Tampilkan postingan dengan label Lampung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lampung. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Telu Pak

Telu Pak adalah panggilan kepada seorang laki-laki bernama si Buyung. Ia adalah anak orang kaya yang pemalas dan boros. Sejak kecil hingga memiliki istri, si Buyung tidak mau bekerja dan suka berfoya-foya. Akibatnya, ia dan istrinya pun jatuh miskin. Karena itulah, sang istri menyuruhnya untuk berguru kepada orang pandai. Setelah berguru, ia pun mengganti namanya menjadi Telu Pak. Mengapa si Buyung mengganti namanya menjadi Telu Pak? Lalu, berhasilkah ia menjadi orang kaya lagi? Simak kisahnya dalam cerita Kisah Telu Pak berikut ini.

Dahulu, di daerah Lampung, ada seorang anak laki-laki yang masih berumur belasan tahun. Anak itu bernama si Buyung. Ia adalah anak orang terkaya di kampungnya. Ia pun amat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Apapun kemauannya selalu dituruti. Semua kebutuhannya selalu tercukupi. Hal itulah yang membuat si Buyung menjadi anak pemalas.  

Sepuluh tahun kemudian, si Buyung pun tumbuh menjadi dewasa dan menikah dengan seorang wanita cantik. Tak berapa lama setelah menikah, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sebagai anak tunggal, ia pun mewarisi seluruh harta kekayaan kedua orang tuanya. Namun sayang, ia tidak pandai menjaga harta warisan tersebut. Hidupnya hanya diisi dengan berfoya-foya. Lama-kelamaan hartanya pun habis digunakan untuk bersenang-senang. Meskipun ia menyesal, si Buyung tetap saja tidak mau bekerja karena tabiatnya yang pemalas.
Suatu hari, tampak si Buyung sedang duduk termenung seorang diri. Istrinya pun datang menghampirinya.

“Sudahlah, Abang tidak perlu putus asa seperti itu,” ujar sang istri, “Sebaiknya Abang pergi merantau dan berguru kepada orang-orang pandai. Siapa tahu mereka dapat membantu kita bisa keluar dari penderitaan ini.” 

Mendengar nasehat istrinya, pikiran si Buyung terbuka. Apa yang dikatakan istrinya itu memang benar.

“Kamu benar, istriku. Kita harus bangkit dari penderitaan ini,” kata si Buyung, “Abang akan pergi merantau.”  

Keesokan harinya, si Buyung akhirnya pergi merantau dan berguru kepada seorang guru. Di hadapan gurunya, ia pun menyampaikan masalah yang sedang dihadapinya. 

“Tuan, Guru. Ajarilah aku cara mengatasi masalah ini,” pintanya. 

Angon sukhhok bidi cutiku. Artinya, kalau mengerjakan sesuatu yang baik, meskipun hati enggan, kamu harus memaksakan diri melakukannya,” petuah sang guru, “Pelajaran ini harus kamu terapkan selama tiga bulan dan niscaya hidupmu akan berubah.” 

Mendengar nasehat itu, si Buyung pun kembali ke kampungnya dan mengamalkan ajaran itu. Namun, setelah tiga bulan kemudian, hidupnya tetap saja tidak berubah. Ia merasa kecewa atas nasehat gurunya itu. Namun, sang istri terus memberinya dorongan agar terus berguru.

“Jangan putus asa, Bang. Abang harus berguru lagi,” ujar istrinya.

Si Buyung pun menuruti nasehat istrinya. Ia kemudian berguru kepada guru yang lain. Pada gurunya itu, ia mengaku bahwa bahwa dirinya pernah mendapat pelajaran dari gurunya yang pertama. 

“Saya sudah pernah berguru, tapi belum mendapatkan hasil,” ungkapnya.

“Baiklah, kalau begitu. Saya akan memberi pelajaran yang lain,” kata guru keduanya itu, “Angon tilansu sepak cutik. Artinya, jangan terlalu berangan-angan pada sesuatu yang tidak masuk akal.” 

Guru kedua itu juga menyuruhnya untuk mengamalkan pelajaran itu selama tiga bulan. Namun, hidup si Buyung tetap saja tidak berubah. Sang istri pun tak henti-hentinya memberikan semangat kepadanya. 

“Jangan putus asa, Bang. Carilah guru lagi ke negeri lain,” kata istrinya.

Si Buyung pun kembali berguru kepada guru yang ketiga. Oleh gurunya itu, ia dianjurkan untuk tidak menuruti perkataan perempuan.

Cawani babai mak dapok titukhutkan, bila ditukhut kon cadang pendirianmu. Artinya, perkataan perempuan sebaiknya jangan dituruti, bila semua dituruti akan rusak pendirianmu,” titah gurunya yang ketiga.

“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya perpamitan kembali ke kampungnya. 

Setelah tiga bulan lamanya mengamalkan ajaran itu, si Buyung tidak mendapatkan apa-apa. Hidupnya masih saja miskin. Dengan semangat ini berubah, ia pun mencari berguru yang keempat. Oleh guru yang keempatnya itu, ia diajarkan agar jangan pernah menolak untuk menolong orang lain setiap ada orang yang meminta pertolongan. 

Kiwat kilu tulung tengah bingi semawas mak dapok ditulak. Artinya, jika ada orang yang meminta pertolongan pada tengah malam atau dini hari sekalipun, jangan ditolak,” kata sang guru, “Jika kamu mengamalkan ajaran ini dengan sungguh-sungguh, niscaya hidupmu akan bahagia. Tapi ingat, setelah berguru kepadaku, kuharap kamu tidak berguru lagi kepada orang lain. ”

“Baik, Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya berpamitan.

Setiba di kampung halamannya, si Buyung pun menyadari bahwa dirinya memang tidak perlu lagi berguru. Ia yakin bahwa dengan mengamalkan ajaran tersebut, hidupnya akan berubah. Sejak itulah, ia mengganti namanya menjadi Telu Pak (telu: tiga, pak: empat), yang berarti orang yang sudah berguru sebanyak empat kali. 

