Tampilkan postingan dengan label Naga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Naga. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Ular Dandaung

Konon, dahulu kala ada sebuah kerajaan. Tidak disebutkan oleh pencerita apa nama kerajaan itu. Menurut cerita, kerajaan itu cukup besar. Negerinya kaya raya sehingga penghasilan rakyat melimpah ruah. Rajanya adil dan bijaksana. Kekayaan kerajaan bukan hanya dinikmati raja dan keluarganya, tetapi rakyat pun turut menikmati. Pantaslah jika kerajaan itu selalu dalam suasana tenteram dan damai. Dengan kerajaan-kerajaan lain pun, tidak pernah terjadi silang sengketa sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai.



Sayang, ketenteraman itu tidak bertahan lama. Tidak disangka-sangka musibah datang menimpa mereka. Mereka bukan diserang musuh yang iri pada kemakmuran dan kerukunan kerajaan, tetapi oleh burung raksasa yang tiba-tiba muncul. Langit menjadi gelap gulita karena tubuh burung itu amat besar. Kepak sayapnya memekakkan telinga.

Karena serbuan burung raksasa itu demikian mendadak, rakyat kerajaan panik luar biasa. Mereka bingung dan tidak tahu akan berbuat apa menghadapi suasana itu. Mereka menyangka kiamat sudah datang.

Dalam sekejap mata, kerajaan itu musnah binasa dengan segala isinya. Bangunan rata dengan tanah. Pohon-pohon bertumbangan. Rakyat dijemput maut tertimpa pohon atau terbenam dalam reruntuhan rumah dan gedung mereka.

Ibarat sebuah negeri kalah perang, kerajaan yang sebelumnya subur makmur itu menjadi sebuah lapangan terbuka. Tiada tumbuhan, hewan, dan manusia di sana, kecuali raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya. Mereka bingung dan takut, barangkali datang serangan kedua. Jika hal itu terjadi, tamatlah riwayat mereka. Dengan mudah burung raksasa itu melihat mereka sebab tidak selembar daun lalang pun dapat dijadikan tempat untuk berlindung.

Akan tetapi, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan karena terhindar dari malapetaka. Tuhan yang Mahabesar masih menginginkan kehadiran mereka di dunia.

Dalam keadaan tidak menentu itu mereka dikagetkan lagi dengan kejadian yang membuat mereka semakin putus asa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor ular raksasa hadir di depan mereka. Ular itu mengangakan mulutnya sehingga lidahnya yang besar dan berbisa bergerak-gerak keluar masuk mulutnya. Raja bersama permaisuri dan ketujuh putri berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka sating merangkul. Raja berpikir, jika harus mati, biarlah mereka mati bersama menjadi mangsa ular raksasa itu.

“Paduka tak usah takut,” tiba-tiba ular itu berkata. “Hamba tidak akan mengganggu Paduka, permaisuri, dan putri-putri Paduka, asalkan Paduka mengabulkan permohonan hamba.”

Rasa takut raja sekeluarga berkurang mendengar ular itu dapat berbicara seperti manusia.
“Siapakah engkau? Apakah keinginanmu?” tanya sang raja.

“Nama hamba Dandaung. Ular Dandaung,” ujar ular raksasa itu. “Hamba ingin memperistri salah seorang putri Paduka.”

Tertegun sejenak sang raja mendengar permintaan Ular Dandaung. Seekor ular raksasa ingin memperistri anaknya? Tidak masuk akal ular menikah dengan manusia. la tidak berani menolak karena takut akibatnya.

“Aku tidak menolak, tetapi juga tidak menerima lamaranmu,” sahut sang raja. “Aku harus menanyakan hal ini kepada putriku satu per satu!”

Seorang demi seorang putrinya ditanya. Putri sulung sampai dengan putri keenam menolak diperistri Ular Dandaung. Sang raja sudah membayangkan akibat buruk yang akan mereka terima andaikata putrinya menolak.

“Hamba bersedia menjadi istrinya,” kata putri bungsu ketika ditanya ayahandanya.

Tentu saja kakak-kakaknya mengejek putri bungsu. Berbagai cemooh mereka lontarkan, tetapi putri bungsu menerimanya dengan tabah. Pendiriannya tidak tergoyahkan.


Pada suatu matam, putri bungsu terbangun dari tidur. Ia amat kaget karena bukan Ular Dandaung yang berbaring di sisinya melainkan seorang permuda tampan. Belum habis rasa herannya, pemuda itu berkata, “Aku bukan orang lain, aku suamimu si Ular Dandaung. Aku seorang raja yang Baru terbebas dari kutukan.”

Raja dan permaisuri terkejut melihat kejadian itu. Akan tetapi, mereka bangga mendapat menantu yang sangat tampan, apatagi is seorang raja. Hanya keenam putrinya tidak habis-habisnya menyesaii diri mereka.

Di kemudian hari terbukti bahwa di samping seorang raja yang tampan, Ular Dandaung juga seorang yang mempunyai kehebatan. Dengan kesaktiannya, burung raksasa yang menghancurkan kerajaan mertuanya dapat ditaklukkan dan dibunuh. Ia juga menciptakan sebuah kerajaan Baru, lengkap dengan segala peralatan dan rakyatnya.

Ketika mertuanya tidak mampu memerintah lagi, Ular Dandaung menggantikannya dan putri bungsu menjadi permaisurinya.

Kamis, 18 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Biwar Sang Penakluk Naga

Biwar adalah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa dari daerah Mimika, Papua, Indonesia. Ketika ia masih dalam kandungan, ayahnya tewas diserang oleh seekor naga saat mengarungi sebuah sungai di daerah Tamanipia. Oleh karenanya, sejak lahir ia dirawat dan dididik oleh ibunya seorang diri dengan dibekali berbagai ilmu pengetahuan. Setelah dewasa, Biwar bermaksud untuk membinasakan naga yang telah melenyapkan nyawa ayahnya. Bagaimana cara Biwar membinasakan naga yang ganas itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Biwar Sang Penakluk Naga berikut ini.


Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur, mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya. Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti untuk mendapatkan hati sagu yang berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tumbuk hingga menyerupai ampas kelapa dengan menggunakan pangkur. Hasil tumbukan itulah yang disebut dengan sagu. Selanjutnya, sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah wadah bambu yang sudah dibelah, lalu mencampurinya dengan air.
Setelah itu, kaum perempuan segera memeras sagu itu. Air perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk mendapatkan sari pati tersebut, air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya mengendap di dasar wadah bambu. Setelah air perasan berubah dari warna putih menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang hingga yang tersisa hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola tenis atau memanjang seperti lontong. Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap dimasak tersebut mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan.
Setelah menaikkan semua tumang yang berisi sagu tersebut ke atas perahu, rombongan itu pun berlayar menyusuri sungai untuk kembali ke perkampungan. Saat perahu yang mereka tumpangi melewati sungai di daerah Tamanapia, tiba-tiba seeokar naga muncul dari dalam air dan langsung menyerang mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu menghancurkan perahu itu hingga berkeping-keping. Tak ayal, seluruh penumpangnya terlempar dan tenggelam di sungai, kecuali seorang perempuan yang sedang hamil dapat menyelamatkan diri.
Kebetulan perempuan hamil mampu meraih salah satu kepingan perahu yang telah hancur saat ia terlempar ke sungai. Kepingan perahu itulah kemudian ia jadikan sebagai pelampung hingga dapat sampai ke tepi sungai dan melarikan diri masuk dalam hutan. Untuk berlindung dari binatang buas, perempuan hamil itu tinggal di dalam sebuah gua yang ia temukan dalam hutan tersebut. Dalam keadaan hamil tua, perempuan yang malang itu berusaha mencari daun-daun muda dan umbi-umbian untuk bisa bertahan hidup.
Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang melahirkan seorang diri. Atas kuasa Tuhan, ia berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini, perempuan itu tidak lagi kesepian tinggal di tengah hutan tersebut. Ia pun merawat dan membesarkan Biwar dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia mengajarinya berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain itu, ia juga mengajari Biwar bermain tifa hingga mahir memainkan alat musik tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap hari ia membantu ibunya mencari lauk dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga membantu ibunya membuat sebuah rumah sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah adat masyarakat Papua yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut dari jerami atau ilalang.
Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di sungai dengan membawa beberapa ekor ikan besar. Setiba di depan rumahnya, ia meletakkan ikan hasil tangkapannya itu di tanah seraya berteriak memanggil ibunya.
Mama..., Mama..., keluarlah lihat! Biwar membawa ikan yang besar-besar,” teriak Biwar.
Mendengar teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Dari mana kamu dapatkan ikan itu, Anakku?”
“Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang dalam. Sungai itu banyak sekali ikannya dan pemandangan di sekitarnya amat indah,” ungkap Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar akan tunjukkan tempat itu.”
Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari, berangkatlah mereka ke sungai yang dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu Biwar saat tiba di sungai itu. Ia langsung teringat kepada almarhum suaminya.
“Biwar, Anakku! Ketahuilah, ayahmu beserta keluarga dan teman-taman Mama tewas di sungai itu karena diserang oleh seekor naga!” ungkap sang ibu mengenang masa lalunya yang amat memilukan hati.
Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk membinasakan naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya.
“Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,” cegah ibunya.
“Tidak Mama. Bukankah Mama telah mengajarkan Biwar berbagai ilmu? Dengan ilmu itulah Biwar akan membinasakan naga yang menghilangkan nyawa Papa,” tegas Biwar.
Sang ibu tidak mampu membendung tekad keras Biwar. Sebelum melaksanakan tekadnya, Biwar bersama ibunya pulang ke rumah untuk menyiapkan semua senjata yang diperlukan. Setelah menyiapkan tombak, golok, dan panahnya, Biwar pun berpamitan kepada ibunya untuk pergi mencari sarang naga itu di sekitar sungai.
“Hati-hati, anakku!” ujar mama-nya.
“Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan ibunya.
Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang diduga sebagai tempat persembunyian naga itu.
“Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua ini,” gumam Biwar.
Dengan langkah perlahan-lahan, Biwar mendekati gua itu. Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa yang diselipkan di pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar dari dalam gua. Alunan musik tifa yang dimainkan Biwar benar-benar menarik perhatian sang naga. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua.
Mendengar suara itu, maka semakin yakinlah Biwar bahwa di dalam gua itulah sang naga bersarang. Ia pun segera bersiap-siap dengan golok di genggamannya untuk berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang menyerangnya. Ternyata benar, tak lama berselang, kepala naga itu tiba-tiba muncul di mulut gua. Tanpa berpikir panjang, Biwar segera melemparkan tombaknya ke arah kepala naga itu dan berhasil melukainya. Meskipun terluka parah, naga itu masih terlihat ganas. Maka sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya.
“Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang telah kau binasakan di sungai ini!” seru Biwar seraya memenggal kepala naga itu hingga nyaris putus.
Tak ayal, naga itu jatuh terkulai di depan mulut gua. Melihat hal itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan bebatuan. Setelah memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke rumahnya untuk memberitahukan keberhasilannya membinasakan naga itu kepada ibunya. Betapa senangnya hati sang ibu mendengar berita gembira tersebut.
“Naga telah menerima hukumannya. Kini hati Mama sudah lega,” ucap ibunya, “Segeralah buat perahu anakku lalu kita kembali ke perkampungan!”
Keesokan harinya, Biwar pun membuat sebuah perahu kecil yang cukup ditumpangi mereka berdua. Dalam beberapa hari, perahu itu pun selesai dibuatnya dan siap untuk digunakan. Akhirnya, dengan perahu itu, Biwar bersama ibunya berlayar mengarungi sungai menuju ke tanah kelahiran ibunya. Setiba di perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira oleh penduduk setempat. Untuk merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan yang telah menaklukkan naga itu, mereka mengadakan pesta yang meriah.
* * *
Demikian cerita Biwar Sang Penakluk Naga dari daerah Mimiki, Provinsi Papua. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat sabar dan pemberani. Sifat sabar ditunjukkan oleh ditunjukkan oleh perilaku ibu Biwar yang senantiasa berjuang melahirkan dan membesarkan Biwar seorang diri di tengah hutan. Berkat kesabarannya, ia berhasil mendidik Biwar menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Sementara itu, sifat pemberani ditunjukkan oleh keberanian Biwar menghadapi seekor naga yang ganas. Dengan keberanian yang dimiliki, ia berhasil membinasakan naga itu.

