Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Tengah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Tengah. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sesentola Dan Burung Garuda

Sesentola adalah seorang lelaki muda yang mempunyai nafsu makan yang sangat besar. Oleh karena orangtuanya tidak mampu lagi menghidupinya, Sesentola pun pergi dari kampungnya. Namun, negeri yang ditujunya ternyata sedang tertimpa musibah. Penduduk negeri itu hanya tinggal satu orang, yang lainnya telah mati akibat diserang oleh garuda raksasa. Apa yang akan dilakukan selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Sesentola dan Burung Garuda berikut ini.
Dahulu, di daerah Sulawesi Tengah, hiduplah sepasang suami istri. Sudah puluhan tahun mereka menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Meskipun demikian, mereka tidak pernah berputus asa. Setiap malam mereka berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai anak, walau bagaimana pun keadaannya. Hingga pada suatu ketika, sang istri pun hamil. 

“Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doa kami. Jika anak itu telah lahir, hamba berjanji akan merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang,” ucap sang suami.

Beberapa bulan kemudian, sang istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Sesentola. Sejak dilahirkan, terlihat ada tanda-tanda keajaiban pada diri anak itu. Ia amat kuat minum susu. Terkadang, ia menangis karena merasa kurang kenyang. Sang ibu pun mulai kebingungan melihat keadaan anaknya.

“Pak, anak kita masih lapar padahal air susuku sudah habis. Apa yang harus kita lakukan?” tanya sang istri bingung.

“Sebaiknya kita beri tambahan makanan saja,” ujar suaminya.

“Tapi bukankah bisa membahayakan pencernaannya jika anak kita yang masih bayi ini diberi makanan orang dewasa?” tanya sang istri.

“Kita harus bagaimana lagi, Bu? Jika tidak diberi makanan tambahan, ia pasti akan menangis terus,” ujar sang suami.

Suami-istri itu pun memutuskan untuk memberi nasi bubur kepada anak mereka. Rupanya, sepiring nasi bubur tidak cukup mengenyangkan Sesentola. Sekali makan, Sesentola yang masih bayi itu bisa menghabiskan 2-3 piring nasi. Demikian seterusnya, semakin hari ia semakin kuat makan. Namun, di balik itu, Sesentola memiliki kekuatan luar biasa yang tidak diketahui oleh orangtuanya. 

Beberapa tahun kemudian, Sesentola tumbuh menjadi remaja. Kebiasaan makan banyak pun semakin meningkat. Sekali makan ia bisa menghabiskan satu bakul nasi. Hal itulah yang membuat sang bapak mulai kesal karena merasa sudah tidak mampu lagi memberi makan anaknya. 

“Bu, aku sudah tidak kuat lagi dengan keadaan ini. Anak kita semakin banyak makannya. Lama-lama kita sendiri bisa mati kelaparan,” keluh sang suami.

Sampai suatu ketika, sang ayah benar-benar sudah kuat lagi menghadapi keadaan tersebut. Ia pun berniat untuk melenyapkan nyawa anak kandungnya sendiri. Sang istri pun tidak dapat berbuat apa-apa dengan keputusan suaminya. 

Suatu hari, sang ayah mengajak Sesentola untuk menjala ikan di sungai yang banyak buayanya. Sesentola pun menuruti ajakan ayahnya. Setiba di sungai, sang bapak segera melemparkan jalannya ke tengah sungai. Setelah itu, ia memerintahkan Sesentola untuk mengambil jala tersebut.

“Sesentola, cepat ambil jala itu! Pasti sudah banyak ikan yang tertangkap di dalamnya!” perintah sang bapak.

“Baik, Pak,” jawab Sesentola.

Begitu Sesentola menyelam ke dasar sungai untuk mengangkat jala itu, sang bapak cepat-cepat meninggalkannya. Ia mengira anaknya itu pasti sudah mati dimakan buaya. Sesampai di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada istrinya.

“Bu, Sesentola pasti sudah mati dimakan buaya. Kita tidak akan kelaparan lagi,” kata sang suami.

Baru saja sang suami berkata demikian, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan rumah.

“Bapak, aku pulang! Lihatlah yang aku bawa ini!” 

Pasangan suami-istri itu tersentak kaget.
“Pak, bukankah itu suara anak kita, Sesentalo?” tanya sang istri.

Dengan perasaan cemas, sang suami segera keluar. Betapa terkejutnya karena ia mendapati Sesentola sedang memanggul seekor buaya besar.

