Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Tenggara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Tenggara. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Burung Ntaapo-Apo

Selama ini orang mengira burung cenderwasih hanya ada di Papua. Tapi, tahukah Anda bahwa burung jenis ini ternyata juga terdapat di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna? Masyarakat di sana menyebutnya dengan nama burung Ntaapo-apo. Menurut cerita, burung ini merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki yang bernama La Ane. Bagaimana La Ane bisa menjelma menjadi burung Ntaapo-Apo? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Burung Ntaapo-Apo berikut ini.
 
Dahulu, di sebuah kampung di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya bernama La Ane. Suaminya meninggal dunia saat La Ane masih bayi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda itu mengolah kebun yang luasnya tidak seberapa. Kebun itu ia tanami ubi dan jagung untuk dimakan sehari-hari. Selain kebun, sang suami juga mewariskan seekor kuda jantan. 

Janda itu amat sayang kepada La Ane. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi besar. Namun, La Ane yang telah menginjak usia remaja itu tidak pernah membantu ibunya bekerja. Dari bangun hingga tidur lagi, kerjanya hanya bermain gasing bersama teman-temannya. Ia baru pulang ke rumah jika perutnya sudah lapar. Tapi, setelah kenyang, ia kembali bermain gasing. 

Sang ibu mulai tidak senang melihat kelakuan anaknya yang semakin hari semakin malas. Ia sudah berkali-kali mengajaknya pergi ke kebun, namun La Ane selalu menolak. 

“Buat apa bekerja setiap hari. Capek, Bu,” begitu selalu kata La Ane. 

“Anakku, kita mau makan apa kalau tidak bekerja?” ujar ibunya. 

“Ibu saja yang bekerja. Aku lebih senang bermain gasing bersama teman-temanku daripada ikut bekerja di kebun,” kata La Ane dengan cuek. 

“Kalau begitu, makan saja itu gasingmu!” tukas ibunya dengan nada kesal.

La Ane tetap saja tidak peduli pada nasehat ibunya. Ia pergi meninggalkan rumah menuju ke rumah teman-temannya. Sang ibu yang masih kesal sedang menyiapkan makanan di meja makan. Namun, bukannya nasi dan jagung rebus yang disiapkan, melainkan gasing yang dipotong kecil-kecil lalu ditempatkan di dalam kasopa (tempat jagung dan ubi). Tali gasing itu juga dipotong-potong lalu ditaruh di dalam kaghua (tempat sayur atau ikan). 

“Huh, makanlah gasing dan talinya itu, anak malas!” geram sang ibu.

Janda itu kemudian pergi ke kebun. Menjelang siang hari, La Ane pun kembali dari bermain karena lapar. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat kasopa dan kaghua di atas meja yang berisi potongan-potongan gasing dan talinya. 

“Oh, Ibu. Engkau benar-benar marah kepadaku? Padahal, aku lapar sekali,” keluh La Ane. 

Dengan perasaan sedih, La Ane naik ke atas loteng rumahnya. Di atas loteng itu ia duduk termenung sambil memikirkan nasibnya. 

“Ibu sudah tidak sayang lagi kepadaku. Lebih baik menjadi burung saja sehingga aku bisa terbang ke sana ke mari mencari makan sendiri,” ucap La Ane. 

Ucapan La Ane rupanya menjadi kenyataan. Begitu ia selesai berucap, tiba-tiba sekujur tubuhnya perlahan-lahan ditumbuhi bulu berwarna-warni yang indah dan berkilauan. Selang beberapa saat kemudian, anak pemalas itu pun berubah menjadi seekor burung. Ia kemudian hinggap di atap rumahnya sambil berkicau dengan merdu. 

Saat hari menjelang sore, sang Ibu kembali dari kebun. Ia pun memanggil-manggil anaknya.
“La Ane… La Ane…, kamu di mana anakku?!” teriaknya.

Sudah berkali-kali ibu itu berteriak, namun tak ada jawaban. Dengan panik, ia segera keluar dari rumah. Ketika berada di depan rumah, ia pun melihat seekor burung bertengger di atap rumah sambil bernyanyi merdu. Janda itu hampir pingsan melihat pada burung itu masih memperlihatkan tanda-tanda anaknya. 

“Oh, anakku, maafkan Ibu. Turunlah, Nak!” bujuk sang Ibu.

Nasi sudah menjadi bubur. La Ane yang telah menjelma menjadi burung itu tidak mungkin lagi berubah menjadi manusia. Ia akan menjadi burung untuk selama-lamanya. Ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia sudah tidak mendengarnya lagi. Ia terbang dan hinggap di atas pohon pinang sambil berkicau.

“Ntaapo-apo… Ntaapo-apo!” demikian kicauan burung itu.

Sang ibu tak henti-hentinya memanggil anaknya. Namun, burung itu tetap tidak mau kembali. Ia terbang menuju ke hutan belantara untuk mencari makan. Sang ibu pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyesal atas perlakuannya terhadap anak semata wayangnya itu. 