Jumat, 10 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Erau

Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun, oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Kemudian dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal-Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang cerita di masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 M.) yang berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama. Cerita legenda ini terpusat pada kisah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, ia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau.   


Alkisah, di lereng sebuah gunung di daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Namun demikian, suami-istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewata agar diberi keturunan.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. “Pak, coba lihat apa yang terjadi di luar,” kata sang istri.
Dengan memberanikan diri Petinggi Dusun Jaitan Layar keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata, “Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa.”
Kemudian Dewa itu berpesan kepada Petinggi Jaitan Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan.”
Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi, “Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi di sungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”
Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,” kata sang Petinggi sambil menyembah.
Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapa pun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan, “Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya”.
Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa itu telah mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk dusun Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagat sebanyak tujuh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah.
Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Dusun Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembeli bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata, "Tiada siapa pun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan." Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-sehari.
Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
Setelah menjadi raja, Aji Batara Agun Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari Kahyangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah kampung Melanti dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu  melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus berlalu. Ulat kecil itu tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak usah takut kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah”. Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada Istrinya, Babu Jaruma.
Keesokan harinya, sang Petinggi pun sibuk membuat tangga dari kayu lampong. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang Putri yang menemuinya dalam mimpi. “Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda menigkuti ananda ke mana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menaburi ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.” Sang Naga pun kemudian menuruni tangga, lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena ditumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu. “Lihat Pak! Sepertinya benda itu seorang bayi,” seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan anak dari Kahyangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu.
Waktu terus berjalan, Putri Karang Melanu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Demikianlah kisah perjalanan hidup Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu mulai kecil hingga akhirnya mereka menikah. Sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri Karang Melanu, diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan puncak acara pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga, masyarakat Kutai Kartanegara mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun sebuah gedung pertunjukkan pada tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang Melanu.    
Pada masa kerajaan Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan oleh kerabat istana dengan mengundang pemuka masyarakat yang setia kepada raja. Waktu penyelenggaraan Festival Erau tergantung pada kemampuan kerajaan, minimal tujuh hari delapan malam dan maksimal empat puluh hari empat puluh malam. Namun, sejak masa kerajaan Kutai Kartanegara berakhir tahun 1960, pelaksanaan Erau sempat mandek selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1971, Erau (yang kemudian populer dengan sebutan Festival Erau) ini kembali dilaksanakan atas prakarsa Bupati Kutai, Achmad Dahlan, dengan merangkaikan perayaan hari jadi Kota Tenggarong. Sejak itulah, Festival Erau menjadi agenda rutin pemerintah Kutai Kartanegara dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tenggarong. Oleh karena itu, setiap perayaan hari jadi Kota Tenggarong selalu dirangkaikan dengan Festival Erau dan berbagai festival lainnya. Pada tanggal 28 September 2003, perayaan hari jadi Kota Tenggarong ke-221 dirangkaian dengan penyelenggaraan Festival Erau dan Zapin International Festival.
Dalam Festival Erau, berbagai macam seni dan olahraga tradisional yang mereka tampilkan, di antaranya Menjamu Benua, Merangin Malam, Mendirikan Tiang Ayu, Upacara Penabalan, Pelas (Pagelaran Kesenian Keraton Kutai Kartanegara), Seluak Mudik, Mengulur Naga, dan diakhiri dengan Belibur. Selain itu, dalam festival itu juga ditampilkan berbagai kesenian Dayak seperti Papaer Maper, Kuangkay, Mumutn, Ngayau, Lemakan Balei, Uman Undad, Pasek Truit, Erau Anak (Penhos). Tak ketinggalan pula keseniaan daerah pesisir (kesenian Melayu) seperti Tarsul dan Badendang. Untuk lebih meramaikan Festival Erau, biasanya diadakan penyalaan kembang api raksasa di Pulau Kumala pada malam hari. Ratusan ribu orang menyaksikan indahnya warna-warni menghiasi langit dari tepian Sungai Mahakam. 

Saat ini, penyelenggaraan Festival Erau oleh masyarakat Tenggarong tidak sekedar untuk melestarikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, akan tetapi juga untuk memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bupati Kutai Kartanegera, Syaukani, Festival Erau merupakan wujud rasa syukur masyarakat Kutai Kartanegara dan pemerintah daerah dalam melakukan kegiatan pembangunan. Pelaksanaan Erau diharapkan dapat menjadi upaya positif untuk menjual dan memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Festival Erau selalu dinanti-nanti oleh masyarakat Kutai Kartanegara setiap tahun, karena memang sudah masuk dalam kalender wisata nasional. Festival Erau ini merupakan sebuah peristiwa yang telah menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia.

