Tampilkan postingan dengan label Bangka Belitung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bangka Belitung. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pak Udak Dan Gergasi

Pak Udak adalah seorang manusia biasa yang sering dianggap sebagai anak dewa oleh warga di desanya. Suatu ketika, Pak Udak diajak oleh tetangganya yang bernama Pak Senjaring untuk mengambil buah duku di kebun sepasang raksasa bernama Kakek dan Nenek Gergasi. Namun, malang nasib Pak Udak, ia tertangkap oleh dua raksasa itu. Bagaimana nasib Pak Udak selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Pak Udak dan Gergasi berikut ini.
Dahulu, di daerah Bangka Belitung, ada seorang lelaki bernama Pak Udak. Oleh warga, ia dianggap sebagai anak dewa karena kerap mendapat pertolongan jika tertimpa musibah. Di suatu pagi, Pak Udah sedang duduk bersantai di depan rumahnya. Datanglah seorang tetangganya yang bernama Pak Senjaring.
“Sedang apa, Pak Udak?” sapa Pak Senjaring sambil menepuk pundak Pak Udak.
“Sedang duduk-duduk saja,” jawab Pak Udak, “Ada apa gerangan? Kok pagi-pagi begini sudah bertamu? Ada yang bisa saya bantu?”
Pak Senjaring hanya tersenyum, lalu menjawab.
“Begini, Pak Udak. Dari pada tidak ada kerjaan, bagaimana kalau kita pergi ke kebun milik Kakek dan Nenek Gergasi untuk mengambil buah duku?” ajak Pak Senjaring.
“Tidak, Ah. Saya takut,” tolak Pak Udak, “Mereka itu raksasa yang suka memangsa manusia!”
“Iya, Pak Udak. Tapi, aku yakin tidak akan terjadi sesuatu pada kita. Bukankah Pak Udak selalu dilindungi oleh dewa? Dewa pasti akan melindungi kita,” bujuk Pak Senjaring.
Pak Udak akhirnya tergoda oleh bujukan Pak Senjaring. Mereka pun segera menyiapkan bekal perjalanan, termasuk sarau, yaitu keranjang bertali yang disangkutkan di punggung. Setelah dua hari menempuh perjalanan, mereka pun tiba di kebun yang ditumbuhi puluhan pohon duku yang sedang berbuah lebat. Mereka tiba di sana pada hari sudah gelap. Sementara bulan sedang tidak tampak. Pak Udak mulai sedikit takut. 
“Apa yang harus kita lakukan Pak Senjaring?” tanya Pak Udah, ‘”Suasana kebun ini gelap sekali, kita tidak bisa memetik buah duku.”
“Kalau begitu, sebaiknya kita tunggu sampai hampir pagi,” ujar Pak Senjaring.
“Tapi, kita harus bangun sebelum Nenek Gergasi dan suaminya terbangun,” kata Pak Udak.
Akhirnya malam itu, mereka memutuskan untuk beristirahat. Kakek dan Nenek Gergasi sedang terlelap. Suara dengkuran dua raksasa itu mirip dengkuran harimau. Pak Udak dan Pak Senjaring pun sulit memejamkan mata.
Saat pagi mulai menjelang, Pak Udak dan Pak Senjaring segera menuju ke ladang. Setelah memilih pohon duku yang berbuah lebat, mereka pun mulai memanjat.
“Hati-hati, Pak Udak. Jangan menimbulkan suara berisik,” bisik Pak Senjaring.
“Baik,” jawab Pak Udak.
Pak Udak dan Pak Senjaring pun mulai memetik buah duku. Sebentar saja, sarau Pak Senjaring telah penuh. Sementara sarau Pak Udak baru separuhnya. Rupanya, duku yang telah dipetik Pak Udak sebagian besar langsung dimakan.
“Pak Udak, ayo cepat turun! Kita tinggalkan tempat ini!” seru Pak Senjaring.
Pak Udak tidak menghiraukan seruan Pak Senjaring. Ia masih terus memakan buah duku. Karena matahari sudah mulai terbit, Pak Senjaring segera bersembunyi ke dalam semak belukar di pinggir kebun.
Ketika bangun tidur, kedua raksasa pemilik ladang itu terkejut melihat banyak kulit duku yang berserakan di bawah pohon.
“Siapa yang telah mengambil buah duku kita?” tanya Kakek Gergasi.
“Lihat di atas pohon itu!” seru Nenek Gergasi, “Dialah pelakunya.”
“Hai, manusia. Cepat turun!” teriak Kakek Gergasi.
Pak Udak yang berada di atas pohon menjadi ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia tidak berani turun, meskipun Kakek Gergasi sudah berkali-kali menyuruhnya. Kakek Gergasi yang murka kemudian mengguncang-guncang pohon itu hingga pegangan Pak Udak terlepas dan tubuhnya jatuh ke tanah. Kedua raksasa itu segera menghampiri Pak Udak yang tidak sadarkan diri.
Pak Senjaring yang menyaksikan peristiwa tersebut segera meninggalkan tempat itu dengan berlinang air mata. Ia yakin bahwa pastilah Pak Udak akan dimangsa oleh kedua raksasa itu.
Di kebun duku, kedua raksasa itu terlihat sedang mengamati Pak Udak yang masih pingsan.
“Apa yang akan kita lakukan pada anak manusia ini?” tanyak Nenek Gergasi.
“Sebaiknya manusia ini kita pelihara dulu. Nanti setelah gemuk barulah kita sembelih untuk dijadikan gulai,” ujar Kakek Gergasi.
Kedua raksasa itu memasukkan Pak Udak ke dalam kurungan. Setiap hari, Pak Udak diberi makan yang banyak agar cepat gemuk. Pak Udak hanya bisa meratapi nasibnya. Ia sering menangis karena teringat pada anaknya yang akan kehilangan ayahnya.
Ketika Pak Udak sedang menangis, tiba-tiba anak pasangan raksasa itu, si Gerasi, datang menghampirinya. Saat itu, kedua orang tua si Gerasi sedang tidak ada di rumah mereka.
“Kenapa kamu menangis?” tanya anak raksasa itu.
“Hatiku sedih. Anakku tak lama lagi akan kehilangan ayahnya,” jawab Pak Udak.
Ketika bercerita, Pak Udak sambil memeragakan ketika ia menimang-nimang anaknya sambil menyanyikan lagu-lagu indah. Rupanya, anak raksasa itu tertarik dan meminta kepada Pak Udak agar dirinya ditimang dan dinyanyikan.
“Pak Udak, mau kamu menimang dan menyanyikan tembang-tembang indah untukku?” pinta Gerasi.
Pak Udak pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Baiklah. Aku menyanggupi permintaanmu. Tapi, bagaimana aku bisa menimangmu jika aku masih berada di dalam kurungan ini?” kata Pak Udak.
“Tenang, Pak Udak. Aku akan mengeluarkanmu dari kurungan itu,” kata si Gerasi.
Si Gergasi pun membuka pintu kurungan itu dan Pak Udak pun segera keluar. Pak Udak kemudian mencoba untuk menimang si Gerasi. Meskipun berkali-kali terjerembab karena badan anak raksasa itu sangat berat, Pak Udak akhirnya berhasil menidurkan Gerasi. Pak Udak dengan hati-hati memasukkan si Gerasi ke dalam kurungan, lalu segera meninggalkan tempat itu. Tak lupa ia membawa semua makanan yang tersedia.
Setiba di perkampungan, Pak Udak disambut oleh warga dengan suka cita. Para warga, terutama Pak Senjaring, amat heran melihat Pak Udak mampu meloloskan diri dari santapan Nenek dan Kakek Geragasi.
“Bagaimana kamu bisa meloloskan dari diri, Pak Udak?” tanya Pak Senjaring.
Pak Udak pun menceritakan upaya yang telah dilakukannya hingga bisa meloloskan diri. Semua warga menjadi terharu mendengar cerita Pak Udak. Mereka menganggap bahwa semua itu karena pertolongan dewa. Mereka pun semakin semakin percaya bahwa Pak Udak adalah anak dewa. Sejak itulah, derajat Pak Udak di mata warga sekitarnya semakin tinggi dan akhirnya ia pun diangkat menjadi kepala kampung.
* * *
Demikian cerita Pak Udak dan Gergasi dari Bangka Belitung. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya seseorang tidak mengambil harta milik orang lain tanpa izin seperti halnya Pak Udak dan Pak Senjaring. Untung mereka bisa meloloskan diri. Dari sini dapat diambil pelajaran juga bahwa ketika Tuhan menyelamatkan seseorang dari malapetaka karena berbuat kesalahan, hal itu merupakan sebuah peringatan agar orang itu kembali ke jalan yang benar.

