Tampilkan postingan dengan label Burung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Burung. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Burung Ntaapo-Apo

Selama ini orang mengira burung cenderwasih hanya ada di Papua. Tapi, tahukah Anda bahwa burung jenis ini ternyata juga terdapat di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna? Masyarakat di sana menyebutnya dengan nama burung Ntaapo-apo. Menurut cerita, burung ini merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki yang bernama La Ane. Bagaimana La Ane bisa menjelma menjadi burung Ntaapo-Apo? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Burung Ntaapo-Apo berikut ini.
 
Dahulu, di sebuah kampung di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya bernama La Ane. Suaminya meninggal dunia saat La Ane masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia tanami ubi dan jagung untuk dimakan sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan. 

Janda itu amat sayang kepada La Ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi besar. Namun, La Ane yang telah menginjak usia remaja itu tidak pernah membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya hanya bermain gasing bersama teman-temannya. Ia baru pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah kenyang, ia kembali bermain gasing. 

Sang ibu mulai tidak senang melihat kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya pergi ke kebun, namun La Ane selalu menolak. 

“Buat apa bekerja setiap hari. Capek, Bu,” begitu selalu kata La Ane. 

“Anakku, kita mau makan apa kalau tidak bekerja?” ujar ibunya. 

“Ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-temanku daripada ikut bekerja di kebun,” kata La Ane dengan cuek. 

“Kalau begitu, makan saja itu gasingmu!” tukas ibunya dengan nada kesal.

La Ane tetap saja tidak peduli pada nasehat ibunya. Ia pergi meninggalkan rumah menuju ke rumah teman-temannya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukannya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang dipotong kecil-kecil lalu ditempatkan di dalam kasopa (tempat jagung dan ubi). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu ditaruh di dalam kaghua (tempat sayur atau ikan). 

“Huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas!” geram sang ibu.

Janda itu kemudian pergi ke kebun. Menjelang siang hari, La Ane pun kembali dari bermain karena lapar. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat kasopa dan kaghua di atas meja yang berisi potongan-potongan gasing dan talinya. 

“Oh, Ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku? Padahal, aku lapar sekali,” keluh La Ane. 

Dengan perasaan sedih, La Ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng itu ia duduk termenung sambil memikirkan nasibnya. 

“Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik menjadi burung saja sehingga aku bisa terbang ke sana ke mari mencari makan sendiri,” ucap La Ane. 

Ucapan La Ane rupanya menjadi kenyataan. Begitu ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya perlahan-lahan ditumbuhi bulu berwarna-warni yang indah dan berkilauan. Selang beberapa saat kemudian, anak pemalas itu pun berubah menjadi seekor burung. Ia kemudian hinggap di atap rumahnya sambil berkicau dengan merdu. 

Saat hari menjelang sore, sang Ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya.
“La Ane… La Ane…, kamu di mana anakku?!” teriaknya.

Sudah berkali-kali ibu itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panik, ia segera keluar dari rumah. Ketika berada di depan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu hampir pingsan melihat pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya. 

“Oh, anakku, maafkan Ibu. Turunlah, Nak!” bujuk sang Ibu.

Nasi sudah menjadi bubur. La Ane yang telah menjelma menjadi burung itu tidak mungkin lagi berubah menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selama-lamanya. Ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia sudah tidak mendengarnya lagi. Ia terbang dan hinggap di atas pohon pinang sambil berkicau.

“Ntaapo-apo… Ntaapo-apo!” demikian kicauan burung itu.

Sang ibu tak henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia terbang menuju ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuannya terhadap anak semata wayangnya itu. 

Sejak peristiwa itu, burung yang suka berkicau “ntaapo-apo” itu dinamakan burung Ntaapo-apo. Hingga saat ini, burung yang mirip dengan burung cenderawasih itu masih sering terdengar kicauannya dari dalam hutan di daerah Muna, Sulawesi Tenggara.

* * *

Demikian cerita Asal Usul Burung Ntaapo-Apo dari Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah anak pemalas dan pembangkang seperti La Ane pada akhirnya akan mendapat malapetaka.