Sejak peristiwa itu, burung yang suka berkicau “ntaapo-apo” itu dinamakan burung Ntaapo-apo. Hingga saat ini, burung yang mirip dengan burung cenderawasih itu masih sering terdengar kicauannya dari dalam hutan di daerah Muna, Sulawesi Tenggara.

* * *

Demikian cerita Asal Usul Burung Ntaapo-Apo dari Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah anak pemalas dan pembangkang seperti La Ane pada akhirnya akan mendapat malapetaka.

Kamis, 05 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Anak Gadis Niining Kubaea

Niining Kubaea adalah seorang janda tua yang tinggal di sebuah desa di Sulawesi Tenggara. Ia memiliki seorang anak angkat yang cantik jelita. Namun, seorang raja dari negeri lain tersinggung karena kecantikan gadis itu melebihi kecantikan putrinya. Oleh karena itu, sang Raja berniat akan menghukum gantung anak gadis tersebut. Bagaimana nasib anak gadis Niining Kubaea selanjutnya? Berikut kisahnya dalam cerita Anak Gadis Niining Kubaea.
Pada zaman dahulu, ada seorang janda tua bernama Niining Kubaea. Janda itu tidak mempunyai anak. Sejak ditinggal mati oleh suaminya puluhan tahun yang lalu, Niining tidak pernah menikah lagi. Ia pun tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil di tepi sungai. Untuk bertahan hidup, setiap hari Niining Kubaea mencari ikan di sungai dan umbi-umbian di hutan.
Suatu hari, sebuah perahu berawak tiga orang berlabuh di tepi sungai. Setelah turun dari perahunya, ketiga awak tersebut menuju ke gubuk tempat tinggal Niining Kubaea. Salah seorang dari mereka sedang menggendong bayi perempuan yang dibungkus dengan kain sutra.
“Permisi!” seru salah seorang dari awak itu, “Apakah ada orang di dalam?”
Mengetahui ada tamu yang datang, Niining Kubaea pun segera keluar dari gubuknya. Betapa terkejutnya ia saat melihat tiga orang laki-laki paruh baya berdiri di depan pintunya.
“Maaf, Tuan-Tuan! Ada yang bisa Nenek Bantu?” tanya Niining Kubaea.
“Nek, kedatangan kami kemari untuk menawarkan bayi ini kepada Nenek,” ungkap salah seorang dari awak perahu itu.
“Apa maksud, Tuan?” tanya si Niining.
“Kami ingin menjual bayi ini, Nek. Apakah Nenek berkenan membelinya?” awak perahu itu menawarkan.
“Oh, sangat kebetulan. Nenek memang tidak mempunyai anak. Selama ini Nenek hanya hidup sendirian,” ungkap si Niining dengan perasaan gembira.
Beruntung Niining Kubaea memiliki sedikit tabungan. Akhirnya, ia pun membeli bayi itu dengan uang tabungannya. Setelah menyerahkan bayi itu kepada si Niining, ketiga awak perahu tersebut melanjutkan perjalanan.
Sejak itulah, Niining Kubaea tidak lagi kesepian. Kehadiran bayi itu telah menjadi obat pelipur lara baginya. Ia pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang. Ia menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Ke mana pun pergi, ia selalu membawanya. Pada usia tujuh tahun, anak angkat Niining Kabeae itu pun sudah pandai bertanam bunga di halaman gubuknya. Bahkan, ia sudah bisa menjualnya sendiri ke pasar.
Waktu terus berlalu. Anak itu tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat dan berparas cantik. Setiap pemuda yang melihatnya akan berdecak kagum. Jika ia pergi ke pasar menjual bunga, ia selalu menjadi perhatian. Lama-kelamaan, kencantikan anak gadis Niining Kubaea itu tersohor hingga ke seluruh pelosok negeri.
Melihat keadaan itu, Niining Kubaea bukanya merasa senang melainkan khawatir. Ia tidak ingin anak gadisnya itu menjadi perhatian orang, terutama para pemuda. Oleh karena itu, setiap gadis itu hendak ke pasar, ia membendakinya dengan arang agar kecantikannya tidak tampak. Walau demikian, kecantikan gadis itu tetap saja terpancar.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa raja dari negeri tetangga merasa tersinggung karena kecantikan anak gadis Niining Kubaea melebihi kecantikan putrinya. Apa yang dikhawatirkan si Niining pun terjadilah. Beberapa utusan raja datang ke gubuknya untuk membawa anak gadisnya ke istana.
“Ampun, Tuan! Jangan kalian bawa pergi anakku. Dialah satu-satunya milikku di dunia,” rengek Niining Kubaea.
“Maaf, Nek. Kami hanya menjalankan perintah raja. Kami harus membawa kalian berdua ke istana,” kata seorang utusan raja.
Niining Kubaea pun tak bisa berbuat apa-apa. Perintah raja harus dipatuhi. Akhirnya, keduanya pun dibawa ke istana. Dalam perjalanan, si Niining senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar tidak terjadi sesuatu pada diri mereka, terutama pada anak gadisnya.
“Ya, Tuhan! Lindungilah kami,” doa Niining Kubaea.
Setiba di istana, keduanya pun langsung dihadapkan kepada sang Raja. Alangkah marahnya sang Raja karena kecantikan gadis itu memang ternyata melebihi kecantikan putrinya.
“Hulubalang! Cepat buat lubang dan tiang gantungan!” titah sang Raja, “Gadis ini benar-benar telah membuatku malu.”
Beberapa hulubalang istana segera menggali lubang serta menyiapkan tiang dan tali gantungan. Setelah prajurit itu menyelesaikan tugasnya, sang Raja kembali memerintahkan mereka.