Suatu malam yang larut, saat Telu Pak sedang khusyuk berdoa, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mendengar suara ketukan itu, Telu Pak segera membuka pintu rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat dua orang pegawai istana datang membawa sesosok mayat.

“Ada apa ini?” tanya Telu Pak.

“Maaf, Tuan. Kami menemukan mayat ini tergeletak di ujung kampung. Tolong, kuburkan mayat ini,” kata salah seorang pegawai itu, “Kami harus segera kembali ke istana karena ada urusan penting.”

Pekerjaan itu tidaklah mudah bagi Telu Pak. Di samping suasana sangat gelap, ia pun harus menguburkan mayat itu seorang diri. Namun karena teringat pada pesan gurunya, ia segera mengambil cangkul. Ketika ia menggali kubur, cangkulnya mengenai sebuah batu. Di luar dugaannya, tiba-tiba batu itu memancarkan sinar. Dengan bantuan sinar itu, ia pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. 

Setelah itu, Telu Pak membawa pulang batu bersinar itu lalu disimpannya di bawah jendelanya. Batu itu terus memancarkan sinar sehingga mengundang perhatian dua orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya. 

“Hai, lihat!” seru salah seorang dari mereka, “Bukankah itu batu intan?”

“Iya, kamu benar. Batu intan pasti sangat mahal harganya,” kata seorang yang lainnya. 

Kedua orang tersebut berniat ingin mengambil batu itu. Namun, ternyata istri Telu Pak kebetulan terbangun mendengar percakapan mereka. Ia pun segera mengambil batu intan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kedua orang itu pun pergi dengan perasaan kecewa. 

Keesokan harinya, istri Telu Pak bertanya kepada suaminya mengenai batu intan itu. 

“Dari mana Abang mendapatkan batu itu?” tanyanya.

Telu Pak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya semalam. Namun, ia sama sekali tidak tahu jika batu itu adalah batu intan. 

“Ketahuilah, Bang! Batu yang Abang temukan semalam itu adalah batu intan. Harganya mahal sekali,” ungkap istrinya.

Betapa terkejutnya Telu Pak mendengar pernyataan istrinya. Karena penasaran, ia pun segera memecah batu intan dan pecahannya mereka tunjukkan kepada seorang saudagar perhiasan. Ternyata benar, saudagar itu membenarkan bahwa itu adalah batu intan. Saudagar itu bahkan mau menukarkan tokonya dengan batu intan itu. Kedua belah pihak akhirnya bersepakat meminta saksi dari pihak kerajaan. Namun, rupanya Raja tertarik pada batu intan itu. Ia pun berniat untuk berbuat curang kepada Telu Pak.

“Hai, Telu Pak. Aku juga mempunyai batu intan kecil. Sementara batu intan milikmu itu adalah induknya,” ungkap sang Raja, “Kupikir induk intan itu sedang mencari anaknya.”

Telu Pak tidak percaya pada pernyataan Raja. Ia tahu bahwa sang Raja menginginkan batu intan miliknya. Ia pun membuat sebuah kesepakatan dengan raja itu.

“Baiklah, Baginda. Mari tunjukkan intan kita masing-masing. Jika intan milik hamba bergerak mendekati intan milik Baginda, maka ambillah intan hamba,” tantang Telu Pak, “Tapi, jika intan milik Baginda tidak bergerak, maka Baginda harus menandatangani kesepekatan hamba dengan saudagar itu.”

“Baik, Telu Pak. Aku terima tantanganmu,” kata sang Raja.

Telu Pak pun meletakkan intan miliknya di tanah, sedangkan sang Raja menaruh intannya di telapak tangannya.  Ternyata, tak satu pun dari kedua intan tersebut yang bergerak. Dengan demikian, sang Raja kalah dan terpaksa menandantangani kesepekatan antara Telu Pak dan saudagar perhiasan itu. 

Teluk Pak dan istrinya kemudian pindah ke toko itu. Dengan modal batu intan yang dimiliki,  mereka akhirnya menjadi saudagar perhiasan yang kaya dan dermawan. Karena kedermawanannya, ia amat dihormati dan dicintai oleh masyarakat. Setelah sang Raja wafat, Telu Pak diangkat menjadi raja. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun senantiasa hidup rukun, damai, dan sejahtera. 

* * *

Demikian cerita Kisah Telu Pak dari Lampung. Banyak pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas di antaranya adalah bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan belajar dari kesalahan masa lalu, kemudian menjalani hidup dengan banyak berbuat kebajikan.

Sabtu, 07 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Si Bugu Yang Pandir

Si Bugu adalah seorang pemuda pandir yang tinggal di sebuah kampung di daerah Lampung. Ia disebut pandir karena daya berpikirnya yang sangat lemah. Meskipun demikian, si Bugu pada akhirnya mampu menjadi raja dan memiliki seorang permaisuri yang cantik jelita. Bagaimana pemuda pandir itu bisa menjadi raja? Ikuti kisahnya dalam cerita Si Bugu yang Pandir berikut ini.

