Jumat, 27 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Nama Girilawungan

Girilawungan adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di tanah Sunda, tepatnya di Majalengka, Jawa Barat. Istilah “girilawungan” berasal dari kata ngalawung dalam bahasa Sunda, yang berarti “berhadap-hadapan”. Menurut cerita, pernah terjadi suatu peristiwa ngalawung di sebuah tempat sehingga tempat itu kemudian dinamakan Girilawungan. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam ceria Asal Usul Nama Girilawungan.
Dahulu di tanah Pasundan, ada seorang raja bernama Pangeran Giri Layang. Ia masih keturunan Raja Pajajaran. Pangeran Giri Layang adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Dalam memerintah negara, ia dibantu oleh adik perempuannya yang bernama Putri Giri Larang dan seorang patih bernama Endang Capang.
Suatu hari, Pangeran Giri Layang sedang bercakap-cakap dengan adiknya di pendopo istana. Putri Giri Layang berkata kepada kakaknya,
“Kanda, Dinda ingin mengatakan sesuatu. Tapi, sebelumnya Dinda mohon maaf jika nantinya ada perkataan Dinda yang menyinggung perasaan Kanda,” kata Putri Giri Larang.
“Ada apa yang ingin kamu katakan, Adikku?” ujar Pangeran Giri Layang,
“Begini, Kanda. Dinda sudah lama membantu Kanda mengelola negeri ini dan sudah banyak pula ilmu yang Dinda peroleh dari Kanda. Tapi, Dinda merasa perlu banyak belajar lagi. Sekiranya Kanda mengizinkan, Dinda ingin pergi merantau untuk menambah ilmu.”
Mendengar permintaan itu, Pangeran Giri Layang tertegun. Ia merasa amat berat melepas kepergian adiknya. Namun, tak ada alasan baginya untuk menolak permintaan tersebut. Ia pun mengelus-elus kepala adiknya, lalu berkata.
“Adikku, engkaulah satu-satunya yang Kanda sayangi. Tapi, jika itu sudah menjadi tekadmu, Kanda merestui kepergian Dinda. Semoga Dinda tidak mendapat rintangan apa pun,” kata Pangeran Giri Layang, “Ingat pesan Kanda, jika berjalan ke arah timur, Dinda jangan sampai melampaui perbatasan.”
“Baik, Kanda. Terima kasih atas doa restu Kanda,” ucap Putri Giri Larang.
Keesokan paginya, Putri Giri Larang bersiap-siap. Setelah berpamitan kepada kakaknya, berangkatlah ia menuju ke arah timur dengan berjalan kaki seorang diri. Setelah berbulan-bulan keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, serta mendaki gunung dan lembah, sampailah ia di sebuah hutan belantara yang sepi. Hanya suara-suara binatang hutan yang terdengar saling bersahut-sahutan.
Putri Giri Larang terus berjalan di antara pepohonan. Alangkah terkejutnya sang Putri, ia menemukan sebuah taman yang indah di pedalaman hutan. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam yang airnya sangat jernih. Kolam itu dikelilingi pula tanaman bunga yang beraneka warna. Putri pun tak kuasa menahan rasa kagum menyaksikan pemandangan itu.
“Oh, pemandangan yang sungguh indah. Tapi, kenapa ada taman di tengah hutan ini?” heran sang Putri, “Siapa yang membuatnya?”
Putri Giri Larang duduk di pinggir kolam lalu merendam kedua kakinya ke dalam air. Setelah merasakan kesejukan air itu, ia lalu berpikiran ingin mandi.
“Sebaiknya aku mandi saja di kolam ini untuk menghilangkan rasa letih,” gumamnya.
Sang Putri pun segera menanggalkan pakaian dan meletakkannya di pinggir kolam. Ia lalu mencebur ke dalam kolam dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Sejuknya air kolam itu terasa menusuk hingga ke ubun-ubunnya. 
Ketika sang Putri sedang asyik berendam di kolam itu, tanpa disadari ada seorang lelaki setengah baya menuju ke kolam. Lelaki itu adalah seorang patih dari sebuah kerajaan di Jawa yang bertugas merawat dan menjaga kolam itu agar tetap bersih. Taman itu merupakan tempat Raja Jawa beristirahat sepulang dari berburu.