“Hulubalang! Bawa anak gadis itu ke tiang gantungan!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda,” kata hulubalang itu.
Saat para hulubalang hendak membawa gadis itu ke tiang gantungan, tiba-tiba Niining Kubaea jatuh pingsan. Meskipun demikian, sang Raja tidak perduli.
“Ah, mau pingsan atau mati sekalian, aku tidak perduli. Cepat ikat gadis itu ke tiang gantungan!” perintah sang Raja.
Melihat kejadian itu, putra Raja langsung mencegah ayahnya. Rupanya, pangeran itu merasa simpati kepada anak gadis Niining Kubaea.
“Tunggu, Ayah! Ananda mohon dengan sangat agar gadis itu jangan dihukum mati. Biarkanlah ia Ananda jadikan istri. Ananda mohon, jangan bunuh ia, Ayah!” pinta sang Pangeran.
Meskipun dicegah, sang Raja tetap akan menghukum gadis yang tidak bersalah itu untuk menutupi rasa malunya. Hulubalang pun segera melaksanakan tugasnya. Begitu ia memotong tali gantungan, maka anak Niining Kubaea itu pun terjatuh ke dalam lubang.
Melihat peristiwa tersebut, sang Pangeran dengan cepat ikut terjun ke dalam lubang. Untung ia dapat meraih tubuh gadis itu sebelum jatuh ke dasar lubang. Maka, selamatlah gadis itu dari ancaman maut. Namun, alangkah terkejutnya sang Pangeran saat memeluk erat tubuh gadis itu. Tiba-tiba ia melihat sebuah tanda di belakang kepala sang Gadis.
“Hai, bukankah tanda ini sama seperti tanda di kepala adik perempuanku yang dulu hilang sewaktu masih bayi?” gumam sang Pangeran, “Hmmm… jangan-jangan….?”
Sang Pangeran pun segera berteriak dari dalam lubang memanggil ayahnya.
“Ayah…, Ayah… !” teriaknya, “Cepat keluarkan kami dari lubang ini!”
Sang Raja pun bergegas menuju ke mulut lubang. Ia pun sangat mengkhawatirkan keadaan putranya yang ikut terjun ke dalam lubang itu.
“Apakah kamu tidak apa-apa, Putraku?” tanya sang Raja.
“Tidak, Ayah. Tolong cepat angkat kami dari lubang ini!” kata sang Pangeran.
Sang Raja pun segera memerintahkan para hulubalang istana untuk mengangkat mereka dari lubang tersebut. Begitu mereka terangkat, sang Pangeran berkata kepada ayahnya.
“Ayah, coba lihat tanda di kepala gadis ini!” seru sang Pangeran.
Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat tanda itu. Ia langsung teringat pada putrinya yang telah hilang beberapa tahun silam. Maka, ia pun segera memanggil Niining Kubaea untuk menanyakan asal usul gadis itu.
“Hai, Niining Kubaea. Apakah gadis ini anak kandungmu sendiri?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Sebenarnya, gadis ini bukan anak kandung hamba,” jawab Niining Kubaea.
Niining Kubaea kemudian menceritakan perihal bagaimana ia mendapatkan gadis itu.
“Belasan tahun yang lalu, ada tiga orang awak kapal mendatangi gubuk hamba. Mereka menawarkan seorang bayi kepada hamba. Karena hamba tidak mempunyai anak, maka hamba pun membeli bayi itu,” ungkap Niining Kubaea.
Mendengar cerita itu, sang Raja menjadi terharu. Ia yakin bahwa sesungguhnya gadis itu adalah putrinya yang hilang diculik ketika masih bayi. Ia pun amat menyesal karena hampir menghilangkan nyawa putrinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung merangkul gadis itu.
“Maafkan Ayahanda, Putriku! Ayahanda benar-benar khilaf,” ucap sang Raja dengan haru.
“Sudahlah, Ayahanda! Ananda memaafkan kekhilafan Ayahanda,” kata gadis itu.
Suasana yang tadinya gaduh berubah menjadi hening. Perasaan haru pun menyelimuti hati seluruh keluarga istana, termasuk Niining Kubaea. Perempuan paruh baya itu pun tak kuasa menahan air matanya.
Beberapa saat kemudian, sang Raja pun menghampiri Niining Kubaea untuk meminta maaf.
“Maafkan atas kelakuanku, Niining,”ucap sang Raja.
Tidak lupa pula sang Raja menyampaikan ucapan terima kasih kepada Niining yang telah merawat putrinya hingga tumbuh menjadi seorang gadis. Ia pun menjanjikan perempuan tua itu dengan hadiah yang besar.
“Karena engkau telah menyelamatkan putriku, apapun yang kau minta akan kukabulkan,” ujar sang Raja.
“Baiklah, Baginda. Hanya satu permintaan hamba,” jawab Niining Kubaea.
“Apa itu, Niining? Katakanlah!” desak sang Raja.
“Hamba ingin selalu bersama si Gadis. Dia sudah seperti anak kandung hamba,” kata Niining Kubaea.
“Baiklah, Niining. Permintaanmu kukabulkan. Engkau boleh tinggal di istana ini bersama keluarga istana,” ujar sang Raja.
Sejak itulah, Niining Kubaea tinggal di istana dan diangkat sebagai penasehat putra-putri raja. Sementara itu, seluruh keluarga istana amat gembira karena putri raja yang hilang telah kembali ke istana. Sebagai ungkapan rasa syukur, sang Raja pun mengadakan pesta yang sangat meriah. 
* * *
Demikian cerita Anak Gadis Niining Kubaea dari daerah Sulawesi Tenggara. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya kita tidak bertindak ceroboh seperti sang Raja sebelum mengetahui akar suatu permasalahan. Karena kecorobohannya, sang Raja hampir saja menghabisi nyawa putri kandungnya sendiri.