Minggu, 31 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Bujang Katak

Bujang Katak adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah dusun di daerah Bangka, Provinsi Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Ia dipanggil Bujang Katak karena bentuk tubuhnya seperti katak. Walaupun demikian, ia mempunyai istri seorang putri raja yang cantik jelita. Bagaimana Bujang Katak dapat mempersunting seorang putri raja? Ikuti kisahnya dalam cerita Bujang Katak berikut ini.

Alkisah, di sebuah dusun di daerah Bangka, Provinsi Bangka-Belitung (Babel), hidup seorang perempuan tua yang sangat miskin. Ia tinggal seorang diri di sebuah gubuk reot yang terletak di kaki bukit. Ia tidak memiliki sanak saudara. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menggarap sebidang tanah (ladang) warisan orang tuanya. 


Pada suatu ketika, musim tanam tiba. Seluruh warga dusun sibuk bekerja di ladang masing-masing, tidak terkecuali perempuan tua itu. Namun karena tubuhnya sudah lemah, ia sebentar-sebentar beristirahat untuk melepas lelah. Ketika sedang duduk beristirahat, tiba-tiba ia berangan-angan ingin mempunyai anak.
“Seadainya aku mempunyai anak tentu aku tidak secapek ini bekerja. Bagaimana jadinya nanti kalau aku sudah tidak mampu lagi bekerja. Siapa yang akan menggarap ladang ini?” pikirnya.

Setelah itu, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Menjelang siang hari, ia kembali ke gubuknya untuk beristirahat. Pada malam harinya, cuaca tampak terang, ia duduk-duduk di depan gubuknya. Pandangan matanya menerawang ke langit. Ia kembali berangan-angan ingin mempunyai anak. 

