Tampilkan postingan dengan label Sumatera Utara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sumatera Utara. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Putri Ular

Di suatu negeri di kawasan Simalungun, Sumatera Utara, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Sang Raja memiliki seorang putri yang kecantikannya sungguh luar biasa. Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah sang Putri.
Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat melamar sang putri. Sang raja kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan keinginannya tersebut.  



 “Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan  akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.
Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.
Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.
“Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri sambil memegang hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.
“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.
Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.
Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.
Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.
“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.
Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu.
* * *
Demikian cerita Kisah Putri Ular dari Simalungun, Sumatera Utara. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa. Sifat ini tercermin pada sikap sang putri yang memohon kepada Tuhan agar dirinya dihukum, dan akhirnya ia menjelma menjadi seekor ular besar. Sifat ini termasuk sifat tercela dan sangat dipantangkan dalam kehidupan orang Melayu.

Kamis, 17 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Laut Kawar

Legenda Laut Kawar merupakan sebuah legenda yang berkembang di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki wilayah seluas 2.127,25 km2 ini terletak di dataran tinggi Karo, Bukit Barisan, Sumatera Utara. Oleh karena daerahnya terletak di dataran tinggi, sehingga kabupetan ini dijuluki Taneh Karo Simalem. Kabupaten ini memiliki iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16o sampai 17oC dan tanah yang subur. Maka tidak heran, jika daerah ini sangat kaya dengan keindahan alamnya. Salah satunya adalah keindahan Danau Lau Kawar, yang terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Air yang bening dan tenang, serta bunga-bunga anggrek yang indah, yang mengelilingi danau ini menjadi pesona alam yang mengagumkan.
Menurut masyarakat setempat, sebelum terbentuk menjadi sebuah danau yang indah, Danau Lau Kawar adalah sebuah desa yang bernama Kawar. Dahulu, daerah tersebut merupakan kawasan pertanian yang sangat subur. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bercocok tanam. Hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah, meskipun tidak pernah memakai pupuk dan obat-obatan seperti sekarang ini. Suatu waktu, terjadi malapetaka besar, sehingga desa Kawar yang pada awalnya merupakan sebuah desa yang subur menjelma menjadi sebuah danau. Apa sebenarnya yang terjadi dengan desa Kawar itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita rakyat berikut ini!