“Lihat, Pak! Aku berhasil menangkap seekor buaya besar,” kata Sesentola.

Sang bapak pun terdiam, tidak percaya dengan apa yang saksikannya. Untung ia cepat tersadar sehingga niat jahatnya tidak diketahui oleh Sesentola. Karena rencananya gagal, ia segera mencari cara lain untuk melenyapkan nyawa anaknya. Ia teringat pada pohon beringin besar di tepi sungai. Maka, pada keesokan harinya ia pun mengajak Sesentola untuk pergi menebang pohon beringin itu. 

“Sesentola, ayo bantu Bapak menebang pohon beringin yang ada di tepi sungai itu,” ajak sang bapak. 

“Baik, Pak,” jawab Sesentola. 

Bapak dan anak itu pun berangkat ke tepi sungai. Sang bapak sengaja mengarahkan rebahnya pohon itu ke tempat Sesentola berdiri. Begitu pohon beringin itu roboh, tak ayal tubuh Sesentola pun tertimpa pohon. 

“Aduuhhh…!” jerit Sesentola.

Setelah itu, Sesentola tidak lagi bersuara. Sang bapak pun mengira anaknya telah mati. Maka, cepat-cepatlah ia kembali ke rumahnya dan menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Namun, tiba-tiba terdengar suara Sesentola.

“Bapak, aku pulang!” teriak Sesentola di depan rumah.

Alangkah terkejutnya sang bapak saat melihat anaknya sedang memikul pohon beringin yang ditebangnya tadi. Ia semakin tidak percaya melihat kekuatan anaknya itu. Sang istri langsung meneteskan air mata. Ia merasa kasihan melihat nasib anak semata wayangnya itu atas perlakuan sang suami terhadapnya. 

Sementara itu, Sesentola yang telah menyadari niat jahat sang bapak mulai kesal. Meski demikian, ia tidak ingin melawan bapaknya. Ia merasa bahwa lebih baik pergi daripada terus membebani kedua orangtuanya. 

“Jika Bapak dan Ibu sudah tidak mampu lagi menghidupiku, lebih baik aku pergi saja. Aku akan mencari penghidupan sendiri,” kata Sesentola.

“Baiklah, Anakku. Bawalah benda pusaka ini,” ujar sang ibu seraya menyerahkan panah bermata tiga dan cincin pusaka.

“Ingatlah, saat kamu hendak menggunakan panah ini harus disertai menyebut bagian tubuh musuh yang hendak kamu bidik. Jika kamu menyebut mata, anak panah itu akan mengenai mata musuhmu. Kalau engkau sakit, rendamlah cincin ini ke dalam air. Kemudian teteskanlah air itu di bagian tubuhmu yang sakit, niscaya kamu akan sembuh,” jelas ibu Sesentola.

“Terima kasih, Bu. Jagalah diri kalian baik-baik,” kata Sesentola.

Usai berpamitan kepada ibu dan bapaknya, Sesentola pun pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia berjalan tanpa tentu arah hingga akhirnya sampai di sebuah ibukota kerajaan. Namun anehnya, kota itu seperti tidak berpenghuni. 

“Hai, kenapa kota ini sepi sekali? Pergi ke mana penduduknya?” gumam Sesentola dengan heran. 

Setelah Sesentola mengelilingi kota itu, tampaklah sebuah rumah megah. Ia berpikir bahwa rumah itu pastilah istana raja. Dengan langkah perlahan-lahan, Sesentola memasuki istana itu. Namun, tak seorang pun yang terlihat. Hanya ada sebuah gendang rasasa di dalamnya. Karena penasaran, Sesentola pun berniat memukul gendang itu. Begitu ia hendak memukulnya, tiba-tiba ada suara wanita yang menegurnya.

“Hai, jangan kamu pukul gendang ini! Aku ada di dalamnya,” seru suara itu, “Ayo cepat sembunyi!”

Sesentola pun menuruti seruan itu. Begitu masuk ke dalam gendang itu, ia mendapati seorang gadis cantik. 

“Hai, siapa kamu dan kenapa bersembunyi di sini?” tanya Sesentola heran.

“Sssstt…! Jangan keras-keras, nanti garuda itu datang menyerang lagi,” ujar perempuan itu.
“Garuda apa maksudmu?” tanya Sesentola bertanya dengan pelan.  

 “Namaku Lemontonda. Tinggal akulah satu-satunya yang masih hidup di negeri ini. Penduduk lainnya telah mati diserang burung garuda yang sangat ganas,” ungkap Lemontonda. 