Perempuan tua itu segera menengadahkan kedua tangannya ke atas lalu berdoa, “Ya, Tuhanku! Berilah hamba seorang anak, walaupun hanya berbentuk katak.” 

Berselang tiga hari kemudian, perempuan tua itu merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya.
“Ya Tuhan! Ada apa di dalam perutku ini. Sepertinya ada benda yang bergerak-gerak,” ucap perempuan itu sambil mengelus-elus perutnya.

Rupanya, ia sedang mengandung. Tuhan telah mengabulkan doanya. Alangkah bahagianya hati perempuan tua itu. Semakin hari perutnya pun tampak semakin membesar. Para penduduk dusun pun bertanya-tanya mengenai kehamilan perempuan tua itu.
“Bagaimana si tua renta itu bisa hamil? Bukankah dia itu tidak mempunyai suami?” kata seorang penduduk.
“Wah, jangan-jangan dia telah berbuat tidak senonoh di dusun ini,” sahut seorang warga lainnya.

Demikian, perempuan itu setiap hari menjadi bahan pembicaraan para penduduk. Pada suatu malam, perempuan itu berteriak-teriak meminta tolong karena mengalami sakit perut yang luar biasa. Mendengar teriakan itu, para warga pun berdatangan hendak menolongnya. Namun, baru saja sampai di depan gubuk perempuan tua itu, mereka mendengar suara tangis bayi. Alangkah terkejutnya mereka ketika masuk ke dalam gubuk. Ternyata perempuan tua itu telah melahirkan seorang anak yang bentuk dan kulitnya seperti katak.
“Hei, Perempuan Tua! Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya seorang warga heran.
“Iya. Apakah kamu telah berhubungan badan dengan katak?” tanya warga lainnya dengan nada mengejek.

Perempuan itu pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya hingga ia bisa melahirkan anak berbentuk seekor katak. Setelah mendengar penuturan si perempuan tua itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing. 

Sementara perempuan tua itu tetap menerima kenyataan dengan perasaan suka-cita. Ia sadar bahwa kenyataan yang dialaminya adalah permintaannya sendiri. Ia pun merawat dan membesarkan bayinya dengan penuh kasih sayang. 

Waktu terus berjalan. Anak yang mirip katak itu tumbuh menjadi dewasa. Penduduk dusun memanggilnya Bujang Katak. Ia adalah pemuda yang rajin. Sejak kecil ia tidak pernah pergi ke mana-mana, kecuali membantu ibunya bekerja di ladang, sehingga ia tidak mengetahui situasi dan kehidupan di sekelilingnya. Ibunya pun tidak pernah bercerita kepadanya. 

Pada suatu hari, Bujang Katak meminta ibunya agar bercerita kepadanya tentang keadaan di negeri itu.
“Anakku, ketahuilah! Negeri ini diperintah oleh seorang raja yang mempunyai tujuh putri yang cantik dan rupawan. Ketujuh putri raja tersebut belum seorang pun yang menikah,” cerita sang Ibu.

Sejak mendengar cerita ibunya itu, Bujang Katak selalu tampak murung membayangkan kecantikan ketujuh putri sang Raja. Dalam hatinya, ia ingin sekali mempersunting salah seorang dari mereka. Namun, ia tidak berani mengungkapkan perasaan tersebut kepada ibunya. 

Pada suatu sore, sang Ibu melihatnya sedang duduk termenung seorang diri di depan gubuknya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Anakku? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya sang Ibu sembari duduk di samping anaknya.
“Benar, Bu!” jawab Bujang Katak singkat.
“Apakah itu, Anakku? Katakanlah!” desak ibunya.
“Bu, bukankah aku sekarang sudah dewasa? Aku ingin mempunyai seorang pendamping hidup. Sudikah Ibu meminang salah seorang putri raja untukku?” pinta Bujang Katak.

Betapa terkejutnya sang Ibu mendengar permintaan anaknya itu. Baginya, permintaan itu sangatlah berat.
“Sungguh berat permintaanmu itu, Anakku! Kita ini orang miskin. Mustahil dari tujuh putri raja tersebut ada yang mau menikah denganmu, apalagi melihat kondisimu seperti ini,” ujar sang Ibu.
“Tapi, Bu! Sebaiknya Ibu mencobanya dulu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka ada yang mau menerima lamaranku,” desak Bujang Katak.

Oleh karena sayang kepada putranya, sang Ibu pun menyanggupi permintaan itu. Keesokan harinya, berangkatlah sang Ibu seorang diri ke istana hendak melamar salah seorang putri raja. Sesampainya di istana, ia pun disambut dengan baik oleh sang Raja.
“Hai, Perempuan Tua! Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya sang Raja.
Namun karena tidak berani berkata terus terang, Ibu Bujang Katak menjawabnya dengan pantun.

“Te... sekate menjadi gelang.
Pe... setempe nek madeh pesan urang”

Sang Raja yang mengerti maksud pantun itu kembali bertanya kepada perempuan itu.
“Apakah engkau ingin meminang salah seorang putriku?”
“Be... be... benar, Baginda! Hamba mohon ampun atas kelancangan hamba. Kedatangan hamba kemari ingin menyampaikan pinangan putra hamba yang bernama Bujang Katak kepada salah seorang putri Baginda,” jawab perempuan itu gugup.
“Ooo, begitu! Baiklah, aku akan menanyakan dulu hal ini kepada ketujuh putriku,” kata sang Raja.

Sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya untuk menghadap. Setelah mengetahui maksud kedatangan perempuan itu, para putri Raja bukannya memberikan jawaban dengan kata-kata sopan, melainkan memperlakukan perempuan itu dengan tindakan kasar. Satu per satu mereka maju meludahi kepala perempuan tua itu. Hanya Putri Bungsu yang tidak melakukan hal itu. Hatinya tidak tega melihat kakak-kakaknya berlaku kasar kepada perempuan tua itu. Namun, ia juga tidak berani mengatakan bahwa ia sebenarnya bersedia menerima pinangan tersebut, karena takut kepada sang Raja. 

Ibu Bujang Katak pun pulang dengan perasaan sedih. Sesampainya di gubuk, ia segera menceritakan semua kejadian yang dialaminya di istana kepada Bujang Katak. Mendengar cerita ibunya tersebut, Bujang Katak merasa yakin bahwa Putri Bungsu sebenarnya bersedia menerima pinangannya.
“Besok Ibu harus kembali ke istana untuk menemaniku menghadap sang Raja. Aku yakin Putri Bungsu akan menerima pinanganku, karena dialah satu-satunya yang tidak meludahi kepala Ibu,” kata Bujang Katak dengan nada sedikit memaksa.

Keesokan harinya, Bujang Katak bersama ibunya berangkat ke istana. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat Bujang Katak yang datang bersama ibunya.
“Hei, perempuan tua! Apakah ini anakmu yang bernama Bujang Katak itu?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda,” jawab ibu Bujang Katak.
“Ha... ha..., pantas saja ia dinamakan Bujang Katak! Bentuknya mirip seperti katak,” ucap sang Raja mengejek.

Setelah itu, sang Raja pun segera memanggil ketujuh putrinya dan menanyakan apakah mereka bersedia menikah dengan si manusia katak. Namun, dengan sombongnya, para putri Raja satu per satu meludahi kepala Bujang Katak, kecuali si Putri Bungsu. 

Melihat sikap putri bungsunya itu, sang Raja pun bertanya kepadanya.
“Hei, Putriku! Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu bersedia menikah dengan manusia katak itu?”
“Ampun, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menjadi istri Bujang Katak,” jawab Putri Bungsu.

Alangkah terkejutnya sang Raja mendengar jawaban putrinya itu. Ia pun segera meminta nasehat kepada menteri penasehat Raja. Rupanya, menteri penasehat Raja setuju jika Putri Bungsu menikah dengan Bujang Katak.
“Baiklah, manusia katak! Kamu boleh menikah dengan putriku, asalkan sanggup memenuhi satu syarat,” kata sang Raja.
“Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Bujang Katak penasaran.
“Kamu harus membuat jembatan emas yang panjangnya mulai dari gubukmu sampai pintu gerbang istana ini. Apakah kamu sanggup menerima syaratku ini?” tanya sang Raja.
`Hamba sanggup, Baginda!” jawab Bujang Katak.
“Tapi, ingat! Jembatan emas itu harus terwujud dalam waktu satu minggu. Jika tidak, maka hukuman mati yang akan kamu dapatkan,” ancam sang Raja.

Bujang Katak pun tidak gentar terhadap ancaman sang Raja. Dengan perasaan gembira, ia bersama ibunya segera kembali ke gubuknya. Sesampainya di gubuk, sang Ibu kebingungan memikirkan cara untuk memenuhi permintaan sang Raja tersebut. Ia tidak ingin kehilangan anak yang sangat disayanginya itu.
“Anakku! Bagaimana kita dapat mewujudkan permintaan Raja, sementara kita ini orang miskin?” tanya sang Ibu bingung.
“Tenang, Bu! Aku akan pergi bertapa di suatu tempat yang sepi. Jika Yang Mahakuasa menghendaki, apapun bisa terjadi,” jawab Bujang Katak dengan penuh keyakinan. 

Pada saat hari mulai gelap, Bujang Katak ditemani ibunya pergi ke suatu tempat yang sepi di tengah hutan untuk bertapa. Sudah enam hari enam malam ia dan ibunya bertapa, namun belum juga menemukan tanda-tanda akan datangnya keajaiban. Pada malam ketujuh, keajaiban itu pun tiba. Seluruh tubuh Bujang Katak memancarkan sinar berwarna kekuning-kuningan. Kulit katak yang menyelimuti seluruh tubuhnya sedikit demi sedikit mengelupas. Secara ajaib, Bujang Katak pun berubah menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Kemudian ia membakar kulit katak pembalut tubuhnya itu. Maka seketika itu pula, kulit katak tersebut menjelma menjadi tumpukan emas batangan. Dengan perasaan gembira, Bujang Katak bersama ibunya segera menyusun emas batangan tersebut dari gubuknya hingga pintu gerbang istana. Dalam waktu semalam, terwujudlah sebuah jembatan emas seperti yang diminta oleh sang Raja.

