Tampilkan postingan dengan label Asal Usul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asal Usul. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Nama Girilawungan

Girilawungan adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di tanah Sunda, tepatnya di Majalengka, Jawa Barat. Istilah “girilawungan” berasal dari kata ngalawung dalam bahasa Sunda, yang berarti “berhadap-hadapan”. Menurut cerita, pernah terjadi suatu peristiwa ngalawung di sebuah tempat sehingga tempat itu kemudian dinamakan Girilawungan. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam ceria Asal Usul Nama Girilawungan.
Dahulu di tanah Pasundan, ada seorang raja bernama Pangeran Giri Layang. Ia masih keturunan Raja Pajajaran. Pangeran Giri Layang adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Dalam memerintah negara, ia dibantu oleh adik perempuannya yang bernama Putri Giri Larang dan seorang patih bernama Endang Capang.
Suatu hari, Pangeran Giri Layang sedang bercakap-cakap dengan adiknya di pendopo istana. Putri Giri Layang berkata kepada kakaknya,
“Kanda, Dinda ingin mengatakan sesuatu. Tapi, sebelumnya Dinda mohon maaf jika nantinya ada perkataan Dinda yang menyinggung perasaan Kanda,” kata Putri Giri Larang.
“Ada apa yang ingin kamu katakan, Adikku?” ujar Pangeran Giri Layang,
“Begini, Kanda. Dinda sudah lama membantu Kanda mengelola negeri ini dan sudah banyak pula ilmu yang Dinda peroleh dari Kanda. Tapi, Dinda merasa perlu banyak belajar lagi. Sekiranya Kanda mengizinkan, Dinda ingin pergi merantau untuk menambah ilmu.”
Mendengar permintaan itu, Pangeran Giri Layang tertegun. Ia merasa amat berat melepas kepergian adiknya. Namun, tak ada alasan baginya untuk menolak permintaan tersebut. Ia pun mengelus-elus kepala adiknya, lalu berkata.
“Adikku, engkaulah satu-satunya yang Kanda sayangi. Tapi, jika itu sudah menjadi tekadmu, Kanda merestui kepergian Dinda. Semoga Dinda tidak mendapat rintangan apa pun,” kata Pangeran Giri Layang, “Ingat pesan Kanda, jika berjalan ke arah timur, Dinda jangan sampai melampaui perbatasan.”
“Baik, Kanda. Terima kasih atas doa restu Kanda,” ucap Putri Giri Larang.
Keesokan paginya, Putri Giri Larang bersiap-siap. Setelah berpamitan kepada kakaknya, berangkatlah ia menuju ke arah timur dengan berjalan kaki seorang diri. Setelah berbulan-bulan keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, serta mendaki gunung dan lembah, sampailah ia di sebuah hutan belantara yang sepi. Hanya suara-suara binatang hutan yang terdengar saling bersahut-sahutan.
Putri Giri Larang terus berjalan di antara pepohonan. Alangkah terkejutnya sang Putri, ia menemukan sebuah taman yang indah di pedalaman hutan. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam yang airnya sangat jernih. Kolam itu dikelilingi pula tanaman bunga yang beraneka warna. Putri pun tak kuasa menahan rasa kagum menyaksikan pemandangan itu.
“Oh, pemandangan yang sungguh indah. Tapi, kenapa ada taman di tengah hutan ini?” heran sang Putri, “Siapa yang membuatnya?”
Putri Giri Larang duduk di pinggir kolam lalu merendam kedua kakinya ke dalam air. Setelah merasakan kesejukan air itu, ia lalu berpikiran ingin mandi.
“Sebaiknya aku mandi saja di kolam ini untuk menghilangkan rasa letih,” gumamnya.
Sang Putri pun segera menanggalkan pakaian dan meletakkannya di pinggir kolam. Ia lalu mencebur ke dalam kolam dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Sejuknya air kolam itu terasa menusuk hingga ke ubun-ubunnya. 
Ketika sang Putri sedang asyik berendam di kolam itu, tanpa disadari ada seorang lelaki setengah baya menuju ke kolam. Lelaki itu adalah seorang patih dari sebuah kerajaan di Jawa yang bertugas merawat dan menjaga kolam itu agar tetap bersih. Taman itu merupakan tempat Raja Jawa beristirahat sepulang dari berburu.
Patih itu terkejut begitu melihat seorang putri cantik sedang mandi di kolam. Cepat-cepatlah ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi putri itu.
“Cantik sekali putri itu, bagaikan bidadari dari kahyangan,” kagum patih itu, “Tapi, siapa putri itu dan dari mana asalnya?”