Mendengar cerita itu, Sesentola pun berniat untuk membinasakan garuda itu.  

“Jangan takut, Lemontonda! Aku akan memberi pelajaran garuda itu,” ujar Sesentola.

“Jangan! Garuda itu sangat sakti. Lagipula ia tidak sendiri, dan masih ada Raja Garuda bernama Vandebulava yang lebih sakti,” kata Lemontonda.

“Tenang saja. Aku akan menghadapi mereka dengan senjata pusakaku ini,” kata Sesentola sambil menunjukkan senjatanya.

Beberapa saat kemudian, seekor garuda datang dan terbang berkeliling di atas istana. Garuda itu mengetahui keberadaan Sesentola dan gadis itu. Dengan gagah berani, Sesentola segera keluar lalu membidik mata garuda itu dengan panahnya. Begitu terlepas dari busurnya, anak panah itu melesat dengan cepat dan tepat mengenai mata garuda itu hingga tembus. Garuda itu pun jatuh dan tewas seketika.

Mengetahui kabar tersebut, Raja Garuda menjadi murka. Ia segera memerintahkan seekor garuda bernama Vandease untuk menangkap Sesentola.

“Tangkap dan bawa anak muda itu ke mari! Jika tidak mau, habisi saja dia!” seru Raja Garuda.
“Baik, Tuan!” jawab Vandease.

Vandease pun menemukan Sesentola dan memintanya untuk menyerahkan diri, namun pemuda sakti itu tidak mau. Sesentola kemudian menarik busurnya lalu membidik kening garuda itu. Anak panah pun melesat dan tepat mengenai kening garuda itu hingga tewas seketika. Melihat hal itu, Lemontonda berpesan kepada Sesentola.

“Berhati-hatilah, Sesentola! Raja Garuda itu sebentar lagi datang. Ia sangat sakti,” ujar Lemontonda. 

“Baiklah, tolong siapkan segelas air untuk merendam cincin ini!” pinta Sesentola seraya menyerahkan cincinnya kepada Lemontonda, “Jika aku pingsan, tolong teteskan air ini ke mataku.”

Tak berapa lama kemudian, Vandebulava pun datang. Sesentola segera membidik leher garuda itu. Anak panahnya kemudian melesat menembus leher Raja Garuda. Karena kesaktiannya, sebelum jatuh, Raja Garuda sempat menyambar Sesentola hingga pingsan. 

Melihat Sesentola pingsan, Lemontonda segera meneteskan air rendaman cincin pusaka ke mata pemuda itu. Beberapa saat kemudian, Sesentola pun siuman. Dengan tewasnya Raja Garuda, negeri itu kembali aman. Sesentola pun mengajak Lemontonda untuk menikah. Gadis itu bersedia tapi dengan satu syarat.

“Aku bersedia menikah asalkan kamu mampu menghidupkan kembali orangtuaku dan seluruh rakyat negeri ini,” pinta Lemotonda.

Sesentola pun menyanggupi syarat itu. Konon, dengan kesaktiannya, Sesentola berhasil menghidupkan kembali seluruh penduduk negeri itu. Ia pun menikah dengan Lemontonda dan diangkat menjadi raja di negeri itu. Selanjutnya, Sesentola memboyong orangtuanya ke istana. Mereka pun hidup berbahagia. 

* * *

Demikian cerita Sesentola dan Burung Garuda dari Sulawesi Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang pemberani dan suka menolong seperti Sesentola pada akhirnya akan mendapat kebahagiaan. Pelajaran lainnya adalah bahwa betapapun usaha seeorang ingin melenyapkan nyawa orang lain, orang itu tidak akan mati jika Tuhan belum menghendaki.

Rabu, 04 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Berdirinya Kerajaan Mori

