Tampilkan postingan dengan label Sumatera Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sumatera Barat. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Bujang Kirai Yang Pemberani

Bujang Kirai seorang remaja lelaki yang baik hati dan sakti mandraguna. Ia adalah keponakan Raja Sutan Panduko dari Negeri Muaro Bodim, Sumatera Barat. Suatu ketika, ia diutus oleh ibunya untuk membebaskan sang paman, Sutan Panduko, yang ditawan oleh Raja Baduatai dari Kerajaan Ampu Baroyo. Mampukah Bujang Kirai membebaskan pamannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Bujang Kirai yang Pemberani berikut ini.
Dahulu, di sekitar pesisir barat daerah Sumatra Barat ada seorang raja muda dan tampan bernama Sutan Panduko. Ia adalah raja yang adil dan bijaksana sehingga negerinya pun makmur. Seluruh rakyat sangat mencintainya. Sifat raja yang baik itu berkat bimbingan kakaknya yang bernama Siti Asanah. Siti Asanah mempunyai seorang putra bernama Bujang Kirai. Perempuan yang terkenal arif ini senantiasa mendidik putranya dengan ajaran moral dan budi pekerti sesuai dengan ajaran agama dan adat. Selain itu, Siti Asanah juga membekali anaknya dengan kesaktian ilmu bela diri.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa Raja Baduatai yang terkenal kejam dari Kerajaan Ampu Baroyo hendak mengadakan sayembara adu ayam guna mencarikan jodoh untuk putrinya yang bernama Putri Sawang Dilangit. Sutan Panduko yang masih bujangan berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Niat itu ia sampaikan kepada kakaknya. Mulanya, Siti Asanah mencegahnya karena ia tahu sifat dan perengai Raja Baduatai.
“Jangan, Adikku. Bukankah kamu tahu sendiri siapa Raja Baduatai? Aku tidak ingin terjadi sesuatu kepada dirimu,” cegah Siti Asanah.
“Tapi, saya mendengar kabar bahwa Putri Sawang Dilangit adalah putri yang baik dan rendah hati. Jika berhasil memenangi sayembara itu, saya akan memboyongnya ke istana ini,” kata Sutan Panduko.
Sejenak, Siti Asanah terdiam, lalu berkata kepada adiknya.
“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, ingat! Kamu harus berhati-hati saat berhadapan dengan Raja Baduatai yang zalim dan serakah itu!” pesan Siti Asanah.
Sutan Panduko segera mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk ayam kurik rintik kesayangannya. Ayam jago miliknya itu terkenal sakti dan sudah berkali-kali memenangi pertandingan adu ayam. Dengan percaya diri, Sutan Panduko segera menuju Kerajaan Ampu Baroyo. Setiba di sana, para peserta dari berbagai negeri telah berkumpul. Di antara peserta, hadir pula seorang raja bernama Sutan Dihulu yang terkenal licik.
Keesokan harinya, pertandingan sabung ayam dimulai. Para peserta telah berkumpul di arena pertandingan di halaman istana. Raja Baduatai bersama permaisuri dan putrinya telah hadir untuk menyaksikan jalannya pertandingan. Para penonton dari berbagai kalangan sudah berdatangan untuk memberi semangat kepada jagoan masing-masing.
Sesaat kemudian, gong pun dibunyikan sebagai tanda dimulainya pertandingan. Satu per satu para peserta masuk ke arena pertandingan untuk mengadu ayam jago masing-masing. Selama pertandingan berlangsung, sang Putri terlihat tegang dan berharap-harap cemas menanti siapa yang bakal menjadi pendamping hidupnya.
“Ya Tuhan! Siapapun pemenang pertandingan ini, hamba berharap dia adalah calon suami yang baik, arif, dan bijaksana,” doa Putri Sawang Dilangit.
Pertandingan sabung ayam itu telah berlangsung selama 3 jam. Sudah banyak ayam yang berguguran di arena pertadingan. Kini, tinggal ayam jago milik Sutan Panduko dan Sutan Dihulu yang bertahan. Keduanya pun siap untuk ditarungkan. Mulanya, ayam jago milik Sutan Dihulu menyerang terlebih dahulu. Serangannya bertubi-tubi hingga ayam jago milik Sutan Panduko kewalahan menghindari serangan itu. Ketika ayam jago Sutan Dihulu mulai kelelahan, ayam kurik rintik berbalik menyerang. Dengan sekali terjang, ayam Sutan Dihulu pun jatuh tersungkur di tanah dan tewas seketika.  