Jumat, 08 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Ular N'daung

Ular N’Daung adalah seekor ular raksasa yang tinggal di sebuah puncak gunung di daerah Bengkulu. Ular N’Daung itu terkenal buas dan ganas yang akan memangsa siapa saja yang mendekati puncak gunung tersebut. Suatu ketika, seorang gadis cantik memberanikan diri mendekati puncak gunung karena ingin mencari bara gaib untuk mengobati ibunya yang sedang sakit keras. Bagaimana nasib gadis cantik itu selanjutnya? Simak ceritanya dalam Kisah Ular N’Daung berikut ini!



Dahulu, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu, hiduplah seorang janda tua dengan tiga anak gadisnya. Dari ketiga anak gadis tersebut, si Bungsulah yang paling rajin membantu ibu mereka bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ia juga yang harus memasak sepulang dari ladang. Sementara itu, kedua kakaknya hanya bermalas-malasan di rumah. Mereka tidak pernah membantu ibu mereka bekerja di ladang.  

Suatu hari, sang Ibu sakit keras, tidak mau makan dan minum. Melihat kondisi ibunya yang parah itu, cepat-cepatlah si Bungsu memanggil tabib desa. Sang Tabib pun segera memeriksa keadaan perempuan tua itu.
“Maaf, anak-anakku! Sakit yang diderita ibu kalian sudah sangat parah,” ungkap tabib itu.
“Apakah Ibu kami masih dapat disembuhkan, Tuan Tabib?” tanya si Bungsu dengan cemas.
“Iya, Bungsu. Ibu kalian masih bisa sembuh bila diberi obat khusus,” jawab tabib itu.
“Obat khusus apakah itu, Tuan Tabib?” tanya lagi si Bungsu,“ Barangkali kami dapat mendapatkannya.”
“Ibu kalian hanya bisa disembuhkan dengan ramuan beberapa daun hutan yang dimasak dengan bara gaib,” jelas tabib itu, “Tapi maaf, saya tidak dapat membantu kalian untuk mendapatkan bara gaib itu.”
“Kenapa, Tuan Tabib?” tanya si Sulung.
“Ketahuilah, bara gaib itu hanya terdapat di gua yang berada di puncak gunung. Namun, gua itu dijaga oleh seekor ular raksasa yang menyeramkan bernama Ular N’Daung. Ular itu amat ganas dan buas. Ia akan memangsa setiap orang yang mendekati gua itu,” jelas sang Tabib.
Mendengar keterangan tabib itu, kedua kakak si Bungsu menjadi ketakutan.
“Iih…, sungguh mengerikan! Aku tidak mau naik ke puncak gunung itu,” kata si Sulung.
“Aku pun tidak berani ke sana. Aku tidak mau mati muda!” sahut kakak si Bungsu yang kedua. 

Berbeda dengan kedua kakaknya, si Bungsu justru bertekad ingin ke puncak gunung itu, walaupun ada rasa takut dalam dirinya. Ia akan melakukan itu demi mendapatkan bara api gaib agar ibunya dapat segera sembuh. 
“Baiklah, Kakak-kakakku. Jika kalian tidak mau ikut, biarlah saya sendiri yang pergi,” kata si Bungsu. 

Setelah memohon restu kepada sang Ibunda tercinta yang sedang terbaring lemas, si Bungsu pun berangkat dengan menyusuri jalan setapak. Jalan menuju ke puncak gunung itu cukup terjal dan berbatu. Meskipun demikian, si Bungsu tetap semangat dan tak kenal lelah. 

Setiba di puncak gunung, terlihat oleh si Bungsu sebuah gua yang hampir tertutupi oleh rimbunan dedaunan. Hati hadis itu mulai diselimuti rasa takut karena suasana di sekitarnya sepi mencekam. Namun, karena teringat kepada ibunya yang terbaring lemah, ia pun memberanikan diri untuk mendekati mulut gua itu. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dalam gua itu.
“Hai, suara apa itu? Apakah suara Ular N’Daung?” gumam si Bungsu seraya mundur selangkah.

Benar perkiraan si Bungsu. Selang beberapa saat kemudian, Ular N’Daung itu tiba-tiba muncul di mulut gua.
”Hai, gadis cantik! Siapa kamu dan mau apa kamu kemari?” tanya Ular N’Daung.

Alangkah terkejutnya si Bungsu karena ular raksasa itu ternyata dapat berbicara layaknya manusia.
“Ma… maaf, Tuan Ular N’Daung kalau kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan!.” jawab si Bungsu dengan gugup, “Saya si Bungsu hendak mencari bara gaib untuk mengobati ibu saya yang sedang sakit keras.”

Ular N’Daung menggeliatkan ekornya lalu berkata kepada si Bungsu.
“Aku akan memberikanmu bara gaib itu, tapi dengan syarat kamu harus menikah denganku,” ujar Ular N’Daung.

Mendengar pernyataan Ular N’Daung itu, si Bungsu menjadi bingung. Dalam hatinya berkata bahwa dirinya tidak mungkin menikah dengan seekor ular. Namun, demi kesembuhan sang Ibunda tercinta, maka ia akhirnya menyanggupi persyaratan tersebut.
“Baiklah, Tuan Ular N’Daung. Saya bersedia menikah dengan Tuan setelah ibu saya sehat kembali,” kata si Bungsu.

Ular N’Daung segera masuk ke dalam gua dengan perasaan gembira. Tak lama kemudian, ia pun kembali dengan membawa sebutir bara gaib.
“Bawalah bara gaib ini! Semoga penyakit ibumu cepat sembuh,” ujar Ular N’Daung seraya menyerahkan bara gaib itu kepada si Bungsu.
“Terima kasih, Tuan Ular N’Daung,” ucap si Bungsu seraya berpamitan.

Si Bungsu segera membawa pulang bara gaib itu. Setiba di rumah, ia pun disambut oleh sang Tabib dan kedua kakaknya dengan perasaan heran bercampur gembira.
“Hai, Bungsu! Bagaimana caranya kamu bisa selamat dari Ular N’Daung itu?” tanya sang Tabib heran.

Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di puncak gunung hingga ia mendapatkan bara gaib itu. Kedua kakaknya yang mendengar cerita itu bukannya prihatin kepada si Bungsu melainkan menyindirnya.
“Ah, masa manusia menikah dengan ular?” celetuk si Sulung.
“Sudahlah! Mestinya kalian berterima kasih kepada adikmu yang telah mempertaruhkan dirinya demi memperoleh bara gaib ini,” ujar sang Tabib. 

Setelah itu, sang Tabib segera memasak ramuan daun hutan yang telah disiapkan dengan bara gaib. Alhasil, janda tua itu sehat kembali setelah meminum ramuan tersebut. Ia  merasa amat bahagia begitu mengetahui bahwa dirinya sembuh berkat pengorbanan si Bungsu.
“Terima kasih, Bungsu! Engkau memang anak yang pandai berbakti kepada orang tua. Engkau telah mengorbankan segalanya demi kesembuhan Ibu,” puji sang Ibu.
“Sudahlah, Bu. Tidak usahlah memuji seperti itu. Yang penting sekarang Ibu sudah kembali sehat,” kata si Bungsu merendahkan diri. 

Keesokan harinya, si Bungsu pun berpamitan kepada ibu dan kedua kakaknya untuk kembali ke puncak gunung. Suasana haru pun menyelimuti hati keluarga kecil itu.
“Maafkan aku, Bu. Aku harus kembali ke puncak gunung untuk menepati janji pada Ular N’Daung. Mohon doa restunya, ya Bu!” pinta si Bungsu.
“Iya, Anakku. Ibu merestui. Tapi, Ibu berharap semoga Ular N’Daung itu berubah pikiran,” harap sang Ibu sambil meneteskan air mata.
“Iya, Bu. Bungsu pun berharap begitu. Tapi, kalau tidak, barangkali itu memang sudah menjadi nasib Bungsu harus menikah dengan ular,” kata si Bungsu.

Akhirnya, si Bungsu kembali ke puncak gunung untuk menemui Ular N’Daung dan tinggal di gua itu. Pada malam harinya, si Bungsu dikejutkan oleh sebuah peristiwa ajaib. Ia menyaksikan Ular N’Daung berubah wujud menjadi seorang kesatria yang tampan dan gagah perkasa.
“Hai, bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya si Bungsu dengan heran, “Siapa sebenarnya Kanda?”
“Maaf, Dinda. Kanda adalah seorang pangeran dari sebuah kerajaan di negeri ini. Nama saya Pangeran Abdul Rahman Almsjah,” ungkap Ular N’Daung yang telah berubah wujud seorang pangeran itu.

Pangeran itu kemudian menceritakan bahwa dirinya disihir menjadi seekor ular oleh pamannya karena menginginkan kedudukannya sebagai calon raja. Ia juga berjanji baru akan menikahi si Bungsu setelah sihir itu sirna dari tubuhnya.
“Kelak jika sihir ini telah hilang pada diri Kanda, barulah Kanda akan menikahimu,” kata sang Pangeran, “Kamu tetaplah tinggal bersamaku di gua ini hingga sihir itu hilang.”
“Baik, Kanda,” kata si Bungsu. 

Sementara itu, ibu dan kakak-kakak si Bungsu penasaran ingin mengetahui keadaan si Bungsu. Mereka pun kemudian naik ke puncak gunung dan tiba di sana saat hari sudah gelap. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat suami si Bungsu seorang lelaki tampan dan perkasa. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa suami si Bungsu adalah seorang pangeran.

Mengetahui hal tersebut, maka timbullah perasaan iri hati pada diri kedua kakak si Bungsu. Mereka pun berniat jahat untuk menfitnah adiknya itu dengan cara membakar kulit Ular N’Daung. Dengan begitu, pangeran itu akan murka kepada si Bungsu dan mengusirnya.

Saat si Bungsu dan pangeran itu terlelap, kedua kakak si Bungsu segera menjalankan niat jahat mereka. Keduanya diam-diam mencuri kulit Ular N’Daung lalu membakarnya. Setelah itu, abu bekas pembakaran itu mereka letakkan di samping si Bungsu lalu kembali tidur. 

Ketika hari menjelang pagi, Pangeran Abdul Rahman Alamsjah pun bangun hendak mengenakan kulit ularnya. Alangkah senangnya hati pangeran itu saat melihat kulit ularnya terbakar. Ia pun segera membangunkan si Bungsu.
“Dinda, ayo cepat bangun!” seru sang Pangeran.
“Apa yang terjadi, Kanda?” tanya si Bungsu dengan panik.
“Lihatlah, ada orang yang telah membakar kulit ularku,” jawab pangeran itu, “Apakah Dinda yang melakukannya?”
“Bukan, Kanda,” jawab si Bungsu.
“Ya, syukurlah kalau begitu. Berarti Kanda benar-benar terbebas dari sihir itu,” kata Pangeran Alamsjah dengan gembira, “Jika ada orang yang membakar kulit ularku secara sukarela, maka sihir yang melekat pada diri Kanda akan sirna,” ungkap Pangeran.

Si Bungsu pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada ibu dan kedua kakaknya. Mendengar kabar tersebut, kedua kakaknya merasa amat menyesal dan mengakui bahwa merekalah yang melakukan pembakaran kulit ular itu. Akhirnya, Ular N’Daung yang kini telah kembali menjadi pangeran bermaksud memboyong si Bungsu dan keluarganya. Namun, kedua kakaknya menolak ikut serta karena merasa malu dengan perbuatan mereka.  