Kerajaan Mori adalah salah satu kerajaan di Sulawesi Tengah yang berkembang pada sekitar abad ke-16 Masehi. Wilayah kerajaan ini sekarang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Kapan dan siapa pendiri kerajaan ini? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Berdirinya Kerjaaan Mori.
Dahulu, Tanah Mori dihuni oleh beragam suku. Setiap suku memiliki mokole (organisasi pemerintahan) yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang bergelar Mokolempalili. Sebagian dari mokole tersebut ada yang memiliki wilayah yang luas dan pengaruhnya terhadap mokole yang lain pun lebih besar. Suku-suku besar tersebut di antaranya adalah Suku Moleta, Petasia, Lembo, Murungkuni, Tovatu, dan Musimbatu. Meskipun demikian, mokole suku yang lebih kecil tidak mau tunduk kepada mokole yang lebih besar sehingga sering terjadi peperangan di antara mereka. Akibatnya, banyak korban jiwa yang berjatuhan dan kehidupan masyarakat pun tidak tenang.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, para Mokolempalili dari mokole besar mengadakan musyarawah untuk mencari seorang raja yang dapat mempersatukan mereka.
“Jika keadaannya terus begini, warga tidak akan pernah hidup tenang. Kita harus mencari jalan keluar,” ujar salah satu Mokolempalili.
“Saya setuju. Tapi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Mokolempalili yang kedua.
“Sebaiknya permasalahan ini kita sampaikan kepada Ratu Palopo. Barangkali dia dapat membantu,” ujar Mokolempalili yang ketiga.
Akhirnya, para Mokolempalili bersepakat untuk menghadap Ratu Palopo, yakni raja yang memerintah di Kerajaan Luwuk, Sulawesi Selatan. Ditunjuklah dua Mokolempalili sebagai utusan untuk bertemu Ratu Palopo. Kedua Mokolempalili itu bernama Tande Rumba-Rumba dan Rarahake.
Setiba di Negeri Palopo, mereka pun langsung menghadap Ratu Palopo.
“Ampun, Baginda Ratu. Maksud kedatangan hamba ke mari adalah untuk meminta bantuan,” lapor Tande Rumba-Rumba.
“Apa yang bisa aku bantu untuk kalian?” tanya sang Ratu.
Utusan Mokolempalili dari Tanah Mori itu pun menceritakan bahwa negeri mereka memerlukan seorang raja yang mampu mempersatukan seluruh mokole yang kerap berselisih.
“Baiklah, kalian boleh membawa saudaraku, Sungkawang, Sungkawawo, dan Pileweti ke Tanah Mori. Sekiranya berkenan, angkatlah mereka menjadi raja di negeri kalian,” ujar Ratu Palopo.
“Terima kasih, Baginda. Kami berharap semoga salah seorang dari saudara Baginda dapat mempersatukan para mokole sehingga perdamaian akan terwujud di Tanah Mori,” sahut Rarahake dengan perasaan gembira.
Ratu Palopo pun meminta ketiga saudaranya untuk berangkat bersama-sama kedua utusan Mokolempalili itu ke Tanah Mori. Ketika mereka sedang dalam perjalanan melewati siran tanah atau tanah perbatasan antara Negeri Palopo dan Tanah Mori, tepatnya Desa Meiki, tiba-tiba mereka mendengar suara burung.
“Meiki-meiko… meiko-meiki…!!!”
“Hai, tahukah kalian arti kicauan burung itu?” tanya Tande Rumba-Rumba.
“Iya, kami tahu. Kicauan burung itu menyebut nama tempat ini,” jawab Rarahaka.
Demikian pula, ketiga saudara Ratu Palopo. Mereka juga mengartikan bahwa tanah itu bernama Meiki dan baik untuk ditempati oleh Mokolempilili. Akhirnya, rombongan itu bersepakat menunjuk Sungkawang untuk menjadi karua (gelar sebagai Mokolempalili) di daerah yang kini dikenal dengan nama Desa Meiki itu.
Sementara itu, Sungkawawo dan Pilewiti kembali meneruskan perjalanan bersama Tande Rumba-Rumba dan Rarahake. Setiba di Tanah Mata Wundala, kedua Mokolempilili tersebut kemudian bersepakat menunjuk Sungkawawo menjadi Raja Mori yang berkedudukan di daerah itu.
Sejak itulah, Sangkawawo menjadi raja pertama di Kerajaan Mori. Ia memimpin kerajaan itu dengan arif dan bijaksana. Ia kemudian mengatur pembagian wilayah pemeritahan tiap-tiap mokole yang dikepalai oleh seorang Cara Kolempalili. Cara Kolempalili ini bertugas untuk mengatur penyelesaian upeti atau pajak yang akan disetorkan kepada Raja Mori setiap tahunnya.
Di bawah kepemimpinan Sangkawawo, rakyat Mori yang terdiri dari berbagai suku tersebut senantiasa hidup aman dan sejahtera. Untuk meningkatkan keamanan, ia melantik seorang Mokolempalili yang bergelar Bonto, yaitu bertugas sebagai penghubung antara raja dengan para Mokolempalili di Tanah Mori. 
Demikian, Sangkawawo memimpin Kerajaan Mori hingga akhir hayatnya. Kedudukan sebagai raja kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Marunduh. Konon, Raja Marunduh memimpin Kerajaan Mori hingga penjajah Belanda masuk ke daerah Poso hingga wilayah Tanah Mori.
Sementara itu Pilewiti, saudara Sangkawawo, kembali melanjutkan perjalanan seorang diri. Setelah berhari-hari menempuh perjalan yang cukup jauh, ia pun berhenti di suatu tempat karena merasa sangat lelah.
Yaku tojomo (saya sudah lelah),” gumamnya.
Rupanya, Pilewiti sudah tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menetap dan menjadi raja di daerah itu. Daerah itu kemudian ia namakan Tanah Tojo, yaitu diambil dari kata tojomo. Tanah Tojo yang berada di pesisir timur Kabupaten Poso itu kini telah menjadi salah satu nama kecamatan, yakni Kecamatan Tojo.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Berdirinya Kerajaan Mori dari daerah Morowali, Sulawesi Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa perdamaian akan membawa ketenteraman. Itulah yang membuat para Mokolempalili untuk mencari seorang raja agar para mokole tidak lagi saling bermusuhan antara satu dengan yang lainnya.