Patih itu terkejut begitu melihat seorang putri cantik sedang mandi di kolam. Cepat-cepatlah ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi putri itu.
“Cantik sekali putri itu, bagaikan bidadari dari kahyangan,” kagum patih itu, “Tapi, siapa putri itu dan dari mana asalnya?”
Sang Patih tiba-tiba teringat pada rajanya yang sedang mencari pasangan untuk dijadikan permaisuri.
“Raja pasti tertarik pada putri itu,” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Patih itu segera mengambil pakaian sang putri. Rupanya, sang Putri mengetahuinya. Ketika Putri naik ke darat hendak merebut pakaiannya, Patih itu segera berlari. Sang Putri pun segera mengejarnya, sang Patih sengaja memperlambat langkahnya agar sang putri terus mengikutinya hingga ke istana.
Setiba di istana, Patih itu segera menyerahkan pakaian sang Putri kepada sang Raja.
“Ampun, Gusti. Hamba mempersembahkan sebuah bingkisan untuk Gusti,” sembah patih itu.
“Hai, pakaian siapa ini?” tanya sang Raja heran.
“Pakaian itu milik seorang putri. Putri itu sedang mandi di kolam Gusti,” ungkap patih itu, “Putri itu cantik jelita bagai bidadari. Barangkali saja Gusti tertarik padanya.”  
“Wah, kamu memang Patih yang pengertian. Mana putri itu?” tanya sang Raja.
Belum sempat patih itu menjawab, tiba-tiba Putri Giri Larang muncul dan berteriak.
“Hai, pencuri. Cepat kembalikan pakaianku!” serunya, “Dasar kalian tidak sopan. Beraninya mencuri pakaian wanita yang sedang mandi.”
Jantung sang Raja langsung berdetak kencang saat melihat kecantikan Putri Giri Larang. Raja tersenyum lalu menyapa sang putri dengan kata-kata lembut.
“Maafkan kami atas perlakuan patihku, Putri cantik,” ucap sang Raja.
“Hai, pencuri. Cepat kembalikan pakaianku! Kalau tidak, aku hancurkan seluruh isi keraton ini!” ancam sang Putri.
“Sabar, Putri,” ujar sang Raja dengan tenang, “Kami tidak ingin mencari keributan. Sebaiknya Putri beristirahat dulu, setelah itu kami akan menyerahkan pakaian Putri.”
Dengan kata-kata lembut sang Raja, hati Putri Giri Larang akhirnya luluh. Setelah mandi dan beristirahat, ia pun berunding dengan sang Raja.
“Maaf, Putri. Kalau boleh saya tahu, siapa sebenarnya Putri dan berasal dari mana?” tanya sang Raja.
Putri Giri Larang pun memperkenalkan namanya lalu menjelaskan asal-usulnya. Mendengar penjelasan itu, sang Raja pun mengungkapkan isi hatinya.
“Begini. Sebenarnya aku memang sedang mencari istri untuk kujadikan permaisuri. Kebetulan sekali aku telah bertemu dengan Putri yang selama ini kudambakan. Bersediakah Putri menjadi permaisuriku?” pinang sang Raja.
Mendengar permintaan itu, tiba-tiba sang Putri merasa sekujur tubuhnya menjadi lemah. Kekuatannnya terasa tersedot oleh kekuatan gaib. Pada saat itulah, ia baru tersadar dan teringat pada nasehat kakaknya dirinya telah melewati perbatasan sebelah timur sehingga kesaktiannya hilang. Dengan terpaksa, ia pun menerima lamaran sang Raja.
“Baiklah, aku terima lamaran Gusti. Tapi, dengan syarat kaum laki-laki tidak mencampuri urusan perempuan,” pinta sang Putri.
Sang Raja menyanggupi permintaan itu. Beberapa hari kemudian, pernikahan mereka pun dilangsungkan dengan amat meriah. Sejak itulah, putri keturunan Pajajaran itu menjadi permaisuri Raja.
Suatu hari, Putri Giri Larang menanak nasi, lalu pergi mandi. Beberapa saat kemudian, diam-diam sang Raja membuka kuali yang airnya sedang mendidih. Ia penasaran ingin mengetahui istrinya sedang masak apa. Alangkah terkejut dia setelah membuka kuali itu yang ternyata isinya hanya setangkai padi. Setelah mengamatinya sejenak, padi itu ia masukkan ke kuali dan menutupnya kembali.