Sang Patih tiba-tiba teringat pada rajanya yang sedang mencari pasangan untuk dijadikan permaisuri.
“Raja pasti tertarik pada putri itu,” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Patih itu segera mengambil pakaian sang putri. Rupanya, sang Putri mengetahuinya. Ketika Putri naik ke darat hendak merebut pakaiannya, Patih itu segera berlari. Sang Putri pun segera mengejarnya, sang Patih sengaja memperlambat langkahnya agar sang putri terus mengikutinya hingga ke istana.
Setiba di istana, Patih itu segera menyerahkan pakaian sang Putri kepada sang Raja.
“Ampun, Gusti. Hamba mempersembahkan sebuah bingkisan untuk Gusti,” sembah patih itu.
“Hai, pakaian siapa ini?” tanya sang Raja heran.
“Pakaian itu milik seorang putri. Putri itu sedang mandi di kolam Gusti,” ungkap patih itu, “Putri itu cantik jelita bagai bidadari. Barangkali saja Gusti tertarik padanya.”  
“Wah, kamu memang Patih yang pengertian. Mana putri itu?” tanya sang Raja.
Belum sempat patih itu menjawab, tiba-tiba Putri Giri Larang muncul dan berteriak.
“Hai, pencuri. Cepat kembalikan pakaianku!” serunya, “Dasar kalian tidak sopan. Beraninya mencuri pakaian wanita yang sedang mandi.”
Jantung sang Raja langsung berdetak kencang saat melihat kecantikan Putri Giri Larang. Raja tersenyum lalu menyapa sang putri dengan kata-kata lembut.
“Maafkan kami atas perlakuan patihku, Putri cantik,” ucap sang Raja.
“Hai, pencuri. Cepat kembalikan pakaianku! Kalau tidak, aku hancurkan seluruh isi keraton ini!” ancam sang Putri.
“Sabar, Putri,” ujar sang Raja dengan tenang, “Kami tidak ingin mencari keributan. Sebaiknya Putri beristirahat dulu, setelah itu kami akan menyerahkan pakaian Putri.”
Dengan kata-kata lembut sang Raja, hati Putri Giri Larang akhirnya luluh. Setelah mandi dan beristirahat, ia pun berunding dengan sang Raja.
“Maaf, Putri. Kalau boleh saya tahu, siapa sebenarnya Putri dan berasal dari mana?” tanya sang Raja.
Putri Giri Larang pun memperkenalkan namanya lalu menjelaskan asal-usulnya. Mendengar penjelasan itu, sang Raja pun mengungkapkan isi hatinya.
“Begini. Sebenarnya aku memang sedang mencari istri untuk kujadikan permaisuri. Kebetulan sekali aku telah bertemu dengan Putri yang selama ini kudambakan. Bersediakah Putri menjadi permaisuriku?” pinang sang Raja.
Mendengar permintaan itu, tiba-tiba sang Putri merasa sekujur tubuhnya menjadi lemah. Kekuatannnya terasa tersedot oleh kekuatan gaib. Pada saat itulah, ia baru tersadar dan teringat pada nasehat kakaknya dirinya telah melewati perbatasan sebelah timur sehingga kesaktiannya hilang. Dengan terpaksa, ia pun menerima lamaran sang Raja.
“Baiklah, aku terima lamaran Gusti. Tapi, dengan syarat kaum laki-laki tidak mencampuri urusan perempuan,” pinta sang Putri.
Sang Raja menyanggupi permintaan itu. Beberapa hari kemudian, pernikahan mereka pun dilangsungkan dengan amat meriah. Sejak itulah, putri keturunan Pajajaran itu menjadi permaisuri Raja.
Suatu hari, Putri Giri Larang menanak nasi, lalu pergi mandi. Beberapa saat kemudian, diam-diam sang Raja membuka kuali yang airnya sedang mendidih. Ia penasaran ingin mengetahui istrinya sedang masak apa. Alangkah terkejut dia setelah membuka kuali itu yang ternyata isinya hanya setangkai padi. Setelah mengamatinya sejenak, padi itu ia masukkan ke kuali dan menutupnya kembali.
Putri Giri Larang baru saja selesai mandi dan kembali ke dapur. Betapa marahnya ia setelah mengetahui padi di dalam kuali tak kunjung matang. Dengan perasaan kecewa, ia menghampiri suaminya.
“Engkau telah melanggar janjimu. Engkau telah berani membuka rahasia perempuan,” hardik sang Putri.