Senin, 16 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sesentola Dan Burung Garuda

Sesentola adalah seorang lelaki muda yang mempunyai nafsu makan yang sangat besar. Oleh karena orangtuanya tidak mampu lagi menghidupinya, Sesentola pun pergi dari kampungnya. Namun, negeri yang ditujunya ternyata sedang tertimpa musibah. Penduduk negeri itu hanya tinggal satu orang, yang lainnya telah mati akibat diserang oleh garuda raksasa. Apa yang akan dilakukan selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Sesentola dan Burung Garuda berikut ini.
Dahulu, di daerah Sulawesi Tengah, hiduplah sepasang suami istri. Sudah puluhan tahun mereka menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Meskipun demikian, mereka tidak pernah berputus asa. Setiap malam mereka berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai anak, walau bagaimana pun keadaannya. Hingga pada suatu ketika, sang istri pun hamil. 

“Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doa kami. Jika anak itu telah lahir, hamba berjanji akan merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang,” ucap sang suami.

Beberapa bulan kemudian, sang istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Sesentola. Sejak dilahirkan, terlihat ada tanda-tanda keajaiban pada diri anak itu. Ia amat kuat minum susu. Terkadang, ia menangis karena merasa kurang kenyang. Sang ibu pun mulai kebingungan melihat keadaan anaknya.

“Pak, anak kita masih lapar padahal air susuku sudah habis. Apa yang harus kita lakukan?” tanya sang istri bingung.

“Sebaiknya kita beri tambahan makanan saja,” ujar suaminya.

“Tapi bukankah bisa membahayakan pencernaannya jika anak kita yang masih bayi ini diberi makanan orang dewasa?” tanya sang istri.

“Kita harus bagaimana lagi, Bu? Jika tidak diberi makanan tambahan, ia pasti akan menangis terus,” ujar sang suami.

Suami-istri itu pun memutuskan untuk memberi nasi bubur kepada anak mereka. Rupanya, sepiring nasi bubur tidak cukup mengenyangkan Sesentola. Sekali makan, Sesentola yang masih bayi itu bisa menghabiskan 2-3 piring nasi. Demikian seterusnya, semakin hari ia semakin kuat makan. Namun, di balik itu, Sesentola memiliki kekuatan luar biasa yang tidak diketahui oleh orangtuanya. 

Beberapa tahun kemudian, Sesentola tumbuh menjadi remaja. Kebiasaan makan banyak pun semakin meningkat. Sekali makan ia bisa menghabiskan satu bakul nasi. Hal itulah yang membuat sang bapak mulai kesal karena merasa sudah tidak mampu lagi memberi makan anaknya. 

“Bu, aku sudah tidak kuat lagi dengan keadaan ini. Anak kita semakin banyak makannya. Lama-lama kita sendiri bisa mati kelaparan,” keluh sang suami.

Sampai suatu ketika, sang ayah benar-benar sudah kuat lagi menghadapi keadaan tersebut. Ia pun berniat untuk melenyapkan nyawa anak kandungnya sendiri. Sang istri pun tidak dapat berbuat apa-apa dengan keputusan suaminya. 

Suatu hari, sang ayah mengajak Sesentola untuk menjala ikan di sungai yang banyak buayanya. Sesentola pun menuruti ajakan ayahnya. Setiba di sungai, sang bapak segera melemparkan jalannya ke tengah sungai. Setelah itu, ia memerintahkan Sesentola untuk mengambil jala tersebut.

“Sesentola, cepat ambil jala itu! Pasti sudah banyak ikan yang tertangkap di dalamnya!” perintah sang bapak.

“Baik, Pak,” jawab Sesentola.

Begitu Sesentola menyelam ke dasar sungai untuk mengangkat jala itu, sang bapak cepat-cepat meninggalkannya. Ia mengira anaknya itu pasti sudah mati dimakan buaya. Sesampai di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada istrinya.