Jumat, 24 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Pohon Sagu Dan Palem

Pohon sagu dan palem merupakan jenis tanaman dataran rendah tropik yang banyak ditemukan tumbuh liar di kawasan hutan Dolo, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, asal usul kedua jenis pohon ini berasal dari tubuh manusia atau penjelmaan manusia. Hal ini dikisahkan dalam sebuah legenda yang hingga kini masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat setempat. Bagaimana manusia dapat menjelma menjadi pohon sagu dan palem? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Usul Pohon Sagu dan Palem berikut ini.



Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri bersama seorang anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang terletak di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang tersedia di sekitar mereka.
Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti itu. Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan ditanami dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu hari, ia pun menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.
“Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini terus,” ungkap sang Suami.
Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa bahwa suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.
“Bang, kita mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan untuk berkebun?” tanya sang Istri.
“Tenang, Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan,” jawab sang Suami.
“Baiklah kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan Dolo. Setelah beberapa lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu di rumah sambil menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah agar ular tidak mengganggu mereka.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buah-buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya dengan penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada suaminya.
“Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan?”
“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang Suami.
Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi lebih baik suatu hari kelak.
“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.
“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya. Lalu, kapan Abang akan memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.
“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang Suami dengan penuh keyakinan.
Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat setelah hampir seharian bekerja.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri mengharapkan agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.
“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu kepada anaknya.
“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.
“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya hari itu.
“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?”
“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami.
Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan. Setiba di sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Begitupula jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu menjawab “belum selesai”.
Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon. Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak terwujud.
“Bang! Mana lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.
Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya. Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang.
Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Sang Istri yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke dalam sebuah telaga.
Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah hutan.
“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik tangan anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari mendekati telaga.
“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.
“Ibu..., Ibu.... Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.
“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia kembali,” bujuk sang Ayah.
“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.
Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun, sang Anak tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti ibunya.
Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua perbuatannya.
“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.
Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Pohon Sagu dan Palem dari daerah Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk sifat malas bekerja dan sifat kasar langgar.
Pertama, akibat buruk dari sifat malas bekerja. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku sang Suami yang suka menunda-nunda melakukan pekerjaannya. Akibatnya, dia dan keluarganya senantiasa hidup miskin. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
berkayuh berat pengayuh,
berladang berat parang

bekerja mengeluh,
makan berpeluh

Kedua, akibat buruk sifat kasar langgar. Sifat ini tercermin pula pada sikap dan perilaku sang Suami yang berlaku kasar terhadap istrinya. Akibat perbuatannya tersebut, istri dan anaknya bahkan dirinya sendiri menjelma menjadi pohon sagu dan palem. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda kasar langgar,
lidah tajam mulut pun kasar

binasa diri kasar langgar,
            binasa badan kurang ajar

Kamis, 23 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Batu Bagga

Tolitoli adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Di kabupaten yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah berkualitas ini terdapat sebuah batu yang melegenda di kalangan masyarakat setempat. Konon, batu tersebut merupakan jelmaan sebuah perahu bagga (perahu layar), sehingga disebut batu bagga. Peristiwa apakah yang telah menyebabkan perahu bagga itu menjelma menjadi batu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Batu Bagga berikut ini. 