Tanpa berkata-kata lagi, Putri Giri Larang segera meninggalkan istana menuju keraton kakaknya. Setiba di sana, ia langsung merangkul kakaknya sambil menangis.
“Maafkan Dinda! Dinda tidak menghiraukan nasehat Kanda,” tangis sang Putri.
Putri yang sedang hamil tua itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya.
“Sudahlah, Dinda. Lupakanlah semua kejadian yang sudah lalu,” ujar Giri Layang, “Beristirahatlah, kasian bayi yang ada di dalam kandunganmu.”
Selang beberapa hari kemudian, Putri Giri Larang pun melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Adipati Jatiserang. Kehadiran anak itu tentu saja mencemaskan hati Pangeran Giri Layang. Ia khawatir kalau-kalau tentara kerajaan suami adiknya datang menyerang hendak mengambil Adipati Jatiserang. Kekhawatiran itu akhirnya datang juga ketika sang Pangeran mendapat petunjuk dari kakeknya melalui mimpi bahwa mereka akan datang mengambil keponakannya.
Pangeran Giri Layang pun segera berunding dengan patihnya Endang Capang serta para menterinya agar membuat kulah (lubang besar di bawah tanah) sebanyak empat buah. Keempat kulah itu akan dijadikan sebagai tempat persembunyian keluarga keraton, termasuk Putri Layang dan putranya. Tak berapa lama kemudian, tentara kerajaan suami sang Putri yang dipimpin oleh Patih Mangkunagara dan Patih Surapati pun tiba. Mereka pun langsung mencari Pangerang Giri Layang serta Putri Giri Larang dan putranya. 
“Hai, di mana Raja kalian?” tanya Patih Mangkunagara, “Kami ke mari mencari Putri Larang dan putranya.”
“Maaf, Tuan-Tuan! Pangerang Giri Layang dan Putri Giri Larang sudah wafat. Sementara Adipati Jatiserang, putra Putri Giri Larang, sedang menutut ilmu ke negeri seberang,” jawab patih Endang Capang.
Kedua patih tersebut tidak percaya dengan jawaban itu. Akhirnya, Patih Endang Capang segera membawa mereka ke tempat Pangeran Giri Layang dan Putri Giri Larang bersembunyi. Karena tidak percaya, kedua patih Majapahit itu berniat untuk menggali kulah yang mirip makam tersebut. Namun, baru saja mereka mulai menggali, tiba-tiba seluruh badan mereka menjadi lemas dan tak bertenaga. Rupanya, kekuatan mereka terhisap oleh kesaktian Pangeran Giri Layang dari dalam kulah tersebut. Karena gagal melaksanakan tugas, Patih Mangkunagara pun memerintahkan tentaranya agar tidak pulang dulu ke istana.
“Para prajuritku, jangan ada yang pulang ke istana!” ujar patih itu, “Malulah rasanya pulang dengan tangan hampa. Sebaiknya kita ngalawung (bertemu berhadap-hadapan) saja di sini sambil menunggu Putri Giri Larang keluar sebab aku yakin ia bersembunyi.”
Seluruh tentara pun menetap di tempat tersebut. Untuk mengenang peristiwa ngawalung, maka tempat itu dinamakan Negara Girilawungan yang kini dikenal dengan sebutan Babakan Jawa.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Nama Girilawungan dari Jawa Barat. Ada pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu akibat buruk dari sifat tidak mau mendengarkan nasehat seperti Putri Giri Larang, dan akibat buruk dari sifat ingkar janji seperti sang Raja yang melanggar syarat dari istrinya.

Sabtu, 14 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Orang Basap

Orang Basap adalah salah satu rumpun suku Dayak di Kalimantan Timur yang tinggal di wilayah Bontang dan Sangkulirang. Menurut cerita, Orang Basap merupakan keturunan orang-orang Cina yang kawin dengan suku Dayak Punan. Meskipun Orang Basap pada umumnya tidak berkulit kuning, tetapi mata mereka tetap sipit seperti orang Cina. Bagaimana perkawinan campuran antara dua suku yang berbeda ini bisa terjadi? Simak kisahnya dalam cerita Asal Usul Orang Basap berikut ini.
Dahulu, di Tepian Batu atau Kutai Lama, Kalimantan Timur, berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan itu didirikan oleh Maharaja Aji Batara Agung Dewa Sakti yang memerintah dari tahun 1300-1325 Masehi. Konon, sang Maharaja gemar bermain sabung ayam. Ia mempunyai seekor ayam jantan yang sakti bernama Ujung Perak Kemudi Besi. Ayam itu selalu menang dalam setiap pertarungan. Namanya pun sudah terkenal hingga ke luar negeri karena ayam jago itu telah mengalahkan ayam jago milik raja-raja dari Jawa, Brunei, dan lainnya.
