Tampilkan postingan dengan label Daerah Istimewa Yogyakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Daerah Istimewa Yogyakarta. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Makam Imogiri

Makam Imogiri merupakan kompleks makam Raja-Raja Mataram Islam beserta keturunannya, yakni Raja-raja yang bertahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kompleks Makam Imogiri terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul dan dibangun pada tahun 1632 oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Konon, Sultan Agung sudah mempersiapkan makam tersebut sebelum dirinya wafat. Bagaimana kisahnya? Simak selengkapnya dalam cerita Asal Mula Makam Imogiri berikut ini.


Di Kerajaan Mataram Islam, tersebutlah raja bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Ia merupakan raja ke-3 Kerajaan Mataram Islam yang terkenal arif dan bijaksana. Di bawah kepemimpinannya, rakyat Mataram senantiasa hidup aman, tenteram, dan makmur. Itulah sebabnya, ia sangat dicintai dan dihormati oleh seluruh rakyatnya.
Selain kharismatik, Sultan Agung memiliki kesaktian yang tinggi. Konon, ia mampu ke Mekah secara gaib untuk Shalat Jumat di sana. Karena seringnya ke Mekah, Sultan Agung kenal baik dengan beberapa ulama di sana, baik ulama Arab maupun ulama dari Indonesia yang sedang berada di Mekah. Dari perkenalan itu, mereka pun kemudian menjalin persahabatan dan Sultan Agung sering diajak oleh para sahabatnya untuk berkeliling kota Mekah dan sekitarnya.
Suatu waktu, ketika sedang berjalan-jalan bersama seorang ulama, Sultan Agung sampai pada suatu tempat yang tanahnya berbau harum. Ia amat tertarik pada tempat itu. Maka, timbullah keinginannya agar dimakamkan di tempat itu jika wafat kelak. Niat itu kemudian ia sampaikan kepada sahabatnya. Namun, ulama itu melarangnya.
“Jangan, Sultan!” cegah ulama itu.
“Kenapa, Kyai?” tanya Sultan Agung penasaran.
“Bukankah Sultan tahu sendiri bahwa seluruh rakyat Mataram amat mencintai Sultan. Jika Tuanku dimakamkan di Mekah, tentu mereka tidak bisa mengunjungi makam raja mereka,” ujar ulama itu.
Nasehat ulama itu memang masuk akal. Namun, Sultan Agung tetap bersikeras ingin dimakamkan di tempat tersebut. Melihat sikap Raja Mataram itu, sang Ulama pun mengambil segenggam tanah yang harum itu.
“Ampun, Tuanku! Bawalah tanah ini ke negeri Tuan. Sesampai di sana, lemparkanlah tanah ini ke selatan. Niscaya tempat jatuhnya tanah itu juga akan berbau harum dan di tempat itulah Tuanku akan dimakamkan,” ujar ulama itu.
Sultan Agung pun menerima tanah itu dengan senang hati. Sekembalinya dari Mekah, ia mengambil separuh tanah itu lalu dilemparkan ke arah selatan. Tanah itu jatuh di Bukit Giriloyo, di daerah Bantul. Sultan Agung kemudian memerintahkan abdi dalem (pegawai keraton) untuk membuat makam yang dipersiapkan untuk dirinya.
“Pergilah ke Bukit Giriloyo dan bangunlah sebuah makam untukku,” titah Sultan Agung.
Sendiko dawuh (siap laksanakan), Gusti Prabu,” jawab para abdi dalem.
Sultan Agung mengerahkan seluruh ribuan abdi dalem istana untuk membangun makam tersebut. Rupanya, pembangunan makam itu bukan sekadar menggali lubang, melainkan sebuah kompleks. Itulah sebabnya, pembangunan makam tersebut melibatkan ribuan orang. Untuk mengangkut batu bata dari keraton yang terletak di daerah Pleret ke Bukit Giriloyo, para abdi dalem merantingnya satu per satu dengan cara duduk bersila agar tidak rusak.
Paman Sultan Agung, Gusti Pangeran Juminah, ikut membantu mengawasi jalannya pembangunan makam. Namun, saat itu ia jatuh sakit. Bersamaan dengan pembangunan makam itu selesai, ia pun meninggal dunia. Maka, sang Paman dimakamkan di kompleks makam yang baru selesai dibangun itu. Oleh karena makam tersebut sudah digunakan untuk pamannya, Sultan Agung tidak ingin dimakamkan di tempat itu. Maka, ia pun berkata kepada abdi dalem istana.
“Kelak jika aku wafat, aku ingin pertama kali dimakamkan di pemakaman yang baru dibangun,” ungkapnya, “Selain itu, makam ini terlalu sempit untukku dan keluargaku kelak.”
Setelah pemakaman pamannya selesai, Sultan Agung kembali ke istana. Ia segera mengambil sisa tanah yang berbau harum dari Mekah itu lalu dilemparkannya ke arah selatan. Tanah itu pun jatuh di Bukit Merak, yang masuk ke dalam wilayah Desa Pajimatan, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Itulah sebabnya, Makam Imogiri juga dikenal dengan Makam Pajimatan.
Sultan Agung pun kembali memerintahkan para abdi dalem istana untuk membangun makam yang baru di tempat itu. Ia menginginkan agar makam itu dibangun menjadi beberapa bagian karena makam itu bukan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Maka, dibangunlah sebuah makam pada bagian tengah paling atas Bukit Merak. Makam itu kelak akan menjadi makam Sultan Agung. Kemudian, di sekitar makam itu, dibangun pula beberapa makam yang akan digunakan oleh para keluarga sang Sultan.
Singkat cerita, Sultan Agung wafat pada tanggal 6 April 1964. Ia pun dimakamkan di tempat itu yang kemudian menjadi induk makam dan disebut Kasultanangungan. Setelah itu, makam tersebut kemudian menjadi pemakaman seluruh keluarga sang Sultan dan Raja-raja Mataram setelahnya.
Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, Makam Imogiri ini menjadi sebuah komplek makam yang luasnya mencapai 10 hektar. Di kompleks inilah sebagian besar Raja-raja Mataram Islam hingga pemerintahan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dimakamkan. Kompleks makam ini pun dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian sebelah barat dipergunakan sebagai makam Raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sedangkan bagian sebelar timur dipergunakan untuk makam Raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 


Demikian cerita Asal Mula Makam Imogiri dari daerah Bantul, Yogyakarta. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa raja yang arif dan bijaksana seperti Sultan Agung akan selalu dicintai dan dikenang oleh rakyatnya hingga akhir zaman. Sampai saat ini, makam Sultan Agung yang berada di kompleks Makam Imogiri selalu ramai dikunjungi oleh peziarah.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Candi Prambanan

Pada jaman dahulu kala di Pulau Jawa terutama di daerah Prambanan berdiri 2 buah kerajaan Hindu yaitu Kerajaan Pengging dan Kraton Boko. Kerajaan Pengging adalah kerjaan yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo dan mempunyai seorang putra laki-laki yang bernama Raden Bandung Bondowoso.



Kraton Boko berada pada wilayah kekuasaan kerajaan Pengging yang diperintah oleh seorang raja yang kejam dan angkara murka yang tidak berwujud manusia biasa tetapi berwujud raksasa besar yang suka makan daging manusia, yang bernama Prabu Boko. Akan tetapi Prabu Boko memiliki seorang putri yang cantik dan jelita bak bidadari dari khayangan yang bernama Putri Loro Jonggrang.