Konon, di sebuah kampung di daerah pesisir Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah seorang duda bernama Intobu. Ia tinggal di sebuah gubuk bersama seorang putranya yang bernama Impalak. Mereka hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke laut untuk mencari ikan.
Pada suatu malam, ketika Intobu bersama anaknya hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba angin bertiup kencang dan hujan deras. Meskipun demikian, dua orang bapak dan anak itu tetap memutuskan untuk melaut. Dalam perjalanan menuju ke laut, Intobu menasehati Impalak.
‘Anakku! Ayah berharap jangan sampai cuaca buruk seperti ini membuatmu patah semangat untuk pergi melaut, karena hanya pekerjaan inilah yang menjadi tumpuan hidup kita.”
“Iya, Ayah! Saya mengerti,” jawab Impalak sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sesampai di pantai, mereka segera menaiki sampan yang ditambatkan di tepi pantai. Dengan sekuat tenaga mereka mendayung sampan menyusuri pantai. Mereka tidak berani sampai ke tengah laut, karena cuaca sangat buruk. Mereka hanya memancing ikan di sekitar pantai. Tidak terasa, malam semakin larut. Mereka pun memutuskan untuk kembali ke gubuk.
Setiba di gubuk, beberapa ekor ikan hasil tangkapannya digoreng untuk lauk dan selebihnya mereka jual pada keesokan harinya. Ikan-ikan tersebut mereka jajakan dari rumah ke rumah sampai habis terjual. Setelah semuanya laku terjual, uang hasil penjualan itu mereka belanjakan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Begitulah pekerjaan mereka setiap hari yang sudah bertahun-tahun jalani.
Rupanya pekerjaan itu membuat Impalak menjadi jenuh. Ia ingin pergi merantau ke negeri lain untuk merubah nasib. Sejak itu, ia selalu murung dan merenung. Ia tidak berani menyampaikan keinginan itu kepada ayahnya. Selain itu, ia juga belum tega meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun tekadnya ingin pergi merantau begitu kuat, ia tetap berusaha memendamnya dalam hati.
Pada suatu hari, ayahnya sedang sibuk memperbaiki tali kailnya yang putus. Sementara, Impalak yang duduk di sampingnya hanya duduk termenung.
“Hei, Impalak! Kenapa wajahmu murung seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” tanya Intobu kepada anaknya.
“Tidak apa-apa, Ayah!” jawab Impalak dengan nada lemah.
“Bicaralah, Nak! Tidak usah kamu pendam dalam hati!” desak ayahnya.
Oleh karena terus didesak, akhirnya Impalak berterus terang kepada ayahnya.
“Maafkan saya, Ayah! Sebenarnya saya sudah jenuh menjadi nelayan. Walaupun setiap hari kita ke laut, tapi hasil yang kita peroleh hanya cukup untuk dimakan,” keluh Impalak kepada ayahnya.
“Jika Ayah mengizinkan, Impalak ingin pergi merantau ke negeri lain untuk mengubah nasib kita,” sambung Impalak.
Intobu terkejut mendengar permintaan anak semata wayangnya itu.
“Bagaimana dengan nasib Ayahmu ini, Nak? Umur Ayah sudah semakin tua. Jika kamu pergi, tidak ada lagi yang membantu Ayah untuk mendayung sampan,” kata Intobu mengiba kepada anaknya.
“Saya mengerti, Ayah! Tapi, saya sekarang sudah dewasa. Sudah saatnya saya membahagiakan Ayah. Jika Ayah pergi melaut, sebaiknya tidak perlu pergi jauh-jauh. Biarlah saya yang bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan demi masa depan saya,” jelas Impalak meyakinkan ayahnya.
Mendengar penjelasan anaknya itu, Intobu terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan anaknya itu memang benar. Jika hanya menjadi nelayan, kehidupan anaknya di masa depan tidak akan makmur.
“Baiklah, Nak! Meskipun dengan berat hati, Ayah mengizinkanmu pergi merantau. Tetapi, kamu jangan lupakan Ayah dan cepatlah kembali! Ayah khawatir tidak akan bertemu kamu lagi, apalagi umur Ayah sudah semakin tua,” kata Intobu dengan perasaan cemas.
“Baik, Ayah! Saya akan selalu mengingat pesan Ayah,” jawab Impalak dengan perasaan gembira.