Kabar tentang kesaktian Ujung Perak Kemudi Besi tersebar hingga ke Negeri Cina. Mendengar kabar tersebut, Pangeran Cina pun bermaksud untuk menjajal kesaktian ayam jago milik sang Maharaja itu. Dengan diiringi ratusan awak kapal dan pasukan, pangeran itu bertolak menuju Kutai dengan menggunakan sebuah kapal besar. Sang Pangeran juga membawa 15 ekor ayam jago miliknya yang paling unggul.
Dalam perjalanan menuju Kutai, rombongan Pangeran Cina mampir mengunjungi beberapa negeri seperti Campa, Brunei, Sumatra, dan Jawa. Di setiap negeri yang disinggahinya, sang Pangeran selalu menyempatkan diri mengadu salah satu ayam jagonya, dan ayam itu selalu menang.
“Ayam jagoku pasti akan mampu mengalahkan ayam jago milik Raja Kutai,” sang Pangeran Cina percaya diri.
Beberapa hari kemudian, rombongan Pangeran Cina akhirnya tiba di Kutai. Sang Pangeran pun langsung menghadap Maharaja Aji Batara Agung Dewa Sakti dan mengutarakan maksud kedatangannya.
“Hamba datang dari negeri Cina. Hamba menghadap ke mari untuk mengadu ayam jago hamba dengan ayam jago milik Baginda yang terkenal sakti itu,” kata Pangeran Cina.
“Wah, Pangeran jauh-jauh dari Cina hanya untuk mengadu ayam?” tanya Maharaja Kutai dengan santai.
“Benar, Baginda. Hamba membawa 15 ayam jago hamba untuk diadu dengan ayam jago Baginda,” jawab sang Pangeran.
Maharaja Kutai Kartanegara terdiam sejenak sambil mengelus-elus jenggotnya. Semula ia ragu karena Pangeran Cina itu membawa 15 ayam jago. Tentu saja ayam jagonya akan kewalahan menghadapi semua ayam jago tersebut. Namun karena yakin dengan kesaktian Ujung Perak Kemudi Besi, ia pun menerima tantangan Pangeran Cina itu.
“Baiklah, Pangeran. Aku terima tantanganmu. Lalu, bagaimana dengan aturan dan taruhannya?” tanya Maharaja Kutai.
“Maaf, Baginda. Ayam jago hamba akan diadu dengan ayam jago Baginda setiap hari. Taruhan setiap ekor ayam hamba adalah 100 bungkal emas sebesar lutut dan sebutir berlian sebesar telur merpati,” jawab Pangeran Cina.
“Baiklah, aku setuju dengan tawaran itu. Pertarungan ini akan kita mulai besok,” ujar Maharaja Kutai Kartanegara.
Maharaja Kutai Kartanegara segera memerintahkan para prajuritnya untuk menyiapkan gelanggang sabung ayam di depan istana. Keesokan harinya, banyak rakyat Kutai dan yang datang untuk menyaksikan jalannya pertarungan itu. Para prajurit istana pun tidak mau ketinggalan ingin menonton acara yang bakal berlangsung seru itu. Maharaja Kutai sudah terlihat duduk di singgasananya dengan didampingi oleh permaisuri tercinta. Sementara itu, di sisi lain gelanggang, Pangeran Cina dengan para pengawalnya juga sudah bersiap-siap.
Setelah semua persiapan selesai, gong pun dibunyikan pertanda dimulainya pertandingan. Kedua belah pihak segera melepaskan ayam jago masing-masing ke arena. Kedua ayam jago itu pun berkokok bersahut-sahutan seraya mengambil ancang-ancang untuk saling menyerang. Suasana penonton yang semula riuh rendah tiba-tiba menjadi hening.
Sesaat kemudian, kedua ayam jago itu mulai bertarung. Ayam jago Pangeran Cina mulai menyerang dengan beringas. Namun, dengan gesit, ayam jago Maharaja Kutai berkelit menghindari serangan. Ayam jago Pangeran Cina terus menyerang bertubi-tubi. Ujung Perak Kemudi Besi milik Maharaja Kutai pun selalu bisa menghindar. Lama-kelamaan, ayam jago Pangeran Cina kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disiakan-siakan oleh ayam jago Maharaja Kutai. Dengan sekali serang, ayam jago Pangeran Cina pun tewas terkena taji. Sorak-sorai penonton pun kembali bergumuruh.