Putri Giri Larang baru saja selesai mandi dan kembali ke dapur. Betapa marahnya ia setelah mengetahui padi di dalam kuali tak kunjung matang. Dengan perasaan kecewa, ia menghampiri suaminya.
“Engkau telah melanggar janjimu. Engkau telah berani membuka rahasia perempuan,” hardik sang Putri.
Tanpa berkata-kata lagi, Putri Giri Larang segera meninggalkan istana menuju keraton kakaknya. Setiba di sana, ia langsung merangkul kakaknya sambil menangis.
“Maafkan Dinda! Dinda tidak menghiraukan nasehat Kanda,” tangis sang Putri.
Putri yang sedang hamil tua itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya.
“Sudahlah, Dinda. Lupakanlah semua kejadian yang sudah lalu,” ujar Giri Layang, “Beristirahatlah, kasian bayi yang ada di dalam kandunganmu.”
Selang beberapa hari kemudian, Putri Giri Larang pun melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Adipati Jatiserang. Kehadiran anak itu tentu saja mencemaskan hati Pangeran Giri Layang. Ia khawatir kalau-kalau tentara kerajaan suami adiknya datang menyerang hendak mengambil Adipati Jatiserang. Kekhawatiran itu akhirnya datang juga ketika sang Pangeran mendapat petunjuk dari kakeknya melalui mimpi bahwa mereka akan datang mengambil keponakannya.
Pangeran Giri Layang pun segera berunding dengan patihnya Endang Capang serta para menterinya agar membuat kulah (lubang besar di bawah tanah) sebanyak empat buah. Keempat kulah itu akan dijadikan sebagai tempat persembunyian keluarga keraton, termasuk Putri Layang dan putranya. Tak berapa lama kemudian, tentara kerajaan suami sang Putri yang dipimpin oleh Patih Mangkunagara dan Patih Surapati pun tiba. Mereka pun langsung mencari Pangerang Giri Layang serta Putri Giri Larang dan putranya. 
“Hai, di mana Raja kalian?” tanya Patih Mangkunagara, “Kami ke mari mencari Putri Larang dan putranya.”
“Maaf, Tuan-Tuan! Pangerang Giri Layang dan Putri Giri Larang sudah wafat. Sementara Adipati Jatiserang, putra Putri Giri Larang, sedang menutut ilmu ke negeri seberang,” jawab patih Endang Capang.
Kedua patih tersebut tidak percaya dengan jawaban itu. Akhirnya, Patih Endang Capang segera membawa mereka ke tempat Pangeran Giri Layang dan Putri Giri Larang bersembunyi. Karena tidak percaya, kedua patih Majapahit itu berniat untuk menggali kulah yang mirip makam tersebut. Namun, baru saja mereka mulai menggali, tiba-tiba seluruh badan mereka menjadi lemas dan tak bertenaga. Rupanya, kekuatan mereka terhisap oleh kesaktian Pangeran Giri Layang dari dalam kulah tersebut. Karena gagal melaksanakan tugas, Patih Mangkunagara pun memerintahkan tentaranya agar tidak pulang dulu ke istana.
“Para prajuritku, jangan ada yang pulang ke istana!” ujar patih itu, “Malulah rasanya pulang dengan tangan hampa. Sebaiknya kita ngalawung (bertemu berhadap-hadapan) saja di sini sambil menunggu Putri Giri Larang keluar sebab aku yakin ia bersembunyi.”
Seluruh tentara pun menetap di tempat tersebut. Untuk mengenang peristiwa ngawalung, maka tempat itu dinamakan Negara Girilawungan yang kini dikenal dengan sebutan Babakan Jawa.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Nama Girilawungan dari Jawa Barat. Ada pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu akibat buruk dari sifat tidak mau mendengarkan nasehat seperti Putri Giri Larang, dan akibat buruk dari sifat ingkar janji seperti sang Raja yang melanggar syarat dari istrinya.