Setiba di istana, Pangeran Abdul Rahman Alamsjah segera mengusir pamannya dari istana. Setelah dinobatkan menjadi raja, ia pun menikahi si Bungsu dengan pesta yang amat meriah. Mereka pun hidup berbahagia.
* * *
Demikian cerita Kisah Ular N’Daung dari daerah Bengkulu. Sedikitnya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat rajin dan berbakti kepada kedua orang tua seperti halnya si Bungsu, serta akibat buruk dari sifat iri hati seperti halnya kedua kakak si Bungsu.

Kamis, 14 Februari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Dang Gedunai, Asal Mula Naga Di Laut Lepas

Benarkah “naga” itu ada di dunia ini? Pertanyaan ini memang sulit untuk dijawab. Banyak yang mengatakan bahwa keberadaan naga itu hanya merupakan hasil imajinasi manusia. Adapula yang mengatakan, naga itu hanya ada dalam legenda, tidak pernah ada dalam kenyataan. Namun, tak jarang pula yang memercayai bahwa naga itu pernah ada di dunia ini. Bahkan, selama ribuan tahun, masyarakat Cina menganggap, mereka adalah keturunan naga. Konon, anggapan ini berasal dari dongeng dan totem (binatang yang disucikan dan disembah) zaman dahulu kala. Dalam legenda itu, diceritakan bahwa sebelum Huang Di berhasil menyatukan bagian tengah Tiongkok, totemnya adalah beruang. Setelah mengalahkan Chiyou dan menyatukan Tiongkok, Huang Di mengganti totem lama menjadi totem baru yaitu totem naga. Sejak naga menjadi totem nenek moyang mereka, bangsa Tionghoa (masyarakat Cina) pun berhubungan erat dengan naga, sehingga di kalangan masyarakat muncul banyak dongeng tentang kelahiran nenek moyang mereka. Dongeng tersebut di antaranya Yan Di, Huang Di dan Yao. Dari dongeng inilah, bangsa Tionghoa berkeyakinan bahwa nenek moyang mereka merupakan keturunan “naga”. 


Naga memang makhluk yang masih misterius. Hingga kini, makhluk misterius ini hanya dapat dilihat melalui gambar, lukisan, foto-foto, maupun dalam bentuk visual. Penyimbolan terhadap naga ini hampir merata di seluruh dunia. Naga disimbolkan sebagai ular yang besar dengan wajah garang, memiliki sepasang sayap dan kaki dengan cakar-cakarnya yang tajam. Namun, di Asia dan Amerika Latin, naga disimbolkan tidak memiliki sayap. Selain simbol dalam bentuk konkret (fisik), naga juga disimbolkan dalam bentuk abstrak. Di kalangan bangsa Tionghoa, naga dipercaya sebagai suatu simbol keberuntungan dan kebajikan. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa naga adalah sumber kekuatan magis yang mampu mengontrol angin, hujan, dan gerak alam raya. Bahkan, mereka meyakini bahwa naga merupakan penghubung antara manusia dengan para dewa di surga dan neraka. Jadi, jangan heran jika naga adalah shio terkuat dan paling beruntung dalam zodiak atau astrologi Cina. 

Simbol-simbol yang dilekatkan pada naga tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan naga itu. Sampai-sampai kaisar pertama yang menyatukan daratan Cina, Chin Sin Huang Ti atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Kaisar Kuning”, oleh rakyatnya diberi gelar sebagai “Sang Putra Naga”. Ia dianggap memiliki kekuatan abstrak seperti yang disimbolkan pada naga. Dengan kekuataan itu, ia mampu menaklukkan empat negara yang semuanya masuk dalam wilayah kekuasaannya. Sebagai simbol kekuasaan, singgasananya yang terbuat dari batu giok diberi profil seekor naga yang sedang mengejar bola mustika. Demikianlah, simbol-simbol tentang keberadaan dan kekuasaan naga dalam bangsa Tionghoa.

Pertanyaannya adalah dari mana asal-mula naga itu? Jika bangsa Tionghoa dapat mengetahui tentang keberadaan naga tersebut melalui legenda, masyarakat Indragiri Hulu, Propinsi Riau, Indonesia, juga demikian adanya. Bahkan masyarakat Indragiri juga mengetahui tentang asal-mula naga tersebut yang dikaitkan dengan sebuah cerita rakyat yang dikenal dengan Dang Gedunai. Dalam cerita ini, dikisahkan tentang seorang anak laki-laki yang durhaka terhadap ibunya. Orang-orang di sekitarnya memanggilnya Dang Gedunai. Bagaimana Dang Gedunai bisa durhaka terhadap ibunya? Lalu, apa yang akan terjadi pada diri Dang Gedunai? Ikuti kisahnya dalam cerita Dang Gedunai: Asal-Mula Naga di Laut Lepas berikut ini. 

* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Riau tersebutlah seorang anak laki-laki yang bernama Dang Gedunai. Ia adalah anak yang keras kepala. Ia selalu mengikuti kemauannya sendiri dan tidak mau mendengarkan perkataan orang lain.

Pada suatu hari, Dang Gedunai ikut menangguk ikan bersama orang-orang di sungai. Saat orang-orang mendapat ikan, ia justru mendapatkan sebutir telur. “Dang Gedunai! Oo... Dang Gedunai, telur apakah yang kau dapatkan itu?” tanya orang-orang mengejeknya. “Telur badak”, jawab Dang Gedunai singkat.

“Badak tidak bertelur, Dang Gedunai. Badak itu beranak. Satu anaknya,” kata seorang. “Hei Dang Gedunai, lebih baik jangan kau bawa telur itu,” kata orang lain menasihatinya. “Tapi saya suka telur ini,” bantah Dang Gedunai sambil memeluk telur raksasa itu. “Lihatlah, ukurannya besar, bentuknya juga bulat lonjong, licin, dan bersih berkilat-kilat. Kalian tidak bisa melarang aku membawa telur ini. Kalau telur ini aku tinggalkan, pasti kalian yang akan mengambilnya,” ujar Dang Gedunai. 