“Hidup Ujung Perak Kemudi Besi! Hidup Maharaja Kutai!” demikian teriakan penonton memberi semangat.
Ayam jago Pangeran Cina yang pertama telah tewas. Pertarungan akan dilanjutkan pada esok harinya di mana Ujung Perak Besi akan menghadapi ayam jago yang kedua milik Pangeran Cina. Pertarungan pada hari kedua itu juga dimenangkan oleh ayam jago Raja Kutai. Demikian seterusnya hingga hari ke-14. Ayam jago milik Pangeran Cina pun tinggal satu yang tersisa. Selain itu, sang Pangeran juga telah kehabisan taruhan. Kini, Maharaja Kutai yang berbalik menantang pangeran dari Cina itu.
“Bagaimana Pangeran, apakah pertarungan ini akan kita lanjutkan?” tanya Maharaja Kutai.
“Iya, Baginda. Hamba akan mempertaruhkan kapal hamba dan seluruh isinya. Tapi, hamba minta Baginda juga mau mempertaruhkan kerajaan Baginda beserta isinya,” pinta Pangeran Cina.
Mendengar permintaan itu, Raja Kutai terhenyak. Rakyat pun ikut tercengang dan cemas. Maharaja Kutai masih diam. Pikirannya diselimuti perasaan bimbang. Baginya, taruhan itu terlalu besar. Tapi, jika tidak menerima tawaran itu, ia akan merasa malu. Di tengah-tengah kebimbangannya, tiba-tiba Ujung Perak Kemudi Besi berkokok dengan suara nyaring sambil mengepak-epakan kedua sayapnya. Hal itu seolah-olah memberi isyarat kepada tuannya agar menerima tawaran itu. Raja Kutai pun memahami keinginan ayam jagoannya.
“Baiklah, Pangeran. Aku terima tawaranmu,” jawab Raja Kutai dengan penuh keyakinan, “Tapi, ingat! Pangeran jangan mengingkari janji. Jika salah satu dari kita mengingkari janji, ia akan mendapat hukuman dari Sang Hyang Dewata.”
Pangeran Cina menyetujui perjanjian itu. Akhirnya, pertarungan itu pun dimulai. Ayam jago kedua belah pihak segera dilepaskan ke arena. Pertarungan kali ini semakin sengit karena ayam jago yang akan dihadapi Ujung Perak Kemudi Besi merupakan ayam paling tangguh milik Pangeran Cina. Seluruh penduduk Kutai pun semakin cemas.
Saat pertarungan dimulai, kedua ayam jago tersebut silih berganti menyerang. Pertarungan itu sudah berlangsung beberapa waktu, namun belum dapat dipastikan jago mana yang akan menang. Kesaktian keduanya masih tampak seimbang. Begitu matahari mulai tenggelam, ayam jago Pangeran Cina sudah kelelahan. Sebaliknya, ayam si Ujung Perak justru semakin tangkas. Sepakannya semakin kuat dan patukannya pun bertambah kuat. Tidak berapa kemudian, ayam jago Pangeran Cina pun tewas. Melihat hal itu, seluruh rakyat Kutai bersorak gembira meryakan kemenangan Ujung Perak Kemudi Besi.
Maharaja Kutai segera memerintahkan para prajuritnya untuk mengambil semua layar dan dayung yang ada di kapal agar Pangeran Cina dan pasukannya tidak melarikan diri. Namun, Maharaja Kutai masih berbelas kasihan
“Khusus malam ini, aku izinkan Pangeran dan seluruh prajurit Pangeran tidur di kapal itu,” ujar Raja Kutai.
“Terima kasih, Baginda,” jawab Pangeran Cina.
Pangeran Cina dan rombongannya pun kembali kapal yang sudah menjadi milik Raja Kutai. Ketika hari sudah larut, lampu-lampu di kapal itu dimatikan. Pangeran Cina dan anak buahnya bukannya beristirahat, melainkan mengadakan rapat secara diam-diam. Rupanya, mereka sedang merencanakan sisat untuk bisa melarikan diri.
“Bagaimana caranya kita melarikan diri, Pangeran? Bukankah layar dan dayung kita sudah dirampas oleh Raja Kutai?” tanya salah seorang prajurit dengan bingung.
Sejenak, Pangeran Cina terdiam. Ia pun kebingunan mencari jalan keluar. Di tengah kebimbangan itu, tiba-tiba juru masak angkat bicara.