Kamis, 26 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pak Udak Dan Gergasi

Pak Udak adalah seorang manusia biasa yang sering dianggap sebagai anak dewa oleh warga di desanya. Suatu ketika, Pak Udak diajak oleh tetangganya yang bernama Pak Senjaring untuk mengambil buah duku di kebun sepasang raksasa bernama Kakek dan Nenek Gergasi. Namun, malang nasib Pak Udak, ia tertangkap oleh dua raksasa itu. Bagaimana nasib Pak Udak selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Pak Udak dan Gergasi berikut ini.
Dahulu, di daerah Bangka Belitung, ada seorang lelaki bernama Pak Udak. Oleh warga, ia dianggap sebagai anak dewa karena kerap mendapat pertolongan jika tertimpa musibah. Di suatu pagi, Pak Udah sedang duduk bersantai di depan rumahnya. Datanglah seorang tetangganya yang bernama Pak Senjaring.
“Sedang apa, Pak Udak?” sapa Pak Senjaring sambil menepuk pundak Pak Udak.
“Sedang duduk-duduk saja,” jawab Pak Udak, “Ada apa gerangan? Kok pagi-pagi begini sudah bertamu? Ada yang bisa saya bantu?”
Pak Senjaring hanya tersenyum, lalu menjawab.
“Begini, Pak Udak. Dari pada tidak ada kerjaan, bagaimana kalau kita pergi ke kebun milik Kakek dan Nenek Gergasi untuk mengambil buah duku?” ajak Pak Senjaring.
“Tidak, Ah. Saya takut,” tolak Pak Udak, “Mereka itu raksasa yang suka memangsa manusia!”
“Iya, Pak Udak. Tapi, aku yakin tidak akan terjadi sesuatu pada kita. Bukankah Pak Udak selalu dilindungi oleh dewa? Dewa pasti akan melindungi kita,” bujuk Pak Senjaring.
Pak Udak akhirnya tergoda oleh bujukan Pak Senjaring. Mereka pun segera menyiapkan bekal perjalanan, termasuk sarau, yaitu keranjang bertali yang disangkutkan di punggung. Setelah dua hari menempuh perjalanan, mereka pun tiba di kebun yang ditumbuhi puluhan pohon duku yang sedang berbuah lebat. Mereka tiba di sana pada hari sudah gelap. Sementara bulan sedang tidak tampak. Pak Udak mulai sedikit takut. 
“Apa yang harus kita lakukan Pak Senjaring?” tanya Pak Udah, ‘”Suasana kebun ini gelap sekali, kita tidak bisa memetik buah duku.”
“Kalau begitu, sebaiknya kita tunggu sampai hampir pagi,” ujar Pak Senjaring.
“Tapi, kita harus bangun sebelum Nenek Gergasi dan suaminya terbangun,” kata Pak Udak.
Akhirnya malam itu, mereka memutuskan untuk beristirahat. Kakek dan Nenek Gergasi sedang terlelap. Suara dengkuran dua raksasa itu mirip dengkuran harimau. Pak Udak dan Pak Senjaring pun sulit memejamkan mata.
Saat pagi mulai menjelang, Pak Udak dan Pak Senjaring segera menuju ke ladang. Setelah memilih pohon duku yang berbuah lebat, mereka pun mulai memanjat.
“Hati-hati, Pak Udak. Jangan menimbulkan suara berisik,” bisik Pak Senjaring.
“Baik,” jawab Pak Udak.
Pak Udak dan Pak Senjaring pun mulai memetik buah duku. Sebentar saja, sarau Pak Senjaring telah penuh. Sementara sarau Pak Udak baru separuhnya. Rupanya, duku yang telah dipetik Pak Udak sebagian besar langsung dimakan.
“Pak Udak, ayo cepat turun! Kita tinggalkan tempat ini!” seru Pak Senjaring.
Pak Udak tidak menghiraukan seruan Pak Senjaring. Ia masih terus memakan buah duku. Karena matahari sudah mulai terbit, Pak Senjaring segera bersembunyi ke dalam semak belukar di pinggir kebun.
Ketika bangun tidur, kedua raksasa pemilik ladang itu terkejut melihat banyak kulit duku yang berserakan di bawah pohon.
“Siapa yang telah mengambil buah duku kita?” tanya Kakek Gergasi.
“Lihat di atas pohon itu!” seru Nenek Gergasi, “Dialah pelakunya.”
“Hai, manusia. Cepat turun!” teriak Kakek Gergasi.