Prabu Boko juga memiliki patih yang berwujud raksasa bernama Patih Gupolo. Prabu Boko ingin memberontak dan ingin menguasai kerajaan Pengging, maka ia dan Patih Gupolo mengumpulkan kekuatan dan mengumpulkan bekal dengan cara melatih para pemuda menjadi prajurit dan meminta harta benda rakyat untuk bekal.

Setelah persiapan dirasa cukup, maka berangkatlah Prabu Boko dan prajurit menuju kerajaan Pengging untuk memberontak. Maka terjadilah perang di Kerajaan Pengging antara para prajurit peng Pengging dan para prajurit Kraton Boko.

Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak dan rakyat Pengging menjadi menderita karena perang, banyak rakyat kelaparan dan kemiskinan.

Mengetahui rakyatnya menderita dan sudah banyak korban prajurit yang meninggal, maka Prabu Damar Moyo mengutus anaknya Raden Bandung Bondowoso maju perang melawan Prabu Boko dan terjadilan perang yang sangat sengit antara Raden Bandung Bondowoso melawan Prabu Boko. Karena kesaktian Raden Bandung Bondowoso maka Prabu Boko dapat dibinasakan. Melihat rajanya tewas, maka Patih Gupolo melarikan diri. Raden Bandung Bondowoso mengejar Patih Gupolo ke Kraton Boko.

Setelah sampai di Kraton Boko, Patih Gupolo melaporkan pada Puteri Loro Jonggrang bahwa ayahandanya telah tewas di medan perang, dibunuh oleh kesatria Pengging yang bernama Raden Bandung Bondowoso. Maka menangislah Puteri Loro Jonggrang, sedih hatinya karena ayahnya telah tewas di medan perang.

Maka sampailah Raden Bandung Bondowoso di Kraton Boko dan terkejutlah Raden Bandung Bondowoso melihat Puteri Loro Jonggrang yang cantik jelita, maka ia ingin mempersunting Puteri Loro Jonggrang sebagai istrinya.

Akan tetapi Puteri Loro Jonggrang tidak mau dipersunting Raden Bandung Bondowoso karena ia telah membunuh ayahnya. Untuk menolak pinangan Raden Bandung Bondowoso, maka Puteri Loro Jonggrang mempunyai siasat. Puteri Loro Jonggrang manu dipersunting Raden Bandung Bondowoso asalkan ia sanggup mengabulkan dua permintaan Puteri Loro Jonggrang. Permintaan yang pertama, Puteri Loro Jonggrang minta dibuatkan sumur Jalatunda sedangkan permintaan kedua, Puteri Loro Jonggrang minta dibuatkan 1000 candi dalam waktu satu malam.


Raden Bandung Bondowoso menyanggupi kedua permintaan puteri tersebut. Segeralah Raden Bandung Bondowoso membuat sumur Jalatunda dan setelah jadi ia memanggil Puteri Loro Jonggrang untuk melihat sumur itu.

Kemudian Puteri Loro Jonggrang menyuruh Raden Bandung Bondowoso masuk ke dalam sumur. Setelah Raden Bandung Bondowoso masuk ke dalam sumur, Puteri Loro Jonggrang memerintah Patih Gupolo menimbun sumur dan Raden Bandung Bondowoso pun tertimbun batu di dalam sumur. Puteri Loro Jonggrang dan Patih Gupolo menganggap bahwa Raden Bandung Bondowoso telah mati di sumur akan tetapi di dalam sumur ternyata Raden Bandung Bondowoso belum mati maka ia bersemedi untuk keluar dari sumur dan Raden Bandung Bondowoso keluar dari sumur dengan selamat.

Raden Bandung Bondowoso menemui Puteri Loro Jonggrang dengan marah sekali karena telah menimbun dirinya dalam sumur. Namun karena kecantikan Puteri Loro Jonggrang kemarahan Raden Bandung Bondowoso pun mereda.

Kemudian Puteri Loro Jonggrang menagih janji permintaan yang kedua kepada Raden Bandung Bondowoso untuk membuatkan 1000 candi dalam waktu 1 malam. Maka segeralah Raden Bandung Bondowoso memerintahkan para jin untuk membuat candi akan tetapi pihak Puteri Loro Jonggrang ingin menggagalkan usaha Raden Bandung Bondowoso membuat candi. Ia memerintahkan para gadis menumbuk dan membakar jerami supaya kelihatan terang untuk pertanda pagi sudah tiba dan ayam pun berkokok bergantian.

Mendengar ayam berkokok dan orang menumbuk padi serta di timur kelihatan terang maka para jin berhenti membuat candi. Jin melaporkan pada Raden Bandung Bondowoso bahwa jin tidak dapat meneruskan membuat candi yang kurang satu karena pagi sudah tiba. Akan tetapi firasat Raden Bandung Bondowoso pagi belum tiba. Maka dipanggillah Puteri Loro Jonggrang disuruh menghitung candi dan ternyata jumlahya 999 candi, tinggal 1 candi yang belum jadi.

Maka Puteri Loro Jonggrang tidak mau dipersunting Raden Bandung Bondowoso. Karena ditipu dan dipermainkan maka Raden Bandung Bondowoso murka sekali dan mengutuk Puteri Loro Jonggrang “Hai Loro Jonggrang candi kurang satu dan genapnya seribu engkaulah orangnya”. Maka aneh bin ajaib Puteri Loro Jonggrang berubah ujud menjadi arca patung batu.
Dan sampai sekarang arca patung Loro Jonggrang masih ada di Candi Prambanan dan Raden Bandung Bondowoso mengutuk para gadis di sekitar Prambanan menjadi perawan kasep (perawan tua) karena telah membantu Puteri Loro Jonggrang.

Dan menurut kepercayaan orang dahulu bahwa pacaran di candi Prambanan akan putus cintanya.

Minggu, 04 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Nama Dusun Gubuk Rubuh

Dusun Gubukrubuh termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Getas, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulu, wilayah dusun Gubukrubuh masih berupa hutan lebat. Namun karena sebuah peristiwa yang pernah terjadi, daerah itu dinamakan Dusun Gubukrubuh. Peristiwa apakah itu? Simak kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Dusun Gubukrubuh berikut ini.