Kamis, 30 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Nama Gunung Mekongga

Gunung Mekongga memiliki ketinggian 2.620 m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini.



Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama negeri Kolaka) dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.
Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya.
Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini bernama Belandete) ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar.  
Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi.
”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul.
”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan.
”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi.   
Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda.
Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka.
”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan.
Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya.
Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu.
Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu.
”Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!” pekik burung garuda itu kesakitan. 
Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di  puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu.

Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan.
Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi.
”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan.
”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh.
”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka.
”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi.
Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.
”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi.
Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut.
Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda.
Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotu‘o”.

Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

yang berpikiran jauh,
ditimpa musibah pantang mengeluh
yang berpikiran jauh,
tahu mencari tempat berteduh

Rabu, 29 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Oheo

Oheo adalah seorang pemuda tampan yang bermata pencaharian sebagai petani tebu di daerah Kendari, Sulawasi Tenggara, Indonesia. Pada suatu hari, Oheo dikejutkan oleh sebuah peristiwa aneh di kebunnya. Ia mendapati tanaman tebunya hampir habis. Hal tersebut membuatnya kesal dan marah. Siapakah gerangan yang memakan tanaman tebu Ohoe? Lalu, apa yang akan dilakukannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Oheo berikut ini.



Alkisah, di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara, hidup seorang pemuda tampan bernama Oheo. Ia tinggal sendirian di sebuah gubuk di tengah hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menanam pohon tebu di kebunnya. Oheo seorang petani yang rajin dan tekun. Setiap hari ia merawat tanaman tebunya dengan baik.
Pada suatu waktu, ketika tanaman tebunya sudah siap dipanen, Oheo berjalan-jalan mengelilingi kebunnya. Alangkah terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak ampas tebu yang berhamburan di pinggir kebunnya dekat sungai. Melihat keadaan itu, Oheo menjadi kesal dan marah. Ia pun berniat untuk menangkap pelakunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Oheo berangkat ke kebunnya. Sesampainya di kebun, ia segera menuju ke tepi sungai. Saat akan sampai di tepi sungai, tiba-tiba langkahnya terhenti. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, ada tujuh bidadari cantik sedang terbang berputar-putar di atas sungai. Melihat hal itu, ia segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu ia terus memerhatikan gelagat ketujuh bidadari tersebut.
“Aduhai... cantiknya bidadari-bidadari itu!” ucap Oheo dengan penuh takjub.
Beberapa saat kemudian, ketujuh bidadari tersebut turun dan berdiri di tepi sungai. Kemudian mereka berjalan menuju ke kebun tebu Oheo. Tidak berapa lama, mereka pun kembali ke tepi sungai sambil membawa batang tebu. Di tepi sungai itu, mereka asyik menikmati manisnya air tebu milik Oheo. Setelah itu mereka membuang ampas tebu tersebut dan membiarkannya berserakan di tepi sungai. Usai makan tebu, mereka mencebur ke sungai untuk mandi. Melihat kejadian itu, maka tahulah Oheo bahwa ternyata yang memakan tanaman tebunya adalah para bidadari tersebut.
Pada mulanya, Oheo sangat kesal dan marah. Namun, setelah mengetahui bahwa pelakunya adalah bidadari cantik, hatinya tiba-tiba berubah menjadi senang dan gembira. Bahkan ia berniat untuk memperistri salah seorang dari mereka.
Ketika para bidadari tersebut sedang asyik mandi sambil bersendau gurau, Oheo merayap menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan hati-hati, Oheo mengambil sehelai selendang dengan menggunakan ranting kayu. Setelah berhasil mengambil selendang yang berwarna ungu, ia segera membawanya pulang ke rumah dan menyembunyikannya di dalam ujung kasau bambu dekat jendela. Setelah itu, ia kembali ke tempat persembunyiannya untuk mengintip para bidadari yang sedang mandi.