Setiba di rumah, Dang Gedunai disambut oleh emaknya. “Telur apakah itu, Dang Gedunai?” tanya Emak Dang Gedunai. “Telur badak, Mak,” jawab Dang Gedunai. “Badak tidak bertelur, anakku. Badak itu beranak satu,” jelas Emak Gedunai. Karena telur raksasa itu bentuknya unik, Emak Gedunai penasaran ingin mengetahuinya. Ia pun memerhatikan telur itu dengan seksama. Tiba-tiba Emak Gedunai tersentak kaget. “Astaga, ini telur naga! Kau jangan sekali-sekali bermain-main dengan telur ini, apalagi memakannya. Kau bisa celaka, Annakku! Kembalikan telur naga itu ke sungai,” perintah Emak Gedunai.

“Mana mungkin naga datang ke sungai itu? Ini bukan telur naga, Mak. Saya tidak mau mengembalikan telur ini ke sungai. Saya akan memakannya,” bantah Dang Gedunai. Ia pun menyimpan telur itu baik-baik. Setiap hari Emak Gedunai selalu memperingatkan anaknya agar tidak memakan telur itu, setiap hari pula Dang Gudanai bertekad akan menyantap telur itu suatu saat nanti. 

Suatu pagi, Emak Gedunai mengajak Dang Gedunai pergi ke ladang, tetapi Dang Gedunai menolak dengan alasan sakit. Sebenarnya ia tidak sakit, ia hanya mencari kesempatan agar bisa memakan telur tanpa diketahui emaknya. Ketika emaknya berangkat ke ladang, Dang Gedunai segera merebus telur itu dan memakannya. Ia tampak lahap sekali, sehingga telur itu habis semua ditelannya. “Mmm...enak sekali rasanya,” kata Dang Gedunai dengan perasaan puas. “Besok aku akan ke sungai mencari telur lagi,” gumam Dang Gedunai. 

Beberapa saat setelah memakan telur itu, tiba-tiba Dang Gedunai merasa sangat mengantuk. Maka, ia pun merebahkan tubuhnya di balai-balai. Dalam sekejap, ia sudah tertidur pulas. Dalam tidurnya, Dang Gedunai bermimpi didatangi seekor naga betina yang sangat besar sedang mencari telurnya yang hilang di sungai. “Hai, Anak Muda! Kamu telah mengambil telurku di sungai dan memakannya. Siapapun yang memakan telurku, maka ia akan menjelma naga sebagai pengganti anakku”. Setelah mendengar suara itu, Dang Gedunai terbangun ketakutan. Tubuhnya bermandikan keringat dan tenggorokannya kering. Dia merasa sangat haus. 

Menjelang sore, Emak Dang Gedunai pulang dari ladang. Dia melihat anaknya sedang gelisah. Dang Gedunai hilir mudik ke sana ke mari mencari air. Tampaknya dia sangat kehausan. Lidahnya terjulur-julur. Semua air dalam dandang dan tempayan telah diminumnya, tetapi dia masih kehausan. Kerongkongannya bagaikan terbakar.

“Tolong ambilkan air, Mak! Saya haus sekali,” pinta Dang Gedunai pada emaknya. “Apa yang terjadi denganmu, Anakku!” tanya emaknya penasaran. “Sudahlah, Mak!” Cepatlah ambilkan air, kerongkonganku terasa panas sekali,” desak Dang Gedunai kepada emaknya. Sekarang emaknya sudah tahu kalau Dang Gedunai telah memakan telur naga itu. Segera diberinya segayung air kepada anaknya. Sekali teguk, air itupun langsung habis. Lalu, diberinya setempayan, habis pula ditenggak Dang Gedunai. Emaknya sudah kehabisan akal. Semua air telah habis di rumahnya. 

Dang Gedunai masih saja kehausan. Dia pun berlari keluar dari rumahnya dan berteriak-teriak meminta air. “Ambilkan saya air! Saya haus sekali!” ratap Dang Gedunai pada orang-orang yang lewat di depan rumahnya. Orang-orang membantu memberikan air yang mereka punya. Tapi rasa haus Dang Gedunai tak reda juga. Dang Gedunai kemudian pergi ke perigi (telaga) meminum habis airnya. Emaknya yang kebingungan lalu membawa Dang Gedunai ke danau. Kering pula air danau dihirupnya. Akhirnya emaknya membawa Dang Gedunai ke sungai. 

Sesampai di sungai, Dang Gedunai berkata kepada emaknya, “Mak, saya akan menghiliri sungai ini hingga ke laut lepas. Saya akan menjelma menjadi naga, Dang Gedunai namanya.” Itulah kata-kata terakhir Dang Gedunai kepada emaknya. “Dang Gedunai, Anakku? Bukankah emak telah melarangmu, Nak? Kau langgar tegahanku, dan inilah akibatnya,” kata Emak Dang Gedunai meratap, menyesali perbuatan anaknya. 

Dang Gedunai telah hilang di laut lepas. Emak Dang Gedunai tak mau beranjak dari tepi laut. Dia terus menangis dan meratapi anaknya itu siang dan malam hingga airmatanya kering. Dia terus menunggu dan berharap Dang Gedunai muncul kembali.

Beberapa waktu kemudian, tampak air laut bergelombang datang memecah pantai. Seekor naga muncul ke permukaan air, mengeluarkan suara yang mirip dengan suara Dang Gedunai, “Mak, saya sudah menjadi naga. Tempat tinggalku sekarang di laut. Kalau Mak rindu kepadaku, pandanglah laut lepas. Gelombang yang datang ke pantai itu adalah jejak langkahku. Jika laut tenang, berarti saya sedang tidur. Tetapi jika laut bergelombang besar, berarti saya sedang mencari makan.”