Pada zaman dahulu kala, tersebutlah dalam sebuah kisah, ada sebuah desa yang sangat subur di daerah Kabupaten Karo. Desa Kawar namanya. Penduduk desa ini umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Hasil panen mereka selalu melimpah ruah. Suatu waktu, hasil panen mereka meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Lumbung-lumbung mereka penuh dengan padi. Bahkan banyak dari mereka yang lumbungnya tidak muat dengan hasil panen. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka pun bergotong-royong untuk mengadakan selamatan dengan menyelenggarakan upacara adat.
Pada hari pelaksanaan upacara adat tersebut, Desa Kawar tampak ramai dan semarak. Para penduduk mengenakan pakaian yang berwarna-warni serta perhiasan yang indah. Kaum perempuan pada sibuk memasak berbagai macam masakan untuk dimakan bersama dalam upacara tersebut.
Pelaksanaan upacara juga dimeriahkan dengan pagelaran Gendang Guro-Guro Aron, musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang hanya dilaksanakan setahun sekali itu, seluruh penduduk hadi dalam pesta tersebut, kecuali seorang nenek tua renta yang sedang menderita sakit lumpuh. Tidak ketinggalan pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam acara itu.
Tinggallah nenek tua itu seorang sendiri terbaring di atas pembaringannya.
“Ya, Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi, apa dayaku ini. Jangankan berjalan, berdiri pun aku sudah tak sanggup,” ratap si nenek tua dalam hati.
Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa membayangkan betapa meriahnya suasana pesta itu. Jika terdengar sayup-sayup suara Gendang Guro-guro Aron didendangkan, teringatlah ketika ia masih remaja. Pada pesta Gendang Guro-Guro Aron itu, remaja laki-laki dan perempuan menari berpasang-pasangan. Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan di masa muda si nenek. Kini, tinggal siksaan dan penderitaan yang dialami di usia senjanya. Ia menderita seorang diri dalam kesepian. Tak seorang pun yang ingin mengajaknya bicara. Hanya deraian air mata yang menemaninya untuk menghilangkan bebannya. Ia seakan-akan merasa seperti sampah yang tak berguna, semua orang tidak ada yang peduli padanya, termasuk anak, menantu serta cucu-cucunya.
Ketika tiba saatnya makan siang, semua penduduk yang hadir dalam pesta tersebut berkumpul untuk menyantap makanan yang telah disiapkan. Di sana tersedia daging panggang lembu, kambing, babi, dan ayam yang masih hangat. Suasana yang sejuk membuat mereka bertambah lahab dalam menikmati berbagai hidangan tersebut. Di tengah-tengah lahabnya mereka makan sekali-kali terdengar tawa, karena di antara mereka ada saja yang membuat lelucon. Rasa gembira yang berlebihan membuat mereka lupa diri, termasuk anak dan menantu si nenek itu. Mereka benar-benar lupa ibu mereka yang sedang terbaring lemas sendirian di rumah.
Sementara itu, si nenek sudah merasa sangat lapar, karena sejak pagi belum ada sedikit pun makanan yang mengisi perutnya. Kini, ia sangat mengharapkan anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan makanan. Namun, setelah ditunggu-tunggu, tak seorang pun yang datang.
 “Aduuuh… ! Perutku rasanya melilit-lilit. Tapi, kenapa sampai saat ini anak-anakku tidak mengantarkan makanan untukku?” keluh si nenek yang badannya sudah gemetar menahan lapar. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba mencari makanan di dapur, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Rupanya, sang anak sengaja tidak memasak pada hari itu, karena di tempat upacara tersedia banyak makanan.
Akhirnya, si nenek tua terpaksa beringsut-ingsut kembali ke pembaringannya. Ia sangat kecewa, tak terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya. Ibu tua itu menangisi nasibnya yang malang.
“Ya, Tuhan! Anak-cukuku benar-benar tega membiarkan aku menderita begini. Di sana mereka makan enak-enak sampai kenyang, sedang aku dibiarkan kelaparan. Sungguh kejam mereka!” kata nenek tua itu dalam hati dengan perasaan kecewa.
Beberapa saat kemudian, pesta makan-makan dalam upacara itu telah usai. Rupanya sang anak baru teringat pada ibunya di rumah. Ia kemudian segera menghampiri istrinya. “Isriku! Apakah kamu sudah mengantar makanan untuk ibu?” tanya sang suami kepada istrinya.
“Belum?” jawab istrinya.
“Kalau begitu, tolong bungkuskan makanan, lalu suruh anak kita menghantarkannya pulang!” perintah sang suami.
“Baiklah, suamiku!‘ jawab sang istri. Wanita itu pun segera membungkus makanan lalu menyuruh anaknya, “Anakku! Antarkan makanan ini kepada nenek di rumah!” perintah sang ibu.
“Baik, Bu!” jawab anaknya yang langsung berlari sambil membawa makanan itu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, anak itu segera menyerahkan makanan itu kepada neneknya, lalu berlari kembali ke tempat upacara.
Alangkah senangnya hati sang nenek. Pada saat-saat lapar seperti itu, tiba-tiba ada yang membawakan makanan. Dengan perasaan gembira, sang nenek pun segera membuka bungkusan itu. Namun betapa kecewanya ia, ternyata isi bungkusan itu hanyalah sisa-sisa makanan. Beberapa potong tulang sapi dan kambing yang hampir habis dagingnya.
“Ya, Tuhan! Apakah mereka sudah menganggapku seperti binatang. Kenapa mereka memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang,” gumam si nenek tua dengan perasaan kesal.
Sebetulnya bungkusan itu berisi daging panggang yang masih utuh. Namun, di tengah perjalanan si cucu telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang. Si nenek tua yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengira anak dan menantunya telah tega melakukan hal itu. Maka, dengan perlakuan itu, ia merasa sangat sedih dan terhina. Air matanya pun tak terbendung lagi. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anak dan menantunya itu.
“Ya, Tuhan!” Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Berilah mereka pelajaran!” perempuan tua itu memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Baru saja kalimat itu lepas dari mulut si nenek tua, tiba-tiba terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat. Langit pun menjadi mendung, guntur menggelegar bagai memecah langit, dan tak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya. Seluruh penduduk yang semula bersuka-ria, tiba-tiba menjadi panik. Suara jerit tangis meminta tolong pun terdengar dari mana-mana. Namun, mereka sudah tidak bisa menghindar dari keganasan alam yang sungguh mengerikan itu.
Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tiba-tiba tenggelam. Tak seorang pun penduduknya yang selamat dalam peristiwa itu.
Beberapa hari kemudian, desa itu berubah menjadi sebuah kawah besar yang digenangi air. Oleh masyarakat setempat, kawah itu diberi nama Lau Kawar.
Demikianlah cerita tentang Asal Mula Lau Kawar dari daerah Tanah Karo, Sumatera Utara. 

Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu pandai mensyukuri nikmat, menjauhi sifat durhaka kepada orang tua, dan menyia-nyiakan amanat.
Pertama, pandai mensyukuri nikmat. Sifat ini tercermin pada sikap penduduk Desa Karo yang telah melaksanakan selamatan setelah mendapat hasil panen yang melimpah ruah. Sifat ini sangat diutamakan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:
wahai ananda dengarlah manat,
besyukurlah engkau beroleh nikmat
karunia Allah wajib diingat
supaya hidupmu beroleh rahmat
Kedua, pesan agar menjauhi sifat durhaka kepada orang tua. Kedurhakaan tersebut tercermin pada perilaku anak, menantu, dan cucu si nenek tua renta itu yang telah mengabaikannya. Sifat durhaka kepada orang tua sangat dipantangkan dalam kehidupan orang Melayu. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:
kalau durhaka ke orangtua,
dunia akhirat akan merana
Ketiga, sifat menyia-nyiakan amanah. Sifat ini tercermin pada si cucu yang tidak menyampaikan amanah dari ibunya. Dalam kehidupan orang-orang Melayu, sifat ini juga sangatlah dipantangkan. Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan orang tua-tua Melayu berikut:
kalau hendak tahu orang durjana,
dia berbuat orang yang kena

Rabu, 16 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Pohon Enau

Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara. Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak (nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi. Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia. Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak (nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Ilu. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita rakyat Kisah Pohon Enau berikut ini!



Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meksipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang.
Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan.
Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan. Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat.
Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya.
Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya.”
Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
 “Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolangkaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi.
Pertama, sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Sifat ini sangat diutamakan dalam kehidupan orang-orang Melayu, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan berikut ini.
adat hidup sama saudara,
lebih dan kurang usah berkira
baik dan buruk pelihara memelihara
sakit dan senang bela membela
Kedua, akibat buruk suka bermain judi. Sifat gemar bermain judi tercermin pada perilaku si Tare Iluh. Ia pergi merantau bukannya untuk mencari pekerjaan, melainkan bermain judi. Ia berharap dengan menang dalam perjudian, ia akan cepat kaya-raya. Namun, bukan uang yang melimpah didapatnya, tetapi kesengsaraan. Oleh karena besarnya akibat yang ditimbulkan dari bermain judi, sifat ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Hal ini sesuai dengan ungkapan orang Melayu yang mengatakan:
kalau suka bermain judi,
hidup hina kerja tak jadi

Selasa, 15 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Pulau Si Kantan

Labuhan Batu merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan pantai timur Sumatera Utara. Kabupaten yang beribukota Rantau Prapat ini berjarak kurang lebih 300 km dari ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan, dan dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan jalan darat, mobil atau kereta api selama 7-8 jam. Kabupaten ini memiliki Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang cukup menarik. Salah satu di antaranya adalah Pulau Si Kantan yang berada di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota Labuhan Bilik.
Menurut cerita, Pulau Si Kantan dulunya tidak ada. Namun, ratusan tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, sehingga pulau ini muncul di tengah-tengah Sungai Barumun. Peristiwa tersebut diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Labuhan Batu. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama si Kantan yang menjelma menjadi sebuah pulau. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi, sehingga si Kantan menjelma menjadi sebuah pulau? Ingin tahun jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Pulau Si Kantan berikut ini!


Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi sebuah sungai di daerah Labuhan Batu, Sumatera Utara, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya bernama si Kantan. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah reot. Ayah si Kantan, sudah lama meninggal dunia. Sejak itu, ibu si Kantan-lah yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Si Kantan adalah anak yang rajin dan tekun bekerja. Setiap hari ia membantu ibunya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar. 
Pada suatu malam, ibu si Kantan bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang tidak dikenalnya. Dalam mimpinya, kakek tua itu menyuruhnya pergi menggali tanah di sebuah tempat di dalam hutan. Pada pagi harinya, ia menceritakan mimpinya tersebut kepada si Kantan. “Wah, itu mimpi yang bagus, Bu! Sebaiknya kita laksanakan petunjuknya. Siapa tahu ini bisa mengubah nasib kita,” ujar si Kantan.
Maka, ibu dan anak itu pergi ke hutan dengan membawa linggis. Sesampainya di hutan, ibu si Kantan berusaha mengingat-ingat petunjuk yang diterima dari kakek tua di dalam mimpinya. “Benar, Anakku! Tempatnya persis di sini!” seru ibu Kantan dengan yakinnya. “Baiklah, Bu! Semoga ingatan ibu tidak keliru,” kata si Kantan.
Si Kantan pun mulai menggali tanah di bawah sebuah pohon yang besar dengan penuh semangat. Setelah menggali sedalam dua kaki, si Kantan pun menemukan sebuah benda yang terbungkus kain putih yang sudah usang.
“Bu, saya menemukannya!”
“Benda apakah itu, Nak?” tanya sang ibu penasaran.
“Entahlah, Bu!” jawab si Kantan.
Tanpa berpikir panjang, benda panjang yang terbungkus kain itu segera dibukanya. Ternyata benda itu sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata.
“Lihatlah, Bu! Benda ini sangat luar biasa.”
“Benar, Anakku! Barangkali Tuhan ingin mengubah nasib kita yang telah lama menderita ini.”
Setelah itu, mereka pun pulang dengan membawa tongkat emas itu. Sesampainya di gubuk, sang ibu menghendaki agar benda itu dijual saja. Hasilnya akan digunakan untuk membeli rumah baru dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Tapi, Ibu! Siapa yang sanggup membeli benda yang sangat berharga ini?” tanya si Kantan. “Benar juga katamu, Nak! Penduduk di desa ini rata-rata hanya petani biasa, yang penghasilannya pas-pasan. Bagaimana jika kamu jual saja di pulau lain?” usul ibu si Kantan.
Si Kantan menerima usulan ibunya dengan senang hati. Namun, di sisi lain, ia sangat sedih karena akan meninggalkan ibunya yang sudah tua itu sendirian.  
Keesokan harinya, si Kantan pun berpamitan kepada ibunya. “Jaga diri baik-baik, ya Bu! Setelah benda ini terjual, Kantan akan segera kembali menemui ibu,” ucap si Kantan kepada ibunya. “Baiklah, Anakku! Berangkatlah dan hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat kembali kalau sudah berhasil,” seru sang ibu. “Baiklah, Bu! Kantan berangkat!” pamit si Kantan sambil mencium tangan ibunya. Tiba-tiba suasana haru menyelimuti hati ibu dan anak itu. Tak terasa, sang ibu meneteskan air mata, lalu dipeluknya anak satu-satunya itu dengan erat-erat. “Nak, Jangan lupakan ibumu di sini. Cepatlah kembali!” pesan sang ibu. “Iya, Bu! Kantan berjanji kembali secepatnya,” jawab si Kantan membalas pelukan ibunya.   
Setelah itu, berangkatlah si Kantan dengan sebuah tongkang menyusuri Sungai Barumun menuju laut lepas, dan seterusnya pergi ke Malaka. Berhari-hari sudah si Kantan terombang-ambing oleh gelombang di tengah laut. Meskipun perjalanan itu menguras tenaga dan membosankan, namun hal itu tidaklah membuat niat si Kantan surut. Ia yakin bahwa hasil dari penjualan tongkat emas itu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Setibanya di Malaka, ia pun segera menawarkan kepada para pedagang di sana. Seluruh pedagang di kota itu sudah ia tawari, namun tak seorang pun yang sanggup membelinya. Ia pun berniat kembali ke kampung halamannya tanpa membawa hasil. Dalam perjalanan menuju ke pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu balang dari Kerajaan Malaka yang sedang berkeliling ronda di kota itu.
“Hai, Anak Muda! Benda apa yang sedang kamu bawa itu?” tanya salah seorang hulu balang.
“Tongkat Emas, Tuan!” jawab si Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke kota itu.
“Bagaimana jika benda itu kamu tawarkan kepada raja kami? Siapa tahu beliau tertarik,” hulu balang lainnya menawarkan.