Dahulu, di suatu kampung di Lampung, ada seorang pemuda pandir bernama si Bugu. Ia tinggal bersama ibunya sebuah gubuk yang terletak di pinggir hutan. Sehari-hari ia membantu ibunya bercocok tanam di ladang peninggalan ayahnya. Hasilnya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Suatu hari, si Bugu bersama ibunya sedang duduk di depan gubuk. Sang Ibu sedang menambal pakaian si Bugu yang sudah bolong. Sementara si Bugu yang pandir itu sedang asyik menggores-gores tanah dengan sebatang ranting kayu kering. Saat si Bugu sedang asyik, tiba-tiba ibunya berkata kepadanya.
“Bugu, anakku. Bukankah kamu sudah dewasa? Alangkah baiknya jika kamu mencari seorang gadis untuk kamu jadikan istri!” ujar ibu Bugu.
Tanpa berkata-kata, Bugu langsung menuruti nasehat ibunya. Namun, setiap gadis yang ia temui, tidak seorang pun yang bersedia menikah dengannya. Dengan perasaan kecewa, ia pulang ke rumah untuk mengadukan nasibnya kepada sang Ibu.
“Ibu, aku sudah berusaha, tapi semua gadis yang kutemui menolak,” keluh si Bugu.
“Jangan putus asa, anakku,” ujar sang Ibu, “Teruslah mencoba, siapa tahu ada yang mau menerimamu. Besok, jika kamu menemukan seorang gadis dan ia hanya diam, itu tandanya setuju.”
“Baik, Bu,” jawab si Bugu.
“Hari sudah sore, Nak. Sebaiknya, kamu mandi dan istirahat dulu. Besok kamu bisa mencoba lagi,” ujar ibunya.
Bugu pun menuruti nasehat ibunya. Keesokan harinya, pemuda pandir itu kembali melanjutkan pencarian jodohnya. Ketika ia menyusuri sebuah jalan yang sepi, tiba-tiba ia melihat seorang gadis sedang tergeletak di pinggir jalan. Ia pun langsung menanyai gadis itu, namun tidak menjawab.
“Gadis ini hanya diam saja. Berarti dia pasti mau menjadi istriku,” gumam si Bugu dengan perasaan senang.
Dikiranya gadis itu sedang tidur untuk melepas, padahal ia sudah meninggal dunia karena terjatuh. Tanpa berpikir panjang, si Bugu pun mengangkat gadis itu pulang ke rumahnya. Betapa senangnya hati ibunya ketika ia sampai di rumah.
“Bu, Anakku. Ternyata kamu berhasil juga menemukan jodohmu,” ujar ibunya tanpa memperhatikan keadaan gadis itu.
Sementara itu, si Bugu langsung membawa gadis itu ke dalam kamarnya. Ketika hari sudah sore, sang Ibu ingin menemui gadis itu. Namun, ia mengurungkan niatnya karena mengira gadis itu sedang beristirahat. Ia tidak ingin mengganggunya. Hingga tengah malam, ibu Bugu terus menunggu gadis itu keluar dari dalam kamar.
“Kenapa gadis itu mengurung diri terus di dalam kamar?” gumam ibu Bugu.
Rupanya, ibu Bugu sudah kuat menahan rasa kantuk hingga ia pun terlelap. Saat terbangun pada pagi harinya, tiba-tiba ia mencium bau busuk yang amat menyengat dari dalam kamar. Oleh karena penasaran, janda itu pun memberanikan diri masuk ke dalam kamar. Betapa terkejutnya ia saat melihat tubuh gadis itu terbujur kaku dan berbau busuk.
“Buguuu… Buguuu… ternyata gadis yang kamu bawa itu sudah meninggal,” gumam ibu Bugu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Perempuan tua itu pun segera menemui anaknya.
“Bugu, rupanya kamu membawa mayat ke rumah ini. Gadis itu berbau busuk. Itu artinya ia sudah sudah meninggal dunia,” ungkap ibu Bugu.
“Oh, begitu,” jawab Bugu dengan lugunya.
Akhirnya, Bugu dan ibunya segera mengubur mayat gadis itu. Begitu usai mengubur gadis itu, tiba-tiba ibunya kentut.
“Aduh, Ibu bau sekali. Rupanya Ibu sudah mati juga,” kata Bugu.
Pemuda pandir itu langsung mengangkat ibunya untuk dikubur. Ibunya pun meronta-ronta lalu pergi meninggalkan Bugu. Tak berapa lama kemudian, kini giliran Bugu yang kentut.
“Hmm… aku bau sekali. Berarti aku juga sudah mati,” gumam Bugu, “Tapi, siapa yang akan menguburku?”
Bingung karena tidak orang yang menguburnya, Bugu kemudian terjun ke sungai dan terus menyelam. Namun karena tidak tahan di dalam air, ia pun segera mengapung. Saat itu, ia melihat seorang pria yang sudah dikenalnya. Namun, pria yang bernama Bakhetih itu rupanya seorang pencuri. Saat itu Bakhetih sedang berdiri di bawah pohon mangga di tepi sungai. Bugu lalu menghampirinya.
“Hai, Bakhetih. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Bugu.
“Aku sedang menunggu mangga jatuh, Bugu,” jawab Bakhetih.
Akhirnya, Bakhetih pun mengajak Bugu ikut bersamanya pergi mencuri. Mula-mula Bugu diajak mencuri ayam karena ia amat menyukai hati ayam. Namun, Bugu menolak.
“Aku ingin hati yang lebih besar,” kata Bugu.
“Baiklah, kalau begitu. Sebaiknya kita mencuri kerbau saja,” ujar Bakheti.