Setelah mendapat izin dari ayahnya, Impalak segera ke pelabuhan untuk melihat apakah ada perahu bagga yang sedang berlabuh. Sesampai di pelabuhan, tampaklah sebuah perahu bagga sedang menurunkan muatan. Perahu itulah yang rencananya akan ditumpangi Impalak pergi merantau. Ia pun segera menemui pemilik perahu bagga itu.
“Permisi, Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama Tuan?” tanya Impalak tanpa rasa segan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa hendak ikut berlayar bersamaku?” tanya pemilik perahu.
“Saya Impalak, Tuan! Saya ingin pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga saya,” jawab Impalak.
“Memang apa pekerjaannya orang tuamu?” tanya pemilik perahu.
“Ayah saya seorang nelayan biasa, sedangkan ibu saya sudah meninggal saat saya masih kecil. Setiap hari saya membantu ayah memancing ikan di laut. Akan tetapi, hasilnya hanya cukup untuk di makan sehari-hari. Makanya saya ingin pergi merantau untuk mencari nafkah yang lebih baik,” jelas Impalak.
Mendengar penjelasan itu, pemilik perahu itu pun tersentuh hatinya ingin menolong Impalak dan bersedia membawanya ikut berlayar.
“Kamu memang anak yang berbakti, Impalak! Besok pagi kita akan berlayar bersama. Tapi, apakah kamu sudah meminta izin kepada ayahmu?” tanya pemilik perahu.
“Saya sudah mendapat izin dari ayah saya, Tuan!” jawab Impalak.
“Baiklah, kalau begitu! Saya tunggu kamu besok pagi,” kata pemilik perahu itu.
“Terima kasih, Tuan!” ucap Impalak seraya berpamitan pulang.
Sesampai di gubuk, Impalak segera menyampaikan berita gembira itu kepada Ayahnya.
“Ayah, saya sudah menghadap kepada pemilik perahu bagga. Dia bersedia mengajak saya berlayar bersamanya,” lapor Impalak kepada ayahnya dengan perasaan gembira.
“Ya, syukurlah kalau begitu, Nak! Nanti malam siapkanlah segala keperluan yang akan kamu bawa!” seru ayahnya sambil tersenyum pilu.
Keesokan paginya, Impalak sudah siap untuk berangkat. Ia diantar oleh ayahnya ke pelabuhan. Sesampai di pelabuhan, perahu bagga yang akan ditumpangi tidak lama lagi akan berangkat. Tampak si pemilik perahu berdiri di atas anjungan berteriak memanggil Impalak.
“Impalak...! Ayo cepat...! Perahunya sebentar lagi berangkat...”
“Baik, Tuan!” jawab Impalak seraya berpamitan kepada ayahnya.
“Ayah! Saya harus berangkat sekarang, jaga diri Ayah baik-baik!”
“Iya, Nak! Jangan lupakan Ayah, Nak!”
“Baik, Ayah! Saya akan selalu ingat pesan Ayah,” kata Impalak sambil mencium tangan ayahnya.
Suasana haru pun menyelimuti hati ayah dan anak itu. Tidak terasa, Impalak meneteskan air mata. Demikian pula sang Ayah, air matanya berlinang tidak kuat menahan rasa haru.  
“Impalak...! Ayo kita berangkat!” terdengar lagi teriakan pemilik perahu memanggil Impalak.
“Ayah, saya berangkat dulu,” jawab Impalak kemudian bergegas menuju ke perahu bagga.
“Kalau sudah berhasil cepat pulang ya, Nak!” teriak sang Ayah sambil melayangkan pandangannya ke arah Impalak yang sedang berlari menuju ke perahu bagga.
Tidak berapa lama, Impalak sudah tampak berdiri di anjungan bersama pemilik perahu sambil melambaikan tangan. Sang Ayah pun membalas lambaian tangan anaknya sambil meneteskan air mata. Beberapa saat kemudian, berangkatlah perahu bagga itu. Setelah perahu bagga menghilang dari pandangannya, Intobu pun bergegas pulang ke gubuknya. Sejak kepergian anaknya, Intobu menjalani hari-harinya seorang diri sebagai nelayan.
Tidak terasa, sudah beberapa tahun Impalak merantau di negeri orang. Namun, ia tidak pernah memberi kabar kepada ayahnya. Hal itulah yang membuat ayahnya selalu gelisah menanti kedatangannya. Setiap ada perahu bagga yang berlabuh di pelabuhan, sang Ayah selalu berharap anak kesayangannya datang membawa rezeki, namun harapan itu tidak pernah terwujud.
Pada suatu hari, ayah Impalak mencari ikan di sekitar pelabuhan dengan menggunakan sampan. Tiba-tiba dari kejauhan, ia melihat sebuah perahu bagga hendak berlabuh di pelabuhan.