“Bu, Sesentola pasti sudah mati dimakan buaya. Kita tidak akan kelaparan lagi,” kata sang suami.

Baru saja sang suami berkata demikian, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan rumah.

“Bapak, aku pulang! Lihatlah yang aku bawa ini!” 

Pasangan suami-istri itu tersentak kaget.
“Pak, bukankah itu suara anak kita, Sesentalo?” tanya sang istri.

Dengan perasaan cemas, sang suami segera keluar. Betapa terkejutnya karena ia mendapati Sesentola sedang memanggul seekor buaya besar.

“Lihat, Pak! Aku berhasil menangkap seekor buaya besar,” kata Sesentola.

Sang bapak pun terdiam, tidak percaya dengan apa yang saksikannya. Untung ia cepat tersadar sehingga niat jahatnya tidak diketahui oleh Sesentola. Karena rencananya gagal, ia segera mencari cara lain untuk melenyapkan nyawa anaknya. Ia teringat pada pohon beringin besar di tepi sungai. Maka, pada keesokan harinya ia pun mengajak Sesentola untuk pergi menebang pohon beringin itu. 

“Sesentola, ayo bantu Bapak menebang pohon beringin yang ada di tepi sungai itu,” ajak sang bapak. 

“Baik, Pak,” jawab Sesentola. 

Bapak dan anak itu pun berangkat ke tepi sungai. Sang bapak sengaja mengarahkan rebahnya pohon itu ke tempat Sesentola berdiri. Begitu pohon beringin itu roboh, tak ayal tubuh Sesentola pun tertimpa pohon. 

“Aduuhhh…!” jerit Sesentola.

Setelah itu, Sesentola tidak lagi bersuara. Sang bapak pun mengira anaknya telah mati. Maka, cepat-cepatlah ia kembali ke rumahnya dan menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Namun, tiba-tiba terdengar suara Sesentola.

“Bapak, aku pulang!” teriak Sesentola di depan rumah.

Alangkah terkejutnya sang bapak saat melihat anaknya sedang memikul pohon beringin yang ditebangnya tadi. Ia semakin tidak percaya melihat kekuatan anaknya itu. Sang istri langsung meneteskan air mata. Ia merasa kasihan melihat nasib anak semata wayangnya itu atas perlakuan sang suami terhadapnya. 

Sementara itu, Sesentola yang telah menyadari niat jahat sang bapak mulai kesal. Meski demikian, ia tidak ingin melawan bapaknya. Ia merasa bahwa lebih baik pergi daripada terus membebani kedua orangtuanya. 

“Jika Bapak dan Ibu sudah tidak mampu lagi menghidupiku, lebih baik aku pergi saja. Aku akan mencari penghidupan sendiri,” kata Sesentola.

“Baiklah, Anakku. Bawalah benda pusaka ini,” ujar sang ibu seraya menyerahkan panah bermata tiga dan cincin pusaka.

“Ingatlah, saat kamu hendak menggunakan panah ini harus disertai menyebut bagian tubuh musuh yang hendak kamu bidik. Jika kamu menyebut mata, anak panah itu akan mengenai mata musuhmu. Kalau engkau sakit, rendamlah cincin ini ke dalam air. Kemudian teteskanlah air itu di bagian tubuhmu yang sakit, niscaya kamu akan sembuh,” jelas ibu Sesentola.

“Terima kasih, Bu. Jagalah diri kalian baik-baik,” kata Sesentola.

Usai berpamitan kepada ibu dan bapaknya, Sesentola pun pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia berjalan tanpa tentu arah hingga akhirnya sampai di sebuah ibukota kerajaan. Namun anehnya, kota itu seperti tidak berpenghuni. 

“Hai, kenapa kota ini sepi sekali? Pergi ke mana penduduknya?” gumam Sesentola dengan heran. 

Setelah Sesentola mengelilingi kota itu, tampaklah sebuah rumah megah. Ia berpikir bahwa rumah itu pastilah istana raja. Dengan langkah perlahan-lahan, Sesentola memasuki istana itu. Namun, tak seorang pun yang terlihat. Hanya ada sebuah gendang rasasa di dalamnya. Karena penasaran, Sesentola pun berniat memukul gendang itu. Begitu ia hendak memukulnya, tiba-tiba ada suara wanita yang menegurnya.

