10. Derita dalam Pengharapan (Lanjutan Novel Layla Majnun)
Saat taman Layla tumbuh bermekaran di musim semi,
Majnun terdiam di sana, menderita.
Bagaimana Layla dapat tersenyum dan bersenda gurau,
Tatkala ia menguji cinta Majnun?
Di taman, pepohonan tertutup oleh bunga-bunga yang bermekaran, sementara mawar-mawar kuning dan tulip-tulip merah bergerak- gerak bagaikan bendera ditiup angin. Bunga violet menunduk dan bergoyang pada batangnya yang panjang dan berlekuk, seolah berusaha untuk saling menyembunyikan diri satu sama lain. Mawar bersemak menunjukkan duri-durinya ke angkasa, bersiap untuk perang, sementara bunga lili air sedang beristirahat dari segala keributan, menjatuhkan tamengnya pada danau yang sejernih kristal. Bunga hyacinth membuka matanya, sementara semak belukar menyisir helaian daunnya. Bunga-bunga yang bermekaran pada pohon delima merindukan buah mereka sendiri, sementara bunga bakung memandang dengan tergesa-gesa, seperti seorang pecinta yang terbangun dari mimpi buruknya. Pohon Judas berdiri dengan gagah dan bangga, nadi-nadi mereka penuh dengan getah yang mengental karena sinar matahari. Mawar liar menyirami daun-daunnya di air mancur, sementara bunga iris menaikkan tombaknya dengan penuh percaya diri. Dan pada cabang pohon teratas, di atas burung perkutut, duduklah burung bulbul, bersenandung lagu cinta.
Layla datang ke taman itu bersama teman-temannya untuk menikmati nyanyian burung-burung dan juga untuk bermain-main di antara bunga-bunga, bagaikan gadis-gadis cantik yang menikmati keindahan taman firdaus. Apakah memang keinginannya, untuk beristirahat sejenak pada bayangan mawar merah setelah permainannya dengan teman- temannya usai? Apakah memang keinginannya untuk membuat rerumputan menjadi semakin gelap karena tertutup bayangannya, ataukah ia hanya ingin menikmati waktu dengan ditemani oleh bunga bakung dan tulip? Ataukah ia datang sebagai ratu yang hadir untuk memberikan penghargaan bagi kerajaan dari taman yang luar biasa indah ini?
Tidak, ia tidak menginginkan semua ini. Ia hanya ingin, setelah permainan usai, untuk duduk dan berkeluh kesah, seperti mereka-mereka yang hatinya terluka oleh cinta. Ia ingin berbicara dengan si burung bulbul, bercerita kepadanya tentang rahasia serta pikiran terdalamnya. Dan mungkin saja angin akan menyampaikan salam dari satu-satunya orang yang ia cintai dan tangisi……..
Ia mencoba mencari rasa nyaman di taman itu, karena ia menganggap taman itu sebagai cermin dari ketampanan kekasihnya dan tak lebih dari itu. Ia bahkan berharap bahwa cermin itu akan menunjukkan jalan menuju kekasihnya……..
Tentu saja tak seorang pun dari teman-temannya mengetahui apa yang dirasakan serta dipikirkan oleh Layla. Selama beberapa saat me- reka bermain di antara bunga mawar, namun kemudian, ketika mereka semua duduk untuk berisitirahat di sudut terpencil taman, Layla terus berjalan dan memilih untuk duduk di bawah pohon yang jauh dari teman- temannya. Di sanalah ia menumpahkan segala kesedihannya.
“Kekasihku tercinta,” keluhnya, “apakah memang benar kita ditakdirkan untuk bersama? Betapa mulianya dirimu dan betapa bernafsunya hatimu! Betapa aku sedih setiap kali memikirkan bahwa dulu hati kita pernah bertaut, kini belati tajam memisahkan hati kita. Andai saja kau bisa berjalan melewati gerbang dan masuk ke taman ini, maka, cintaku, hati kita pasti akan kembali bersatu! Andai saja kau bisa duduk di sisiku dan menatap kedua mataku, lalu, cintaku, kau pasti akan membuat semua hasrat terpendamku terkabulkan. Tapi mungkin kau telah menderita terlalu banyak karenaku sehingga kau tak lagi mengharapkan cintaku, atau bahkan menikmati indahnya taman ini.”
Tiba-tiba saja, sebuah suara membuyarkan impiannya. Seseorang berjalan melewati taman itu dengan mendendangkan sebuah sajak. Tentu saja sosok yang lewat itu adalah orang yang tak dikenalnya, namun Layla sangat mengenal sajak Majnun. Si orang asing itu menyanyikan:
Saat taman Layla tumbuh bermekaran di musim semi, Majnun terdiam di sana, menderita. Bagaimana Layla dapat tersenyum dan bersenda gurau, Tatkala ia menguji cinta Majnun?
Ketika Layla mendengar kata-kata itu, ia mulai menangis, tangisannya begitu keras hingga bahkan hati yang begitu tangguh pun akan merasa iba kepadanya. Layla tak tahu bahwa ia sedang diperhatikan oleh salah seorang temannya yang menyadari ketiadaannya. Ia mengikuti Layla lalu bersembunyi di balik semak-semak bunga mawar dan melihat semuanya: permohonan Layla yang berapi-api, keterkejutannya mendengar sajak yang dinyanyikan oleh si orang asing serta tangisannya.
Di siang harinya, sang teman menemui ibu Layla dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ibu Layla mulai menangis karena tak tahan dengan penderitaan putrinya. Namun apa yang dapat dilakukannya? Tak peduli seberapa kerasnya ia mencoba, ia tetap tak menemukan jalan keluarnya. “Aku tak boleh membiarkan Layla melakukan apa yang sangat dihasratkan oleh hatinya,” katanya kepada dirinya sendiri, “karena Majnun benar-benar gila dan tak boleh didekati. Jika Layla menemui bocah itu, maka ia juga akan menjadi gila. Namun jika aku tetap bersabar dengan keadaan ini, maka perpisahannya dengan bocah itu akan menghancurkannya. Dan apapun yang menghancurkan Layla, pasti akan menghancurkanku juga.”
Jadi begitulah, kesedihan Layla menjadi beban ibunya, meskipun Layla tak menyadarinya. Layla tetap bungkam, begitu pula ibunya.
EmoticonEmoticon