Si Kantan menerima tawaran itu. Ia kemudian dibawa untuk menghadap kepada sang raja. Setibanya di istana, para hulu balang melaporkan kepada raja, bahwa pemuda miskin itu ingin menjual sebuah benda yang sangat berharga. Sang Raja kemudian mengamati benda itu. “Aduhai, istimewa sekali benda ini,” gumam Baginda Raja.
Setelah itu, ia berkata kepada si Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan tongkat emas engkau ini. Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika engkau tinggal di istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja menawarkan.
“Ampun, Baginda! Jika itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si Kantan sambil memberi hormat.
Seminggu kemudian, si Kantan pun dinikahkan dengan putri raja yang cantik jelita. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah. Sejak itu, si Kantan resmi menjadi anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia bersama istrinya hidup bahagia di istana. Kehidupan yang serba mewah membuat si Kantan lupa kepada ibunya yang sudah tua dan hidup sendirian di kampung. Sementara itu, sang istri selalu mendesak ingin bertemu mertuanya dan ingin melihat kampung halaman suaminya. “Kanda… ! Kapan Kanda akan mengajak Dinda untuk menemui ibu di kampung?” tanya sang istri. Mula-mula si Kantan enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan alasan sibuk mengurus istana. Namun, karena didesak terus oleh istrinya dan direstui oleh Baginda Raja, maka si Kantan pun tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat,” janji si Kantan kepada istrinya.
Dengan menggunakan kapal pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan istrinya beserta puluhan prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera. Setelah berhari-hari mengarungi Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh di kota kecil, Labuhan Bilik, yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk setempat sangat terkejut dengan kehadiran kapal sebesar itu. Mereka pun berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari dekat.
 “Waaah, megah sekali kapal itu! Tapi, siapa pemiliknya?” kata seorang penduduk penasaran.
“Hai, lihat itu!” seru penduduk lainnya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di anjungan kapal.
“Bukankah laki-laki itu si Kantan?” tanya seorang penduduk mengenali si Kantan.  
“Benar! Ia adalah si Kantan, pemuda yang tinggal di gubuk di tepi sungai itu,” kata seorang penduduk yang juga mengenal si Kantan.
Maka tersiarlah kabar bahwa si Kantan telah menjadi kaya-raya, bagai seorang raja dengan kapalnya yang besar dan megah. Akhirnya, kabar kedatangan si Kantan pun terdengar oleh ibunya. Perempuan tua itu sangat gembira, karena anak yang ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun telah kembali. Saat menerima berita itu, ia memutuskan untuk menunggu anaknya dengan sabar di gubuk reotnya. Namun, setelah beberapa lama menunggu, anak yang dirindukannya tak kunjung datang. Akhirnya, ibu tua itu memutuskan untuk menyusul anaknya di pelabuhan.
Dengan menggunakan sampan, janda tua itu menyusuri Sungai Barumun menuju pelabuhan tempat kapal si Kantan berlabuh. Ia sudah tidak sabar lagi ingin memeluk anak yang sangat disayanginya itu. Dengan sekuat tenaga, ia mengayuh sampannya lebih cepat lagi. Akhirnya, tampaklah dari kejauhan sebuah kapal besar sedang bersandar di pelabuhan. “Jika benar kata orang-orang, kapal itu pasti milik si Kantan anakku,” pikir janda tua itu. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia terus mengayuh sampannya mendekati kapal megah itu.
Ketika sampan yang dinaiki sudah semakin dekat dengan kapal besar itu, ia segera memanggil anaknya. “Kantaaan… !!! Kantaaan… !!!  Kantan anakkuuuuu… !!!”
Mendengar suara teriakan dari luar kapal, istri si Kantan pun bertanya kepada si Kantan,
“Kanda! Suara siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?”
“Ah, itu hanya orang gila,” jawab si Kantan pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia sangat mengenal bahwa suara itu adalah suara ibunya. Namun, ia malu memperkenalkan istrinya dengan ibunya yang miskin lagi tua itu.
Panggilan si ibu kembali terdengar semakin dekat.
“Kantan, Anakku!!! Kamu di mana… ?”
“Ini ibumu datang, Nak!” teriak sang ibu.
Maka semakin yakinlah istri si Kantan, kalau yang memanggil suaminya itu adalah mertuanya. Ia semakin penasaran ingin melihat ibu mertuanya yang sudah lama ia rindukan. Ia pun segera lari keluar kapal, tapi disusul oleh si Kantan. Dari anjungan kapal, tampaklah oleh mereka seorang perempuan tua yang sedang mendayung sampan ke arah kapalnya.