“Hai, jangan kamu pukul gendang ini! Aku ada di dalamnya,” seru suara itu, “Ayo cepat sembunyi!”

Sesentola pun menuruti seruan itu. Begitu masuk ke dalam gendang itu, ia mendapati seorang gadis cantik. 

“Hai, siapa kamu dan kenapa bersembunyi di sini?” tanya Sesentola heran.

“Sssstt…! Jangan keras-keras, nanti garuda itu datang menyerang lagi,” ujar perempuan itu.
“Garuda apa maksudmu?” tanya Sesentola bertanya dengan pelan.  

 “Namaku Lemontonda. Tinggal akulah satu-satunya yang masih hidup di negeri ini. Penduduk lainnya telah mati diserang burung garuda yang sangat ganas,” ungkap Lemontonda. 

Mendengar cerita itu, Sesentola pun berniat untuk membinasakan garuda itu.  

“Jangan takut, Lemontonda! Aku akan memberi pelajaran garuda itu,” ujar Sesentola.

“Jangan! Garuda itu sangat sakti. Lagipula ia tidak sendiri, dan masih ada Raja Garuda bernama Vandebulava yang lebih sakti,” kata Lemontonda.

“Tenang saja. Aku akan menghadapi mereka dengan senjata pusakaku ini,” kata Sesentola sambil menunjukkan senjatanya.

Beberapa saat kemudian, seekor garuda datang dan terbang berkeliling di atas istana. Garuda itu mengetahui keberadaan Sesentola dan gadis itu. Dengan gagah berani, Sesentola segera keluar lalu membidik mata garuda itu dengan panahnya. Begitu terlepas dari busurnya, anak panah itu melesat dengan cepat dan tepat mengenai mata garuda itu hingga tembus. Garuda itu pun jatuh dan tewas seketika.

Mengetahui kabar tersebut, Raja Garuda menjadi murka. Ia segera memerintahkan seekor garuda bernama Vandease untuk menangkap Sesentola.

“Tangkap dan bawa anak muda itu ke mari! Jika tidak mau, habisi saja dia!” seru Raja Garuda.
“Baik, Tuan!” jawab Vandease.

Vandease pun menemukan Sesentola dan memintanya untuk menyerahkan diri, namun pemuda sakti itu tidak mau. Sesentola kemudian menarik busurnya lalu membidik kening garuda itu. Anak panah pun melesat dan tepat mengenai kening garuda itu hingga tewas seketika. Melihat hal itu, Lemontonda berpesan kepada Sesentola.

“Berhati-hatilah, Sesentola! Raja Garuda itu sebentar lagi datang. Ia sangat sakti,” ujar Lemontonda. 

“Baiklah, tolong siapkan segelas air untuk merendam cincin ini!” pinta Sesentola seraya menyerahkan cincinnya kepada Lemontonda, “Jika aku pingsan, tolong teteskan air ini ke mataku.”

Tak berapa lama kemudian, Vandebulava pun datang. Sesentola segera membidik leher garuda itu. Anak panahnya kemudian melesat menembus leher Raja Garuda. Karena kesaktiannya, sebelum jatuh, Raja Garuda sempat menyambar Sesentola hingga pingsan. 

Melihat Sesentola pingsan, Lemontonda segera meneteskan air rendaman cincin pusaka ke mata pemuda itu. Beberapa saat kemudian, Sesentola pun siuman. Dengan tewasnya Raja Garuda, negeri itu kembali aman. Sesentola pun mengajak Lemontonda untuk menikah. Gadis itu bersedia tapi dengan satu syarat.

“Aku bersedia menikah asalkan kamu mampu menghidupkan kembali orangtuaku dan seluruh rakyat negeri ini,” pinta Lemotonda.