Keesokan harinya, istana menjadi gempar. Sang Raja beserta seluruh keluarga istana yang mengetahui keberadaan jembatan emas itu segera berlari menuju ke arah pintu gerbang istana. Sang Raja sangat kagum melihat keindahan jembatan emas itu. Batangan-batangan emas yang diterpa sinar matahari pagi tersebut memancarkan sinar kekuning-kuningan. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan tampak seorang perempuan tua berjalan beriringan dengan seorang pemuda tampan dan gagah sedang menuju ke arah tempat mereka berdiri.
“Hei, Pengawal! Siapa kedua orang itu?” tanya sang Raja kepada pengawalnya.
“Ampun, Baginda! Bukankah perempuan tua itu ibunya Bujang Katak? Tapi, Baginda, hamba tidak mengenal siapa pemuda yang sedang berjalan bersamanya itu,” jawab seorang pengawal.
Ketika perempuan tua dan pemuda itu sampai di depannya, sang Raja pun segera bertanya, “Hei, perempuan tua! Siapa pemuda itu?”
“Dia Bujang Katak, putra hamba,” jawab perempuan tua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang dialami Bujang Katak hingga ia bisa berubah menjadi pemuda yang tampan.

Bujang Katak pun segera berlutut memberi hormat kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba ini Bujang Katak,” kata Bujang Katak.

Betapa terkejutnya sang Raja beserta seluruh keluarga istana. Mereka benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya jika Bujang Katak adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan.
“Baiklah, Bujang Katak! Karena kamu telah memenuhi persyaratanku, maka sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku,” kata sang Raja. 

Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Bujang Katak dengan Putri Bungsu dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Para undangan yang datang dari penjuru negeri turut gembira dan bahagia menyaksikan pesta pernikahan tersebut. Namun, lain halnya dengan keenam kakak Putri Bungsu, mereka sangat sedih dan menyesal karena telah menolak pinangan Bujang Katak. 

Usai pesta perkawinan tersebut, keenam kakak Putri Bungsu memerintahkan kepada seorang pengawal istana untuk pergi menangkap katak di sawah. Mereka mengira bahwa Bujang Katak berasal dari katak biasa yang hidup di sawah. Tidak berapa lama, pengawal itu pun kembali dari sawah sambil membawa enam ekor katak. Setiap putri mendapat seekor katak, lalu membawanya masuk ke dalam kamar masing-masing dan memasukkannya ke dalam lemari dengan harapan katak-katak tersebut akan menjelma menjadi seorang pemuda tampan seperti Bujang Katak. 

Tujuh hari kemudian, keenam putri tersebut membuka lemari masing-masing. Namun malang nasib mereka, katak-katak tersebut bukannya menjelma menjadi pemuda tampan, melainkan mati dan sudah berulat karena tidak diberi makan. Bau busuk pun menyebar ke mana-mana. Keenam putri tersebut keluar dari kamarnya sambil muntah-muntah. 

Akhirnya seisi istana menjadi gempar. Seluruh penghuni istana turut muntah-muntah karena mencium bau busuk itu. Sang Raja pun menjadi murka melihat perbuatan keenam putrinya tersebut dan memberi hukuman kepada mereka, yaitu memerintahkan mereka untuk membersihkan kamar masing-masing dari bau busuk itu. Bujang Katak dan Putri Bungsu pun hanya tersenyum melihat kelakuan keenam kakaknya tersebut. 

Beberapa tahun kemudian. Sang Raja sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas-tugas kerajaan karena usianya yang sudah semakian tua. Akhirnya, ia pun mengundurkan diri dan menobatkan Bujang Katak sebagai raja. Bujang Katak bersama istrinya memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana.
* * *
Demikian cerita Bujang Katak dari daerah Bangka, Provinsi Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keburukan sifat suka memandang rendah orang lain dan suka bertindak bodoh.

Pertama, sifat suka memandang rendah orang lain. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku keenam putri Raja yang memandang rendah Bujang Katak dengan meludahi kepalanya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat ini sangatlah tercela. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:  

kalau suka merendahkan orang,
kalau tak menjadi abu, menjadi arang

Kedua, keburukan sifat suka bertindak bodoh. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku keenam putri Raja. Mereka menyimpan katak di dalam kamar masing-masing, karena mengira katak-katak tersebut akan berubah menjadi seorang pemuda tampan seperti Bujang Katak. Akibatnya, mereka mendapat hukuman dari sang Raja karena menyebabkan istana berbau bangkai katak.

Sabtu, 30 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Si Kelingking Belitung

Belitung yang dulu dikenal dengan Billiton adalah nama sebuah pulau di Provinsi Bangka Belitung, Indonesia. Pulau yang terletak di bagian timur Sumatra ini terbagi menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Belitung dan Belitung Timur. Di pulau ini beredar sebuah cerita rakyat tentang sepasang suami-istri yang hendak membunuh anaknya. Berbagai cara telah mereka lakukan untuk membunuh anaknya, namun tidak pernah berhasil. Mengapa sepasang suami-istri itu hendak membunuh anaknya? Kisahnya dapat  Anda simak dalam cerita Si Kelingking berikut ini.



Alkisah, di sebuah desa di Pulau Belitung, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Walaupun hidup miskin, mereka tetap rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan itu terasa belum lengkap, karena mereka belum mempunyai anak. Untuk itu, setiap malam kedua orang suami-istri itu senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang anak.
“Ya, Tuhan! Karuniakanlah kami seorang anak, walaupun sebesar kelingking!”