“Kenapa jantungku berdebar-debar begini? Jangan-jangan anakku ada di perahu bagga itu? Ah, tidak mungkin. Impalak benar-benar sudah melupakan aku,” ucap ayah Impalak berusaha menepis pikiran-pikiran itu.
Semakin lama perahu bagga itu semakin dekat dan semakin tampak jelas. Jantung ayah Impalak pun berdetak semakin kencang. Ketika perahu bagga itu melintas tidak jauh dari tempatnya memancing ikan, tiba-tiba ia melihat soeorang pemuda gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di haluan perahu bagga. Keduanya adalah Impalak dan istrinya. Ternyata, selama berada di rantauan Impalak berhasil menjadi orang kaya dan beristri wanita cantik.
Oleh karena yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, tiba-tiba sang Ayah berteriak.
“Impalaaak....Anakku! Ini aku ayahmu!”
Impalak tahu bahwa lelaki tua yang memanggilnya itu adalah ayahnya. Namun karena malu kepada istrinya, ia berpura-pura tidak mendengar teriakan itu.
“Bang! Sepertinya orang itu memanggil nama Abang. Apakah dia itu ayah Abang?” tanya istrinya setelah mendengar teriakan lelaki tua itu.
“Bukan! Abang tidak mempunyai ayah sejelek lelaki tua itu,” jawab Impalak dengan kesal sambil memalingkan wajahnya.
“Tapi, bukankah orang tua itu mengaku kalau Abang adalah anaknya?” tanya istri Impalak.
“Dia itu hanya mengada-ada,” jawab Impalak dengan ketus.
“Sudahlah, Dik! Tidak usah hiraukan orang gila itu!” tambah Impalak.
Mendengar ucapan itu, istri Impalak pun langsung diam. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang lelaki tua itu. Ia berpikir, barangkali suaminya benar bahwa lelaki tua itu adalah orang gila yang mengaku sebagai ayah dari suaminya.
Sementara ayah Impalak dengan sekuat tenaga terus mendayung sampannya mengejar perahu bagga yang ditumpangi Impalak. Ketika akan sampai di pelabuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Sampan yang ditumpangi ayah Impalak terombang-ambing oleh gelombang besar. Ayah Impalak tidak sanggup lagi mengendalikan sampannya.
“Toloonng... ! Tolooong... aku Impalak!” teriak ayah Impalak meminta tolong.
Namun, malang nasibnya bagi lelaki tua itu. Impalak yang berada di atas perahu bagga itu justru tertawa terbahak-bahak melihatnya diombang-ambing gelombang laut.
“Ha..ha..ha...!!! Rasakanlah itu orang gila!”
Walaupun ayah Impalak berkali-kali berteriak meminta tolong, Impalak tetap tidak memperdulikannya. Perahu yang ditumpangi Impalak justru semakin menjauhinya. Hati lelaki tua itu hancur karena diabaikan oleh anak kandungnya sendiri. Ia sudah tidak tahan lagi melihat perilaku anaknya yang sudah tidak menaruh belas kasihan lagi kepadanya. Dengan mengangkat kedua tangannya, lelaki tua itu berdoa kepada Tuhan.
“Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yang durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yang ditumpanginya itu menjadi batu!”
Beberapa saat kemudian, angin bertiup dengan kencang, ombak laut bergulung-gulung menghantam perahu Impalak sehingga terdampar di pantai. Seketika itu pula, perahu bagga dan Impalak menjelma menjadi batu. Oleh masyarakat setempat batu itu kemudian diberi nama Batu Bagga.
* * *
Demikianlah cerita Legenda Batu Bagga dari Sulawesi Tengah, Indonesia. Cerita legenda di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah akibat yang ditimbulkan dari sifat durhaka terhadap kedua orang tua. Sifat ini tercermin pada perilaku Impalak yang tidak mau mengakui ayah kandungnya yang miskin itu. Akibatnya, ia pun dikutuk oleh Tuhan menjadi batu. Dari sini dapat kita pahami bahwa harta benda dapat membutakan hati seseorang, sehingga orang tua sendiri pun dapat diabaikan. Pelajaran lain yang dapat diambil dari cerita di atas adalah bahwa doa orang tua yang disia-siakan akan dikabulkan oleh Tuhan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau ibu bapak engkau abaikan,
disitulah tempat murka Tuhan

siapa durhaka ke ibu bapak,
celaka menimpa tertimpa balak