikian, ia tak pernah diserang, tak pernah sekalipun hal itu terjadi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Majnun tak pernah merasa terancam ataupun terintimi- dasi oleh hewan buas apapun di gurun tersebut.
Para hewan itu akhirnya terbiasa dengan makhluk asing dari dunia manusia itu. Setiap kali mereka melihatnya atau mencium baunya yang dibawa oleh angin, mereka semua akan berlarian atau meloncat- loncat, merangkak, atau terbang untuk berkumpul di sekitarnya. Tak butuh waktu lama, Majnun bertemankan dengan seluruh hewan liar dari berbagai bentuk maupun ukuran. Dengan kehadirannya, para hewan itu seolah ter- sihir karena mereka lupa akan sifat dasar mereka yang liar dan berubah menjadi jinak dan bersahabat. Begitu terikatnya mereka dengan Majnun sehingga pada akhirnya mereka menjadi penjaganya saat ia tertidur. Awal- nya seekor singa yang menjaganya, bagaikan seekor anjing penggembala yang menjaga sekawanan hewan ternak. Tak lama kemudian yang lainnya mengikuti – para rusa jantan, serigala, lynx, puma, rubah gurun – dan akhir- nya Majnun tak dapat beristirahat dengan tenang barang lima menit saja karena tempat itu akhirnya berubah menjadi perkemahan bagi para hewan gurun.
Di alam liar itu, Majnun adalah seorang raja, benar-benar seorang Sulaiman yang memerintah dengan bijaksana dan penuh belas kasih. Ia adalah raja kebaikan dan cinta; sorang raja yang tak pernah kejam ter hadap kaumnya, tak pernah memaksakan pembayaran pajak, ataupun memaksa mereka untuk mengorbankan hidup mereka atau menumpahkan darah musuh mereka pada pertempuran yang tak berguna sama sekali.
Dengan dibimbing oleh sang penguasa melalui tindakannya, secara perlahan para hewan itu kehilangan dorongan untuk membunuh. Serigala-serigala tak lagi menyiksa para kambing, para puma mulai ber- teman dengan rusa, singa betina menyusui anak-anak rusa yang tak punya induk, dan rubah-rubah telah berdamai dengan kelinci. Pasukan hewan buas yang mengikuti ke mana pun Majnun pergi adalah pasukan yang damai, pasukan yang digerakkan oleh rasa cinta, keharuan serta persaudaraan.
Cinta para hewan kepada si majikannya yang tanpa pamrih itu seringkali melampaui intensitas cinta manusia kepada manusia lainnya. Pertemanan Majnun dengan para hewan itu adalah contoh rasa cinta yang tak mengenal pamrih. Sebagai contoh, setiap kali Majnun berke- inginan untuk tidur, si rubah gurun akan membersihkan tempat itu dari debu dan duri dengan menggunakan ekornya, sementara hewan lainnya akan menawarkan leher mereka sebagai bantal. Dan tatkala Majnun tertidur, singa akan menjaganya, bersiap-siap untuk mengusir musuh mana pun yang datang mendekat, sementara serigala dan puma akan menjaga area mereka jika ada tamu tak diundang ataupun penyelundup yang datang. Setiap hewan itu melakukan tugasnya masing-masing, menjaga dan melindungi Majnun dengan ketulusan hati yang menyentuh perasaan Majnun.
Namun semakin ia merasa terbiasa dengan teman-teman hewan- nya, semakin jarang ia melihat manusia lainnya. Mereka-mereka yang telah mengunjunginya di persembunyiannya takut dengan para hewan- hewan yang selalu berada di sekeliling Majnun dan mereka tak ingin me- ngunjunginya lagi. Dan ketika Majnun muncul di sebuah perkemahan atau pun oase dengan rombongan teman-teman hewannya, semua orang akan melarikan diri darinya. Setiap kali sesosok asing mendekati Majnun untuk berbicara, para hewan itu akan menunjukkan gigi tajam mereka dan mulai menggertak serta melolong hingga sang majikan menyuruh mereka untuk diam dan menghilangkan kecurigaan mereka. Setelah itu barulah sosok asing itu merasa aman. Mereka-mereka yang datang hanya untuk mengejek atau mengganggu Majnun seringkali dipaksa untuk berlari secepat mungkin jika tak ingin gigi-gigi, cakar-cakar serta taring-taring tajam merobek-robek mereka menjadi beberapa bagian.
