Tampilkan postingan dengan label Jawa Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa Barat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Nama Girilawungan

Girilawungan adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di tanah Sunda, tepatnya di Majalengka, Jawa Barat. Istilah “girilawungan” berasal dari kata ngalawung dalam bahasa Sunda, yang berarti “berhadap-hadapan”. Menurut cerita, pernah terjadi suatu peristiwa ngalawung di sebuah tempat sehingga tempat itu kemudian dinamakan Girilawungan. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam ceria Asal Usul Nama Girilawungan.
Dahulu di tanah Pasundan, ada seorang raja bernama Pangeran Giri Layang. Ia masih keturunan Raja Pajajaran. Pangeran Giri Layang adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Dalam memerintah negara, ia dibantu oleh adik perempuannya yang bernama Putri Giri Larang dan seorang patih bernama Endang Capang.
Suatu hari, Pangeran Giri Layang sedang bercakap-cakap dengan adiknya di pendopo istana. Putri Giri Layang berkata kepada kakaknya,
“Kanda, Dinda ingin mengatakan sesuatu. Tapi, sebelumnya Dinda mohon maaf jika nantinya ada perkataan Dinda yang menyinggung perasaan Kanda,” kata Putri Giri Larang.
“Ada apa yang ingin kamu katakan, Adikku?” ujar Pangeran Giri Layang,
“Begini, Kanda. Dinda sudah lama membantu Kanda mengelola negeri ini dan sudah banyak pula ilmu yang Dinda peroleh dari Kanda. Tapi, Dinda merasa perlu banyak belajar lagi. Sekiranya Kanda mengizinkan, Dinda ingin pergi merantau untuk menambah ilmu.”
Mendengar permintaan itu, Pangeran Giri Layang tertegun. Ia merasa amat berat melepas kepergian adiknya. Namun, tak ada alasan baginya untuk menolak permintaan tersebut. Ia pun mengelus-elus kepala adiknya, lalu berkata.
“Adikku, engkaulah satu-satunya yang Kanda sayangi. Tapi, jika itu sudah menjadi tekadmu, Kanda merestui kepergian Dinda. Semoga Dinda tidak mendapat rintangan apa pun,” kata Pangeran Giri Layang, “Ingat pesan Kanda, jika berjalan ke arah timur, Dinda jangan sampai melampaui perbatasan.”
“Baik, Kanda. Terima kasih atas doa restu Kanda,” ucap Putri Giri Larang.
Keesokan paginya, Putri Giri Larang bersiap-siap. Setelah berpamitan kepada kakaknya, berangkatlah ia menuju ke arah timur dengan berjalan kaki seorang diri. Setelah berbulan-bulan keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, serta mendaki gunung dan lembah, sampailah ia di sebuah hutan belantara yang sepi. Hanya suara-suara binatang hutan yang terdengar saling bersahut-sahutan.
Putri Giri Larang terus berjalan di antara pepohonan. Alangkah terkejutnya sang Putri, ia menemukan sebuah taman yang indah di pedalaman hutan. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam yang airnya sangat jernih. Kolam itu dikelilingi pula tanaman bunga yang beraneka warna. Putri pun tak kuasa menahan rasa kagum menyaksikan pemandangan itu.
“Oh, pemandangan yang sungguh indah. Tapi, kenapa ada taman di tengah hutan ini?” heran sang Putri, “Siapa yang membuatnya?”
Putri Giri Larang duduk di pinggir kolam lalu merendam kedua kakinya ke dalam air. Setelah merasakan kesejukan air itu, ia lalu berpikiran ingin mandi.
“Sebaiknya aku mandi saja di kolam ini untuk menghilangkan rasa letih,” gumamnya.
Sang Putri pun segera menanggalkan pakaian dan meletakkannya di pinggir kolam. Ia lalu mencebur ke dalam kolam dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Sejuknya air kolam itu terasa menusuk hingga ke ubun-ubunnya. 