Malam harinya, kedua orang itu mendatangi rumah seorang warga untuk mencuri kerbau. Namun, ketika hendak mengeluarkan kerbau itu dari kandangnya, tiba-tiba Bugu batuk-batuk sehingga kehadiran mereka ketahuan oleh si pemilik kerbau. Rencana mereka pun gagal.
Malam berikutnya, Bakhetih menyuruh si Bugu seorang diri untuk mencuri uang di istana raja. Sebelum ia pergi, Bakheti berpesan kepadanya.
“Bugu, ketahuilah bahwa ciri-ciri uang itu adalah berat, licin jika dipegang, dan berbunyi jika dipukul!” ujar Bakhetih.
“Baik, Bakheti,” jawab si Bugu.
Setelah itu, berangkatlah si Bugu ke istana raja. Sesampai di sana, ia pun berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar tempat penyimpanan uang raja melalui loteng. Karena suasana gelap, Bugu pun meraba dan merasakan ada benda menonjol dan licin.
“Benda ini pasti uang,” pikirnya.
Untuk menyakinkan dirinya bahwa benda itu adalah benar-benar uang, si Bugu memukul-mukul benda itu.
“Ting…. Ting… Ting…!!!” demikian suara uang logam itu.
Karena suaranya nyaring sekali, penjaga kamar yang sedang terlelap pun terbangun. Tak ayal, aksi Bugu pun ketahuan dan akhirnya ditangkap. Ia kemudian dilaporkan kepada sang Raja.
“Cepat masukkan ke dalam pencuri itu!” titah sang Raja.
Malam itu juga, si Bugu dimasukkan ke penjara. Pada esok harinya, raja memerintahkan kepada pengawalnya untuk memberi hukuman mati kepada si Bugu.
“Bawa pemuda itu ke hutan dan bakarlah dia!” titah sang Raja.
Bugu pun dibawa ke hutan oleh beberapa pengawal istana. Setiba di hutan, Bugu diikat di sebatang pohon. Sementara para pengawal pergi mencari kayu bakar. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang pedagang lewat dan bertanya kepada Bugu.
“Hai, kenapa kamu diikat seperti itu?” tanya pedagang itu.
“Saya sedang berobat, Tuan. Pinggang saya sekali karena terlalu sering berdagang,” jawab Bugu.
Rupanya, pedagang itu terpengaruh oleh ucapan si Bugu. Ia pun ingin berobat seperti halnya si Bugu.
“Kalau begitu, bolehkah saya ikut berobat? Pinggang saya sakit sekali,” pinta pedagang itu.
“Tentu, Tuan,” jawab si Bugu, “Tapi, lepaskan dulu tali ini!”
Akhirnya, pedagang itu melepaskan tali ikatan Bugu. Setelah itu, ia diikat di batang pohon itu menggantikan si Bugu. Sementara itu, si Bugu segera meninggalkan tempat itu.
Selang beberapa saat kemudian, para pengawal telah kembali. Tanpa memperhatikan tawanannya, mereka langsung menimbuni pedagang itu dengan kayu lalu membakarnya. Pedagang itu pun akhirnya tewas karena hangus terbakar.
Sementara itu, si Bugu kembali ke istana untuk membalas dendam kepada Raja. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat si Bugu masih hidup.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu masih hidup? Bukankah seharusnya kamu sudah mati terbakar?” tanya raja dengan heran.
“Benar, Baginda. Hamba memang sudah mati dibakar, tapi para bidadari mengangkat hamba ke kahyangan. Di sana hamba bertemu dengan kerabat Baginda. Mereka sangat rindu dan ingin bertemu dengan Baginda,” kata si Bugu, “Tapi, Baginda harus mati dulu dengan cara membakar diri.”
“Benarkah begitu, wahai anak muda?” tanya sang Raja seolah-olah tidak percaya.
“Benar, Baginda. Silakan saja jika Baginda Raja ingin ke kahyangan menemui mereka!” ujar si Bugu.
Sang Raja pun ingin sekali ke kahyangan untuk menemui kerabatnya. Ia lalu membakar diri hingga akhirnya tewas. Melihat peristiwa itu, permaisuri raja amat sedih. Si Bugu pun berusaha menenangkan hatinya.
“Sudahlah, Permaisuri! Restuilah kepergian Baginda, semoga hidupnya tenang di surga,” ujar si Bugu.
“Bagaimana dengan kerajaan ini?” tanya permaisuri bingung.
“Tenang, Permaisuri! Selama Baginda berada di surga, saya diminta menggantikannya sebagai raja dan engkau menjadi permaisuriku,” ujar si Bugu.
Sang Permaisuri pun tak kuasa menolak kenyataan itu. Maka, sejak itulah si Bugu menjadi raja dan kemudian mengangkat Bakhetih si pencuri menjadi pengantar surat istana. 
* * *
Demikin cerita Si Bugu yang Pandir dari daerah Lampung. Kisah di atas hanyalah sebuah cerita dongeng yang berkembang di kalangan masyarakat Lampung. Di balik cerita di atas, tersimpan pesan-pesan moral yang dapat dipetik untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah bahwa janganlah kita terlalu mudah percaya pada perkataan seorang yang pandir seperti si Bugu karena akibatnya akan menyesatkan.