Saat hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi. Mereka pun bergegas mengenakan pakaian masing-masing lalu terbang ke angkasa menuju ke kayangan. Namun, salah seorang dari mereka tidak dapat terbang karena selendangnya hilang. Dia adalah putri (bidadari) bungsu yang bernama Anawangguluri. Ia sudah mencari selendangnya ke sana kemari, namun tetap tidak menemukannya. Akhirnya, tinggalah ia seorang diri di tepi sungai itu.
Tidak lama kemudian, Oheo keluar dari tempat persembunyiannya, lalu menghampiri Putri Anawangguluri.
“Hai putri cantik! Aku Oheo. Aku tinggal di sekitar daerah ini,” sapa Oheo memperkenalkan diri.
“O iya, kamu siapa?” tanya Oheo.
“Aku Anawangguluri dari negeri Kahyangan. Penduduk Kahyangan memanggilku Anawai,” jawab gadis cantik itu.
“Kenapa kamu berada sendirian di sini?” tanya Oheo.
“Tadinya aku bersama keenam saudariku mandi di sungai ini. Namun, mereka meninggalkanku seorang diri di sini, karena aku tidak dapat terbang kembali menuju ke Kahyangan. Pada saat kami sedang asyik mandi, selendangku tiba-tiba hilang. Apakah engkau melihatnya, Oheo?” putri balik bertanya kepada Oheo.
“Tidak, Putri,” jawab Oheo.
Mendengar jawab itu, Putri Anawai bertambah sedih, karena semakin tidak mempunyai harapan untuk bisa kembali ke Kahyangan. Sementara ia sendiri tidak memiliki siapa-siapa di bumi.
“Maukah kamu menolongku, Oheo?” tanya Putri Anawai mengiba kepada Oheo.
“Apakah itu, Putri? Katakanlah!” seru Oheo.
“Bolehkah aku tinggal di rumahmu untuk sementara waktu? Jika aku sudah menemukan selendangku, aku akan kembali lagi ke Kahyangan,” pinta sang Putri.
“Baiklah, aku akan menolongmu. Tapi dengan syarat kamu mau menikah denganku,” jawab Oheo.
Sebenarnya permintaan Oheo itu sangatlah berat bagi Putri Anawai.  Sebab, jika ia menikah dengan Oheo, tentu ia akan semakin jauh dari orangtua dan saudari-saudarinya yang tinggal di Kahyangan. Namun karena tidak ada pilihan lain, ia pun menerima permintaan Oheo. Sebelum mereka menikah, Putri Anawai juga mengajukan sebuah permintaan kepada Oheo.
“Jika di kemudian hari kita mempunyai anak, engkaulah yang membersihkan kotoran anak kita,” kata Putri Anawai.
Oheo pun menerima permintaan Putri Anawai. Setelah itu mereka menikah dan hidup bahagia.
Setahun kemudian, mereka dikarunia seorang anak laki-laki. Sesuai dengan perjanjian, setiap kali anak mereka buang air besar, Oheo-lah yang selalu membersihkan kotorannya. Begitulah setiap hari hingga anak mereka berumur setengah tahun.
Pada suatu hari, ketika Oheo sedang sibuk menganyam atap di halaman rumah, tiba-tiba si anak buang air besar.
“Bang! Anak kita sedang buang air besar!” teriak Putri Anawai dari dalam rumah.
“Abang sedang sibuk,” jawab Oheo sambil terus menganyam atap rumah.
“Bang! Anak kita sudah selesai buang air besar. Bersihkan dulu kotorannya!” sang Istri kembali berteriak dari dalam rumah.
Berkali-kali istrinya memanggil, namun Oheo tetap menolak untuk membersihkan kotoran anak mereka. Bahkan ia menyuruh istrinya yang membersihkannya.
“Kamu saja yang membersihkannya!” jawab Oheo dengan nada keras.
Bagaikan disambar petir telinga Putri Anawai mendengar jawaban suaminya. Pada saat itulah tiba-tiba terlontar kata-kata dari mulutnya.
“Bang! Apakah Abang sudah lupa dengan janji Abang sebelum kita menikah?”
“Untuk apa lagi kamu mengungkit-ungkit masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu,” jawab Oheo dengan nada ketus.
Hati Putri Anawai semakin sakit mendengar jawaban suaminya. Dengan berderai air mata, ia pun membersihkan sendiri kotoran anak mereka. Setelah itu, ia berdiri di depan jendela sambil menyaksikan pemandangan alam di sekitarnya. Sesekali pandangan matanya mengarah ke angkasa. Ia tiba-tiba merasa rindu ingin kembali ke Kahyangan untuk bertemu keluarganya. Tak terasa, air matanya berderai membasahi pipinya.
Pada saat akan mengalihkan pandangannya ke alam sekitar, tiba-tiba ia melihat sebuah kain berwarna ungu terselip di ujung kasau bambu. Dengan tangan gemetar, perlahan-lahan ia menarik kain itu. Alangkah terkejutnya saat kain yang masih utuh itu berada di tangannya.
“Hei, bukankah ini selendangku yang hilang itu? Tapi, kenapa ada di sini?” tanyanya dalam hati dengan penuh keheranan.
“Mmm... pasti suamiku yang menyembunyikannya,” ucapnya.
Alangkah senangnya hati Putri Anawai karena telah menemukan selendangnya. Harapannya untuk kembali ke negerinya akan tercapai. Ia pun segera menggendong anaknya dan menciumnya dengan penuh kasih-sayang.
“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu bersama ayahmu,” ucap Putri Anawai sambil mencium kening anaknya dengan penuh kasih sayang.
Setelah itu, Putri Anawai meletakkan anak itu di lantai rumah seraya memanggil suaminya.
“Bang! Tolong jaga anak kita! Aku akan kembali ke Kahyangan.”
Pada mulanya, Oheo tidak percaya akan hal itu. Ia tetap asyik dengan pekerjaannya. Setelah istrinya memanggilnya berkali-kali, Oheo pun segera beranjak dari tempatnya dan segera masuk ke dalam rumah. Ketika berada di dalam rumah, ia mendapati istrinya sedang terbang keluar melalui jendela.
“Istriku, jangan tinggalkan kami!” teriak Oheo.
Putri Anawai tidak lagi menghiraukan teriakan suaminya. Kemudian ia terbang ke atas pohon pinang, lalu terbang hinggap di atas pohon kelapa. Beberapa kali suaminya berteriak memanggilnya, ia tetap tidak menghiraukannya. Akhirnya, ia terus terbang ke angkasa menuju negeri Kahyangan.