Prabu Brawijaya V adalah Raja Majapahit yang memerintah pada kurun tahun 1468-1478 Masehi. Raja yang juga dikenal dengan nama Bhre Kertabumi ini memiliki nama asli Raden Alit. Ia adalah Raja Majapahit terakhir dan merupakan putra bungsu dari Prabu Sri Rajasawardhana bergelar Brawijaya II (memerintah sekitar tahun 1451-1453 M). Prabu Brawijaya V mempunyai permaisuri bernama Putri Campa. Putri yang cantik dan cerdas ini adalah persembahan dari Kerajaan Tiongkok, yaitu dari Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming, sebagai tanda persahabatan.
Rupanya, kehadiran Putri Campa menimbulkan pertentangan di kalangan keluarga istana. Maka, dengan berat hati, Prabu Brawijaya V terpaksa menghibahkan permaisurinya yang sedang mengandung itu kepada salah seorang putranya, yaitu Arya Damar, yang menjabat sebagai Adipati Palembang. Arya Damar adalah putra Prabu Brawijaya V dari salah seorang istri selirnya. Putri Campa kemudian diberangkatkan ke Palembang untuk mendampingi Arya Damar.
Tak berapa lama tinggal di Palembang, Putri Campa melahirkan seorang anak laki-laki dari hasil perkawinannya dengan Prabu Brawijaya V. Anak itu diberi nama Jimbun atau yang kelak dikenal sebagai Raden Patah. Setelah melahirkan Raden Patah, Putri Campa kemudian dinikahi oleh Arya Damar dan memperoleh seorang anak laki-laki bernama Raden Kusen. Setelah dewasa, Raden Patah ditunjuk untuk menggantikan ayah tirinya, Arya Damar, menjadi Adipati Palembang. Namun, ia menolak dan malah pergi ke Jawa bersama Raden Kusen. Menurut cerita, kedua orang bersaudara tiri tersebut tiba di pelabuhan Tuban pada sekitar tahun 1419 M.
Di Jawa, Raden Patah dan Raden Kusen kemudian berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Setelah itu, Raden Kusen mengabdi ke Kerajaan Majapahit namun dengan tetap menyembunyikan jatidirinya. Kecakapan Raden Kusen membuat karirnya di Kerajaan Majapahit melesat dengan cepat, hingga ia dipercaya untuk menjabat sebagai Adipati Terung. Sementara itu, Raden Patah pergi ke Jawa Tengah untuk membuka hutan dan membangun sebuah pesantren yang diberi nama Pesantren Glagahwangi. Atas kepemimpinannya, pesantren itu semakin lama semakin maju.
Suatu waktu, Raden Kusen yang telah menjadi Adipati Terung mengundang Raden Patah ke kediamannya. Ia bermaksud mengajak kakak tirinya itu untuk menemui Prabu Brawijaya V di Kerajaan Majapahit. Namun, ternyata Prabu Brawijaya V sendiri belum mengetahui jika Raden Patah adalah anak kandungnya sendiri, dan Raden Kusen adalah putra dari anaknya, Arya Damar, yang berada di Palembang
“Kanda, Raden Patah. Sebaiknya kita menemui ayahanda Kanda di Majapahit,” ujar Raden Kusen.
“Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Adinda. Kanda pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan beliau,” kata Raden Patah.
Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke Kerajaan Majapahit. Setiba di sana, Raden Kusen langsung memperkenalkan Raden Patah kepada Prabu Brawijaya V.
“Ampun, Baginda Prabu. Hamba menghadap bersama saudara tiri hamba, Raden Patah,” ungkap Raden Kusen di hadapan Prabu Brawijaya V.
“Lalu, apa maksud kedatangan kalian ke sini?” tanya sang Prabu.
“Ampun, Baginda. Perlu Baginda ketahui bahwa Raden Patah ini putra Baginda, sedangkan hamba sendiri adalah anak tiri sekaligus cucu Baginda,” aku Raden Kusen.
“Apa katamu?” kata Prabu Brawijaya tersentak kaget, “Hai, kalian jangan mengaku-ngaku sebagai putraku!”
“Benar. Saya ini putra Baginda,” sahut Raden Patah. 
Prabu Brawijaya pun semakin bingung. Ia merasa bahwa dirinya tidak mempunyai putra bernama Raden Patah. Setelah Raden Patah dan Raden Kusen menceritakan asal usul mereka bahwa mereka adalah anak dari Putri Campa, barulah Prabu Brawijaya mulai percaya.
“Tapi, bukankah ibunda kalian ada di Negeri Palembang? Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?” tanya Prabu Brawijaya.
Raden Kusen dan Raden Patah pun menceritakan kisah perjalanannya dari Palembang hingga tiba ke Jawa. Mendengar cerita itu, Prabu Brawijaya pun semakin percaya dan akhirnya mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat menjadi Bupati Glagahwangi yang kemudian berganti nama menjadi Demak dengan ibukota di Bintara. Menurut cerita, Raden Patah pindah dari Surabaya ke Demak sekitar tahun 1475.
Dengan dibantu pamannya, Pangeran Sabrang Lor, Raden Patah mengembangkan Demak Bintoro menjadi pelabuhan dagang yang ramai. Dalam waktu singkat, para pedagang muslim dari Cina pun banyak yang menetap di daerah itu, terutama di daerah Semarang, Lasem, Juwana, dan Tuban. Dua tahun kemudian, Raden Patah yang telah dinobatkan menjadi Sultan Demak menaklukkan Semarang yang termasuk wilayah bawahannya.
Mendengar kabar tersebut, Prabu Brawijaya V pun mulai khawatir kalau-kalau putranya itu akan memberontak. Ketika itu, Raden Patah memang berniat untuk menyerang Kerajaan Majapahit dan mengislamkan ayahandanya beserta seluruh rakyatnya. Namun, ketika niat itu ia sampaikan kepada Sunan Ampel, sang Sunan justru menasehatinya.
“Jangan, Den! Sebaiknya Raden jangan memberontak pada Kerajaan Majapahit!” ujar Sunan Ampel kepada Raden Patah., “Walaupun berbeda agama, Prabu Brawijaya tetaplah ayahanda Raden.”
Raden Patah pun mengurungkan niat tersebut. Namun, setelah Sunan Ampel meninggal dunia, Raden Patah akhirnya menyerang Kerajaan Majapahit. Dalam serangan tersebut, Prabu Brawijaya V dan para pasukannya kalah. Oleh karena malu diajak masuk Islam oleh putranya, ia bersama sejumlah pengikutnya melarikan diri ke daerah barat hingga tiba di wilayah Gunungkidul yang terletak di bagian selatan Yogyakarta. Sang Prabu tidak berani melarikan diri ke utara karena daerah itu sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di pantai utara Jawa telah dihuni oleh para pedagang muslim.
Raden Patah yang mengetahui pelarian ayahandanya pun mengejar karena menginginkan sang Ayah masuk agama Islam. Sementara itu, Prabu Brawijaya V bersama pengikutnya yang sudah tiba di Gunungkidul terus menyusuri hutan lebat. Suatu ketika, sejumlah pengikut sang Prabu berhenti di sebuah gubuk yang berada di tengah hutan untuk beristirahat karena kelelahan. Namun, tanpa mereka sadari, ternyata Raden Patah dan pasukannya juga sudah sampai di daerah itu.
Ketika mereka sedang asyik beristirahat di gubuk itu, tiba-tiba pasukan Raden Patah datang menyergap. Akhirnya, pasukan Prabu Brawijaya V pun menyerah dan menjadi pengikut Raden Patah, sedangkan sang Prabu berhasil meloloskan diri. Atas nasihat Sultan Demak itu, pasukan Prabu Brawijaya V yang tertangkap itu pun masuk agama Islam. Di gubuk itu, mereka diajari cara melaksanakan shalat.
Sejak itu, daerah tersebut diberi nama Dusun Gubukrubuh, yang diambil dari kata gubuk yaitu tempat mereka pertama kali melaksanakan shalat, dan kata rubuh yang berarti “runtuh” memiliki dua pengertian, yaitu pengertian secara fisik dan secara batin. Secara fisik, kata rubuh diartikan sebagai rubuhnya badan pada saat shalat dari posisi berdiri ke posisi rukuk, kemudian ke posisi sujud. Secara batin, rubuh diartikan runtuhnya iman atau keyakinan mereka dari keyakinan agama Hindu menjadi keyakinan agama Islam.
Sementara itu, Prabu Brawijaya V yang berhasil melarikan diri tiba di pantai selatan Gunungkidul. Di sana, ia mengalami kebuntuan dan tidak tahu harus berlari ke mana lagi karena terhalang oleh Laut Selatan. Sang Prabu pun merasa bahwa barangkali hidupnya hanya sampai di situ. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan membakar diri hingga tewas karena seluruh tubuhnya kobong atau terbakar. Oleh masyarakat setempat, pantai tempat Prabu Brawijaya V membakar dirinya itu dinamakan Pantai Ngobaran, yang diambil dari kata kobar atau kobong.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Nama Dusun Gubukrubuh dari Yogyakarta. Menurut salah seorang sesepuh yang tinggal di Dusun Gubukrubuh bahwa para ulama dan pemerintah setempat pernah ingin mengganti nama dusun ini menjadi Sumber Mulyo namun masyarakat setempat menolaknya sehingga nama Gubukrubuh tetap dipakai sampai sekarang. Pendidikan agama Islam pun berkembang dengan pesat di dusun ini. Hingga kini (3 Mei 2011), terdapat lembaga pendidikan dari berbagai jenjang yaitu mulai dari tingkat pendidikan PAUD, Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtida’iyyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, hingga Pondok Pesantren. Tidak mengherankan jika dusun ini menjadi kebanggaan Kelurahan Getas karena satu-satunya kelurahan di Gunungkidul yang seluruh penduduknya beragama Islam adalah Kelurahan Getas. 