“Dang Gedunai, Anakku …. Mohon ampunlah pada Tuhan karena telah membantah kata-kata emakmu ini. Walaupun kau telah menjadi naga, emakmu tetap menyayangimu, Nak,” Emak Dang Gedunai berseru sambil berusaha menggapai naga itu. Namun, dalam sekejap naga itu lenyap, tinggal gelombang-gelombang kecil yang memecah pantai.

Sejak peritiwa itu, para nelayan tidak berani turun melaut jika gelombang bergulung-gulung besar, karena itu berarti Dang Gedunai sedang mencari makan. Karena tubuhnya yang besar, dia memerlukan banyak makanan dan akan melahap apa saja yang ada di laut. Jika air tenang, para nelayan dapat melaut dengan aman, dan menangkap sisa-sisa ikan yang tidak termakan oleh Dang Gedunai.
* * *
Dalam cerita di atas, terdapat nilai-nilai moral yang patut dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut di antaranya sifat keras kepala dan sifat kasih sayang. Sifat keras kepala tercermin pada sifat Dang Gedunai yang tidak mau mendengar nasihat ibunya, agar tidak memakan telur naga yang didapatnya di sungai. Karena sifat keras kepalanya itu, Dang Gedunai mendapat ganjaran atas perbuatannya yaitu menjadi seekor naga. 

Sifat keras kepala adalah sifat tidak mau menerima kebenaran. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala adalah sangat dipantangkan. Meskipun demikian, orang tua-tua Melayu tidak serta-merta menegur dan menasihati anggota masyarakatnya dengan kata-kata yang kasar. Dalam memberikan nasihat, petuah atau “tunjuk ajar‘, orang tua-tua Melayu melakukannya dengan arif dan bijaksana, agar tidak menyinggung perasaan yang mendengarnya. Biasanya, mereka menggunakan sindiran-sindiran dengan bahasa yang terpilih, halus, dan mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menyadarkan orang dari kekeliruannya tanpa melukai perasaannya. Tennas Effendy dalam bukunya “Ejekan” terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau, menyebutkan sejumlah sindiran-sindiran mengenai sifat keras kepala dalam bentuk ungkapan-ungkapan seperti berikut:

kalau tak mau mendengar nasehat,
alamat celaka dunia akhirat
kalau tak mau mendengar petuah orang,
martabat habis, marwah pun hilang
tanda orang tidak semenggah,
diberi nasihat menyanggah

Selain itu, dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa sifat keras kepala merupakan sifat yang tercela. Sifat keras kepala dapat diartikan sebagai orang yang tidak mau mendengar nasihat orang lain, termasuk nasihat orang tua. Bagi orang yang tidak mau mendengar nasihat orang tua, ia adalah anak yang durhaka. Sebagaimana yang terjadi pada Dang Gedunai dalam cerita di atas. Karena keras kepala, ia tidak menghiraukan nasihat emaknya untuk tidak memakan telur naga itu, maka akibatnya, ia menjelma menjadi naga. Karena besarnya akibat yang ditimbulkan dari sifat keras kepala, yakni membuat seseorang menjadi durhaka, maka Nabi Muhammad SAW memperingatkan dalam sebuah hadisnya yang berbunyi, “Bukankah aku telah memberitahu kamu tentang ahli-ahli neraka? Mereka itu ialah orang-orang yang keras kepala, sombong, suka mengumpul harta, tetapi tidak suka membelanjakannya untuk kebaikan” (H.R.Bukhari Muslim). Karena sifat keras kepala ini adalah sifat tercela dan dipantangkan oleh tua-tua Melayu, sifat ini tidak dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. 

Nilai moral lain yang terkandung di dalam cerita di atas adalah sifat kasih sayang. Sifat ini tercermin pada sifat Emak Dang Gedunai yang sangat sayang terhadap Dang Gedunai, meskipun anaknya itu telah menjadi seekor naga. Kasih sayang adalah sifat terpuji yang dijunjung tinggi dalam kehidupan orang Melayu. Bagi mereka, berkasih sayang tidak hanya terbatas dalam ruang lingkup keluarga dan kaum kerabat, tetapi juga dalam bersahabat dan bermasyarakat. Orang tua-tua Melayu memberi petunjuk bahwa hidup terpuji dan hidup mulia adalah hidup dengan berkasih sayang antar sesama, tanpa membedakan suku, bangsa, kedudukan, pangkat, kekayaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sejak dini mereka mulai menanamkan rasa kasih sayang di dalam lingkungan keluarga, handai taulan, saudara-mara, masyarakat dan bangsa. Mereka mengajarkan anak-anaknya tentang kelebihan hidup berkasih sayang dengan menunjukkan contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan sifat berkasih sayang ini banyak dipaparkan oleh Tennas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” baik dalam bentuk ungkapan, syair maupun untaian pantun Melayu. 

Keutamaan sifat kasih sayang dalam bentuk ungkapan di antaranya:
apa tanda Melayu sejati,
kaskih sayang sampai mati
apa tanda melayu bertuah,
berkasih sayang sesama manusia
apa tanda Melayu beradat,
berkasih sayang menjadi sifat

Dalam bentuk untaian syair dikatakan:
wahai ananda intan sekarang,
hiduplah engkau berkasih sayang
janganlah suka memusuhi orang
sifat yang buruk hendaklah dibuang

wahai ananda tambatan hati,
hiduplah engkau kasih mengasihi
silang sengketa engkau jauhi
supaya hidupmu diberkati Illahi

Dalam bentuk untaian pantun dikatakan:
kalau kuncup sudah mengembang
banyaklah kumbang datang menyeri
kalau hidup berkasih sayang
hidup tenang makmurlah negeri
banyaklah benih di sudut ladang
benih berkembang buahnya lebat
banyaklah kasih disebut orang
berkasih sayang membawa rahmat