 “Kantaaan…Anakku! Aku ini ibumu yang telah kau tinggalkan dulu,” teriak ibu tua itu.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu seburuk kamu!” hardik si Kantan dengan kesal.
“Tenang, Kanda! Siapa tahu wanita itu benar ibu Kanda. Sepertinya ia sangat mengenal Kanda,” sahut sang istri menenangkan suaminya.
“Tidak, Istriku! Ia bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,” bantah si Kantan.
“Hei, orang tua gila! Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa sial!” si Kantan kembali mencaci-maki ibunya.
“Pengawal! Usir dia dari sini!” perintah si Kantan.
Setelah beberapa pengawal mengusir perempuan tua itu, si Kantan kembali memerintahkan pengawalnya untuk memutar haluan kapal dan kembali ke Malaka.
Sementera itu, perempuan tua itu bagai disambar petir melihat perilaku anak kesayangannya, yang sungguh di luar dugaan. Dadanya terasa sesak, air matanya pun tak terbendung lagi. Dengan sisa tenaganya, ia mengayuh sampannya kembali ke gubuknya dengan perasaan hancur-lebur. Ia sangat sedih karena telah diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan deraian air mata, ia pun berdoa, “Ya Tuhan, anak itu telah mendurhakai ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya ini. Berilah ia pelajaran, agar ia menjadi anak yang tahu berbakti kepada orang tua!”
Baru saja ucapan itu lepas dari mulut sang ibu, tiba-tiba petir menyambar, hujan badai yang sangat dahsyat pun datang. Tak berapa lama, air Sungai Barumun pun bergulung-gulung lalu menghantam kapal si Kantan dengan bertubi-tubi. Tak ayal lagi, kapal besar yang megah itu pun tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Seluruh awak kapal tak dapat menyelamatkan diri, termasuk si Kantan dan istrinya. Setelah kapal itu sudah tak tampak lagi, suasana kembali tenang seperti semula.
Beberapa hari kemudian, muncullah sebuah pulau kecil di tempat kejadian itu, yaitu tepatnya di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota Labuhan Bilik. Kemudian pulau itu oleh masyarakat setempat diberi nama Pulau Si Kantan.
* * *
Cerita di atas termasuk cerita teladan yang berisi pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sikap durhaka kepada orang tua. Akibat buruk itu dialami si Kantan, karena ia tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri setelah ia menjadi kaya-raya. Bahkan, ia berani menghardik dan mengusir ibunya. Maka, Tuhan pun murka kepadanya, dan akhirnya ia ditenggelamkan bersama kapalnya yang besar dan megah itu ke dasar Sungai Barumun.
Durhaka kepada orang tua merupakan perbuatan yang sangat tercela. Oleh karena itu, sikap ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Terkait dengan hal ini, orang tua-tua Melayu banyak menyebutkan dalam untaian pantun mengenai keburukan sikap ini, di antaranya:
wahai ananda kekasih bunda,
janganlah durhaka kepada ibu bapa
tunjuk ajarnya janganlah lupa
supaya hidup aman sentosa

Senin, 14 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Kolam Sampuraga

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.



Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.
“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan.
Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.
Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.
Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
“Ya,  berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan[1] dan Gordang Boru[2] yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
“Sampuragaaa…!”
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga. 

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa:
“Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri.”
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.
Demikian cerita Asal Mula Kolam Sampuraga dari daerah Mandailing, Sumatera Utara.
* * *
Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.
Sifat rajin bekerja dan jujur sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang-orang Melayu. Keutamaan kedua sifat ini dapat dilihat pada syair orang Melayu berikut ini:
Pertama, keutamaan sifat rajin bekerja. Dalam untaian syair dikatakan:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera
Kedua, keutamaan sifat jujur. Dalam untaian syair dikatakan:
wahai ananda buah hati bunda,
hiduplah jujur jangan durhaka
jauhkan bohong haramkan dusta
supaya hidupmu tiada ternista
Adapun sifat durhaka terhadap orang tua sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan berikut ini:
kalau suka berbuat durhaka,
orang benci tuhan pun murka