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa betapa pun keinginan kita untuk memaksa seseorang berpindah keyakinan, kalau bukan orang itu sendiri yang menghendaki, maka hal itu tidak akan terjadi. Seperti halnya Raden Patah, walaupun ia telah berusaha mengejar ayahnya hingga ke daerah Gunungkidul untuk diajak masuk Islam, namun sang Ayah lebih memilih bunuh diri daripada memenuhi ajakan putranya.

Sabtu, 23 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Baron Sekender

Baron Sekender adalah putra Nahkoda Karbin dari Negeri Spanyol dan mempunyai seorang saudara kembar bernama Baron Sukmul. Baron Sekender juga mempunyai 13 saudara tiri yang berlainan ibu. Suatu ketika, sang ayah menyerahkan Baron Sekender kepada seorang pertapa bernama Mahamintuna untuk dijadikan persembahan. Mengapa Baron Sekender dijadikan persembahan kepada pertapa itu? Lalu, bagaimana nasib Baron Sekender selanjutnya? Temukan jawabannya dalam cerita Baron Sekender berikut ini. 



Dahulu, di Negeri Spanyol ada seorang nahkoda bernama Nahkoda Karbin yang terkenal kaya raya dan mempunyai seorang istri yang cantik jelita. Namun sayang, sang istri belum memberinya keturunan. Oleh karena itu, Nahkoda Karbin memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita lain tanpa menceraikan istri pertamanya. Beberapa lama kemudian, istri keduanya pun belum juga memberinya anak. Saking besarnya keinginan untuk memperoleh keturunan, Nahkoda Karbin terus menambah istrinya hingga menjadi 12 orang, dua di antaranya adalah dayang-dayangnya sendiri. Tapi rupanya Tuhan belum juga merestuinya untuk memiliki keturunan. Keadaan itu membuat sang Nahkoda sedih. 

Pada suatu hari, Nahkoda Karbin terlihat gelisah. Sebentar-sebentar ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya. Tiba-tiba, ingatannya tertuju pada seorang pertapa sakti mandraguna bernama Mahamintuna.
“Hmmm… Mahamintuna, Mahamintuna,” Nahkoda Karbin berulang-ulang menyebut pertapa sakti yang bersemayam di Argapura itu, “Aku harus menemuinya. Siapa tahu dia bisa membantuku memperoleh keturunan.”

Dengan ditemani oleh beberapa pengawalnya, berangkatlah Nahkoda Karbin ke Argapura untuk menghadap Mahamintuna. Setibanya di sana, ia langsung menyampaikan maksud kedatangannya.
“Maaf jika kedatangan saya mengganggu Anda, Tuan Mahamintuna.” kata Nahkoda Kabin. ” Kedatangan saya kemari untuk meminta restu Tuan.”
“Apa yang dapat saya bantu, wahai Nahkoda Karbin?” tanya pertapa itu.

Nahkoda Karbin menjelaskan maksud kedatangannya kepada Mahamintuna. Mendengar penjelasan itu, pertapa itu pun bersedia menolong.
“Baiklah, Nahkoda Karbin. Aku bersedia membantumu, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” kata Mahamintuna.
“Apakah syarat itu, Tuan?” tanya Nahkoda Karbin dengan tidak sabar.
“Kamu harus menyerahkan satu anakmu kepadaku jika kelak kamu telah memperoleh keturunan,” jawab Mahamintuna.
‘Baik, Tuan. Saya menyanggupi persyaratan itu,” kata Nahkoda Karbin. 

Mahamintuna kemudian memberikan dua buah mangga kepada Nahkoda Karbin.
“Bawalah pulang kedua mangga ini untuk dimakan oleh istri-istrimu. Setelah memakan mangga itu, niscaya mereka akan melahirkan anak,” ujar sang Pertapa.

Benar kata pertapa sakti itu. Setelah memakan mangga tersebut, dari 12 istri Nahkoda Karbin, 11 di antaranya telah melahirkan anak. Salah seorang istrinya melahirkan putra kembar yang diberi nama Baron Sekender dan Baron Sukmul. Dua dayangnya Kiti dan Kili yang ikut memakan isi buah mangga itu masing-masing melahirkan seorang anak dan diberi nama Sekeber dan Suhul. Adapun nama-nama putra Nahkoda Karbin dari istri-istrinya yang lain yaitu Baron Sepilmas, Baron Lastedeng, Baron Ardiyas, Baron Senemut, Baron Driansah, Baron Artete, Baron Kasamral, Baron Kaserah, dan Baron Semit. 

Selang beberapa tahun kemudian, Mahamintuna pun datang untuk menagih janji kepada Nahkoda Karbin. Sang Nahkoda pun memberikan putranya Baron Sekender kepada pertapa itu. Baron Sekender berangkat ke Argapura keesokan harinya dengan mengajak saudara tirinya, Sekeber. Setiba di Argapura, Baron Sekender melihat seorang tawanan lelaki tua di rumah Mahamintuna yang bernama Begawan Tuna. Tawanan itu dijaga oleh puluhan anak buah Mahamintuna. 

Dari situlah Baron Sekender dan Sekeber mengetahui bahwa Mahamintuna adalah seorang pertapa yang kejam dan suka memakan daging manusia. Menyadari hal itu, ia dan saudara tirinya bertekad untuk menumpas gerombolan manusia kanibal itu. Akhirnya, dua bersaudara itu berhasil membinasakan Mahamintuna beserta seluruh anak buahnya. 