Sesentola pun menyanggupi syarat itu. Konon, dengan kesaktiannya, Sesentola berhasil menghidupkan kembali seluruh penduduk negeri itu. Ia pun menikah dengan Lemontonda dan diangkat menjadi raja di negeri itu. Selanjutnya, Sesentola memboyong orangtuanya ke istana. Mereka pun hidup berbahagia. 

* * *

Demikian cerita Sesentola dan Burung Garuda dari Sulawesi Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang pemberani dan suka menolong seperti Sesentola pada akhirnya akan mendapat kebahagiaan. Pelajaran lainnya adalah bahwa betapapun usaha seeorang ingin melenyapkan nyawa orang lain, orang itu tidak akan mati jika Tuhan belum menghendaki.

Senin, 19 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Anwar Dan Sang Burung Kecil

Ketika Anwar sedang berjalan pulang dari sekolah, hujan mulai turun sangat lebat. Setelah makan malam, sebelum memulai pekerjaan rumahnya, dia bertanya kepada ibunya apakah dia boleh melihat hujan dulu sebentar. Ibu bilang bahwa Anwar boleh melihatnya sebentar saja. Anwar melihat ke jendela dan mulai memperhatikan hujan yang turun di luar. Ada orang berjalan di jalanan dengan memakai payung, dan yang tidak mempunyai payung merapatkan diri mereka ke bangunan.



Tak lama kemudian, gumpalan hujan mulai terbentuk di mana‐mana. Mobil yang lewat memuncratkan air ke sisi jalan dan orang berlarian dari pemberhentian agar tidak kebasahan. Anwar berpikir betapa menyenangkannya berada di dalam rumah dan dia harus lebih bersyukur kepada Allah Yang telah memberinya makanan dan rumah yang hangat untuk tinggal. Pada saat itu juga, seekor burung jelatik hinggap di bingkai jendela. Anwar berpikir bahwa burung malang itu pasti sedang mencari tempat berteduh dari hujan, dan dia segera membuka jendela.

“Hai, namaku Anwar,” katanya. “Kamu boleh masuk kalau kamu mau.”

“Terima kasih, Anwar,” kata sang burung kecil. “Aku ingin menunggu di dalam sampai hujan reda.”

“Kamu pasti kedinginan di luar sana,” Anwar ikut merasakan

“Aku belum pernah melihat burung sedekat ini sebelumnya. Lihat betapa tipisnya kakimu! Bagaimana kakimu dapat menahan badanmu hingga tegak?”


“Kamu benar, Anwar,” sang jelatik setuju. “Kami burung memiliki kaki yang tipis dibanding tubuh kami. Namun, biarpun demikian, kaki‐kaki tersebut mampu menahan tubuh kami dengan sangat mudah. Ada banyak otot, pembuluh darah dan syaraf didalamnya. Bila kaki kami lebih tipis atau lebih tebal lagi, akan sulit bagi kami untuk terbang.”

“Terbang pasti rasanya sangat menakjubkan,” pikir Anwar. “sayapmu terlalu tipis, juga, namun kalian masih dapat terbang dengannya. Jadi, bagaimana kamu dapat terbang sedemikian jauhnya tanpa merasa lelah?”

“Saat pertama kali kami terbang, kami menggunakan banyak sekali tenaga karena kami harus mendukung berat badan kami pada sayap kami yang tipis,” mulai sang jelatik. “Namun begitu kami di udara, kami menjadi santai dengan mebiarkan tubuh kami terbawa angin. Jadi, karena kami menghabiskan lebih sedikit tenaga dengan cara ini, kami tidak menjadi lelah. Saat angin berhenti bertiup, kami mulai mengepakkan sayap kami lagi. Karena kelebihan yang telah Allah ciptakan untuk kami, kami dapat terbang dalam jarak yang sangat jauh.”

Anwar kemudian bertanya, “Bagaimana kamu dapat melihat sekelilingmu saat sedang terbang?”