Pak Udak yang berada di atas pohon menjadi ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia tidak berani turun, meskipun Kakek Gergasi sudah berkali-kali menyuruhnya. Kakek Gergasi yang murka kemudian mengguncang-guncang pohon itu hingga pegangan Pak Udak terlepas dan tubuhnya jatuh ke tanah. Kedua raksasa itu segera menghampiri Pak Udak yang tidak sadarkan diri.
Pak Senjaring yang menyaksikan peristiwa tersebut segera meninggalkan tempat itu dengan berlinang air mata. Ia yakin bahwa pastilah Pak Udak akan dimangsa oleh kedua raksasa itu.
Di kebun duku, kedua raksasa itu terlihat sedang mengamati Pak Udak yang masih pingsan.
“Apa yang akan kita lakukan pada anak manusia ini?” tanyak Nenek Gergasi.
“Sebaiknya manusia ini kita pelihara dulu. Nanti setelah gemuk barulah kita sembelih untuk dijadikan gulai,” ujar Kakek Gergasi.
Kedua raksasa itu memasukkan Pak Udak ke dalam kurungan. Setiap hari, Pak Udak diberi makan yang banyak agar cepat gemuk. Pak Udak hanya bisa meratapi nasibnya. Ia sering menangis karena teringat pada anaknya yang akan kehilangan ayahnya.
Ketika Pak Udak sedang menangis, tiba-tiba anak pasangan raksasa itu, si Gerasi, datang menghampirinya. Saat itu, kedua orang tua si Gerasi sedang tidak ada di rumah mereka.
“Kenapa kamu menangis?” tanya anak raksasa itu.
“Hatiku sedih. Anakku tak lama lagi akan kehilangan ayahnya,” jawab Pak Udak.
Ketika bercerita, Pak Udak sambil memeragakan ketika ia menimang-nimang anaknya sambil menyanyikan lagu-lagu indah. Rupanya, anak raksasa itu tertarik dan meminta kepada Pak Udak agar dirinya ditimang dan dinyanyikan.
“Pak Udak, mau kamu menimang dan menyanyikan tembang-tembang indah untukku?” pinta Gerasi.
Pak Udak pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Baiklah. Aku menyanggupi permintaanmu. Tapi, bagaimana aku bisa menimangmu jika aku masih berada di dalam kurungan ini?” kata Pak Udak.
“Tenang, Pak Udak. Aku akan mengeluarkanmu dari kurungan itu,” kata si Gerasi.
Si Gergasi pun membuka pintu kurungan itu dan Pak Udak pun segera keluar. Pak Udak kemudian mencoba untuk menimang si Gerasi. Meskipun berkali-kali terjerembab karena badan anak raksasa itu sangat berat, Pak Udak akhirnya berhasil menidurkan Gerasi. Pak Udak dengan hati-hati memasukkan si Gerasi ke dalam kurungan, lalu segera meninggalkan tempat itu. Tak lupa ia membawa semua makanan yang tersedia.
Setiba di perkampungan, Pak Udak disambut oleh warga dengan suka cita. Para warga, terutama Pak Senjaring, amat heran melihat Pak Udak mampu meloloskan diri dari santapan Nenek dan Kakek Geragasi.
“Bagaimana kamu bisa meloloskan dari diri, Pak Udak?” tanya Pak Senjaring.
Pak Udak pun menceritakan upaya yang telah dilakukannya hingga bisa meloloskan diri. Semua warga menjadi terharu mendengar cerita Pak Udak. Mereka menganggap bahwa semua itu karena pertolongan dewa. Mereka pun semakin semakin percaya bahwa Pak Udak adalah anak dewa. Sejak itulah, derajat Pak Udak di mata warga sekitarnya semakin tinggi dan akhirnya ia pun diangkat menjadi kepala kampung.
* * *
Demikian cerita Pak Udak dan Gergasi dari Bangka Belitung. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya seseorang tidak mengambil harta milik orang lain tanpa izin seperti halnya Pak Udak dan Pak Senjaring. Untung mereka bisa meloloskan diri. Dari sini dapat diambil pelajaran juga bahwa ketika Tuhan menyelamatkan seseorang dari malapetaka karena berbuat kesalahan, hal itu merupakan sebuah peringatan agar orang itu kembali ke jalan yang benar.