Sabtu, 23 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putri Siluman

Putri Siluman adalah seorang penjaga sebuah sumur yang terdapat di daerah Lampung, Indonesia. Putri Siluman terkenal memiliki ilmu yang mampu memberikan keturunan bagi pasangan suami-istri yang belum mempunyai anak. Suatu ketika, datanglah seorang raja untuk meminta bantuan kepadanya agar dikaruniai seorang putra mahkota yang dapat meneruskan tahtanya kelak. Namun, raja itu justru jatuh cinta kepada Putri Siluman dan menikahinya. Ketika Putri Siluman hamil, mencullah masalah besar, yaitu dia mengidam kepala manusia untuk lauk makan setiap hari. Akankah sang raja memenuhi semua permintaan Putri Siluman tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Siluman berikut ini.



Alkisah, di sebuah negeri di daerah Lampung, Indonesia, ada seorang raja yang sudah puluhan tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama permaisurinya, namun belum dikaruniai seorang anak. Sang raja tidak sabar lagi ingin segera mempunyai putra yang kelak akan menggantikan kedudukannya. Ia pun mulai putus asa karena berbagai macam usaha telah dilakukannya, tetapi belum satu membuahkan hasil. 

Suatu hari, ketika sang raja sedang duduk termenung seorang diri di singgasananya, tiba-tiba seorang pengawal istana datang menghadap.
“Ampun Baginda, jika kedatangan hamba mengganggu ketenangan Baginda!” lapor pengawal itu.
“Kabar apa yang akan kamu sampaikan pengawal?” tanya sang raja.
“Ampun, Baginda! Semoga berita yang hamba bawa ini adalah berita gembira buat Baginda,” kata si pengawal.
“Kabar apakah itu, hai pengawal? Cepat katakan kepadaku!” seru sang raja.
“Ampun, Baginda! Hamba baru saja mendengar kabar bahwa siapa pun yang ingin mempunyai anak hendaknya datang ke sebuah sumur yang dijaga oleh Putri Siluman,” lapor pengawal itu.
“Di mana sumur itu berada?” tanya sang raja dengan tidak sabar.
“Ampun, Baginda! Sumur itu berada di ujung negeri ini,” jawab pengawal itu.

Tanpa berpikir panjang, sang raja segera menuju ke tempat itu untuk menemui Putri Siluman. Alangkah terkejutnya saat ia tiba di sana karena wanita yang ditemuinya berbeda dari apa yang ada di dalam pikirannya. Sebelumnya, ia mengira bahwa wajah Putri Siluman itu sangat jelek dan menyeramkan. Namun, tanpa diduganya ternyata Putri Siluman adalah seorang wanita cantik yang mempesona. Tak ayal lagi, sang raja pun terpesona kepada kecantikan Putri Siluman itu. Niatnya yang semula ingin meminta pertolongan agar ia dan permaisurinya dikaruniai anak kini berubah menjadi ingin menikahi wanita penunggu sumur itu.

Putri Siluman itu pun tidak langsung menerima ajakan sang raja karena ia tahu bahwa raja itu masih mempunyai permaisuri di istana. Oleh karena itulah, ia menuntut kepada sang raja agar menceraikan permaisurinya.
“Jika Tuan ingin menikahi hamba, maka ceraikanlah permaisuri Tuan terlebih dahulu karena hamba tidak rela diduakan!” pinta Putri Siluman.

Sang raja yang telah dibutakan oleh cinta itu bersedia memenuhi tuntutan Putri Siluman. Apalagi ia menyadari bahwa selama ini permaisurinya tidak mampu memberikannya keturunan. Akhirnya, sang Raja bergegas kembali ke istana untuk menceraikan permaisurinya lalu mengasingkannya ke suatu tempat yang jauh. Setelah itu, ia pun menikahi Putri Siluman dan memboyongnya ke istana. 

Beberapa bulan kemudian, Putri Siluman diketahui sedang mengandung. Alangkah senangnya hati sang raja mendengar kabar tersebut. Kehadiran putra penerus tahta kerajaan yang sudah bertahun-tahun dinantikannya tidak lama lagi akan menjadi kenyataan. Namun, sang raja lupa jika pemaisuri barunya adalah seorang siluman. Keadaan itu baru disadarinya ketika Putri Siluman mengidam kepala manusia untuk lauk makan setiap hari. 

Tentu saja hal tersebut membuat sang raja bingung. Jika ia menolak permintaan Putri Siluman itu, maka keselamatan bayinya bisa terancam. Sang paja pun terpaksa menuruti semua permintaan Putri Siluman. Akibatnya, banyak rakyat yang menjadi korban. Keadaan itu membuat seluruh rakyat di negeri itu menjadi resah karena mereka tinggal menunggu giliran kepala mereka yang akan menjadi santapan Putri Siluman. 

Berita tentang keresahan rakyat di negeri itu pun sampai ke telinga seorang pertapa sakti. Oleh karena prihatin terhadap nasib penduduk negeri itu, maka segeralah ia turun gunung dan kemudian menuju ke istana untuk menguji kesaktian Putri Siluman. Pertapa itu datang ke istana membawa seekor kepala kambing yang sudah disulap menjadi kepala manusia untuk dipersembahkan kepada Putri Siluman. Namun, tipu muslihat pertapa itu diketahui oleh Putri Siluman. Akhirnya wanita siluman itu menjadi murka dan seketika itu pula berubah menjadi setan yang menakutkan. 

Meski demikian, pertapa itu tetap saja tenang dan bahkan menawarkan tubuhnya untuk dimakan Putri Siluman.
“Baiklah, Putri Siluman! Jika kamu memang sudah kelaparan, aku bersedia mengorbankan seluruh tubuhku untuk kamu santap. Silakan sembelihlah aku!” seru pertapa itu. 

Tanpa berpikir panjang, Putri Siluman segera menyembelih dan kemudian memotong-motong tubuh pertapa itu hingga menjadi beberapa bagian. Begitu ia hendak menyantapnya, tiba-tiba potongan-potongan tubuh pertapa itu menyatu kembali. Tentu saja hal itu membuat Putri Siluman semakin murka. Dalam sekejap, seluruh tubuhnya berubah menjadi setan. Pertarungan sengit antara Putri Siluman dengan pertapa itu pun tak terelakkan lagi. Pertarungan yang berlangsung cukup lama itu akhirnya dimenangkan oleh sang pertapa, sedangkan Putri Siluman melarikan diri entah ke mana dalam keadaan hamil. Sementara itu, sang raja harus menjalani kehidupannya sebagai raja tanpa didampingi permasuri.

Dua puluh tahun kemudian, di tempat pengasingannya, permaisuri raja hidup bersama dengan seorang pemuda gagah yang bernama Putra Mayang. Dia adalah putra sang raja dan sang permaisuri. Rupanya, ketika diasingkan oleh raja, sang permaisuri sedang mengandung tujuh hari. Ketika itu, jangankan sang raja, ia sendiri baru mengetahui hal itu setelah berada di tempat pengasingan. Setelah melahirkan, ia pun merawat putra semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang. Putra Mayang pun tumbuh menjadi pemuda yang sakti mandraguna karena sejak kecil ia berguru ilmu kesaktian kepada seorang kakek di tempat pengasingan itu.  