Oheo sangat menyesali perbuatannya. Seandainya dia membersihkan kotoran anaknya, pasti istrinya tidak akan meninggalkannya. Kini, ia bertambah bingung, tidak tahu cara mengasuh anak yang ditinggalkan oleh istrinya. Akhirnya, ia pun segera mencari bantuan kepada siapa saja yang bersedia mengantarnya sampai ke negeri Kahyangan. Setelah berhari-hari berkeliling ke mana-mana, akhirnya ia menemukan sejenis tumbuhan yang bernama Ue-Wai yang bersedia menolongnya. Tetapi dengan syarat, Oheo harus membuatkannya cincin untuk dipasang pada setiap tangkainya.
Setelah Oheo memenuhi permintaannya, tumbuhan Ue-Wai menyuruh Oheo agar duduk dan berpegang erat di tangkainya. Sebelum menjulang ke angkasa, Ue-Wai  berpesan kepada Oheo.
“Setelah berada di angkasa, kita akan mendengarkan suara keras sebanyak dua kali. Jika mendengar suara pertama, langsung tutup matamu, dan jika mendengar suara keras yang kedua bukalah matamu,” ujar tumbuhan Ue-Wai.
“Baiklah. Aku akan mengikuti petunjukmu,” jawab Oheo sambil menggendong anaknya.
Beberapa saat kemudian, Ue-Wai itu pun melambung tinggi-tinggi dengan sangat cepat. Saat berada di angkasa, terdengarlah bunyi letusan pertama yang sangat keras. Oheo pun segera menutup mata rapat-rapat. Tidak berapa lama, terdengar lagi bunyi letusan kedua yang lebih keras lagi. Oheo pun segera membuka kedua matanya. Alangkah terkejutnya Ohea saat kedua matanya terbuka. Tiba-tiba ia melihat sebuah istana yang sangat megah di hadapannya. Rupanya, ia sudah berada di halaman istana kerajaan negeri Kahyangan.
Pada saat itu, para putri raja sedang berjalan-jalan di halaman istana. Salah seorang di antara mereka melihat Oheo sedang duduk bersama anaknya. Mereka pun segera melaporkan keberadaan Oheo tersebut kepada raja. Mengetahui hal itu, sang Raja menyuruh Oheo menghadap kepadanya.
“Hei Oheo! Jika kamu ingin bertemu dengan istrimu, kamu harus melalui beberapa ujian, karena kamu telah berbuat kesalahan kepada putriku,” ujar sang Raja.
“Ujian apakah itu, Tuan?” tanya Oheo penasaran.
Pertama, kamu harus menumbangkan batu sebesar istana. Kedua, kamu harus memungut bibit padi yang disebar di padang luas tanpa tersisa sebiji pun. Ketiga, kamu harus menemukan istrimu yang tidur di dalam sebuah ruangan pada waktu malam gelap gulita,” jelas sang Raja.
“Jika kamu gagal melalui salah satu dari ketiga ujian tersebut, maka kamu tidak akan bertemu dengan istrimu untuk selamanya,” tambah sang Raja mengancam.
Oleh karena keinginannya ingin bertemu dengan istrinya sangat besar, Oheo pun berusaha untuk melaksanakan ketiga ujian tersebut. Ujian pertama dan kedua berhasil ia lewati dengan bantuan kawanan tikus, burung, dan hewan lainnya. Namun, ketika akan menjalani ujian ketiga, Oheo merasa tidak mampu melakukannya. Kawanan tikus, burung dan beberapa hewan lainnya juga tidak dapat membantunya.
Saat malam menjelang, hati Oheo mulai gelisah dan cemas atas nasib yang akan menimpa dirinya. Jika gagal melewati ujian ketiga tersebut, maka ia akan terus mengasuh dan merawat anaknya sendirian. Ketika ia sedang duduk termenung sambil memangku anaknya, tiba-tiba seekor kunang-kunang datang menghampirinya.
“Hei, Oheo! Kenapa termenung begitu. Apakah kamu sedang ada masalah?” tanya kunang-kunang itu.
“Benar, aku mempunyai masalah yang tidak mampu kupecahkan! Aku harus menemukan istriku di dalam ruangan pada waktu malam gelap gulita. Sementara di ruangan itu terdapat banyak tempat tidur yang bentuknya sama. Istriku dan saudari-saudarinya akan tidur di tempat tersebut, sedangkan wajah mereka hampir sama,” keluh Oheo.
“Jangan khawatir, Oheo! Aku akan membantumu. Nanti malam, ikuti ke mana aku terbang. Di mana aku hinggap, di situlah istrimu,” ujar Kunang-kunang itu.
Oheo sangat senang mendengar petunjuk itu. Pada malam harinya, kunang-kunang itu terbang mencari istri Oheo di dalam ruangan yang gelap gulita. Sementara Oheo mengikutinya dari belakang sambil menggendong anaknya. Tidak beberapa lama, kunang-kunang itu hinggap pada salah satu tempat tidur. Dengan hati gemetar, Oheo bersama anaknya naik ke tempat tidur itu. Ternyata benar, orang yang tidur di situ adalah istrinya. Alangkah senangnya hati Oheo dapat bertemu kembali dengan istrinya. Begitu pula si anak, ia merasa bahagia dapat tidur nyenyak di samping ibunya.
Oleh karena berhasil melalui ujian tersebut, akhirnya Oheo diperkenankan untuk membawa serta istrinya kembali ke bumi. Oheo bersama anak dan istrinya pun turun ke bumi melalui seutas tali.
Sesampainya di bumi, Ohea bersama keluarganya memulai hidup baru. Oheo semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia membuka kebun baru lagi dan menanaminya dengan berbagam jenis tanaman seperti padi, jagung, umbi-umbian, kelapa, dan lain-lain. Dengan hasil kebun tersebut, Oheo bersama keluarganya hidup sejahtera dan bahagia.
* * *
Demikian cerita Oheo dari daerah Kendari, Sulawesi Tenggara. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah akibat buruk yang ditimbulkan sifat munafik. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Oheo yang telah mengingkari janjinya untuk membersihkan kotoran anaknya. Akibatnya, istrinya pun pergi meninggalkannya. Kepergian istrinya membuatnya kebingungan, karena tidak dapat mengurus dan merawat anaknya sendirian. Tunjuk ajar Melayu banyak menggambarkan tentang keburukan sifat munafik, di antaranya: 