Rupanya doa mereka dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tidak beberapa lama kemudian sang Istri hamil. Sepasang suami-istri itu sangat senang, karena tidak lama lagi akan mendapatkan seorang anak yang selama ini mereka dambakan.

Beberapa bulan kemudian, sang Istri pun melahirkan. Namun, mereka sangat terkejut ketika melihat bayi yang keluar dari rahim sang Istri hanya sebesar kelingking.
“Bang! Kenapa anak kita kecil sekali, Bang?” tanya sang Istri sedih.

Mendengar pertanyaan istrinya, sang Suami hanya diam. Ia seakan-akan tidak percaya apa yang sedang mereka alami. Akhirnya, sang Suami teringat dengan doa yang sering mereka ucapkan.
“Dik! Ingatkah doa kita selama ini? Bukankah kita selalu berdoa agar diberikan anak walaupun sebesar kelingking?” tanya sang Suami mengingatkan istrinya.
“Ooo, iya. Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita,” kata sang Istri. 

Bayi itu pun mereka pelihara dengan sebaik-baiknya. Waktu terus berjalan hingga anak itu berusia enam tahun. Namun, badan anak itu tetap sebesar kelingking. Oleh karena itu, mereka memberinya nama Si Kelingking. 

Mulanya, sepasang suami-istri itu sayang kepada Si Kelingking. Tetapi, ada suatu hal yang membuat mereka risau, yakni walaupun badannya kecil, Si Kelingking banyak sekali makannya. Sekali makan, ia dapat menghabiskan secanting nasi, bahkan terkadang masih kurang. Setiap hari suami-istri itu selalu bingung, karena penghasilan yang mereka peroleh hanya cukup untuk dimakan oleh Si Kelingking sendiri. Oleh karena sudah tidak kuat lagi menghidupi Si Kelingking, kedua suami-istri itu bersepakat hendak menyingkirkannya dari kehidupan mereka.
“Bang! Bagaimana caranya kita menyingkirkan Si Kelingking?” tanya sang Istri bingung.
“Abang punya cara,” jawab sang Suami.
“Apa itu, Bang?” tanya sang Istri penasaran.
“Besok pagi, aku akan mengajaknya ke hutan,” jawab sang Suami.
“Ke hutan? Untuk apa, Bang?” tanya sang Istri tambah bingung.
“Aku akan membuangnya di tengah hutan,” jawab sang Suami.

Sang Istri pun setuju. Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si Kelingking ke hutan untuk mencari kayu. Setibanya di tengah hutan, sang Ayah segera menebang pohon besar.
“Kelingking! Kamu berdiri di situ saja! Ayah akan menebang pohon ini!” seru sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking menuruti perintah ayahnya.

Namun, tanpa disadari oleh Si Kelingking, ayahnya menebang pohon itu diarahkan kepadanya. Sang Ayah sengaja melakukan hal itu, agar pohon itu menimpanya. Beberapa saat kemudian, pohon besar itu pun roboh menimpa Si Kelingking. Melihat hal itu, sang Ayah bukannya sedih, melainkan gembira.
“Matilah kau kerdil! Ha... ha... ha...!” seru sang Ayah sambil tertawa terbahak-bahak, lalu mendekati pohon besar itu.

Setelah memastikan dan yakin anaknya mati, sang Ayah segera kembali ke rumahnya untuk menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Mendengar cerita suaminya, sang Istri pun menjadi senang.
“Bang! Mulai hari ini, hidup kita akan jadi tenang,” kata sang Istri kepada suaminya.
Namun, menjelang siang hari, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar rumah.
“Ayah...! Ayah....! Diletakkan di mana kayu ini?”
“Bang! Sepertinya itu suara Kelingking. Bukankah anak itu sudah mati?” tanya sang Istri heran.
“Ayo, kita keluar melihatnya!” seru sang Suami penasaran.

Kedua suami-istri sangat terkejut saat melihat Si Kelingking sedang memikul sebuah pohon besar di pundaknya.
“Ayah! Diletakkan di mana kayu ini?” tanya Si Kelingking.
“Letakkan di situ saja!” perintah ayahnya.

Setelah meletakkan kayu itu, Si Kelingking langsung masuk ke dalam rumah mencari makanan. Oleh karena merasa kelaparan usai memikul pohon besar, ia pun menghabiskan secanting nasi  yang sudah dimasak ibunya. Sementara ayah dan ibunya hanya duduk bengong melihat anaknya, dan tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.

Sejak Si Kelingking kembali ke rumah, kehidupan mereka semakin susah. Semakin hari Si Kelingking semakin banyak makannya. Tidak cukup jika hanya makan secanting nasi. Melihat keadaan itu, sepasang suami-istri itu kembali berunding untuk mencari cara menyingkirkan Si Kelingking dari kehidupan mereka.
“Bang! Apa lagi yang harus kita lakukan?” tanya sang Istri bingung.
“Besok Abang akan mengajaknya pergi ke gunung untuk mengambil batu,” jawab sang Suami sambil tersenyum.
“Tenang, Dik! Recanaku ini pasti akan berhasil,” tambah sang Suami dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si Kelingking ke gunung untuk mengambil batu. Sesampainya di kaki gunung, sang ayah berhenti.
“Kelingking! Ayah akan naik ke atas gunung hendak mendongkel batu-batu itu. Kamu tunggu di sini saja sambil menghadang dan mengumpulkan batu-batu itu,” perintah sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking.