“Maaf, Pangeran. Bolehkah hamba usul?” pinta juru masak itu.
“Apakah itu? Cepat katakan!” desak sang Pangeran.
“Bukankah kita masih mempunyai layar yang sudah robek di gudang? Bagaimana kalau layar itu kita jahit saja?” usul juru masak.
Sang Pangeran pun langsung menerima usulan itu. Ia kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk menjahit layar itu di sebuah bukit. Ia juga memerintahkan prajuritnya untuk membuat sejumlah dayung di bukit tersebut. Keesokan harinya, mereka pun selesai menjahit bagian layar yang robek. Konon, bukit itu kemudian dinamakan Gunung jahitan Layar. Demikian pula dayung yang mereka buat juga sudah selesai.
Pada malam harinya, Pangeran Cina pun bertolak meninggalkan pelabuhan Kutai dengan kapal itu. Prajurit Maharaja Kutai yang mengetahui hal itu segera melapor.
“Ampun, Baginda. Pangeran Cina mengkhianati kita. Ia bersama pasukannya membawa dengan kapal,” lapor salah seorang prajurit, “Kita harus segera mengejarnya sebelum mereka pergi jauh.”
“Kalian tidak perlu mengejarnya. Pangeran itu telah mengingkari janjinya. Lihat saja nanti, mereka akan mendapat musibah di tengah laut,” ujar Maharaja Kutai.
Usai berkata demikian, Raja Kutai Kartanegara kemudian berucap sumpah.
“Keringlah laut yang mengelilingi wangkang! Biarlah seumur rombongan Pangeran Cina berada di tempat itu!”
Sementara itu, rombongan Pangeran Cina telah memasuki Teluk Sankulirang. Tanpa diduga, tiba-tiba angin puting beliung datang mendekat ke arah kapal yang mereka tumpangi. Air laut yang ada di sekitarnya pun tersedot ke atas. Pangeran Cina dan prajuritnya pun mulai panik. Mereka segera menurungkan jangkar agar tidak ikut tersedot oleh pusaran angin puting beliung. Hingga saat ini, tempat anak buah Pangeran Cina menurungkan jangkar itu diberi nama Kampung Jangkar.
Angin puting beliung terus menyedot air laut hingga laut menjadi kering. Rombongan Pangeran Cina pun segera turun dari kapal. Selang beberapa saat kemudian, kapal itu tiba-tiba berubah menjadi batu.
Menurut cerita, Pangeran Cina dan prajuritnya tinggal di sekitar tempat itu. Mereka kemudian berbaur dengan penduduk setempat, yakni orang-orang suku Dayak Punan hingga terjadi perkawinan. Keturunan orang-orang Cina dan suku Dayak Punan itu kemudian dikenal sebagai Orang Basap.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Orang Basap dari Kalimantan Timur. Pesan moral yang dapat kita petik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka mengingkari janji seperti Pangeran Cina akan mendapat balasan yang setimpal.

Selasa, 03 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Suku Melayu Timur Di Kuala Tungkal

Suku Melayu Timur termasuk salah satu suku bangsa Melayu yang kini sebagian besar mendiami daerah Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Konon, orang yang disebut-sebut sebagai nenek moyang suku ini bernama Datuk Kedanding, yang diduga merupakan keturunan dari orang-orang Minadanau (Filipina). Bagaimana kisah selengkapnya mengenai asal-usul suku ini? Simak kisahnya dalam cerita Asal Mula Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal berikut ini.

Ratusan tahun silam, di Negeri Melabang, Mindanau (kini menjadi sebuah wilayah di Filipina), berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Sultan Iskandar Bananai. Sang Raja memiliki dua orang putra yang bernama Patukan (sulung) dan Mata Empat (bungsu). Kedua pangeran itu memiki tabiat yang bertolak belakang. Pangeran Patukan adalah seorang pemuda tampan yang baik hati, berbudi luhur, dan suka menolong. Sedangkan, Pangeran Mata Empat memiliki sifat yang sangat buruk, kasar, tidak sopan, dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Raja sudah menasehati anak bungsunya itu, tapi kelakuan Pangeran Mata Empat justru semakin menjadi-jadi. Sang Raja sangat malu dengan sifat dan kelakuan putranya itu.
Suatu hari, Sultan Iskandar Bananai memanggil seluruh panglima dan penasehatnya untuk bermusyawarah di ruang sidang istana.