Apakah sejarah pernah mengenal majikan sebaik Majnun? Apa- kah pernah ada penggembala dengan hewan ternak seperti itu? Ketika kisah tentang Majnun dan teman-teman barunya sampai di telinga semua orang, mereka sulit untuk mempercayainya. Apakah ini hanya sekedar dongeng dari masa lalu yang digubah sedemikian rupa? Begitu banyak orang yang tak mempercayainya hingga mereka melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri. Oleh karena itu mereka berkelana di gurun pasir dengan harapan dapat melihat pemandangan itu. Ketika menemukan Majnun dengan rombongan hewan buas, mereka kehilangan kata-kata, tak tahu harus berkata atau berpikir apa. Dalam banyak kasus, keter- kejutan mereka bercampur dengan rasa iba; menyadari bahwa karena cintalah eksistensi Majnun bisa menurun, mereka membawakan makan- an dan minuman demi membebaskannya dari penderitaannya. Meskipun Majnun menerima pemberian mereka, namun ia tak memakannya dan justru menyerahkannya kepada teman-teman hewannya. Dan karena ia adalah kebaikan, maka mereka juga menjadi baik.
Apakah hewan mencontoh tingkah laku manusia? Apakah atribut yang biasanya disertakan pada setiap nama hewan buas di bumi ini hanya merupakan gema suara manusia sendiri? Renungkanlah hal ini selagi kita mengalihkan perhatian ke tempat lain…….
Dulu pernah ada seorang raja, sang penguasa Marv, yang memiliki beberapa ekor anjing penjaga. Anjing-anjing itu bukanlah anjing biasa, bisa dikatakan bahwa anjing-anjing itu adalah iblis yang terlepas dari ikat- annya, benar-benar anjing hound dari neraka. Setiap ekornya memiliki kekuatan bak puma, rahang mereka cukup kuat untuk memutuskan leher unta hanya dengan satu kali gigitan saja. Tapi untuk apa sang Raja memelihara anjing-anjing buas semacam itu?
Alasannya sederhana saja. Setiap kali ada seseorang yang tak disukai oleh sang Raja atau membuatnya marah entah dengan cara apa, maka sang Raja akan melemparkannya ke anjing-anjing tersebut. Anjing- anjing itu akan merobek-robek si orang malang itu menjadi beberapa bagian kemudian memakan dagingnya.
Di antara para anggota kerajaan, ada seorang pria muda yang bijaksana serta pandai, ia memiliki keahlian berdiplomasi dan beretiket. Tentu saja pria muda ini mengetahui keberadaan hewan sebuas syaitan tersebut serta kegunaan mereka di istana itu. Ia beserta teman-temannya juga menyadari bahwa sang Raja adalah seorang pria yang temperamental, ia sangat mudah marah.
Siapapun yang disenangi oleh Raja pada hari ini, tiba-tiba saja tak disenanginya keesokan harinya, biasanya tanpa alasan yang jelas. Suasana hati sang Raja tak bisa diprediksi; apa yang telah terjadi pada yang lainnya, pikir si pria muda, bisa saja terjadi kepadaku. Dan begitulah, ia tak dapat tidur setiap malam, memikirkan takdir yang akan segera ia hadapi. Apa yang harus ia lakukan?
Akhirnya, si pria muda itu mendapatkan sebuah ide. Setiap kali ada kesempatan, ia selalu melewati kandang tempat anjing-anjing buas itu dirantai. Di sana ia akan berbicara dengan sang penjaga selama bebe- rapa waktu dan kemudian memberikan hadiah kepada mereka untuk mendapatkan kepercayaan para penjaga itu.
Dengan demikian, dimulailah rencana keduanya. Pertemanan yang dibina dengan para penjaga anjng itu membuka peluang baginya untuk berteman dengan para anjing itu.
Beberapa hari sekali, ia membawakan beberapa potong daging untuk mereka; terkadang, saat ia mendapatkan akses menyelinap ke dapur istana, ia akan membawa kambing atau domba secara utuh.