Melihat kejadian itu, Sutan Dihulu murka. Ia tidak mau menerima kekalahan itu. Maka, ia langsung menyerang Sutan Panduko. Namun, serangan-serangan itu dapat dipatahkan oleh Sutan Panduko. Sutan Dihulu pun semakin marah. Dengan kalap, ia mencabut kerisnya.
“Terimalah serangan kerisku ini!” teriaknya seraya menikamkan keris ke tubuh Sutan Panduko.
Sutan Panduko berkelit dengan gesit sehingga serangan Sutan Dihulu hanya menyambar angin. Merasa diremehkan, Sutan Dihulu semakin gencar menyerang. Namun, lama-kelamaan tenaganya habis terkuras. Pada saat yang tepat, Sutan Panduko menepis dan menangkap keris lawannnya lalu keris itu ia balik dan ditikamkan ke dada Sutan Dihulu. Tak ayal, raja yang licik itu tewas seketika terkena senjatanya sendiri.
Melihat peristiwa itu, Raja Baduatai segera bangkit dari singgasananya.
“Prajurit! Buang mayat itu ke laut dan tangkap raja muda itu!” titah Raja Bauatai.
Akhirnya, Sutan Panduko dijebloskan ke dalam penjara. Meskipun ayam kirik jagoannya telah memenangi sayembara itu, ia dianggap tidak berhak menikahi sang Putri karena telah melakukan pembunuhan. Ayam jagonya pun disita oleh Raja Baduatai.
Sementara itu, para pengawal Sutan Panduko cepat-cepat kembali Muaro Bodim untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siti Asanah.
“Ampun, Baginda Ratu! Hamba ingin melapor,” lapor salah seorang dari pengawal tersebut.
“Apa yang terjadi dengan adikku, pengawal?” tanya Siti Asanah dengan cemas.
“Ampun, Baginda Ratu! Sutan Panduko ditawan oleh Raja Baduatai,” jelas si pengawal.
Pengawal itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialami oleh Sutan Panduko hingga akhirnya ditawan oleh Raja Baduatai. Mendengar cerita itu, Siti Asanah menjadi marah.
“Ini tidak bisa dibaiarkan. Raja Baduatai yang angkuh harus diberi pelajaran,” ujar Siti Asanah geram. “Pengawal! Tolong panggilkan putraku, Bujang Kirai!”
“Baik, Baginda Ratu,” jawab pengawal itu.
Tak berapa lama kemudian, pengawal itu kembali bersama Bujang Kirai.
“Ada apa Bunda memanggilku?” tanya Bujang Kirai sambil menatap mata ibundanya yang berkaca-kaca.
“Ketahuilah, Putraku! Pamanmu sedang ditawan oleh Raja Baduatai,” ungkap Siti Asanah.
“Apa? Paman Sutan Panduko ditawan?” tanya Bujang Kirai dengan terkejut.
“Benar, Putraku. Kita harus segera bertindak. Untuk itu, Bunda akan mengutusmu ke Ampo Baroyo untuk membebaskan pamanmu,” kata Siti Asanah. “Tapi, kamu harus berangkat sendirian, Putraku.”
“Baik, Bunda,” jawab Bujang Kirai.  
Rupanya, Siti Asanah yang bijak itu sudah mengetahui kemampuan putranya. Ia tidak ingin menyerang Raja Baduatai dengan mengerahkan pasukannya karena ia juga tahu jika pasukan raja Buatai sangat besar. Dengan hanya mengutus Bujang Kirai seorang diri, ia berharap putranya itu dapat menyelinap masuk ke dalam istana dan membinasakan Raja Baduatai yang keji itu. Tidak lupa, Siti Asanah membekali putranya dengan siraut, pisau kecil berujung bengkok, pusaka warisan dari ayahnya.
Setiba di Kerajaan Ampu Baroyo, Bujang Kirai dengan hati-hati menyelinap masuk ke dalam istana. Dengan kecerdikannya, ia mencari tahu di mana keberadaan pamannya sekaligus mencari tahu rahasia kekuatan Raja Baduatai. Alhasil, ia berhasil memperoleh keterangan dari salah seorang penjaga bahwa rahasia kekuataan Raja Baduatai bahwa kekuataannya akan berkurang ketika ia ingin membuang air kecil di waktu bangun pagi.
Ketika fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Bujang Kirai dengan kesaktiannya menyelinap masuk ke kamar Raja Baduatai tanpa diketahui penjaga. Namun, Raja Baduatai tak kalah saktinya. Ia yang sedang terlelap langsung terbangun karena mengetahui kedatangan tamu tak diundang.
“Hai, anak muda. Siapa kamu dan kenapa masuk ke dalam kamarku?” tanya Raja Baduatai dengan kesal.
“Aku Bujang Kirai dari Kerajaan Muaro Bodim. Aku ke mari hendak membebaskan pamanku, Sutan Panduko,” jawab Bujang Kirai dengan tenang.
“Dasar anak bodoh! Kamu ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa!” hardik Raja Baduatai. “Pergi dari sini kalau mau selamat!”
“Tidak, aku tidak akan pergi sebelum pamanku dibebaskan!” tegas Bujang Kirai.