“Wahai, para panglima dan penasehat kerajaan! Kalian pasti sudah tahu dengan sifat dan perilaku putraku, Mata Empat. Aku mengumpulkan kalian untuk membicarakan masalah ini,” kata sang Raja, “Terus terang, aku sudah tidak sanggup lagi mengatasi kelakuannya. Apakah kalian mempunyai pandangan mengenai hal ini?”
Mendengar pertanyaan sang Raja, para panglima dan penasehat kerajaan tertunduk diam. Mereka semua berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Beberapa saat kemudian, salah seorang penasehat kerajaan angkat bicara.
“Ampun, Baginda. Izinkanlah hamba menyampaikan saran untuk mengatasi kelakuan putra Baginda,” kata penasehat kerajaan itu.
“Apakah saranmu itu? Katakanlah!” jawab sang Raja dengan tidak sabar.
“Ampun, Baginda. Jika hamba boleh menyarankan, alangkah baiknya jika Pangeran Mata Empat diasingkan dari negeri ini,” ungkap penasehat kerajaan itu.
“Apa maksudmu diasingkan?” tanya sang Raja bingung.
“Ampun Baginda jika kata-kata hamba terlalu kasar. Maksud hamba, barangkali akan lebih baik jika Pangeran Mata Empat diperintahkan untuk pergi merantau mencari pengalaman,” jelas penasehat itu.
“Hmmm... saran yang bagus,” sahut sang Raja, “Aku setuju saran itu.”
“Bagaimana dengan pendapat yang lain? Apakah kalian setuju saran ini?” tanyanya seraya memandangi para peserta sidang lainnya.
“Setuju, Baginda,” jawab para peserta sidang dengan serentak.
“Baiklah kalau begitu. Tolong panggilkan Pangeran Mata Empat untuk menghadapku sekarang,” titah sang Raja.
Salah seorang panglima bergegas memanggil sang Pangeran. Tidak lama kemudian, panglima itu pun kembali bersama Pangeran Mata Empat. Saat tiba di ruang sidang, sang Pangeran terlihat kebingungan melihat semua pembesar kerajaan sedang berkumpul menghadap ayahandanya.
“Ada apa Ayah memanggilku?” tanya Pangeran Mata Empat.
Dengan halus, Sultan Iskandar Bananai pun menyampaikan hasil keputusan rapat itu kepada putranya. Mendengar keputusan itu, Pangeran Mata Empat sangat marah.
“Ayah, keputusan ini tidak adil. Kenapa aku saja yang disuruh merantau, sementara Abangku tidak?” tanya Pangeran Mata Empat dengan kesal.
“Maafkan Ayah, Putraku! Ini sudah keputusan bersama dalam sidang,” jawab sang Raja.
Pangeran Mata Empat tetap saja merasa keberatan. Ia tidak ingin kalau hanya dirinya saja yang disuruh pergi merantau.
“Ayah, demi keadilan, Abang Patukan juga harus pergi merantau. Tidak hanya aku,” pinta Pangeran Mata Empat.
Mendengar permintaan itu, Sultan Iskandar Bananai justru yang keberatan. Ia amat sayang kepada Patukan. Ia adalah tumpuan harapannya yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai raja. Setelah lama berpikir, akhirnya sang Raja memenuhi permintaan itu.
“Baiklah, Putraku. Demi keadilan, Ayah memenuhi permintaanmu. Abangmu pun akan Ayah perintahkan untuk pergi merantau,” ujar sang Raja.
Pangeran Patukan adalah pemuda yang penurut. Maka, ketika sang Ayah memintanya pergi merantau, ia tidak menolak. Bahkan, ia menyambutnya dengan senang hati. Keesokan harinya, kedua pangeran itu bersiap-siap untuk berlayar. Pangeran Patukan diberi sebuah kapal layar yang dilengkapi perbekalan makanan serta beberapa pengawal dan dayang-dayang. Sementara itu, Pangeran Mata Empat diberi sebuah rakit yang juga dilengkapi dengan perbekalan, pengawal, dan dayang-dayang. Ketika keduanya hendak berangkat, Sultan Iskandar Bananai bersama permaisuri dan segenap rakyat berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk melepas kepergian dua pangeran itu. 
“Semoga kalian berhasil, wahai putra-putraku,” ucap sang Raja melepas kedua putranya dengan doa.