Ketika sang Putri sedang asyik berendam di kolam itu, tanpa disadari ada seorang lelaki setengah baya menuju ke kolam. Lelaki itu adalah seorang patih dari sebuah kerajaan di Jawa yang bertugas merawat dan menjaga kolam itu agar tetap bersih. Taman itu merupakan tempat Raja Jawa beristirahat sepulang dari berburu.
Patih itu terkejut begitu melihat seorang putri cantik sedang mandi di kolam. Cepat-cepatlah ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi putri itu.
“Cantik sekali putri itu, bagaikan bidadari dari kahyangan,” kagum patih itu, “Tapi, siapa putri itu dan dari mana asalnya?”
Sang Patih tiba-tiba teringat pada rajanya yang sedang mencari pasangan untuk dijadikan permaisuri.
“Raja pasti tertarik pada putri itu,” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Patih itu segera mengambil pakaian sang putri. Rupanya, sang Putri mengetahuinya. Ketika Putri naik ke darat hendak merebut pakaiannya, Patih itu segera berlari. Sang Putri pun segera mengejarnya, sang Patih sengaja memperlambat langkahnya agar sang putri terus mengikutinya hingga ke istana.
Setiba di istana, Patih itu segera menyerahkan pakaian sang Putri kepada sang Raja.
“Ampun, Gusti. Hamba mempersembahkan sebuah bingkisan untuk Gusti,” sembah patih itu.
“Hai, pakaian siapa ini?” tanya sang Raja heran.
“Pakaian itu milik seorang putri. Putri itu sedang mandi di kolam Gusti,” ungkap patih itu, “Putri itu cantik jelita bagai bidadari. Barangkali saja Gusti tertarik padanya.”  
“Wah, kamu memang Patih yang pengertian. Mana putri itu?” tanya sang Raja.
Belum sempat patih itu menjawab, tiba-tiba Putri Giri Larang muncul dan berteriak.
“Hai, pencuri. Cepat kembalikan pakaianku!” serunya, “Dasar kalian tidak sopan. Beraninya mencuri pakaian wanita yang sedang mandi.”
Jantung sang Raja langsung berdetak kencang saat melihat kecantikan Putri Giri Larang. Raja tersenyum lalu menyapa sang putri dengan kata-kata lembut.
“Maafkan kami atas perlakuan patihku, Putri cantik,” ucap sang Raja.
“Hai, pencuri. Cepat kembalikan pakaianku! Kalau tidak, aku hancurkan seluruh isi keraton ini!” ancam sang Putri.
“Sabar, Putri,” ujar sang Raja dengan tenang, “Kami tidak ingin mencari keributan. Sebaiknya Putri beristirahat dulu, setelah itu kami akan menyerahkan pakaian Putri.”
Dengan kata-kata lembut sang Raja, hati Putri Giri Larang akhirnya luluh. Setelah mandi dan beristirahat, ia pun berunding dengan sang Raja.
“Maaf, Putri. Kalau boleh saya tahu, siapa sebenarnya Putri dan berasal dari mana?” tanya sang Raja.
Putri Giri Larang pun memperkenalkan namanya lalu menjelaskan asal-usulnya. Mendengar penjelasan itu, sang Raja pun mengungkapkan isi hatinya.
“Begini. Sebenarnya aku memang sedang mencari istri untuk kujadikan permaisuri. Kebetulan sekali aku telah bertemu dengan Putri yang selama ini kudambakan. Bersediakah Putri menjadi permaisuriku?” pinang sang Raja.
Mendengar permintaan itu, tiba-tiba sang Putri merasa sekujur tubuhnya menjadi lemah. Kekuatannnya terasa tersedot oleh kekuatan gaib. Pada saat itulah, ia baru tersadar dan teringat pada nasehat kakaknya dirinya telah melewati perbatasan sebelah timur sehingga kesaktiannya hilang. Dengan terpaksa, ia pun menerima lamaran sang Raja.
“Baiklah, aku terima lamaran Gusti. Tapi, dengan syarat kaum laki-laki tidak mencampuri urusan perempuan,” pinta sang Putri.
Sang Raja menyanggupi permintaan itu. Beberapa hari kemudian, pernikahan mereka pun dilangsungkan dengan amat meriah. Sejak itulah, putri keturunan Pajajaran itu menjadi permaisuri Raja.