apa tanda orang celaka,
hidup selalu bermuka dua

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa menyesali perbuatan dan berjanji untuk tidak mengulangi kembali suatu kesalahan akan mendatangkan manfaat bagi seseorang. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Oheo yang bersusah payah pergi ke Kahyangan untuk mencari istrinya, walaupun harus melalui berbagai rintangan dan ujian. Alhasil, ia pun dapat berkumpul kembali bersama keluarganya.

Selasa, 28 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

La Sirimbone

Di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara, Indonesia, beredar sebuah cerita rakyat yang mengisahkan tentang nasib seorang anak yatim bernama La Sirimbone yang dibuang oleh ibunya di tengah hutan. Mengapa La Sirimbone dibuang oleh ibunya di tengah hutan? Lalu, bagaimana nasib La Sirimbone selanjutnya? Apakah dia akan selamat atau mati dimakan binatang buas? Temukan jawabannya dalam cerita La Sirimbone berikut ini.



Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hiduplah seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-lakinya yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubuk itu adalah seorang perempuan cantik jelita.
“Aduhai, cantik sekali perempuan ini,” ucapnya dalam hati dengan takjub.
Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan untuknya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang di depan matanya.
Saat hari mulai gelap, La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung itu, La Patamba terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung itu dan sekaligus meminta tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapat restu, maka berangkatlah La Patamba bersama sesempuh kampung itu ke tempat Wa Roe.
“Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan La Patamba,” ungkap sesepuh kampung itu.
Mendengar hal itu, Wa Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima pinangan La Patamba.
“Baiklah. Saya menerima pinangan La Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone,” jawab Wa Roe.
Mendengar jawaban dari Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat yang diajukan Wa Roe itu.
“Bagaiman menurutmu, La Patamba? Apakah kamu sanggup memenuhi syarat itu?”
“Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri,” janji La Patamba.
Wa Roe pun terbuai dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak kandunyanya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke kampung lainnya, ia selalu membawakannya oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe menolak perintah itu.
“Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu membencinya?”
“Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu,” jawab La Patamba dengan marah.
Wa Roe bersama anaknya menjadi ketakutan mendengar kemarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang.
Keesokan harinya, berangkatlah Wa Roe bersama La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lebat dan sepi.
“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu sendiri di sini,” kata Wa Roe sambil memeluk anak semata wayangnya.
“Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?” tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.
“Pergilah sendiri melewati gunung dan lembah! Jagalah dirimu baik-baik! Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu melindungimu,” jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang.
Setelah ibunya pergi, La Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia lewati.
Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar.  
“Wah, Aneh! Kenapa ada tapak kaki menusia sebesar ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap di betis raksasa perempuan itu.
“Hei, anak manusia! Siapa kamu dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu.
Dengan perasaan takut, La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga ia sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, rakasasa perempuan itu pun merasa iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Di rumah itu, La Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.
“Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?” keluh La Sirimbone.
“Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja memasukkanmu ke dalam kurungan ini agar kamu tidak dimakan oleh raksasa laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa,” jawab raksasa perempuan itu.
La Sirimbone pun menuruti perintah raksasa perempuan itu, karena takut dimakan oleh raksasa laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan hingga ia tumbuh menjadi dewasa.
Oleh karena jenuh tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia pun memperoleh banyak binatang buruan.
Tiga hari kemudian, La Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan). Bubu itu ia pasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di sungai itu.
Keesokan harinya, La Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di dalamnya.
“Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih banyak sekali ikan di sungai ini,” keluh La Sirimbone dalam hati.
Akhirnya, ia kembali memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak mau melepaskannya, hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan mampu menghidupkan kembali orang mati.
Setelah menerima jimat itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan di atas air.
“Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone heran.
“Aku memakai jimat kalung,” jawab babi itu.
“Maukah kamu memberikan jimat itu kepadaku?” pinta La Sirimbone.
Babi itu pun memberikan jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.
“Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak gunakan menangkap ikan di sungai?” tanya La Sirimbone.
“Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu.
Oleh karena tertarik, La Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya dengan suka rela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.
Pada hari berikutnya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan menyusuri hutan dan lembah.
Saat melewati sebuah perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berpikir bahwa penghuni rumah itu ada di dalam.  
“Permisi! Apakah ada orang di dalam?” tanya La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu.
Alangkah terkejutnya La Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah. Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah.
“Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone.
“Boleh. Silahkan duduk dulu!” seru gadis itu seraya masuk ke dapur.
Tidak berapa lama, gadis itu kembali sambil membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.
“Terima kasih, gadis cantik!  ucap La Sirimbone.
“O, iya! Perkenalkan, nama saya La Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?” tanya La Sirimbone.
“Aku Wa Ngkurorio,” jawab gadis itu dengan suara lirih.
“Kenapa kamu tampak sedih dan murung seperti itu?” tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.
“Iya. Saya memang sedih, karena ajalku sebentar lagi tiba,” jawab gadis itu.
“Apa maksdumu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone penasaran.
“Saya sekarang sedang menunggu giliran dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah, dan ibu saya,” jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.
“Sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga itu,” tambah gadis itu.
“Kamu jangan khawatir, ular naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan senjata pusaka ini,” kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari balik bajunya.
“Tapi, ular naga itu sangat besar dan ganas. Walaupun seluruh penduduk di sini menghadapinya tidak akan sanggup mengalahkannya,” ucap Wa Ngkurorio dengan perasaan cemas.
“Sudahlah, Wa Ngkurorio! Jangan takut, saya akan melumpuhkannya dengan keris pusakaku yang sakti ini,” jawab La Sirimbone menenangkan hati gadis itu.
Menjelang sore hari, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio. Mengetahui hal itu, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan, sedangkan La Sirimbone tenang-tenang saja. Saat ular naga itu hendak masuk ke dalam rumah itu, La Sirimbone segera berbisik kepada keris pusakanya. Dengan secepat kilat, keris itu meluncur masuk ke dalam perut ular naga itu. Dalam sekejap, ular naga itu pun mati seketika, karena seluruh isi perutnya dikoyak-koyak oleh keris itu.
Wa Ngkurorio takjub melihat keampuhan keris pusaka La Sirimbone. Ia pun berterima kasih kepada La Sirimbone karena telah menyelamatkan nyawanya. Tidak berapa lama, para penduduk pun berdatangan ingin melihat ular naga yang sudah tergeletak di tanah itu. Mereka sangat gembira, karena kampung mereka telah aman dari ancaman ular naga pemakan manusia itu.
Untuk merayakan kegembiraan itu, mereka mengadakan pesta besar-besaran, dan untuk membalas jasa La Sirimbone, penduduk kampung itu menikahkan La Sirimbone dengan Wa Ngkurorio. Akhirnya, La Sirimbone tinggal di kampung itu dan hidup berbahagia bersama Wa Ngkurorio.
* * *
Demikian cerita La Sirimbone dari daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa seorang ayah tiri tidak seharusnya membenci anak tirinya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh La Patamba yang tidak menyayangi La Sirimbone. Dalam kehidupan orang Melayu, kasih sayang harus diberikan kepada semua orang, tanpa harus membeda-bedakan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda buah hati bunda,
kasih sayang jangan membilang bangsa
sayang jangan berbeda-beda
itulah sifat orang ternama

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang teraniaya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya dan Tuhan akan selalu melindunginya. Contohnya La Sirimbone yang dibuang di tengah hutan, selalu mendapatkan pertolongan sehingga ia dapat selamat dan mendapatkan kebahagiaan, yakni menikah dengan seorang gadis cantik jelita.