Sejak itulah, Baron Sekender menjadi terkenal dan disegani oleh semua yang pernah dicelakai Mahamintuna. Mereka pun tunduk dan patuh kepada Baron Sekender. Bahkan, ada yang rela menjadi abdi putra Nahkoda Karbin itu. Tiga di antaranya adalah seekor garuda sakti, kuda bersayap bernama Wanengpati, dan naga sakti Baruklinting. Bersama ketiga abdinya tersebut, Baron Sekender kian terkenal hingga ke penjuru negeri. Bahkan, putri Raja Spanyol yang bernama Lorena pun jatuh cinta kepadanya yang kemudian menjadi istri Baron Sekender. 

Sejak menikah dengan Putri Lorena, Baron Sekender bersama saudara tirinya Sekeber tinggal di istana Kerajaan Spanyol. Ia kemudian diangkat oleh Raja Spanyol menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan kerajaan dengan dibantu oleh Sekeber. 

Suatu hari, ia ditugaskan untuk membinasakan Ratu Sinipraba dari Kerajaan Leburgangsa di Pulau Nussatembini. “Hai, Baron Sekender. Aku menugaskanmu untuk menghentikan Ratu Sinipraba yang suka mengganggu ketentraman negeri ini!” perintah Raja Spanyol, “Tapi, ingat! Kamu harus berhati-hati menghadapinya karena dia adalah adik Mahamintuna. Dia memiliki kesaktian yang tinggi seperti kakaknya.”
“Baik, Baginda,” kata Baron Sekender sambil memberi hormat.

Usai berpamitan kepada istrinya, Baron Sekender pun berangkat ke Pulau Nussatembini bersama ketiga abdinya dengan menunggang Kuda Wanengpati. Alhasil, Baron Sekender berhasil mengalahkan Ratu Sinipraba. Namun, wanita raksasa itu berhasil melarikan diri. 

Di tempat pelariannya, Ratu Sinipraba sedang menyusun siasat untuk mengelabui Raja Spanyol. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ia berganti rupa menjadi wanita cantik dan menamakan dirinya Gayatri. “Raja Spanyol itu pasti akan terpikat melihat kecantikanku!” gumam Ratu Sinipraba, ”Setelah itu, aku akan memperdayainya.”

Ratu Sinipraba yang telah berganti rupa menjadi Gayatri itu segera ke istana. Dengan bujuk rayunya, ia berhasil memikat hati Raja Spanyol. Ia pun akhirnya menjadi permaisuri kedua penguasa Negeri Spanyol itu. 

Setelah itu, Gayatri terus melancarkan tipu muslihatnya dengan membujuk Raja Spanyol untuk menghabisi nyawa Baron Sekender. Namun, taktik licik tersebut berhasil dipatahkan oleh Baron Sekender berkat bantuan Begawan Tuna yang pernah ditolongnya dulu. Akhirnya, penyamaran Gayatri terbongkar. Wajahnya yang tadinya cantik nan mempesona tiba-tiba berubah menjadi Sinipraba, wanita raksasa yang menakutkan. 

“Hai, Baron Sekender! Kali ini kamu tidak akan bisa mengalahkanku!” kata Sinipraba. 

Baron Sekender langung menyerang dengan jurus-jurus saktinya. Tampaknya, ia kewalahan menghadapi Sinipraba seorang diri. Sekeber pun segera membantu. Namun, baru beberapa saat pertarungan sengit itu berlangsung, tiba-tiba wanita raksasa itu terbang ke angkasa. Melihat hal itu, Baron Sekender segera menaiki kuda semberani Wanengpati untuk mengejarnya. Sekeber pun segera menyusul dengan menunggangi Garuda Sakti. Alhasil, kedua orang bersaudara itu berhasil mengejar Sinipraba. Pertarungan sengit pun terjadi di atas awan. 

Dalam pertarungan tersebut, Baron Sekender dan Sekeber hampir saja dikalahkan. Untung saja Baron Sukmul dan Suhul tiba-tiba datang membantu. Akhirnya, Sinipraba berhasil mereka binasakan. Setelah itu, mereka kembali ke istana Kerajaan Spanyol untuk menyampaikan kabar gembira tersebut kepada Raja Spanyol. Sang Raja pun menyambutnya dengan perasaan suka cita.
“Dengan tewasnya Sinipraba, negeri ini kembali aman dan tentram. Hal ini terjadi berkat bantuan kalian semua,” kata sang Raja kepada Baron Sekender dan saudara-saudaranya.

Setelah itu, Raja Spanyol mengangkat Baron Sekender menjadi raja, namun ia menolak. Tahta kerajaan itu ia serahkan kepada adiknya Baron Sukmul yang dibantu oleh Suhul. Baron Sekender bersama istri dan Sekeber lebih memilih berpetualang mengelilingi dunia. Baron Sekeber dan Lorena menunggangi Wanengpati sedangkan Sekeber menaiki Garuda Sakti.

Suatu waktu, petualangan mereka tiba di atas pulau yang hijau dan indah. Pulau itu ternyata Jawa. Karena terpesona melihat kehindahan pulau itu, Baron Sekender segera memerintahkan abdinya agar terbang lebih rendah. Kedua abdinya itu segera meluncur ke bawah dan kemudian terbang mengelilingi pulau itu. Saat mereka berada di atas Kerajaan Mataram, tubuh mereka seolah-olah tersedot bumi hingga akhirnya terjatuh. Putri Lorena pun tewas dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, Sekeber berubah wujud menjadi kerbau dan Wanengpati berubah menjadi sapi perah. Sedangkan Garuda Sakti selamat dan kembali ke Spanyol. Lalu, bagaimana pula nasib Baron Sekender?

Ternyata, Baron Sekender masih hidup. Ia diselamatkan oleh Raja Mataram Panembahan Senapati dan kemudian diangkat menjadi juru taman di Keraton Mataram. Ia ditemukan dalam keadaan kulit yang telah berubah menjadi belang-belang kehitaman, matanya menjadi biru, serta janggut dan kumisnya menjadi putih seperti rami, sejenis tanaman samak. Selain itu, Baron Sekender jadi hilang ingatan, ia lupa siapa dirinya dan semua kehidupan masa lalunya. Ia hanya mengetahui bahwa perjalanan hidup itu sangat sulit dimengerti.
* * *
Demikian cerita Baron Sekender dari daerah Yogyakarta. Pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat kepahlawanan. Sifat ini ditunjukkan oleh keberanian Baron Sekender menumpas Mahamintuna dan Sinipraba yang mengganggu ketenteraman Negeri Spanyol.

Jumat, 22 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Bawang Merah Dan Bawang Putih Yogyakarta

Cerita Bawang Merah dan Bawang Putih merupakan sebuah dongeng yang berasal dari Yogyakarta. Dikisahkan, Bawang Merah dan Bawang Putih adalah dua gadis cantik yang bersaudara seayah namun lain ibu. Bersama Mbok Randha, ibu kandung Bawang Merah, mereka tinggal di sebuah desa yang dikenal dengan nama Kampung Dadapan. Sebagai anak tiri, Bawang Putih seringkali diperlakukan semena-mena oleh ibu dan kakak tirinya. Bahkan, Mbok Randha tidak segan-segan bertindak kasar terhadap Bawang Putih jika ada pekerjaan yang dianggap kurang beres. Pada suatu hari, ketika Bawang Putih sedang mencuci pakaian di sungai, tak sengaja salah satu baju kesayangan milik Bawang Merah hanyut. Kejadian ini jelas membuat ibu dan saudara tirinya murka kepada Bawang Putih. Bagaimanakah nasib Bawang Putih? Ikuti kisahnya dalam cerita Bawang Merah dan Bawang Putih berikut ini.