Suatu hari, Putri Giri Larang menanak nasi, lalu pergi mandi. Beberapa saat kemudian, diam-diam sang Raja membuka kuali yang airnya sedang mendidih. Ia penasaran ingin mengetahui istrinya sedang masak apa. Alangkah terkejut dia setelah membuka kuali itu yang ternyata isinya hanya setangkai padi. Setelah mengamatinya sejenak, padi itu ia masukkan ke kuali dan menutupnya kembali.
Putri Giri Larang baru saja selesai mandi dan kembali ke dapur. Betapa marahnya ia setelah mengetahui padi di dalam kuali tak kunjung matang. Dengan perasaan kecewa, ia menghampiri suaminya.
“Engkau telah melanggar janjimu. Engkau telah berani membuka rahasia perempuan,” hardik sang Putri.
Tanpa berkata-kata lagi, Putri Giri Larang segera meninggalkan istana menuju keraton kakaknya. Setiba di sana, ia langsung merangkul kakaknya sambil menangis.
“Maafkan Dinda! Dinda tidak menghiraukan nasehat Kanda,” tangis sang Putri.
Putri yang sedang hamil tua itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya.
“Sudahlah, Dinda. Lupakanlah semua kejadian yang sudah lalu,” ujar Giri Layang, “Beristirahatlah, kasian bayi yang ada di dalam kandunganmu.”
Selang beberapa hari kemudian, Putri Giri Larang pun melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Adipati Jatiserang. Kehadiran anak itu tentu saja mencemaskan hati Pangeran Giri Layang. Ia khawatir kalau-kalau tentara kerajaan suami adiknya datang menyerang hendak mengambil Adipati Jatiserang. Kekhawatiran itu akhirnya datang juga ketika sang Pangeran mendapat petunjuk dari kakeknya melalui mimpi bahwa mereka akan datang mengambil keponakannya.
Pangeran Giri Layang pun segera berunding dengan patihnya Endang Capang serta para menterinya agar membuat kulah (lubang besar di bawah tanah) sebanyak empat buah. Keempat kulah itu akan dijadikan sebagai tempat persembunyian keluarga keraton, termasuk Putri Layang dan putranya. Tak berapa lama kemudian, tentara kerajaan suami sang Putri yang dipimpin oleh Patih Mangkunagara dan Patih Surapati pun tiba. Mereka pun langsung mencari Pangerang Giri Layang serta Putri Giri Larang dan putranya. 
“Hai, di mana Raja kalian?” tanya Patih Mangkunagara, “Kami ke mari mencari Putri Larang dan putranya.”
“Maaf, Tuan-Tuan! Pangerang Giri Layang dan Putri Giri Larang sudah wafat. Sementara Adipati Jatiserang, putra Putri Giri Larang, sedang menutut ilmu ke negeri seberang,” jawab patih Endang Capang.
Kedua patih tersebut tidak percaya dengan jawaban itu. Akhirnya, Patih Endang Capang segera membawa mereka ke tempat Pangeran Giri Layang dan Putri Giri Larang bersembunyi. Karena tidak percaya, kedua patih Majapahit itu berniat untuk menggali kulah yang mirip makam tersebut. Namun, baru saja mereka mulai menggali, tiba-tiba seluruh badan mereka menjadi lemas dan tak bertenaga. Rupanya, kekuatan mereka terhisap oleh kesaktian Pangeran Giri Layang dari dalam kulah tersebut. Karena gagal melaksanakan tugas, Patih Mangkunagara pun memerintahkan tentaranya agar tidak pulang dulu ke istana.
“Para prajuritku, jangan ada yang pulang ke istana!” ujar patih itu, “Malulah rasanya pulang dengan tangan hampa. Sebaiknya kita ngalawung (bertemu berhadap-hadapan) saja di sini sambil menunggu Putri Giri Larang keluar sebab aku yakin ia bersembunyi.”
Seluruh tentara pun menetap di tempat tersebut. Untuk mengenang peristiwa ngawalung, maka tempat itu dinamakan Negara Girilawungan yang kini dikenal dengan sebutan Babakan Jawa.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Nama Girilawungan dari Jawa Barat. Ada pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu akibat buruk dari sifat tidak mau mendengarkan nasehat seperti Putri Giri Larang, dan akibat buruk dari sifat ingkar janji seperti sang Raja yang melanggar syarat dari istrinya.