“Terima kasih, Ayahanda! Nanda pun berharap agar Ayah dan Ibunda tetap menjaga kesehatan,” kata Pangeran Patukan seraya mencium tangan kedua orang tuanya.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat sudah berada di atas rakit tanpa menyalami ayah dan ibundanya. Bahkan, ketika rakit itu mulai meninggalkan pelabuhan, ia berkacak pinggang, tanpa melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Rupanya, ia masih kesal dengan keputusan ayahnya yang mengharuskan dirinya pergi meninggalkan istana. Lain halnya dengan Pangeran Patukan, ia terus melambaikan tangan kepada orang-orang yang melepasnya di pelabuhan hingga kapal layarnya hilang dari pandangan mata.
Kedua pangeran itu berlayar terpisah tanpa tentu arah untuk mencari keberuntungan masing-masing. Setelah berhari-hari berlayar, kedua putra raja itu terombang-ambing di tengah laut. Suatu ketika, rakit Pangeran Empat Mata terhempas badai hingga hancur berkeping-keping. Seluruh penumpangnya jatuh ke laut dan terbawa arus gelombang. Untung ia berhasil meraih salah satu potongan rakitnya. Ia pun terapung-apung di atas potongan rakit itu hingga akhirnya terdampar di Tanah Merah (kini dekat Palembang). Konon, Pangeran Empat Mata menetap di daerah itu hingga akhir hayatnya.
Sementara itu, Pangeran Patukan juga mengalami nasib sama. Kapal layarnya dihempas badai dan gelombang besar hingga hancur. Seluruh pengawal dan dayang-dayangnya tenggelam di tengah laut. Sang Pangeran pun dapat menyelamatkan diri hingga terdampar di Pulau Lingga. Untung nasib baik berpihak kepadanya karena ia berhasil ditemukan oleh Raja Lingga dan kemudian dibawa ke istana.
“Hai, anak muda siapa kamu dan dari mana asalmu?” tanya Raja Lingga.
“Ampun, Baginda. Hamba Pangeran Patukan, putra sulung Sultan Iskandar Bananai dari Negeri Mindanau,” jawab sang Pangeran.
Pangeran Patukan kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga terdampar di Pulau Lingga. Mendengar cerita itu, Raja Lingga merasa amat gembira.
“Oh, kebetulan sekali, Pangeran. Sudah bertahun-tahun kami menikah, tapi sampai sekarang Tuhan belum juga mengaruniai kami seorang putra,” ungkap Raja Lingga, “Jika Pangeran berkenan, aku ingin mengangkat Pangeran sebagai putraku. Setelah aku wafat kelak, engkaulah yang akan menggantikanku sebagai raja di negeri ini.”
Mulanya, Pangeran Patukan bingung atas permintaan Raja Lingga itu. Di negerinya, ia juga diharapkan untuk menjadi pengganti ayahandanya sebagai raja. Namun, setelah mempertimbangkan bahwa Raja Lingga telah menyelamatkannya, maka ia pun menerima permintaan tersebut. Sejak itulah, Pangeran Patukan tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja Lingga.
Beberapa tahun kemudian, Raja Lingga wafat. Pangeran Patukan pun dinobatkan sebagai Raja Lingga yang baru. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dalam waktu singkat negeri itu menjadi makmur dan sejahtera. Ia pun amat dicintai oleh rakyatnya.
Suatu hari, berita tentang Pangeran Patukan menjadi Raja Lingga sampai juga ke Negeri Mindanau. Seluruh rakyat Mindanau menyambut gembira kabar tersebut, terutama Sultan Iskandar Bananai dan permaisurinya. Banyak di antara rakyat Mindanau yang ingin pindah ke Pulau Lingga untuk mengabdi kepada Pangeran Patukan. Maka, dengan izin Sultan Iskandar Bananai, penduduk Mindanau pun mulai berangsur-angsur pindah ke Negeri Lingga.
Semasa perpindahan penduduk Mindanau ke Pulau Lingga, sebagian di antara mereka ada yang tersesat sampai ke Kuala Tungkal akibat tidak tahu arah. Salah satunya adalah adalah Datuk Kedanding bersama keluarganya. Konon, Datuk Kedanding inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang orang-orang Suku Melayu Timur yang bermukim di daerah Kuala Tungkal.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal dari Provinsi Jambi. Kisah ini hanyalah sebuah cerita rakyat yang diyakini oleh masyarakat tempat cerita ini berasal. Sebuah cerita rakyat tidak selalu terkait dengan fakta-fakta sejarah. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa memahami dan mengamalkan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Salah pesan moral tersebut adalah bahwa orang yang baik hati seperti Pangeran Patukan pada akhirnya akan mendapat anugerah. Terbukti, ketika ia diangkat sebagai anak oleh Raja Lingga dan kemudian dinobatkan menjadi raja di negeri tersebut.