Pada suatu hari, sang permaisuri bercerita kepada Putra Mayang bahwa ayahandanya adalah seorang raja yang sangat terkenal. Mendengar cerita itu, Putra Mayang berpamitan kepada ibundanya untuk mencari sang ayah. Setelah berhari-hari berjalan menyusuri hutan belantara, tibalah ia di kota kerajaan. Putra Mayang tidak ingin terburu-buru menemui ayahandanya karena khawatir tidak diakui sebagai anak. Oleh karena itu, ia menyamar sebagai juru masak istana untuk mengetahui suasana istana dan ayahandanya. 

Pada suatu malam, ketika Putra Mayang sedang beristirahat tiba-tiba seisi istana menjadi gempar. Seorang bayi hilang diculik oleh seseorang yang misterius. Setelah diusut ternyata peristiwa itu bukan kali pertama terjadi di istana. Beberapa malam yang lalu, bayi seorang menteri juga menjadi korban penculikan. Mengetahui situasi tersebut, Putra Mayang mulai melakukan pengintaian secara diam-diam. Alhasil, pada malam berikutnya ia berhasil memergoki penculik tersebut dan kemudian mengejarnya hingga terpojok di sudut benteng istana.
“Hai keparat, berhenti!” seru Putra Mayang.

Penculik itu pun terpaksa berhenti karena terpojok. Sambil menggendong seorang bayi, penculik itu balik menantang Putra Mayang untuk mengadu kesaktian.
“Hai, anak muda! Ambillah bayi ini jika kamu berani!” tantang penculik itu.
“Hai, Penculik! Siapa kamu dan kenapa kamu menculik bayi yang tidak berdosa itu?” tanya Putra Mayang.
“Ketahuilah, aku ini adalah anak Putri Siluman dan raja negeri ini! Ha… ha… ha…!!!” jawab penculik itu seraya tertawa terbahak-bahak. 

Rupanya, beberapa hari sebelum kedatangan Putra Mayang ke istana, anak Putri Siluman itu terlebih dahulu tiba di istana untuk mencari ayahandanya dan ternyata sang raja mengakuinya sebagai putra. Namun, tanpa sepengetahuan sang Raja, anak Putri Siluman itu menuruni tabiat ibunya sebagai siluman yang suka memangsa manusia. 

Mendengar pengakuan tersebut, Putra Mayang menjadi tidak sabar ingin melenyapkan manusia siluman itu. Pertarungan antara kedua pemuda yang bersaudara seayah itu tidak terelakkan lagi. Dalam pertarungan tersebut, Putra Mayang berhasil mengalahkan anak Putri Siluman. 

Sementara itu, Putri Siluman yang mengetahui hal tersebut menjadi murka. Ia pun mendatangi Putra Mayang di istana untuk membalaskan dendam anaknya sehingga terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Putra Mayang berhasil membinasakan Putri Siluman. Kematian wanita siluman dan putranya itu disambut gembira oleh sang raja dan seluruh rakyatnya. Negeri itu pun kembali aman dan damai.

Sementara itu, Putra Mayang segera menghadap sang raja untuk menyampaikan maksud kedatangannya ke istana.
“Ampun, Baginda! Apakah Baginda masih ingat dengan permaisuri yang pernah Baginda ansingkan dua puluh tahun lalu?” tanya Putra Mayang.

Mendengar pertanyaan itu,  sang raja langsung tersentak kaget.
“Hai, anak muda! Apakah kamu mengenalnya? Apakah permaisuriku itu masih hidup?” tanya sang Raja secara bertubi-tubi.

Betapa terkejutnya sang raja ketika pemuda itu mengaku bahwa dia adalah putra dari permaisuri yang malang itu.
“Apa katamu? Kamu jangan mengada-ada, wahai anak muda! Bukankah permaisuriku itu mandul?” tanya sang raja.

Putra Mayang pun menceritakan semua peristiwa yang dialami bersama ibundanya di tempat pengasingan hingga ia bisa sampai ke istana. Mendengar cerita itu, sang raja menjadi terharu dan kemudian lansung merangkul Putra Mayang.
“Oh Putraku, maafkan ayah nak! Ayah sangat menyesal karena telah menyia-nyiakan kalian,” ucap sang Raja sambil meneteskan air mata dalam pelukan putranya.
“Sudahlah, Ayahanda! Lupakanlah semua yang sudah terjadi,” ujar Putra Mayang dengan penuh bijaksana.
“Terima kasih Putraku karena kalian sudah memaafkan kesalahan ayah,” kata sang raja.
“Baiklah, ayahanda! Sebaiknya kita segera menjemput ibunda. Beliau sudah lama sekali merindukan ayahanda,” kata Putra Mayang.

Setelah menyiapkan segala perlengkapan dan sejumlah pengawal istana, berangkatlah sang raja bersama Putra Mayang untuk menjemput permaisurinya di tempat pengasingan untuk diboyong ke istana. Akhirnya, sang raja dapat berkumpul kembali bersama permaisuri dan putranya. Mereka pun hidup rukun dan bahagia.
* * *
Demikian cerita Putri Siluman dari daerah Lampung, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sebaiknya kita jangan terlalu cepat berputus asa seperti sang raja. Oleh karena putus asa tidak dikaruniai seorang putra, ia rela menceraikan permaisurinya dan menikah dengan wanita siluman. Akibatnya, banyak orang yang menjadi korban atas tindakannya tersebut. Selain keluarganya tersia-siakan, banyak pula rakyatnya yang menjadi korban dari keberingasan Putri Siluman dan putranya yang suka memangsa manusia. Selain itu, sifat pemaaf seperti yang dimiliki oleh Putra Mayang dan ibundanya merupakan sifat yang terpuji. Sebesar-besar kesalahan sang Raja, mereka masih bersedia memaafkannya sehingga mereka pun dapat berkumpul kembali dan hidup bahagia.