Alkisah, di Kampung Dadapan, Yogyakarta, hidup sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak gadis mereka yang bernama Bawang Putih. Meskipun sang ayah hanya pedagang kecil, keluarga kecil itu senantiasa hidup rukun, damai, dan bahagia. Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena sang ibu harus pergi untuk selama-lamanya akibat terserang penyakit yang menyebabkan nyawanya melayang. Kepergian sang ibu benar-benar membuat anggota keluarga yang ditinggalkan amat berduka, terutama Bawang Putih. 

Sejak kehilangan sosok ibu yang begitu sayang kepadanya, Bawang Putih merasa amat kesepian dan kerap menyendiri di kamarnya. Untung di desa itu ada seorang janda bernama Mbok Randha yang sering berkunjung ke rumahnya untuk membawa makanan atau sekadar menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Bahkan, ia kerap membantu Bawang Putih membersihkan rumah dan memasak. 

Keberadaan Mbok Randha telah meringankan beban keluarga Bawang Putih. Hal itulah yang membuat ayah Bawang Putih tertarik untuk menikahi Mbok Randha agar putrinya tidak kesepian lagi. Sebagai ayah yang bijak, ia tidak mau bertindak sendiri dengan meminta pertimbangan kepada putri semata wayangnya.
“Bawang Putih, Putriku. Ayah melihat Mbok Randha adalah sosok ibu yang baik. Barangkali akan lebih baik jika ia menjadi anggota keluarga kita,” kata ayah Bawang Putih. “Bagaimana pendapatmu, Anakku?”

Bawang Putih memahami maksud ayahnya. Ia pun merasa bahwa kehadiran Mbok Randha dalam keluarganya akan membuat suasana menjadi ramai, sehingga dirinya tidak lagi kesepian. Apalagi Mbak Randha mempunyai seorang anak gadis yang bernama Bawang Merah dan sebaya dengannya. Dengan pertimbangan itu, Bawang Putih pun rela jika ayahnya menikah dengan Mbok Randha. 

Setelah menikah, Mbok Randha bersama putrinya tinggal di rumah Bawang Putih. Pada mulanya, Mbok Randha dan Bawang Merah sangat baik kepada Bawang Putih, terutama saat ayahnya ada di rumah. Namun, setelah beberapa lama tinggal di rumah itu, sifat asli mereka yang kejam dan bengis mulai kelihatan. Ketika sang ayah sedang pergi berdagang, mereka kerap memarahi Bawang Putih dan memberinya pekerjaan berat. Bahkan, Mbok Randha tidak segan-segan menampar Bawang Putih jika sedang beristirahat barang sejenak pun untuk melepaskan lelah. Tidak hanya itu, setiap hari Bawang Putih hanya diperbolehkan makan sekali, itu pun berupa kerak nasi dengan air dan garam sebagai lauk. 

Di sisi lain, Mbok Randha amat sayang dan memanjakan Bawang Merah sehingga semua pekerjaan rumah tangga dibebankan kepada Bawang Putih. Bahkan, Bawang Merah juga kerap memerintahnya. Ketika Bawang Putih sedang sibuk bekerja, ia dan ibunya hanya duduk-duduk santai dan sesekali mengawasi hasil pekerjaan Bawang Putih kalau-kalau ada yang kurang beres. Meskipun diperlakukan demikian, gadis yang malang itu tetap tabah menghadapinya. 

Suatu hari, ayah Bawang Putih jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sejak itulah, Bawang Merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang Putih. Setiap hari gadis malang itu seakan tidak pernah beristirahat. Ia harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan segera keperluan mereka seperti menyiapkan air mandi dan sarapan untuk mereka, memberi makan ternak, membersihkan rumah, mencuci pakaian di sungai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. 

Pada suatu pagi, seperti biasanya setelah usai membereskan rumah, Bawang Putih pergi ke sungai dengan membawa satu bakul pakaian untuk dicuci. Setiba di sungai, ia pun mulai mencuci pakaian kotor tersebut satu persatu. Namun, Bawang Putih tidak menyadari salah satu dari cuciannya hanyut terbawa arus. Celakanya, pakaian yang hanyut itu adalah baju kesayangan Bawang Merah. Ia baru menyadari hal itu setelah selesai mencuci. Dengan panik, Bawang Putih segera menyusuri sungai untuk mencari baju itu. Sudah jauh ia berjalan ke hilir, namun belum juga menemukannya.
“Aduh, matilah aku!” gumam Bawang Putih dengan cemas, “Apa jadinya nanti jika ibu tiriku dan Bawang Merah mengetahui hal ini?” 

Bawang Putih benar-benar kebingungan. Karena hari sudah siang, ia pun memutuskan untuk segera pulang karena belum menyiapkan makan siang. Setiba di rumah, ia dengan ketakutan menceritakan kejadian yang baru saja dialami kepada ibu tirinya. Betapa murkanya Mbok Randha saat mendengar cerita itu. Ia pun segera mengambil rotan dan memukul Bawang Putih hingga tubuhnya berwarna merah dan lebam.
“Dasar, anak ceroboh! Cepat cari baju itu dan jangan kembali sebelum kau menemukannya!” hardik ibu tirinya yang kejam itu.

Bawang Putih dengan hati sedih terpaksa kembali ke sungai untuk mencari baju itu. Di sepanjang perjalanan, air mata gadis itu terus mengalir membasahi pipinya karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit di seluruh badannya. Setiba di sungai, ia pun mencari baju itu mulai dari tempatnya mencuci tadi hingga ke hilir sungai. Sudah cukup jauh ia berjalan, namun belum juga menemukan baju itu. Meskipun demikian, ia terus menyusuri sungai hingga bertemu dengan seorang penggembala sedang memandikan kerbaunya.
“Permisi, Paman! Apakah paman melihat ada baju berwarna merah yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan sopan.
“Tidak, Nak. Coba kamu tanyakan pada orang yang sedang memancing itu,” ujar penggembala itu.
“Terima kasih, Paman,” ucap Bawang Putih seraya menghampiri orang yang sedang memancing di tepi sungai. Namun rupanya nelayan itu juga tidak melihat baju yang sedang dicari Bawang Putih. 

Demikian Bawang Putih selalu bertanya kepada setiap orang yang ia temui di sepanjang aliran sungai itu dan tak seorang pun yang melihat baju itu. Hari sudah sore. Gadis itu terus menyusuri sungai dengan berjalan sempoyongan hingga akhirnya bertemu dengan seorang nenek yang sedang mencuci beras. Mulanya, Bawang Putih takut mendekati nenek itu karena tubuhnya amat besar. Rupanya, nenek itu adalah manusia raksasa. Namanya Nini Buto Ijo yang tinggal di pinggir sebuah hutan. Bawang Putih kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada nenek raksasa itu.
“Ma... maaf, Nek. Apakah nenek melihat baju yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan gugup.
“Apakah baju yang kamu cari itu warnanya merah kembang-kembang?” sang nenek balik bertanya.
“Benar, Nek,” jawab Bawang Putih, “Apakah nenek menemukannya?”
“Iya, Nduk. Tadi kutemukan tersangkut di batu,” jawab nenek itu, “Sebaiknya kamu menginap di rumah nenek karena hari sudah gelap.” 