Rabu, 25 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Telu Pak

Telu Pak adalah panggilan kepada seorang laki-laki bernama si Buyung. Ia adalah anak orang kaya yang pemalas dan boros. Sejak kecil hingga memiliki istri, si Buyung tidak mau bekerja dan suka berfoya-foya. Akibatnya, ia dan istrinya pun jatuh miskin. Karena itulah, sang istri menyuruhnya untuk berguru kepada orang pandai. Setelah berguru, ia pun mengganti namanya menjadi Telu Pak. Mengapa si Buyung mengganti namanya menjadi Telu Pak? Lalu, berhasilkah ia menjadi orang kaya lagi? Simak kisahnya dalam cerita Kisah Telu Pak berikut ini.

Dahulu, di daerah Lampung, ada seorang anak laki-laki yang masih berumur belasan tahun. Anak itu bernama si Buyung. Ia adalah anak orang terkaya di kampungnya. Ia pun amat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Apapun kemauannya selalu dituruti. Semua kebutuhannya selalu tercukupi. Hal itulah yang membuat si Buyung menjadi anak pemalas.  

Sepuluh tahun kemudian, si Buyung pun tumbuh menjadi dewasa dan menikah dengan seorang wanita cantik. Tak berapa lama setelah menikah, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sebagai anak tunggal, ia pun mewarisi seluruh harta kekayaan kedua orang tuanya. Namun sayang, ia tidak pandai menjaga harta warisan tersebut. Hidupnya hanya diisi dengan berfoya-foya. Lama-kelamaan hartanya pun habis digunakan untuk bersenang-senang. Meskipun ia menyesal, si Buyung tetap saja tidak mau bekerja karena tabiatnya yang pemalas.
Suatu hari, tampak si Buyung sedang duduk termenung seorang diri. Istrinya pun datang menghampirinya.

“Sudahlah, Abang tidak perlu putus asa seperti itu,” ujar sang istri, “Sebaiknya Abang pergi merantau dan berguru kepada orang-orang pandai. Siapa tahu mereka dapat membantu kita bisa keluar dari penderitaan ini.” 

Mendengar nasehat istrinya, pikiran si Buyung terbuka. Apa yang dikatakan istrinya itu memang benar.

“Kamu benar, istriku. Kita harus bangkit dari penderitaan ini,” kata si Buyung, “Abang akan pergi merantau.”  

Keesokan harinya, si Buyung akhirnya pergi merantau dan berguru kepada seorang guru. Di hadapan gurunya, ia pun menyampaikan masalah yang sedang dihadapinya. 