Sang jelatik menjelaskan: “Organ indera terbaik kami adalah mata kami. Selain memberikan kemampuan untuk terbang, Allah juga memberikan kami indera penglihatan yang sangat hebat. Jika kami tidak memiliki indera penglihatan bersamaan dengan kemampuan ajaib kami untuk bisa terbang, hal itu sangatlah berbahaya bagi kami. Kami dapat melihat benda yang sangat jauh dengan lebih jelas daripada manusia, dan kami memiliki jangkauan penglihatan yang luas. jadi begitu kami melihat bahaya di depan, kami dapat menyesuaikan arah dan kecepatan terbang kami. Kami tidak dapat memutar mata kami seperti manusia karena mata kami diletakkan pada pencengkramnya. namun kami dapat menggerakkan kepala kami berputar dengan cepat untuk memperluas wilayah penglihatan kami.”


Anwar mengerti: “Jadi, itulah mengapa burung selalu menggerakkan kepala mereka: untuk melihat ke sekeliling mereka. Apakah semua mata burung seperti itu?”

“Burung hantu dan burung‐burung malam hari lainnya memiliki mata yang sangat lebar,” sang jelatik melanjutkan. “Berkat sel khusus dalam mata mereka, mereka dapat melihat dalam keremangan. Karenanya, burung hantu dapat melihat dengan sangat baik untuk berburu di malam hari. Ada juga jenis burung yang disebut burung air; Allah menciptakan mereka agar mereka dapt melihat dengan sangat baik di dalam air. Mereka mencelupkan kepala mereka ke dalam air dan menangkap serangga atau ikan. Allah menciptakan kemampuan ini dalam burung‐burung ini agar mereka dapat melihat dengan jelas di dalam air dan menangkap mangsa mereka.” 

“Tidak semua paruh burung sama, nampaknya. Mengapa demikian?” Anwar bertanya.

“Allah menciptakan berbagai jenis paruh yang berbeda untuk burung yang berbeda untuk melakukan pekerjaan yang berbeda,” demikian jawabannya. “Paruh kamu sesuai dengan sempurna terhadap lingkungan di mana kami tinggal. Ulat dan cacing sangat lezat bagi kami para burung pemangsa serangga. dengan paruh kami yang tipis dan tajam, kami dapat dengan mudah mengambil ulat dan cacing dari bawah daun pohon. Burung pemakan ikan biasanya memiliki paruh yang panjang dengan bentuk seperti sendok pada ujungnya untuk menangkap ikan dengan mudah. Dan burung yang makan dari tumbuhan memiliki paruh yang membuat mereka dapat makan dengan mudah dari jenis tumbuhan yang mereka sukai. Allah telah menyediakan dengan sempurna untuk setiap makhluk di Bumi dengan memberikannya kemampuan yang dia butuhkan.”

Anwar punya pertanyaan lain untuk sang jelatik: “Kamu tidak mempunyai telinga seperti yang aku punya, namun kamu masih dapat mendengarkan aku dengan sangat baik. Bagaimana bisa?”

“Indera pendengaran sangatlah penting bagi kami para burung. Kami menggunakannya untuk berburu dan saling memperingatkan akan adanya kemungkinan bahaya sehingga kami dapat melindungi diri kami. Sebagian burung memiliki gendang pendengaran yang membuat mereka mampu mendengar suara yang paling kecil. Pendengaran burung hantu sangat peka akan suara. Burung Hantu dapat mendengar tingkat suara yang tidak dapat didengar manusia,” sang jelatik memberitahukannya. 


Anwar kemudian bertanya: “Kalian para burung berkicau dengan sangat merdu. Aku senang mendengarkan kalian. Untuk apa kalian menggunakan suara kalian?” 

Sang burung mengangguk: “Sebagian dari kami memiliki kicauan yang berbeda untuk mengusir musuh kami. Terkadang kami membuat sarang kami di dalam lubang pada batang pohon, dan ketika musuh mencoba masuk, kami mendesis layaknya ular. Penyusup tersebut berpikir bahwa ada ular di dalam sarang itu, sehingga kami dapat melindungi sarang kami.”

“Apa lagi yang kalian lakukan untuk melindungi sarang kalian dari musuh?” Anwar ingin tahu.