Jumat, 16 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Tangkuban Perahu

Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat Parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.



Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati.

Dayang Sumbi sangat cantik dan cerdas, banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Galau hati Dayang Sumbi melihat kekacauan yang bersumber dari dirinya. Atas permitaannya sendiri Dayang Sumbi mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi pun menikahi Si Tumang dan dikaruniai bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring selalu ditemani bermain oleh Si Tumang yang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sakti.

Pada suatu hari Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya Si Tumang untuk mengejar babi betina yang bernama Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, Sangkuriang marah dan membunuh Si Tumang. Daging Si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah Si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka dan diusirlah Sangkuriang.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya, begitu juga sebaliknya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya.

Dayang Sumbi pun berusaha menjelaskan kesalahpahaman hubungan mereka. Walau demikian, Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

Selasa, 13 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Kamandaka Si Lutung Kasarung

Cerita ini adalah versil lain dari Lutung Kasarung yang banyak didengar di daerah Sunda. Cerita Lutung Kasarung ini merupakan cerita versi Pasir Luhur. Tidaklah penting mana yang benar antara kedua versi tersebut, yang jelas, cerita-cerita ini untuk menghibur dan dipetik pelajarannya.



Di Jawa Barat pada jaman dahulu kala ada sebuah Kerajaan Hindu yang besar dan cukup kuat, yaitu berpusat di kota Bogor. Kerajaan itu adalah Kerajaan “Pajajaran”, pada saat itu raja yang memerintah yaitu Prabu Siliwangi. Beliau sudah lanjut usia dan bermaksud mengangkat Putra Mahkotanya sebagai penggantinya.

Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri dari dua Permaisuri, dari permaisuri yang pertama mempunyai dua orang putra, yaitu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar. Namun sewaktu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar masih kecil ibunya telah meninggal.

Maka Prabu Siliwangi akhirnya kawin lagi dengan permaisuri yang kedua, yaitu Kumudaningsih. Pada waktu Dewi Kumuudangingsih diambil menjadi Permaisuri oleh Prabu Siliwangi, ia mengadakan perjanjian, bahwa jika kelak ia mempunyai putra laki-laki, maka putranyalah yang harus meggantikan menjadi raja di Pajajaran.

Dari perkawinannya dengan Dewi Kumudaningsih, Prabu Silliwangi mempunyai seorang putra dan seorang putri, yaitu: Banyak Blabur dan Dewi Pamungkas.

Pada suatu hari Prabu Siliwangi memanggil Putra Mahkotanya, Banyak Cotro dan Banyak Blabur untuk menghadap, maksudnya ialah Prabu Siliwangi akan mengangkat putranya untuk menggantikan menjadi raja di Pajajaran karena beliau sudah lajut usia.

Namun dari kedua Putra Mahkotanya belum ada yang mau diangkat menjadi raja di Pajajaran. Sebagai putra sulungnya Banyak Cokro mengajukan beberapa alasan, antara lain alasannya adalah:
  • Untuk memerintahkan Kerajaan dia belum siap, karena belum cukup ilmu.
  • Untuk memerintahkan Kerajaan seorang raja harus ada Permaisuri yang mendampinginya, sedangkan Banyak Cotro belum kawin.
Banyak Cotro mengatakan bahwa dia baru kawin kalau sudah bertemu dengan seorang putri yang parasnya mirip dengan ibunya. Oleh sebab itu Banyak Cotro meminta ijin pergi dari Kerajaan Pajajaran untuk mencari putri yang menjadi idamannya.