“Tuan, Guru. Ajarilah aku cara mengatasi masalah ini,” pintanya. 

Angon sukhhok bidi cutiku. Artinya, kalau mengerjakan sesuatu yang baik, meskipun hati enggan, kamu harus memaksakan diri melakukannya,” petuah sang guru, “Pelajaran ini harus kamu terapkan selama tiga bulan dan niscaya hidupmu akan berubah.” 

Mendengar nasehat itu, si Buyung pun kembali ke kampungnya dan mengamalkan ajaran itu. Namun, setelah tiga bulan kemudian, hidupnya tetap saja tidak berubah. Ia merasa kecewa atas nasehat gurunya itu. Namun, sang istri terus memberinya dorongan agar terus berguru.

“Jangan putus asa, Bang. Abang harus berguru lagi,” ujar istrinya.

Si Buyung pun menuruti nasehat istrinya. Ia kemudian berguru kepada guru yang lain. Pada gurunya itu, ia mengaku bahwa bahwa dirinya pernah mendapat pelajaran dari gurunya yang pertama. 

“Saya sudah pernah berguru, tapi belum mendapatkan hasil,” ungkapnya.

“Baiklah, kalau begitu. Saya akan memberi pelajaran yang lain,” kata guru keduanya itu, “Angon tilansu sepak cutik. Artinya, jangan terlalu berangan-angan pada sesuatu yang tidak masuk akal.” 

Guru kedua itu juga menyuruhnya untuk mengamalkan pelajaran itu selama tiga bulan. Namun, hidup si Buyung tetap saja tidak berubah. Sang istri pun tak henti-hentinya memberikan semangat kepadanya. 

“Jangan putus asa, Bang. Carilah guru lagi ke negeri lain,” kata istrinya.

Si Buyung pun kembali berguru kepada guru yang ketiga. Oleh gurunya itu, ia dianjurkan untuk tidak menuruti perkataan perempuan.

Cawani babai mak dapok titukhutkan, bila ditukhut kon cadang pendirianmu. Artinya, perkataan perempuan sebaiknya jangan dituruti, bila semua dituruti akan rusak pendirianmu,” titah gurunya yang ketiga.

“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya perpamitan kembali ke kampungnya. 

Setelah tiga bulan lamanya mengamalkan ajaran itu, si Buyung tidak mendapatkan apa-apa. Hidupnya masih saja miskin. Dengan semangat ini berubah, ia pun mencari berguru yang keempat. Oleh guru yang keempatnya itu, ia diajarkan agar jangan pernah menolak untuk menolong orang lain setiap ada orang yang meminta pertolongan. 

Kiwat kilu tulung tengah bingi semawas mak dapok ditulak. Artinya, jika ada orang yang meminta pertolongan pada tengah malam atau dini hari sekalipun, jangan ditolak,” kata sang guru, “Jika kamu mengamalkan ajaran ini dengan sungguh-sungguh, niscaya hidupmu akan bahagia. Tapi ingat, setelah berguru kepadaku, kuharap kamu tidak berguru lagi kepada orang lain. ”

“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya berpamitan.

Setiba di kampung halamannya, si Buyung pun menyadari bahwa dirinya memang tidak perlu lagi berguru. Ia yakin bahwa dengan mengamalkan ajaran tersebut, hidupnya akan berubah. Sejak itulah, ia mengganti namanya menjadi Telu Pak (telu: tiga, pak: empat), yang berarti orang yang sudah berguru sebanyak empat kali. 

Suatu malam yang larut, saat Telu Pak sedang khusyuk berdoa, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mendengar suara ketukan itu, Telu Pak segera membuka pintu rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat dua orang pegawai istana datang membawa sesosok mayat.

“Ada apa ini?” tanya Telu Pak.

“Maaf, Tuan. Kami menemukan mayat ini tergeletak di ujung kampung. Tolong, kuburkan mayat ini,” kata salah seorang pegawai itu, “Kami harus segera kembali ke istana karena ada urusan penting.”