“Kami membangun banyak sarang tipuan untuk menyesatkan musuh kami,” kata sang burung. “Dengan cara ini kami membuat para penyusup tersesat dan melindungi sarang dan telur kami yang telah kami sembunyikan di daerah tersebut. Untuk melindungi sarang kami dari ular berbisa, kami menutupi jalan masuk dan membuatnya sangat berliku‐liku. Kewaspadaan lainnya adalah membangun sarang pada pohon yang cabangnya berduri.”

Tidakkah mereka memperhatikan burungburung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tandatanda (kebesaran Tuhan) bagi orangorang yang beriman.
(QS. anNahl, 16:79)

 “Bagaimanakah sebagian burung dapat berenang dalam air? dan mengapa tidak semua burung dapat berenang?” Anwar bertanya pada temannya.

Sang jelatik menjawab: “Allah telah menciptakan sebagian dari kami dengan kemampuan untuk berenang. Dia telah memberikan mereka kaki berselaput jala agar mereka mampu berenang saat masuk ke dalam air. Sebagian lain dari kami memiliki jari tipis tanpa jala. jadi, selain burung air, burung tak dapat berenang.”

“Sama seperti sepatu renang!” Anwar berseru. “Saat aku berenang dengan memakai sepatu
renang, aku dapat berenang dengan jauh lebih cepat.”

“Ada beberapa burung yang telah memiliki sepatu renang ini sejak lahir,” kata sang burung.

Saat Anwar dan sang burung sedang berbincang‐bincang, ibunya menyuruh Anwar untuk masuk ke kamarnya dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Pada saat bersamaan, hujan pun telah reda. 

Anwar berkata pada temannya: “Sekarang aku harus masuk ke kamarku dan mengerjakan pekerjaan rumahku. Besok aku akan bercerita kepada teman‐temanku tentang kemampuan istimewamu, dan bagaimana Allah telah menciptakan kamu dan makhluk lainnya melalui karya seni kreatif yang sedemikian sempurna.” 

“Hujan telah reda, jadi aku dapat kembali ke sarangku,” jawab sang jelatik.


“Terima kasih telah membawa aku masuk, Anwar. Saat kau menceritakan temanmu tentang kami, Bisakah kamu sampaikan juga kepada mereka untuk peduli kepada kami dan jangan melemparkan batu kepada kami atau kepada makhluk lainnya?”

“Ya, tentu saja aku akan menyampaikannya kepada mereka,” Anwar setuju.

“Semoga Allah melindungimu.” Anwar membuka jendela dan sang burung segera terbang, melayang menembus udara. Anwar memikirkan kesempurnaan dalam ciptaan Allah dan duduk mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Sabtu, 27 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Ular Dandaung

Konon, dahulu kala ada sebuah kerajaan. Tidak disebutkan oleh pencerita apa nama kerajaan itu. Menurut cerita, kerajaan itu cukup besar. Negerinya kaya raya sehingga penghasilan rakyat melimpah ruah. Rajanya adil dan bijaksana. Kekayaan kerajaan bukan hanya dinikmati raja dan keluarganya, tetapi rakyat pun turut menikmati. Pantaslah jika kerajaan itu selalu dalam suasana tenteram dan damai. Dengan kerajaan-kerajaan lain pun, tidak pernah terjadi silang sengketa sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai.



Sayang, ketenteraman itu tidak bertahan lama. Tidak disangka-sangka musibah datang menimpa mereka. Mereka bukan diserang musuh yang iri pada kemakmuran dan kerukunan kerajaan, tetapi oleh burung raksasa yang tiba-tiba muncul. Langit menjadi gelap gulita karena tubuh burung itu amat besar. Kepak sayapnya memekakkan telinga.

Karena serbuan burung raksasa itu demikian mendadak, rakyat kerajaan panik luar biasa. Mereka bingung dan tidak tahu akan berbuat apa menghadapi suasana itu. Mereka menyangka kiamat sudah datang.