Kepergian Banyak Cotro dari Kerajaan Pajajaran melalui gunung Tangkuban Perahu, untuk menghadap seorang pendeta yang bertempat di sana. Pendeta itu ialah Ki Ajar Winarong, seorang Pendeta sakti dan tahu untuk mempersunting putri yang di idam-idamkannya dapat tercapai.

Namun ada beberapa syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh Banyak Cotro, yaitu harus melepas dan menaggalkan semua pakaian kebesaran dari kerajaan dengan hanya memakai pakaian rakyat biasa. Dan ia harus menyamar dengan nama samaran “Raden Kamandaka”

Setelah Raden Kamandaka berjalan berhari-hari dari Tangkuban Perahu ke arah Timur, maka sampailah Raden Kamandaka kewilayah Kadipaten Pasir Luhur.

Secara kebetulan Raden Kamandaka sampai Pasir Luhur, betemu dengan Patih Kadipaten Pasir Luhur yaitu Patih Reksonoto. Karena Patih Reksonoto sudah tua tidak mempuunyai anak, maka Raden Kamandaka akhirnya dijadikan anak angkat Patih Reksonoto merasa sangat bangga dan senang hatinya mempunyai Putra Angkat Raden Kamandaka yang gagah perkasa dan tampan, maka Patih Reksonoto sangat mencintainya.


Adapun yang memerintahkan Kadipaten Pasir Luhur adalah “Adi Pati Kanandoho”. Beliau mempunyai beberapa orang Putri dan sudah bersuami kecuali yang paling bungsu yaitu Dewi Ciptoroso yang belum bersuami. Dewi Ciptoroso inilah seorang putri yang mempunyai wajah mirip Ibu raden Kamandaka, dan Putri inilah yng sedang dicari oeh Raden Kamandaka.

Suatu kebiasaan dari Kadipaten Pasir Luhur bahwa setiap tahun mengadakan upacara menangkap ikan di kali Logawa. Pada upacara ini semua keluarga Kadipaten Pasir Luhur beserta para pembesar dan pejabatan pemerintah turut menangkap ikan di kali Logawa.

Pada waktu Patih Reksonoto pergi mengikuti upacara menangkap ikan di kali Logawa, tanpa diketahuinya Raden Kamandaka secara diam-diam telah mengikutinya dari belakang. Pada kesempatan inilah Raden Kamandaka dapat bertemu dengan Dewi Ciptoroso dan mereka berdua saling jatuh cinta.

Atas permintaan dari Dewi Ciptoroso agar Raden Kamandaka pada malam harinya untuk dating menjumpai Dewi Ciptoroso di taman Kaputren Kadipaten Pasir Luhur tempat Dewi Ciptoroso berada. Benarlah pada malam harinya Raden Kamandaka dengan diam-diam tanpa ijin patih Resonoto, ia pun pergi menjumpai Dewi Ciptoroso yang sudah rindu menanti kedatangan Raden Kamandaka.

Namun keberadaan Raden Kamandaka di Taman Kaputren Bersama Dewi Ciptoroso tidak berlangsung lama. Karena tiba-tiba prajurit pengawal Kaputren mengetahui bahwa di dalam taman ada pencuri yang masuk. Hal ini kemu kemudian dilaporkan oleh Adipatih Kandandoho.

Menanggapi laporan ini, maka Adipatih sangat marah dan memerintahkan prajuritnya untuk menangkap peencuri tersebut. Karena kesaktian dan ilmu ketangkasan yang dimiliki oleh Raden Kamandaka, maka Raden Kamandaka dapat meloloskan diri dari kepungan prajurit Pasir Luhur.

Sebelum Raden Kamandaka lolos dari Taman Kaputren, ia sempat mengatakan identitasnya. Bahwa ia bernama Raden Kamandaka putra dari Patih Reksonoto.

Hal ini didengar olehh prajurit, dan melaporkan kepada Adipatih Kandandoho. Mendengar hal ini maka Patih Reksonoto pun dipanggil dan harus menyerahkan putra nya. Perintah ini dilaksanakan oleh Patih Reksonoto, walaupun dalam hatinya sangatlah berat. Sehimgga dengan siasat dari Patih Reksonoto, maka Raden Kamandaka dapat lari dan selamat dari pengejaran para prajurit.