Pekerjaan itu tidaklah mudah bagi Telu Pak. Di samping suasana sangat gelap, ia pun harus menguburkan mayat itu seorang diri. Namun karena teringat pada pesan gurunya, ia segera mengambil cangkul. Ketika ia menggali kubur, cangkulnya mengenai sebuah batu. Di luar dugaannya, tiba-tiba batu itu memancarkan sinar. Dengan bantuan sinar itu, ia pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. 

Setelah itu, Telu Pak membawa pulang batu bersinar itu lalu disimpannya di bawah jendelanya. Batu itu terus memancarkan sinar sehingga mengundang perhatian dua orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya. 

“Hai, lihat!” seru salah seorang dari mereka, “Bukankah itu batu intan?”

“Iya, kamu benar. Batu intan pasti sangat mahal harganya,” kata seorang yang lainnya. 

Kedua orang tersebut berniat ingin mengambil batu itu. Namun, ternyata istri Telu Pak kebetulan terbangun mendengar percakapan mereka. Ia pun segera mengambil batu intan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kedua orang itu pun pergi dengan perasaan kecewa. 

Keesokan harinya, istri Telu Pak bertanya kepada suaminya mengenai batu intan itu. 

“Dari mana Abang mendapatkan batu itu?” tanyanya.

Telu Pak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya semalam. Namun, ia sama sekali tidak tahu jika batu itu adalah batu intan. 

“Ketahuilah, Bang! Batu yang Abang temukan semalam itu adalah batu intan. Harganya mahal sekali,” ungkap istrinya.

Betapa terkejutnya Telu Pak mendengar pernyataan istrinya. Karena penasaran, ia pun segera memecah batu intan dan pecahannya mereka tunjukkan kepada seorang saudagar perhiasan. Ternyata benar, saudagar itu membenarkan bahwa itu adalah batu intan. Saudagar itu bahkan mau menukarkan tokonya dengan batu intan itu. Kedua belah pihak akhirnya bersepakat meminta saksi dari pihak kerajaan. Namun, rupanya Raja tertarik pada batu intan itu. Ia pun berniat untuk berbuat curang kepada Telu Pak.

“Hai, Telu Pak. Aku juga mempunyai batu intan kecil. Sementara batu intan milikmu itu adalah induknya,” ungkap sang Raja, “Kupikir induk intan itu sedang mencari anaknya.”

Telu Pak tidak percaya pada pernyataan Raja. Ia tahu bahwa sang Raja menginginkan batu intan miliknya. Ia pun membuat sebuah kesepakatan dengan raja itu.

“Baiklah, Baginda. Mari tunjukkan intan kita masing-masing. Jika intan milik hamba bergerak mendekati intan milik Baginda, maka ambillah intan hamba,” tantang Telu Pak, “Tapi, jika intan milik Baginda tidak bergerak, maka Baginda harus menandatangani kesepekatan hamba dengan saudagar itu.”

“Baik, Telu Pak. Aku terima tantanganmu,” kata sang Raja.

Telu Pak pun meletakkan intan miliknya di tanah, sedangkan sang Raja menaruh intannya di telapak tangannya.  Ternyata, tak satu pun dari kedua intan tersebut yang bergerak. Dengan demikian, sang Raja kalah dan terpaksa menandantangani kesepekatan antara Telu Pak dan saudagar perhiasan itu. 

Teluk Pak dan istrinya kemudian pindah ke toko itu. Dengan modal batu intan yang dimiliki,  mereka akhirnya menjadi saudagar perhiasan yang kaya dan dermawan. Karena kedermawanannya, ia amat dihormati dan dicintai oleh masyarakat. Setelah sang Raja wafat, Telu Pak diangkat menjadi raja. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun senantiasa hidup rukun, damai, dan sejahtera. 

* * *

Demikian cerita Kisah Telu Pak dari Lampung. Banyak pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas di antaranya adalah bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan belajar dari kesalahan masa lalu, kemudian menjalani hidup dengan banyak berbuat kebajikan.