Jumat, 22 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Ratu Ali

Ratu Ali adalah tokoh legendaris dalam masyarakat Tanggamus, di Provinsi Lampung. Ia dikenal sebagai ulama yang pandai, berilmu, dan berwibawa. Dengan kepandaiannya, ia melindungi penduduk Tanggamus dari berbagai ancaman bahaya. Hingga kini, namanya tetap dikenang oleh masyarakat setempat sebagai seorang yang suka menolong sesama. Bagaimana sepak terjang Ratu Ali dalam melindungi penduduk Tanggamus dari berbagai acaman bahaya tersebut? Berikut kisah ulama legendaris yang sakti tersebut.
* * *
Pada zaman dahulu, di sekitar Teluk Lampung terdapat sebuah pantai yang indah dan subur. Pemandangan di sekeliling pantai merupakan perpaduan antara alam laut yang indah, perbukitan yang anggun, serta daratan landai yang subur. Gelombang lau di pantai tidak terlalu besar dan warna airnya biru jernih. Ikan-ikan pesisir banyak terlihat berkejar-kejaran di sekitar bibir pantai. Di daerah pantai, banyak terdapat tanaman pakis dan paku yang tumbuh secara alami. Tidak heran jikan pantai tersebut dinamakan Pantai Paku.


Agak jauh dari Pantai Paku, terdapat sebuah perkampungan bernama Kelumbayun. Penduduknya hidup dengan bertani, berladang, dan mencari hasil-hasil hutan. Suatu hari, seorang penduduk Kelembayun sampai di Pantai Paku ketika ia sedang mencari kayu bakar. Betapa takjubnya warga Kelumbayun itu saat menyaksikan keindahan pemandangan di sekelilingnya serta kesuburan tanah daerah itu. Wilayah pantai itu tampak begitu alami dan belum terjamah oleh tangan manusia. 

Usai menyaksikan dan mengamati keadaan alam di sekitar Pantai Paku, warga itu bergegas kembali ke perkampungan. Kepada seluruh warga Kelembayun, warga itu menceritakan perihal keadaan Pantai Paku yang telah disaksikannya. Mendengar cerita tersebut, para warga Kelembayun berbondong-bondong menuju ke Pantai Paku. Setelah melihat keindahan dan kesuburan pantai itu, akhirnya banyak penduduk Kelembayun yang memutuskan untuk pindah dan menetap di Pantai Paku. Di pantai itu, mereka mendirikan sebuah perkampungan dan membuka lahan pertanian dan perkebunan di sekitar pantai. Mereka menanam damar, cengkih, kopi, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga mencari hasil-hasil laut seperti ikan lokan, kerang bahekang, dan rumput laut. 

Selang beberapa waktu kemudian, datang pula seorang ulama dari daerah Jewalang Teluk Bentung. ingin menetap di Pantai Paku. Ulama itu bernama Ali. Ia adalah ulama yang alim, pandai, dan suka menolong sesama. Kedatangannya ke Pantai Paku untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk setempat. Setiap hari ia mengajari anak-anak maupun orang dewasa mengaji. Karena kealimannya, penduduk setempat memanggilnya Ratu Ali. Selain mengajar mengaji, sehari-hari Ratu Ali juga bertani, berkebun, dan mencari ikan di pantai. 

Pada suatu malam, Ratu Ali bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang berjenggot lebat. Dalam mimpi tersebut, kakek itu berpesan kepadanya.
“Wahai, Ratu Ali! Jika engkau ingin menyelamatkan kampung ini dari ancaman bahaya, pergilah bertapa ke Pulau Teluk Paku selama empat puluh hari empat puluh malam. Tapi, ingat! Kamu harus melalui berbagai macam ujian dalam pertapaanmu. Jika engkau lulus ujian, maka Allah SWT akan memberimu kekuatan yang sangat dahsyat,” ujar kakek itu.

Ketika Ratu Ali akan menanyakan tentang ancaman bahaya yang akan menimpa kampungnya, kakek itu tiba-tiba menghilang. Begitu terbangun, Ratu Ali merasa bahwa mimpi bertemu dengan kakek itu seolah-olah nyata. Ia mendengar dengan sangat jelas semua pesan-pesan yang disampaikan kakek itu. Ia pun sangat yakin dan percaya terhadap pesan-pesan tersebut. 

Pada hari Jumat, seusai sembahyang Jumat, Ratu Ali berangkat ke Pulau Teluk Paku dengan menyeberangi pantai. Di pulau itu, ulama yang berjiwa penolong itu memulai pertapaannya di atas sebuah batu besar di dalam sebuah gua. Di dinding-dinding batu di sekitarnya tampak ribuan kelelawar sedang bergelantungan. Suasana di dalam gua itu tampak sepi. Kawanan kelelawar tersebut terlihat tenang dan tidak merasa terusik oleh kedatangan Ratu Ali. Hanya suara gemercik air yang terdengar memecah kesunyian di dalam gua tersebut. 

Pada hari pertama, kedua, ketiga hingga hari kesepuluh, Ratu Ali masih tampak tenang dan khusyuk dalam pertapaannya. Ulama itu merasakan kekuatan di dalam tubuhnya berangnsur-angsur bertambah. Ia pun semakin khusyuk bertanpa hingga kekuataannya hampir mendekati sempurna. Namun, begitu memasuki hari ketiga puluh delapan, gangguan pun mulai datang. Raja Setan datang ke Pulau Teluk Paku dengan sebuah kapal besar untuk menggoda dan mengganggu pertapaannya. Dengan kesaktiannya, Ali segera mengubah kapal Raja Setan tersebut menjadi batu dengan hanya mengucapkan kata-kata tanpa harus meninggalkan tempat pertapaannya. 

“Hai, kapal! Berubalah menjadi batu besar!” 

Seketika, kapal itu menjelma menjadi batu besar. Raja Setan pun langsung lari tunggang-langgang karena ketakutan. Konon, batu itu diberi nama Batu Kapal karena bentuknya menyerupai kapal. Sementara itu, Raja Setan itu mendendam kepada Ratu Ali. Pelampiasan dendamnya dicurahkan kepada setiap warga yang melewati perairan Pulau Teluk Paku. Setiap ada perahu yang lewat akan diganggunya. Akan tetapi, Raja Setan itu tidak berani mengganggu jika warga tersebut menyebut nama Ratu Ali.

