9. Penyair dan Sekuntum Bunga (Lanjutan Kisah Layla dan Majnun)
Yang ia ketahui hanyalah bahwa ia harus sendirian;
ia tak lagi sanggup hidup dalam dunia itu.
Ia harus hidup sendirian dengan kesedihannya,
dan tempat terpencil di mana hanya terdapat pasir dan bebatuan,
pegunungan dan lembah adalah tempat terbaik untuknya.
Mendengar hal itu, hati pria tua itu melemah dan ia mulai terisak. Ia menggandeng tangan putranya secara perlahan dan membawanya pulang ke rumah. Di sana, teman-teman serta sanak-saudaranya berkumpul, memutuskan untuk membantunya sebisa mereka.
Namun bagi Majnun, mereka semua adalah orang asing. Kehidupan di rumah tak tertahankan; Majnun membuat suram kehidupan semua orang dengan kesedihannya, dan siapapun yang mengunjunginya pergi meninggalkannya dengan berlinang airmata kesedihan dan frustrasi melihat keadaannya yang begitu buruk. Pada awalnya, teman-temannya mampu menenteramkannya dengan mengingat-ingat kenangan indah saat mereka masih kanak-kanak. Namun tak berapa lama kemudian, ia merasa tak nyaman dengan keberadaan teman-temannya. Oleh karena itu, di suatu pagi, Majnun merobek-robek selubung cinta dan perlindungan yang telah dibuat oleh keluarga serta teman-temannya, lalu mengambil beberapa barang miliknya kemudian melarikan diri ke Gurun Najd.
Seperti seekor hewan yang terluka, ia menjelajahi alam liar, tanpa mengetahui ke mana harus pergi dan apa yang harus dilakukan- nya. Yang ia ketahui hanyalah bahwa ia harus sendirian; ia tak lagi sang- gup hidup dalam dunia itu. Ia harus hidup sendirian dengan kesedihan- nya, dan tempat terpencil di mana hanya terdapat pasir dan bebatuan. Pegunungan dan lembah adalah tempat terbaik untuknya. Lalu begitu- lah, ia berkelana melewati pegunungan, dengan menggumamkan soneta serta odenya. Majnun ‘si gila’, sendirian di tengah gurun pasir hanya berteman sajak-sajaknya. Meskipun Majnun menjadi gila, namun tidak demikian dengan sajak-sajaknya. Bahkan bila orang-orang mencaci maki- nya, menghukumnya, dan mengucapkan hinaan demi hinaan kepadanya, mereka tetap tak menyalahkan bait-bait sajaknya.
Banyak orang yang berdatangan dari jauh mendekatinya dalam perjalanannya di pegunungan hanya untuk mendengar sajak-sajaknya. Mereka biasanya duduk di dekat kakinya dan mendengarnya menyanyikan lagu cinta, dan saat mereka mendengarkan, mereka mencatat syairnya dan membawanya kembali ke kota serta desa mereka.
Sementara itu, janji yang telah dibuat oleh kuncup-kuncup bunga benar-benar ditepati oleh sekumpulan bunga, karena Layla tumbuh semakin cantik seiring dengan berjalannya waktu. Satu tatapan dari matanya sudah cukup untuk membuat seratus raja berlutut di hadapannya; satu senyuman dari bibirnya yang bak mirah delima sudah cukup untuk mengalahkan sepasukan tentara. Andai saja ia menginginkan demikian.
Kecantikannya dikagumi semua orang dan tak ada yang tak jatuh ke dalam perangkapnya. Matanya menggiring tawanan demi tawanan, setiap tawanan itu terikat oleh helaian rambutnya yang indah. Siapapun yang menatap wajahnya yang indah bagaikan bunga pasti akan jatuh cinta kepadanya, ia akan merasa lapar untuk melihat bibir merahnya serta mendambakan kecupannya yang semanis madu. Meskipun begitu mata- nya menolak untuk bermurah hati kepada mereka; saat terpejam, kedua mata itu seolah berkata, “Hanya Allah yang dapat mengabulkan perminta- anmu, dan aku takkan memberikanmu apa-apa.” Ratusan hati telah terjatuh dalam perangkap kecantikannya, begitu dahsyatnya mantera yang dimilikinya.