Setelah itu, sang Ayah mendaki gunung itu sambil membawa sebatang kayu untuk digunakan mendongkel batu. Pada awalnya, ia hanya mendongkel batu-batu kecil, lalu batu yang agak besar, dan kemudian batu yang lebih besar lagi. Pada saat mendongkel batu besar itu, ia sengaja mengarahkannya kepada Si Kelingking. Batu itu pun menindih Si Kelingking. Melihat hal itu, sang Ayah segera turun dari gunung dan menghampiri Si Kelingking yang tertindih batu.
“Kelingking! Kelingking! Kelingking!” seru sang Ayah memanggil anaknya.

Beberapa kali ia memanggil anaknya, namun tidak mendapat jawaban. Ia yakin bahwa Si Kelingking telah mati. Dengan perasaan gembira, ia pun segera kembali ke rumah dan menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Namun, sang Istri tidak langsung percaya dengan cerita itu.
“Apakah Abang yakin jika anak itu benar-benar sudah mati?” tanya sang Istri dengan perasaan ragu-ragu.
“Iya, Dik! Abang berhasil menindihnya dengan batu besar,” jawab sang Suami.
“Ya, syukurlah kalau begitu. Hidup kita akan benar-benar jadi tenang kembali,” kata sang Istri dengan perasaan lega.

Namun, ketika menjelang sore, tanpa mereka duga sebelumnya, tiba-tiba terdengar lagi suara dari luar rumah.
“Ayah...! Ayah...! Diletakkan di mana batu ini?” tanya suara itu.
“Letakkan di situ!” jawab Ayah Si Kelingking tanpa sadar.

Suami-istri itu tersentak kaget saat keluar dari rumah. Mereka melihat Si Kelingking sedang meletakkan sebuah batu besar. Setelah itu, seperti biasanya, Si Kelingking langsung masuk ke rumah untuk mencari makanan, karena kelaparan. 

Akhirnya, kedua orang suami-istri itu merasa kasihan kepada anak mereka, Si Kelingking. Mereka pun menyadari bahwa walau bagaimana pun Si Kelingking lahir karena permintaan mereka sendiri. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berniat untuk membunuhnya. Mereka telah menerima kembali Si Kelingking sebagai anggota keluarga. Sementara Si Kelingking yang memiliki kekuatan lebih dari orang-orang biasa semakin rajin membantu ayahnya bekerja. Bahkan, semua pekerjaan yang berat-berat dia yang melakukannya, sehingga pekerjaan ayahnya menjadi lebih ringan dan kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi.   
* * *
Demikian cerita Si Kelingking dari Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral.  Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu: pertama, menjauhi sifat suka memandang rendah orang lain. Sifat ini digambarkan oleh perilaku ayah dan ibu Si Kelingking. Mereka hanya melihat bentuk fisik dan kerakusan anak mereka, sehingga mereka berniat membuangnya. Namun, di luar dugaan mereka bahwa meskipun badannya kecil, ternyata Si Kelingking memiliki kekuatan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Menyadari hal itu, mereka pun menjadi sayang kepada Si Kelingking. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa jika membenci seseorang janganlah berlebihan, karena bisa jadi rasa benci itu berubah menjadi rasa sayang. 

Kedua, ajal manusia ada di tangan Tuhan. Hal ini dapat dilihat pada cerita di atas bahwa walaupun ayah dan ibu Si Kelingking beberapa kali mencoba ingin membunuhnya, namun tidak pernah berhasil. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa hidup dan mati seseorang hanya Tuhan yang menentukan. Bagaimana pun kerasnya usaha seseorang untuk menghilangkan nyawa orang lain, jika Tuhan belum menghendaki, maka seseorang

Jumat, 29 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putri Pinang Gading

Membalong yang dulu dikenal dengan Belantu adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Konon, di daerah ini pernah hidup sepasang suami-istri yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada suatu hari, sang suami baru selesai menangkap ikan di tepi laut. Namun, dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia menemukan sebatang bambu yang sangat aneh. Bambu itu dapat bergerak sendiri dan selalu menghalang-halangi jalannya. Bagaimana bambu itu dapat bergerak sendiri? Lalu, apa yang akan dilakukan Pak Inda terhadap bambu itu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Putri Pinang Gading berikut ini.



Alkisah, di sebuah Kubok yang bernama Kelekak Nangak yang terdapat di Kecamatan Membalong, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin dan tidak mempunyai anak. Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu Tumina. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang beratap nangak dan berlantai kayu gelegar berlapik tuntong. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka menanam padi di ladang dan menangkap ikan dengan cara memasang sero di tepi laut. Ketika air surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam sero itu.

Pada suatu hari, musim panen padi bertepatan dengan waktu air laut surut. Pak Inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut.
“Dik! Hari ini Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.
“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang Istri.

Dengan membawa ambong, berangkatlah Pak Inda ke laut. Ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung lagi dengan sepotong bambu.
“Kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.
“Aneh! Sepertinya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.