Dalam sekejap mata, kerajaan itu musnah binasa dengan segala isinya. Bangunan rata dengan tanah. Pohon-pohon bertumbangan. Rakyat dijemput maut tertimpa pohon atau terbenam dalam reruntuhan rumah dan gedung mereka.

Ibarat sebuah negeri kalah perang, kerajaan yang sebelumnya subur makmur itu menjadi sebuah lapangan terbuka. Tiada tumbuhan, hewan, dan manusia di sana, kecuali raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya. Mereka bingung dan takut, barangkali datang serangan kedua. Jika hal itu terjadi, tamatlah riwayat mereka. Dengan mudah burung raksasa itu melihat mereka sebab tidak selembar daun lalang pun dapat dijadikan tempat untuk berlindung.

Akan tetapi, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan karena terhindar dari malapetaka. Tuhan yang Mahabesar masih menginginkan kehadiran mereka di dunia.

Dalam keadaan tidak menentu itu mereka dikagetkan lagi dengan kejadian yang membuat mereka semakin putus asa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor ular raksasa hadir di depan mereka. Ular itu mengangakan mulutnya sehingga lidahnya yang besar dan berbisa bergerak-gerak keluar masuk mulutnya. Raja bersama permaisuri dan ketujuh putri berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka sating merangkul. Raja berpikir, jika harus mati, biarlah mereka mati bersama menjadi mangsa ular raksasa itu.

“Paduka tak usah takut,” tiba-tiba ular itu berkata. “Hamba tidak akan mengganggu Paduka, permaisuri, dan putri-putri Paduka, asalkan Paduka mengabulkan permohonan hamba.”

Rasa takut raja sekeluarga berkurang mendengar ular itu dapat berbicara seperti manusia.
“Siapakah engkau? Apakah keinginanmu?” tanya sang raja.

“Nama hamba Dandaung. Ular Dandaung,” ujar ular raksasa itu. “Hamba ingin memperistri salah seorang putri Paduka.”

Tertegun sejenak sang raja mendengar permintaan Ular Dandaung. Seekor ular raksasa ingin memperistri anaknya? Tidak masuk akal ular menikah dengan manusia. la tidak berani menolak karena takut akibatnya.

“Aku tidak menolak, tetapi juga tidak menerima lamaranmu,” sahut sang raja. “Aku harus menanyakan hal ini kepada putriku satu per satu!”

Seorang demi seorang putrinya ditanya. Putri sulung sampai dengan putri keenam menolak diperistri Ular Dandaung. Sang raja sudah membayangkan akibat buruk yang akan mereka terima andaikata putrinya menolak.

“Hamba bersedia menjadi istrinya,” kata putri bungsu ketika ditanya ayahandanya.

Tentu saja kakak-kakaknya mengejek putri bungsu. Berbagai cemooh mereka lontarkan, tetapi putri bungsu menerimanya dengan tabah. Pendiriannya tidak tergoyahkan.


Pada suatu matam, putri bungsu terbangun dari tidur. Ia amat kaget karena bukan Ular Dandaung yang berbaring di sisinya melainkan seorang permuda tampan. Belum habis rasa herannya, pemuda itu berkata, “Aku bukan orang lain, aku suamimu si Ular Dandaung. Aku seorang raja yang Baru terbebas dari kutukan.”

Raja dan permaisuri terkejut melihat kejadian itu. Akan tetapi, mereka bangga mendapat menantu yang sangat tampan, apatagi is seorang raja. Hanya keenam putrinya tidak habis-habisnya menyesaii diri mereka.

Di kemudian hari terbukti bahwa di samping seorang raja yang tampan, Ular Dandaung juga seorang yang mempunyai kehebatan. Dengan kesaktiannya, burung raksasa yang menghancurkan kerajaan mertuanya dapat ditaklukkan dan dibunuh. Ia juga menciptakan sebuah kerajaan Baru, lengkap dengan segala peralatan dan rakyatnya.

Ketika mertuanya tidak mampu memerintah lagi, Ular Dandaung menggantikannya dan putri bungsu menjadi permaisurinya.