Akhirnya, Bawang Putih menuruti ajakan nenek raksasa itu. Setiba di rumah nenek, ia diajak untuk membantu memasak.
“Aku akan mengembalikan bajumu, tapi dengan syarat kamu harus membantuku memasak,” ujar nenek.
“Baik, Nek,” jawab Bawang Putih menyanggupi.

Alangkah terkejutnya Bawang Putih karena peralatan memasak nenek amat mengerikan. Centongnya terbuat dari tulang tangan manusia dan gayungnya pun terbuat dari tulang-tulang. Meskipun agak sedikit ngeri, ia tetap memasak dengan tenang. Selain itu, ia juga membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek hingga larut malam. 

Keesokan harinya, Bawang Putih pun mohon pamit kepada Nini Buto Ijo. Sesuai dengan janjinya, nenek itu mengembalikan baju Bawang Putih. Selain itu, sang nenek juga memberinya hadiah dengan menyuruh Bawang Putih memilih salah satu dari dua buah labu kuning yang ukurannya berbeda, satu berukuran besar sedangkan yang satunya berukuran kecil. Bawang Putih bukanlah gadis yang serakah sehingga ia hanya memilih labu yang lebih kecil.
“Terima kasih, Nek,” ucap Bawang Putih.
“Sama-sama, Nduk! Tapi ingat, kamu baru boleh membuka labu itu setelah kamu sampai di rumah,” ujar Nini.
“Baik, Nini,” jawab Bawang Putih seraya berpamitan.

Sesampai di rumahnya, Bawang Putih segera menyerahkan baju yang berhasil ditemukannya kepada Bawang Merah. Setelah itu, ia bergegas ke dapur untuk memasak sayur labu. Betapa terkejutnya ia setelah membelah buah itu. Ternyata, labu kuning itu berisi perhiasan emas permata. Ibu tirinya dan Bawang Merah yang mengetahui hal itu segera merampas perhiasan tersebut.
“Hai, Bawang Putih! Ceritakan bagaimana caramu bisa mendapatkan perhiasan sebanyak ini!” seru ibu tirinya dengan nada memaksa.

Bawang Putih pun menceritakan semua dengan sejujurnya. Setelah mendengar cerita itu, Mbok Randha segera memerintahkan putri kesayangannya Bawang Merah untuk melakukan hal yang sama. 

Singkat cerita, Bawang Merah pun sampai di rumah Nini Buto Ijo. Saat disuruh memasak, ia tidak bisa melakukannya karena jijik menyentuh peralatan memasak si nenek yang semuanya terbuat dari tulang-tulang. Ia hanya bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek yang lain, seperti menyapu dan mengepel. Itu pun dilakukannya dengan asal-asalan sehingga hasilnya pun tidak bersih. 

Meski demikian, Nini Buto Ijo tetap akan memberinya hadiah. Bawang Merah pun disuruh memilih salah satu dari dua labu kuning yang ditawarkan oleh nenek. Karena sifatnya yang serakah, ia dengan cepat memilih labu yang besar. Setelah itu, ia segera pulang ke rumahnya dengan penuh harapan bahwa ia dan ibunya akan menjadi kaya raya karena mengira labu yang telah dipilihnya berisi lebih banyak perhiasan. Karena itu, Bawang Merah menjadi lupa diri. Jangankan berpamitan, berterima kasih kepada nenek itu pun tidak ia lakukan.

Setiba di rumah, Bawang Merah bersama ibunya segera membelah labuh itu. Begitu labu itu terbelah, bukannya perhiasan emas permata yang mereka dapatkan, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan kelabang. Hewan-hewan beracun itu lantas menyerang ibu dan anak yang serakah itu hingga tewas. Akhirnya, Bawang Putih berhasil mendapatkan kembali semua perhiasan emas dan permatanya, kemudian menjualnya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
* * *
Demikian cerita Bawang Merah dan Bawang Putih dari Yogyakarta. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang berbuat kasar dan serakah seperti Mbok Randha dan Bawang Merah akan mendapat balasan yang setimpal. Karena sifat kasar dan keserakahannya, mereka pun tewas digigit dan disengat binatang-binatang berbisa. Pesan moral lainnya adalah bahwa orang yang teraniaya, tabah, dan jujur seperti Bawang Putih akan mendapat ganjaran yang berlipat ganda. Meskipun setiap hari dianiaya oleh ibu dan saudara tirinya, ia tetap selalu sabar menghadapinya. Atas ketabahannya, Tuhan Yang Mahakuasa pun menganugerahinya perhiasan emas dan permata melalui Nini Buto Ijo.

Kamis, 21 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Nyamuk Berdengung

Nyamuk adalah sejenis serangga pembawa penyakit yang mempunyai dua sayap bersisip, tubuh yang langsing, dan enam kaki yang panjang. Dari berbagai jenis nyamuk yang ada, jarang sekali yang memiliki ukuran tubuh melebihi 15 mm. Menurut cerita masyarakat Yogyakarta, dahulu ukuran nyamuk besarnya sebesar kambing dan dapat berbicara layaknya manusia. Namun karena tersebab oleh sebuah peristiwa, tubuh nyamuk yang semula besarnya sebesar kambing tersebut berubah menjadi kecil dan suaranya pun berubah menjadi berdengung. Peristiwa apakah yang menyebabkan nyamuk berubah menjadi kecil dan suaranya menjadi berdengung? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Nyamuk Berdengung berikut ini.


Alkisah, di kaki bukit di daerah Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, terdapat sebuah dusun terpencil yang jauh dari keramaian. Penduduk dusun tersebut senantiasa hidup rukun, damai, dan sejahtera. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka berladang dan beternak hewan seperti sapi dan kambing. Setiap hari mereka pergi ke ladang dan ngarit (mencari rumput) untuk ternak mereka dengan perasaan aman dan tenang. 
Suatu ketika, suasana damai dan tenang tersebut terusik oleh kabar akan kedatangan seekor Ratu Nyamuk ke dusun itu. Seluruh warga pun menjadi cemas dan takut keluar rumah untuk mencari nafkah. Bagaimana mereka tidak takut, tubuh Ratu Nyamuk itu amat gemuk dan ukurannya sebesar kambing. Ratu Nyamuk itu juga memiliki kaki yang panjang dan berbulu. Demikian pula paruhnya amat runcing dan tajam sehingga dapat mencucuk kulit hewan yang kasar seperti kuda sekalipun. Oleh karena itu, setiap orang atau hewan yang dihisapnya akan meninggal karena kehabisan darah. 
Merasa terancam keselamatannya, para warga pun segera mengadakan rembug desa (musyawarah desa) yang dipimpin langsung oleh kepala dusun setempat.
“Bagaimana kalau Ratu Nyamuk itu kita jebak dan binasakan beramai-ramai?” usul salah seorang warga.
“Maaf, saudara. Saya kira apa yang Anda usulkan itu tidak akan berhasil,” sanggah seorang warga lainnya, “Ratu Nyamuk itu dapat terbang tinggi sehingga sulit untuk menjebaknya, apalagi membinasakannya.”
Suasana musyawarah tersebut cukup menegangkan. Sudah banyak usulan yang disampaikan oleh warga, namun belum satu pun yang disepakati secara bersama-sama oleh seluruh peserta rapat. Sebagian dari warga sudah ada yang merasa cemas dan putus asa karena belum juga menemukan cara yang tepat untuk membinasakan si Ratu Nyamuk
“Tenang, saudara-saudara! Kita tidak perlu berputus asa,” ujar Kepala Dusun, “Setahu saya, Ratu Nyamuk itu memakai sebuah subang yang menjadi rahasia kesaktiannya. Jika subang itu kita ambil, tentu kekuataannya akan hilang dan akan berubah menjadi kecil. Dengan demikian, kita dapat menghalaunya dengan mudah.”
“Tapi, Pak Dukuh. Siapa yang akan berani mengambil subang Ratu Nyamuk itu?” tanya seorang warga.