Oleh karena sudah tidak sabar ingin melihat seronya, Pak Inda segera membuang kembali bambu itu agak jauh ke tengah laut agar tidak menghalanginya lagi. Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya. Pak Inda sangat gembira, karena mendapatkan banyak ikan. Sebagian ikan tersebut ia masukkan ke dalam ambongnya, dan sebagian pula diikat dengan tali rotan, karena ambongnya tidak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.

Namun, pada saat akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama.
“Wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam hati.
“Benar-benar aneh! Bambu ini dapat melawan arus air laut. Ini bukanlah bambu sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu.

Setelah beberapa saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan. Sesampainya di rumah, Pak Inda menceritakan peristiwa yang dialami kepada istrinya. Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi agar tidak diterbangkan angin. 

Pada suatu hari, saat sedang duduk bersantai di rumah, Pak Inda dan istrinya dikejutkan oleh suara letusan yang sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan itu berasal dari sepotong bambu yang digunakan oleh sang Istri menindih jemuran padi yang berada di depan rumah mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat seorang bayi perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu.
“Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang Istri.
“Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.

Tanpa berpikir panjang, Bu Tumina segera mengambil dan memandikan bayi itu. Setelah bersih, ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:

Anakku sayang, anak kandungku.
Anak kandung sibiran tulang,
Obah jerih... pelerai demam.

Bu Tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. Kedua suami-istri itu sangat senang, karena telah mendapatkan seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading. 

Waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun  tahun. Setiap hari ia pergi berburu binatang di hutan yang ada di sekitar rumahnya. Banyak sudah binatang buruan yang pernah dipanahnya, karena memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih oleh ayahnya cara memanah yang baik. Semenjak kehadiran Putri Pinang Gading, rezeki Pak Inda selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.

Pada suatu hari, terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh serangan burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia mengobrak-abrik permukiman penduduk Kelekak Remban, dan bahkan telah menelan seorang warga. Seluruh penduduk Kelekak Remban jadi panik. Untuk berlindung dari serangan Burung Gerude, para warga membuat remban. Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah. 

Peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yang kini sudah berusia 21 tahun. Ia bertekad hendak pergi ke Kampung Kelekak Remban untuk menolong warga yang sedang dilanda ketakutan.
“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.
“Apakah kamu sanggup mengalahkan burung besar itu, Nak?” tanya Pak Inda khawatir terhadap putrinya.
“Ayah tidak perlu khawatir. Putri akan membinasakan burung itu dengan panahku yang beracun ini,” jawab Putri Pinang Gading dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus lebih berhati-hati, Nak! Kami takut kehilanganmu,” ujar Pak Inda.
“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina.
“Baik, Ayah, Ibu! Putri akan jaga diri,” kata Putri Pinang Gading seraya berpamitan kepada ayah dan ibunya.

Setelah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading berangkat menuju Kampung Kelekak Remban. Sesampainya di sana, kampung itu tampak sepi. Semua warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. Putri Pinang Gading juga tidak melihat Burung Gerude itu.
“Ke mana Burung Gerude itu? Aku sudah tidak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.

Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yang sangat keras. Suara itu tidak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali ia mengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tidak menyadari jika Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar. 

Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu saat yang tepat untuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur ke arah Burung Gerude itu dan tepat mengenai dadanya. Burung Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.

Para warga yang menyaksikan peristiwa itu melalui cela-cela rumah, keluar dari rumah mereka dan segera mengerumuni Burung Gerude yang sudah mati itu. Mereka sangat kagum melihat keberanian Putri Pinang Gading. Akhirnya, kampung itu terbebas dari ancaman bahaya serangan Burung Gerude. Untuk merayakan keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang Putri Pinang Gading. 

Konon, tempat jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. Sementera anak panah Putri Pinang Gading yang mengenai dada Burung Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu hari, ada seorang nelayan memotong bambu itu untuk dijadikan joran pancing. Pada saat memotong sebatang pohon bambu itu, tiba-tiba tangan nelayan itu tersayat dan langsung meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun). Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.
* * *
Demikian cerita Putri Pinang Gading dari daerah Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat pemberani dan pandai menghargai sesuatu. 

Pertama, keutamaan sifat pemberani. Sifat pemberani yang dimaksud di sini adalah berani karena benar, berani pada kebaikan dan berani menegakkan keadilan. Sifat pemberani ini tercermin pada perilaku Putri Pinang Gading yang berhasil membinasakan Burung Gerude yang besar dan ganas itu, walaupun ia hanya seorang perempuan. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa hendaknya orang tua membekali anak-anaknya dengan berbagai keterampilan sejak masih kecil. 

Kedua, sifat pandai menghargai sesuatu. Sifat ini tercermin pada perilaku Pak Inda. Pada mulanya, ia menganggap bahwa sepotong bambu itu tidak bermanfaat baginya. Namun, setelah berpikir, ia pun menyadari ternyata bambu itu berguna untuk dijadikan sebagai pemikul. Bahkan, suatu hal yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh Pak Inda, ternyata bambu itu menjelma menjadi seorang bayi perempuan. Ia dan istrinya pun menjadi senang karena telah mendapatkan seorang anak yang sudah lama mereka dambakan. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa jika kita mendapatkan sesuatu benda, hendaknya tidak melihat dari segi fisiknya saja, tetapi memikirkan manfaat yang dapat diambil dari benda tersebut.