Raden Kamandaka terjun masuk kedalam sungai dan menyelam mengikuti arus air sungai. Oleh Patih Reksonoto dan para prajurit yang mengejar, dilaporkan bahwa Raden Kamandaka dikatakan sudah mati didalam sugai. Mendengar berita ini Adipatih Kandandoho merasa lega dan puas. Nmun sebaliknya Dewi Ciptoroso yang setelah mendengar berita itu sangatlah muram dan sedih.

Sepanjang Raden Kamandaka menyelam mengikuti arus sungai bertemulah dengan seorang yang memancing di sungai. Orang tersebut bernama Rekajaya, Raden Kamandaka dan Rekajaya kemudian berteman baik dan menetap di desa Panagih. Di desa ini Raden Kamandaka diangkat anak oleh Mbok Kektosuro, seorang janda miskin di desa tersebut.

Raden Kamandaka menjadi penggemar adu ayam. Kebetulan Mbok Reksonoto mempunyai ayam jago yang bernama “Mercu”. Pada setiap penyabungan ayam Raden Kamandaka selalu menang dalam pertandingan, maka Raden Kamandaka menjadi sangat terkenal sebagai botoh ayam.

Hal ini tersiar sampai kerajaan Pasir Luhur, mendengar hal ini Adipatih Kandadoho menjadi marah dan murka. Beliau memerintahkan prajuritnya untuk menagkap hidup atau mati Raden Kamandaka.

Pada saat itu tiba-tiba datanglah seorang pemuda tampan mengaku dirinya bernama “Silihwarni” yang akan mengabdikan diri kepada Pasir Luhur, maka ia permohonannya diterima, tetapi asalkan ia harus dapat membunuh Raden Kamandaka. Untuk membuktikannya ia harus membawa darah dan hati Raden Kamandaka.


Sebenarnya Silihwarni adalah nama samaran. Nama itu sebenarnya adalah Banyak Ngampar Putra dari kerajaan Pajajaran, yaitu adik kandung dari Raden Kamandaka.

Ia oleh ayahnya Prabu Siliwangi ditugaskan untuk mencari saudara kandungnya yang pergi sudah lama belum kembali. Untuk mengatasi gangguan dalam perjalanan, ia dibekali pusaka keris Kujang Pamungkas sebagai senjatanya. Dan dia juga menyamar dengan nama Silihwarni, dan berpakaian seperti rakyat biasa.

Karena ia mendengar berita bahwa kakak kandungnya berada di Kadipaten Pasir Luhur, maka ia pun pergi kesana. Setelah Silihwarni menerima perintah dari Adipatih, pergilah ia dengan diikuti beberapa prajurit dan anjing pelacak menuju desa Karang Luas, tempat penyabungan ayam.

Di tempat inilah mereka bertemu. Namun keduanya sudah tidak mengenal lagi. Silihwari berpakaian seperti raknyat biasa sedangkan Raden Kamandaka berpakaian sebagai botoh ayam, dan wajahnya pucat karena menahan kernduan kepada kekasihnya.

Terjadilah persabungan ayan Raden Kamandaka dan Silihwarni, dengan tanpa disadari oleh raden kamandaka tiba-tiba Silihwarni menikam pinggang Raden Kamandaka dengan keris Kujang Pamungkasnya. Karena luka goresan keris itu tersebut darahpun keluar dengan deras. Namun karena ketangkasan Raden Kamandaka, ia pun dapat lolos dari bahaya tersebut dan tempat ia dapat lolos itu dinamakan desa Brobosan, yang berarti ia dapat lolos dari bahaya.

Karena lukanya semakin deras mengeluarkan darah, maka ia pun istirahat sebentar disuatu tempat, maka tempat itu dinamakan Bancran. Larinya Raden Kamandaka terus dikejar oleh Silihwarni dan prajurit. Pada suatu tempat Raden Kamandaka dapat menangkap anjing pelacaknya dan kemudian tempat itu diberinya nama desa Karang Anjing.