Mendengar pertanyaan itu, seluruh peserta rapat terdiam seraya saling memandang satu sama lain. Mereka semua bingung karena takut darahnya dihisap oleh si Ratu Nyamuk. Di tengah kebingungan para warga, sang kepala dusun melanjutkan pembicaraannya.
“Saya juga mendengar kabar bahwa saat ini si Ratu Nyamuk sedang siap bertelur. Dengan demikian, dia pasti memerlukan pertolongan saat akan mengeluarkan telurnya. Satu-satunya orang yang dapat menolongnya adalah seorang dukun bayi,” ungkap sang Kepala Dusun.
“Lalu, bagaimana si dukun bayi dapat mengambil subang Ratu Nyamuk itu?” tanya seorang yang lain dengan bingung.
Dengan tenang Kepala Dusun menjawab, “Sebelum menolongnya, dukun bayi itu harus meminta sebuah syarat kepada si Ratu Nyamuk yaitu menyerahkan subangnya,” jelas sang Kepala Dusun.
Mendengar penjelasan itu, seluruh peserta rapat mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju. Akhirnya, para warga bersepakat untuk meminta pertolongan kepada Mbok Surti, satu-satunya dukun bayi yang ada di dusun tersebut. Mbok Surti dikenal sebagai dukun bayi yang pemberani dan memiliki banyak pengetahuan.   
“Bagaimana Mbok Surti, apakah kamu bersedia untuk melaksanakan tugas ini?” tanya Kepala Dusun kepada Mbok Surti yang juga hadir dalam musyawarah itu.
“Demi keamanan dan ketenteraman bersama, saya bersedia melaksanakan amanat para warga ini,” jawab Mbok Surti. 
Suatu hari, saat hendak bertelur, Ratu Nyamuk datang menemui Mbok Surti untuk meminta pertolongan. Sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya, Mbok Surti pun mengajukan persyaratan itu kepada Ratu Nyamuk.
“Saya bersedia membantumu wahai Ratu Nyamuk, tapi dengan syarat kamu harus menyerahkan subangmu kepadaku,” tegas Mbok Surti.
“Baiklah, Mbok Surti. Aku terima persyaratanmu,” kata Ratu Nyamuk.
Setelah menyerahkan subangnya kepada Mbok Surti, Ratu Nyamuk itu segera terbang ke ke atas sebuah pohon. Sementara itu, Mbok Surti segera menyimpan subang itu baik-baik. Ia kemudian mengambil seonggok jerami dan meletakannya di bawah pohon tempat Ratu Nyamuk bertengger.
“Hai, Mbok Surti! Untuk apa jerami itu?” tanya Ratu Nyamuk.
“Kamu akan bertelur di atas tumpukan jerami ini agar telur-telurmu aman,” ujar Mbok Surti.
Tanpa merasa curiga sedikit pun, Ratu Nyamuk itu segera terbang rendah di atas tumpukan jerami setelah Mbok Surti memintanya. Begitu ia hendak mengeluarkan telurnya, Mbok Surti dengan cepat membakar tumpukan jerami itu. Api pun menyala sangat besar dan kemudian padam dengan cepat sehingga menimbulkan kepulan asap tebal yang berwarna hitam. Tak ayal, si Ratu Nyamuk pun jatuh ke tanah dan menggelepar-gelepar terkena kepulan asap jerami. Beberapa saat kemudian, telur sebesar jagung keluar dari tubuhnya dengan jumlah yang sangat banyak. Pada saat yang bersamaan, tubuh Ratu Nyamuk itu perlahan-lahan berubah menjadi kecil hingga sebesar telurnya. Hal itu dikarenakan tubuhnya yang amat lemah, sementara subang saktinya sudah tidak melekat padanya.
Beberapa saat kemudian, telur Ratu Nyamuk yang jumlahnya banyak itu tiba-tiba menetas menjadi nyamuk-nyamuk kecil. Ratu Nyamuk kemudian mengajak anak-anaknya untuk mengelilingi Mbok Surti dan merebut kembali subangnya. Namun, saat ia hendak meminta subangnya kepada Mbok Surti, suara yang keluar dari mulutnya hanya suara dengungan.
“Ngung... ngung... ngung...,” demikian suara dengungan Ratu Nyamuk itu.
Suara dengungan tersebut kemudian ditiru oleh seluruh anak-anaknya. Mbok Surti yang tidak mengerti maksud suara dengungan itu segera meninggalkan mereka. Namun, Ratu Nyamuk dan anak-anaknya terus mengejar dan mengelilinginya sambil berdengung-dengung. Oleh karena merasa terganggu oleh suara dengungan itu, Mbok Surti segera mengumpulkan jerami lalu membakarnya. Begitu api yang membakar jerami tersebut padam asap tebal pun mengepul dan mengenai Ratu Nyamuk dan anak-anaknya. Mereka pun beterbangan meninggalkan Mbok Surti karena tidak tahan dengan asap jerami itu. Berkat bantuan Mbok Surti mengusir nyamuk-nyamuk tersebut, penduduk di dusun itu kembali hidup aman dan tenteram. Mereka pun dapat mencari nafkah dan mencari rumput di ladang tanpa dihantui oleh perasaan cemas. 
Sejak peristiwa tersebut, nyamuk bertubuh kecil dan hanya bisa berdengung. Nyamuk-nyamuk tersebut hanya bisa mengeluarkan suara dengungan. Meski demikian, mereka akan terus mengejar Mbok Surti untuk meminta subangnya. Itulah sebabnya mereka selalu mengganggu manusia hingga saat ini dengan berdengung di dekat telinganya. Demikian pula, hingga saat ini masih banyak penduduk desa yang menggunakan asap jerami untuk mengusir nyamuk.

Demikian cerita legenda Asal Mula Nyamuk Berdengung dari daerah Yogyakarta. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan musyawarah untuk mufakat dan keutamaan suka membantu demi kepentingan umum. Pertama, keutamaan musyawarah untuk mufakat terlihat pada sikap dan perilaku para warga dusun. Pada saat menghadapi sebuah masalah, mereka senantiasa mengadakan musyawarah untuk mencari pemecahannya secara bersama-sama. Kedua, keutamaan suka menolong terlihat pada sikap dan perilaku Mbok Surti. Demi ketenteraman seluruh warga, ia bersedia menolong para warga dari gangguan Ratu Nyamuk dengan keberanian dan pengetahuan yang dimilikinya. Berkat pertolongannya, warga dusun pun kembali hidup aman dan tenteram.