Secara perlahan, ia mendapatkan kepercayaan para anjing itu; tak lama kemudian, mereka telah terbiasa dengan kunjungannya sehingga mereka biasanya melompat-lompat dan menggonggong kesenangan setiap kali mereka melihatnya datang mendekat.
Dan ia telah mengatasi rasa takutnya. Ia membelai mereka dan bermain dengan mereka seolah mereka hanyalah anak-anak kucing. Memang itulah rencananya sedari awal. Suatu hari, tanpa alasan yang jelas, sang Raja menjadi marah dengan si pria muda itu, seperti yang telah dikhawatirkan oleh si pria muda selama ini.
Sang Raja memanggil para penjaganya dan memerintahkan agar si pria muda itu dilemparkan ke kandang anjing. Para penjaga mengikat tangan serta kaki pria muda itu dan menyeretnya menuju kandang anjing. Mereka kemudian memaksanya masuk ke dalam kandang dan menguncinya.
Lalu mereka berdiri dan menunggu para anjing buas itu menyerang mangsa barunya.
Tapi tentu saja, hal itu tak terjadi. Manusia mungkin tak selalu membalas kebaikan dengan kebaikan, tapi anjing – seberapa pun buasnya mereka – melakukannya. Begitu mereka mengenali si pria muda itu seba- gai sosok yang telah membawakan makanan serta mencurahkan perha- tian kepada mereka, mereka berlarian mendekatinya dan mulai menjilati tangan serta wajahnya sebagai wujud sayang mereka terhadapnya.
Lalu mereka duduk dengan tegak di sisinya, bersiap-siap untuk melindunginya dari segala bahaya. Bahkan tulang terlezat ataupun daging terempuk yang dilemparkan oleh para penjaga mereka tetap tak dapat menjauhkan mereka dari pria muda itu.
Para penjaga Raja memandangnya dengan takjub. Mereka datang untuk melihat ceceran darah; tapi yang mereka lihat justru pertun- jukan mengharukan tentang kasih sayang yang terjalin antara manusia dengan hewan buas. Tak mampu mempercayai apa yang mereka lihat, para penjaga berteriak-teriak pada anjing-anjing itu, mendorong mereka untuk menyerang pria muda itu, namun jeritan para penjaga itu tak diindahkan oleh para anjing.
Saat matahari mulai terbenam di pegunungan, menutupi puncak-puncak pegunungan salju itu dengan mantel merah keemasan, sang Raja duduk di singgasananya, kemarahannya kini berkurang. Bahkan, ia kini merasakan penyesalan karena telah bertindak secara ceroboh. Ia telah menghancurkan hidup seorang pria muda tanpa alasan yang jelas. Tentu saja ia tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi di kandang
anjingnya, dan tak ada seorang pun anggota istana yang berani memberi- tahunya.
Saat malam menjelang, ia menjadi sangat bingung sekali. “Me- ngapa?” jeritnya, suaranya menggema. “Mengapa kuperintahkan agar pria muda itu dilemparkan ke kandang anjing? Mengapa aku bertindak dengan begitu ceroboh? Pergilah! Pergilah sekarang dan cari tahu kabar- nya. Pergi dan lihatlah apa yang telah terjadi dengan pria malang itu.”
Para anggota istana bergegas menuju kandang dan kembali de- ngan salah seorang penjaga kandang anjing, memerintahkannya agar melaporkan segalanya pada sang Raja. Tentu saja sang penjaga merasa takut untuk menceritakan kepada Raja apa yang telah dilihatnya pada hari itu; bagaimana mungkin ia me- ngaku bahwa sang pria muda itu telah selamat dari kematian hanya de- ngan menunjukkan kasih sayangnya kepada anjing-anjing dari neraka itu dan dengan hadiah-hadiah yang selalu dibawakannya untuk anjing-anjing itu?
Ia mendekati sang Raja, memberikan hormat kepadanya, dan dengan suara gemetar berkata, “Yang Mulia! Pria ini tak mungkin seorang manusia. Benar, saya nyatakan bahwa ia mungkin sebentuk jin atau malaikat di mana Allah yang Mahakuasa telah memberikan keajaiban kepadanya. “Mari, Yang Mulia, dan lihatlah sendiri! Ia duduk di tengah kandang dan dikelilingi oleh anjing-anjing peliharaan Tuan. Dan apa yang mereka
lakukan? Bukannya merobek-robek tubuhnya, mereka justru mengusap- usapnya dengan penuh kasih sayang dan menjilati wajahnya!