Raden Kamandaka terus lari kearah timur dan sampailah pada jalan buntu dan tempat ini ia memberi nama Desa Buntu. Pada akhirnya Raden Kamandaka sampailah di sebuah Goa. Didalam Goa ini ia beristirahat dan bersembunyi dari kejaraan Silihwarni. Silihwarni yang terus mengejar setelah sampai goa ia kehilangan jejak. Kemudian Silihwarnipun dari mulut goa tersebut berseru menantang Raden Kamandaka.

Setelah mendengar tantagan Silihwarni, Raden Kamandaka pun menjawab ia mengatakan identitasnya, bahwa ia adalah putra dari kerajaan Pajajaran namanya Banyak Cotro.

Setelah itu Silihwarnipun mengatakan identitasnya bahwa ia juga putra dari Kerajaan Pajajaran, bernama Banyak Ngampar. Demikian kata-kata yang pengakuan antara Raden Kamandaka dan Silihwarni bahwa mereka adalah putra pajajaran, maka orang yang mendengar merupakan nama versi ke-2, untuk Goa Jatijajar tersebut. Kemudian mereka berdua berpeluka dan saling memaafkan.

Namun karena Silihwarni harus membawa bukti hati dan darah Raden Kamandaka, maka akhirnya anjing pelacaknya yang dipotong diambil darah dan hatinya. Dikatakan bahwa itu adalah hati dan darah Raden Kamandaka yang telah dibunuhnya.

Raden Kamandaka kemudian bertapa di dalam goa dan mendapat petunjuk, bahwa niatnya untuk mempersunting Dewi Ciptoroso akan tercapai kalau ia sudah mendapat pakaian “Lutung” dan ia disuruh supaya mendekat ke Kadipaten Pasir Luhur, yaitu supaya menetap di hutan Batur Agung, sebelah Barat Daya dari batu Raden.

Suatu kegemaran dari Adipatih Pasir Luhur adalah berburu. Pada suatu hari Adipatih dan semua keluarganya berburu, tiba-tiba bertemulah dengan seekor lutung yang sangat besar dan jinak. Yang akhirnya di tangkaplah lutung tersebut hidup-hidup.

Sewaktu akan dibawa pulang, tiba-tiba Rekajaya datang mengaku bahwa itu adalah lutung peliharaannya, dan mengatakan beredia membantu merawatnya jika lutung itu akan dipelihara di Kadipaten. Dan permohonan itu pun dikabulkan.

Setelah sampai di kadipaten para putri berebut ingin memelihara lutung tersebut. Selama di Kadipaten lutung tersebut tidak mau dikasih makan. Oleh sebab itu akhirnya oleh Adipatih lutung tersebut disayembarakan yaitu jika ada salah seorang dari putrinya dapat memberi makan dan diterima oleh lutung tersebut maka ia lah yang akan memelihara lutung tersebut.

Ternyata makanan yang diterima oleh lutung tersebut hanyalah makanan dari Dewi Ciporoso, maka “Lutung Kasarung” itu menjadi peliharaan Dewi Ciptoroso. Pada malam hari lutung tersebut berubah wujud menjadi Raden Kamandaka. Sehingga hanya Dewi Ciptoroso yang tahu tentang hal tersebut. Pada siang hari ia berubah menjadi lutung lagi. Maka keadaan Dewi kini menjadi sangat gembira dan bahagia, yang selalu ditemani lutung kasarung.

Alkisah pada suatu hari raden dari Nusa Kambangan Prabu Pule Bahas menyuruh Patihnya untuk meminang Putri Bungsu Kadipaten Pasir Luhur Dewi Ciptoroso dan mengancam apabila pinangannya ditolak ia akan menghancurkan Kadipaten Pasir Luhur.

Atas saran dan permintaan dari Lutung Kasarung pinangan Raja Pule Bahas agar supaya diterima saja. Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh raja Pule Bahas. Salah satunya ialah dalam pertemuan pengantin nanti Lutung Kasarung harus turut mendampingi Dewi Ciporoso.