Walaupun sihirnya bekerja kepada pria-pria itu, namun ia tak dapat melakukan apapun untuk dirinya sendiri. Ia memang tampak bersemi di permukaan, namun jauh di dalam hatinya ia mengeluarkan airmata darah. Sedari matahari terbit hingga terbenam, ia terus mencoba mencari kekasihnya Majnun, secara rahasia. Lalu, di tengah malam, saat semua orang tidur terlelap, ia akan memanggil-manggil nama kekasihnya dalam desahan. Airmata tak pernah berhenti mengalir di pipinya, ia hanya tertawa untuk menyembunyikan kesedihannya.
Sejak perpisahan mereka, api hasrat telah terbakar di dalam hati sepasang kekasih itu. Namun Layla menyembunyikan nyala api itu dan tak membiarkannya mengeluarkan asap. Ketika seseorang sedang seka- rat, sang dokter biasanya memegang sebuah cermin di mulut si pasien untuk mengetahui apakah ia masih bernapas. Dan Layla juga memiliki cermin itu, namun cermin itu adalah jiwanya sendiri yang selalu menanya- kan keberadaan kekasihnya, Majnun. Tak ada seorang pun yang dapat ia percayai, jadi setiap malam ia hanya menceritakan pikiran-pikiran terda- lam serta rahasianya kepada bayangannya sendiri. Di satu sisi terdapat lautan airmata; namun di sisi lain, terdapat api cinta yang membara untuk kekasihnya. Layla berdiri di antara mereka seperti pari, roh yang melayang- layang di antara api dan air.
Meskipun kesedihan telah menggerogoti jiwanya, ia menyembunyikan kesedihannya dan tak bersedia menceritakannya kepada siapa pun. Kadangkala, ketika semua orang sedang tertidur, cahaya rembulan membawanya ke pintu masuk tendanya. Di sana ia akan berdiri terpaku, menatap jalanan, menanti namun siapakah yang ia nantikan? Apakah ia menanti datangnya seseorang yang membawakan pesan untuknya dari kekasihnya? Apakah ia berharap datangnya seorang pemberi selamat untuk menyampaikan salam dari jauh? Apapun yang ditunggunya, tidak kunjung tiba jua. Lalu ia membayangkan udara malam itu sebagai sang penyampai pesan yang membawa desahan kekasihnya dari Pegunungan Najd, sementara itu setiap awan mendung ia bayangkan sebagai sang pemberi selamat, yang menyampaikan salam hangat dari kekasihnya se- perti airmata yang menetes dari surga.
Satu-satunya hal yang sampai kepadanya adalah sajak-sajak kekasihnya. Sajak-sajak itu diucapkan oleh orang-orang yang lalu lalang; bahkan bocah-bocah miskin di pasar pun dapat mendendangkan sajak-sajak itu. Entah Majnun mengetahuinya atau tidak, namun suara hatinya telah didengar oleh sang kekasih, dan karenanya Layla merasa sangat bahagia.
Kecantikan Layla bukanlah satu-satunya pemberian Allah, karena ia juga memiliki bakat dalam hal sajak. Ia menyimpan sajak-sajak Majnun dalam pikirannya begitu ia mendengarnya; lalu ia menyusun kata-kata indah sebagai balasannya. Ia menuliskannya dalam secarik perkamen dan menuliskan pesan-pesan kecil seperti: ‘Bunga melati yang sedang mekar mengirimkan lagu ini kepada pohon cemara’, sebelum memberikannya kepada angin tatkala tak ada seorang pun melihatnya. Kadangkala perkamen-perkamen berisikan sajak-sajak ini ditemukan oleh seseorang –yang kemudian menebak-nebak arti tersembunyi dari sajak-sajak itu. Mereka tahu kepada siapa ditujukannya sajak-sajak itu lalu langsung membawanya kepada Majnun. Sebagai ucapan terima kasih kepada sang penemu, Majnun menciptakan sebuah sajak untuk mereka, yang sudah pasti akan sampai ke tangan Layla. Begitu banyak pesan yang saling mereka kirimkan dan terima dengan cara seperti ini. Metode ini memperkenankan mereka untuk menjembatani jurang perpisahan dengan saling memberikan cinta dan harapan. Dan mereka-mereka yang mendengar sepasang kekasih ini ber- temu melalui sajak pasti terkagum-kagum: begitu miripnya mereka berdua dalam nada dan ekspresi sehingga terdengar seperti lantunan lagu. Karena suara sepasang kekasih ini adalah suara cinta, dan cinta itu cukup kuat untuk dapat mematahkan mantra apapun juga.
EmoticonEmoticon