“Bukankah itu sebuah keajaiban? Bukankah itu sebuah pertanda dari Allah? Anjing-anjing ini bukanlah makhluk buas biasa – mereka lebih mirip iblis daripada anjing namun dengan kehadiran pria muda itu, mereka bagaikan anak-anak kucing yang senang bermain.” Sang Raja melompat dari singgasananya dan bergegas keluar dari ruangannya, melewati tanah lapang istana menuju kandang anjing.
Melihat keajaiban itu dengan mata kepalanya sendiri, sang Raja mulai terisak. Dan ketika para penjaga mengeluarkan pria muda itu dari kandang, sang Raja, yang masih terus terisak dengan keras, memeluknya dan memohon maaf.
Beberapa hari kemudian, sang Raja memerintahkan agar si pria muda itu dibawa ke ruangannya, agar mereka dapat berbicara secara pribadi. Sang Raja yang tidak memercayai keajaiban semacam itu me rasa penasaran terhadap apa yang sebenarnya telah terjadi di dalam kandang, dan mengapa si pria muda itu tidak diserang seperti orang-orang sebelumnya. “Katakan padaku, pria muda,” katanya, “Mengapa anjing- anjingku tidak membunuhmu? Apa rahasiamu?”
Begitu si pria muda itu menceritakan semuanya, mata sang Raja
terbeliak lebar dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tak per- caya.
Si pria muda menjawabnya, “Memang benar bahwa anjing-anjing Tuan telah menjadi teman-teman saya dan saya terselamatkan hanya ber- kat beberapa potong tulang dan daging. Saya menunjukkan kebaikan kepada mereka dan mereka membalasnya dengan menyelamatkan nyawa saya.”
“Tapi bagaimana dengan Anda, Yang Mulia? Saya telah melayani Anda dengan setia selama sepuluh tahun – sebagian besar dari hidup saya bahkan, dan Anda mengetahuinya dengan baik. Meskipun begitu Anda tak ragu untuk membiarkan saya mati oleh anjing-anjing Anda hanya karena kesalahan ringan saya yang membuat Anda tak senang.
“Hanya karena saya membuat Anda kesal selama beberapa saat, Anda mengeluarkan perintah agar saya dibunuh! Sekarang Anda katakan pada saya, siapa yang menjadi teman terbaik: Anda ataukah anjing- anjing buas dari neraka itu? Siapa yang layak menerima hormat saya: Yang Mulia ataukah iblis-iblis berbentuk anjing itu?”
Si pria muda itu berbicara dengan berani dan terus terang, namun sang Raja tidak menjadi marah, ia justru merendahkan hatinya. Sangatlah jelas bahwa seluruh kejadian itu merupakan sebuah ujian dari Allah untuk semua umat manusia, dan dari kisah tersebut ada sebuah pelajaran yang dapat dipetik.
Sang Raja memutuskan untuk tak lagi bertindak ceroboh dengan melemparkan orang-orang tak bersalah ke anjing-anjing buasnya; ia akan berusaha untuk menjinakkan anjing-anjing buas itu dengan jiwanya. Tapi kita telah melangkah terlalu jauh. Apa kaitan kisah itu dengan Majnun? Ia berbuat baik kepada hewan-hewan itu bukan karena ia takut kepada mereka, tapi karena kebaikan merupakan bagian dari dirinya; ia tak dapat menolak untuk memperlakukan mereka dengan penuh hormat dan kasih sayang.
Pada akhirnya, para hewan buas yang berkumpul di sekitarnya menyayanginya sebesar rasa sayangnya kepada mereka. Kesetiaan mereka kepadanya tak terpatahkan dan seperti yang akan kita saksikan nanti, mereka akan terus berada di sisinya hingga akhir. Apakah arti dari anekdot ini mudah untuk diterima? Apakah kalian semua memahami artinya, pembaca? Kisah di atas berarti bahwa jika kita mencontoh Majnun, kita takkan menderita oleh siksaan serta keseng- saraan dari dunia ini.
EmoticonEmoticon