Pada waktu pertemuan pengantin berlangsung, Raja Pule Bahas selalu diganggu oleh Lutung Kasarung yang selalu mendampingi Dewi Ciptoroso. Oleh sebab itu Raja Pule Bahas marah dan memukul Lutung Kasarung. Namun Lutung Kasarung telah siap berkelahi melawan Raja Pule Bahas.

Pertarungan Raja Pule Bahas dengan Lutung Kasarung terjadi sangat seru. Namun karena kesaktian dari Luung Kasarung, akhirnya Raja Pule Bahas gugur dicekik dan digigit oleh Lutung Kasarung.

Tatkala Raja Pule Bahas gugur maka Lutung Kasarung pun langsung menjelma menjadi Raden Kamandaka, dan langsung mengenkan pakaian kebesaran Kerajaan Pajajaran dan mengaku namanya Banyak Cotro. Kini Adipatih Pasir Luhur pun mengetahui hal yang sebenarnya adalah Raden Kamandaka dan Raden Kamandaka adalah Banyak Cotro dan Banyak Cotro adalah Lutung Kasarung putra mahkota dari kerajaan Pajajaran. Dan akhirnya ia dikawinkan dengan Dewi Ciptoroso.

Namun karena Raden Kamandaka sudah cacat pada waktu adu ayam dengan Silihwarni kena keris Kujang Pamungkas maka Raden Kamandaka tidak dapat menggantikan menjadi raja di Pajajaran.

Karena tradisi kerajaan Pajajaran, bahwa putra mahkota yang akan menggantikan menjadi raja tidak boleh cacat karena pusaka Kujang Pamungkas. Sehingga setelah ia dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso, Raden Kamandaka hanya dapat menjadi Adipatih di Pasir Luhur Menggantikan mertuanya. Sedangkan yang menjadi Raja di Pajajaran adalah Banyak Blabur.

Rabu, 31 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Nyai Anteh Sang Penunggu Bulan

Nyai Anteh Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.


“Kau jangan memanggilku Gusti putri kalau sedang berdua denganku,” kata putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!”

“Baik Gust…..eh kakak!” jawab Nyai Anteh.

“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.

“Ah, iri kenapa kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.

“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar putri sambil tersenyum.

“Ha ha ha.. kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik tuh kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat kakak. Iya kan kak?” jawab Anteh dengan semangat.

“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.

“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri kak.” jawab Anteh.

“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru putri.

“Aduh mana berani saya membuat baju untuk pernikahan kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.

“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata putri tegas.

Suatu malam ratu memanggil putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya. “Endah putriku, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan,” kata ratu.

“Ya ibu,” jawab putri.

“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.”

“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.

“ya nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari kadipaten wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. 

“Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.”

“Baik gusti ratu,” jawab Anteh.

Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya.  “Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”

“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”

Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. 

Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.

“Siapa tuan?” tanya Anteh.

“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..” Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.

“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma.

“Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”

Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.

Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.

“Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat.

“Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya.

Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gasis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.

Setelah perjamuan selesai dan putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang putri.

“Bagaimana kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh. Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta.
“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata putri Endahwarni.

“A..apa kesalahanku kak? Kenapa kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget.

“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”

“Tapi kenapa kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh.

“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata putri.

“Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”

Anteh beranjak pergi dari kamar putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga putri Endahwarni dengan baik.

Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya.

“Maaf nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.

“Iya paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.

“Oh maaf bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,”

“Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh.

“Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu.

“Betul paman!” jawab Anteh.

“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman Waru dengan mata berkaca-kaca.

“Benarkah? Oh paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira.

“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya paman Waru.

“Ceritanya panjang paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.

“Tentu saja nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata paman Waru.

Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.

Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh.

“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis putri.

“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh.

“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta putri.

“Tapi putri aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.

“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil tertawa. 

“Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”

Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora.

Hingga suatu malam pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.

“Anteh!” tegurnya.  Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya.

“Pa..pangeran? kenapa pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.

“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata pangeran.

“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.

“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah biarkan aku memelukmu!” kata pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh.

Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti putri.”

Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.

Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya. “Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!”

Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan.

Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat. Begitulah kisah Nyai Anteh sang penunggu bulan.