Memasuki hari keempat puluh sembilan pertapaannya, Ratu Ali semakin hampir mencapai kesempurnaan kekuatannya. Namun demikian, godaan yang datang kepadanya pun semakin berat. Pada hari itu, angin bertiup kencang dan gelombang laut menderu-deru seakan-akan hendak menutupi Pulau Teluk Paku. Ratu Ali tetap khusyuk dalam pertapaannya. Ia tidak perduli lagi dengan keadaan yang terjadi di sekelilingnya. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba kakek yang berjenggot lebat itu datang mendengkatinya.

“Wahai, Ratu Ali! Bukalah mulutmu!” seru kakek itu.

Begitu Ratu Ali membuka mulut, kakek itu memasukkan tiga buah benda sebesar biji kopi ke dalam mulut Ratu Ali. Setelah itu, kakek itu menghilang entah ke mana. Selang beberapa waktu kemudian, tiupan angin semakin kencang sehingga banyak pepohonan yang tumbang di pulau itu. Penduduk Pantai Paku yang menyaksikan peristiwa itu dari Pantai Paku menjadi ketakutan. Ketika mengetahui Ratu Ali berada di pulau tersebut, mereka pun segera memohon pertolongan kepada Allah SWT agar menyelamatkan Ratu Ali dari bencana angin ribut tersebut.
Tak berapa kemudian, tiba-tiba para penduduk dikejutkan oleh sebuah benda yang diterbangkan angin di atas Pulau Teluk Paku. Benda itu berputar-putar di udara dan kemudian jatuh terhempas di Pantai Paku. Begitu mereka ingin melihatnya dari arah dekat, tiba-tiba benda itu kembali diterbangkan angin ke udara. Benda aneh itu berputar-putar di udara beberapa saat dan kemudian kembali terjatuh di Pantai Paku. Rupanya, benda itu adalah Ratu Ali yang telah memperoleh ilmu tinggi. Ratu Ali sendiri tidak sadar kalau dirinya diterbangkan angin. 

Setelah itu, suasana kembali berangsur-angsur normal. Ratu Ali masih terlihat tergeletak tidak sadarkan diri. Tak berapa lama kemudian, hujan deras turun mengguyur seluruh tubuhnya sehingga ia kembali sadar. Tidak jauh dari tempat Ratu Ali tergeletak di pantai itu, tiba-tiba muncul sebuah sumur. 

Bebarapa hari setelah kejadian itu, Ratu Ali kembali bermimpi didatangi oleh kakek itu. Kakek yang berjengkot panjang itu berpesan kepada Ratu Ali agar tempat tidurnya itu dijadikan sebagai tempat sembahyang. Sementara itu, sumur yang muncul di dekat tempat Ratu Ali terjatuh agar dijadikan sebagai tempat untuk mengambil air wudhu. Sumur itu kemudian dinamakan Sumur Ratu Ali. Sebelum pergi dari mimpi Ratu Ali, kakek itu berpesan kepada Ratu Ali.

“Wahai, Ratu Ali! Kini, ilmumu telah mencapai tingkat kesempurnaan. Kekuatanmu sama seperti kekuatan 10 ekor gajah, dan ucapanmu adalah senjata yang sakti. Pergunakanlah dengan sebaik-baiknya ilmu tersebut untuk menolong dan melindungi sesama,” ujar kakek itu seraya menghilang.

Begitu kakek itu pergi dari mimpinya, Ratu Ali pun terbangun. Dalam hatinya berkata bahwa ia berjanji akan menuruti semua nasehat kakek itu. 

Kini, Ratu Ali adalah seorang ulama yang berilmu tinggi dan berwibawa. Meski demikian, ia tidak pernah merasa sombong dan angkuh. Sesuai dengan nasehat sang kakek, Ratu Ali akan menjadi penolong dan pelindung bagi masyarakat sekitarnya. 

Pada suatu hari, kampung Pantai Paku kembali gempar karena didatangi dua ekor naga. Kedua binatang raksasa itu hendak mengganggu para penduduk yang sedang mencari ikan di pantai. Seorang penduduk segera melaporkan kejadian itu kepada Ratu Ali. Mendapat laporan tersebut, ulama yang sakti itu segera menuju ke pantai. Dengan ucapannya yang sakti, ia pun mengubah kedua naga itu menjadi batu. 

Sejak peristiwa tersebut, tak satu makhluk pun yang berani datang mengganggu penduduk Pantai Paku. Sementara itu, Ratu Ali senantiasa menjadi pelindung bagi masyarakat sampai akhir hayatnya. Hingga kini, ia tetap dikenang oleh masyarakat setempat sebagai seorang ulama yang suka menolong sesama.
* * *
Demikian cerita Ratu Alit dari Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Cerita di atas merupakan cerita legenda yang menceritakan beberapa asal-asul nama tempat dan nama-nama benda yang ada di daerah tersebut, seperti nama Batu Kapal sebagai penjelmaan dari kapal Raja Setan, Batu Naga sebagai penjelmaan dari dua ekor naga, Sumur Ratu Ali sebagai penjelmaan tempat Ratu Ali terjatuh, dan beberapa asal-asul nama tempat lainnya. 

Pelajaran yang dapat dipetik bahwa cerita di atas mengajarkan agar senantiasalah kita rendah hati meskipun kita memiliki ilmu yang tinggi dan mengamalkan ilmu tersebut untuk menolong dan melindungi masyarakat di sekitar kita, sebagaimana yang dilakukan oleh Ratu Ali. Berkat kebaikannya, Ratu Ali senantiasa dikenang oleh masyarakat di daerah tersebut.