Raja Baduatai menjadi sangat marah. Tiba-tiba ia melayangkan tangannya hendak menampar Bujang Kirai. Namun, tanpa diduga, tamparan itu dengan mudah dielakkan. Melihat hal itu, ia baru sadar bahwa pemuda yang dihadapinya ternyata berilmu cukup tinggi.
Raja Baduatai pun mengeluarkan segala kemampuannya. Pertarungan sengit tak terelakkan. Mulanya, Raja Baduatai terlihat tangguh. Serangannya datang secara bertubi-tubi. Namun, lama-kelamaan, Raja Baduatai ingin buang air. Pikirannya pun bercabang. Ketika ia lengah, Bujang Kirai segera menikamnya dengan siraut pusaka. Raja yang kejam itu pun tewas.
Kabar tentang tewasnya Raja Baduatai pun diketahui oleh penghuni istana. Bahkan, kabar itu telah tersebar ke seluruh penjuru Negeri Ampu Baroyo. Seluruh rakyat pun berbondong-bondong dan berkumpul di halaman istana. Di hadapan mereka, berdiri salah seorang punggawa kerajaan untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa.
“Wahai, seluruh rakyat Ampu Baroyo. Raja kita sudah wafat. Beliau tewas di ujung siraut Bujang Kirai,” kata punggawa kerajaan itu.
Mendengar kabar itu, rakyat bukannya bersedih melainkan bersorak gembira.
“Hancurlah kezaliman… hancurlah kezaliman…!”
Punggawa kerajaan itu kemudian kembali berkata, “Baiklah, saudara-saudaraku. Yang mati mari kita kuburkan, yang tinggal mari kita pelihara!”.
Setelah Raja Baduatai dimakamkan, para punggawa istana dan seluruh rakyat negeri itu mengadakan musyawarah untuk mencari pengganti raja.
“Sesuai dengan adat negeri ini, kita harus memilih seorang raja baru. Menurut kalian, siapa yang berhak menjadi raja?” tanya punggawa istana.
“Kita semua sudah tahu bahwa orang yang telah berjasa menghancurkan kezaliman di negeri ini adalah Bujang Kirai. Maka, alangkah baiknya jika pahlawan ini kita angkat menjadi raja,” ujar seorang peserta sidang.
Seluruh rakyat Ampu Baroyo menyetujui. Namun, Bujang Kirai sendiri menolaknya.
“Maaf, kedatangan saya ke mari bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi ingin membebaskan paman saya, Sutan Panduko,” kata Bujang Kirai, “Sebaiknya, tampuk kerajaan ini kita serahkan kepada Putri Sawang Dilangit. Dialah yang lebih berhak menjadi raja di negeri ini. Busuk tebu sebatang, belum tentu busuk ke surumpunnya.”
Akhirnya, Putri Sawang Dilangit pun dinobatkan sebagai Raja Ampu Baroyo yang baru. Sementara itu, Bujang Kirai membawa pamannya pulang. Setelah kesehatannya kembali pulih, Sutan Panduko kembali memerintah Kerajaan Muaro Bodim dengan arif dan bijaksana. Semua itu adalah berkat jasa dan keberanian Bujang Kirai. 
* * *
Demikian cerita Bujang Kirai Yang Pemberani dari Sumatera Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa Raja alim raja disembah, raja lalim  raja disanggah. Raja yang zalim seperti Raja Baduatai tidak akan dihargai atau dihormati oleh rakyatnya. Sementara itu, orang pemberani dalam membela kebenaran seperti Bujang Kirai akan dihormati dan dikenang jasa-jasanya.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pak Lebai Malang

Tersebutlah kisah seorang guru agama yang hidup di tepi sungai disebuah desa di Sumatera Barat. Pada suatu hari, ia mendapat undangan pesta dari dua orang kaya dari desa-desa tetangga. Sayangnya pesta tersebut diadakan pada hari dan waktu yang bersamaan.



Pak Lebai menimang- nimang untung dan rugi dari setiap undangan. Tetapi ia tidak pernah dapat mengambil keputusan dengan cepat. Ia berpikir, kalau ia ke pesta di desa hulu sungai, tuan rumah akan memberinya hadiah dua ekor kepala kerbau. Namun, ia belum begitu kenal dengan tuan rumah tersebut. Menurut berita, masakan orang-orang hulu sungai tidak seenak orang hilir sungai.

Kalau ia pergi ke pesta di hilir sungai, ia akan mendapat hadiah seekor kepala kerbau yang dimasak dengan enak. Ia juga kenal betul dengan tuan rumah tersebut. Tetapi, tuan rumah di hulu sungai akan memberi tamunya tambahan kue-kue. Hingga ia mulai mengayuh perahunya ketempat pestapun ia belum dapat memutuskan pesta mana yang akan dipilih.

Pertama, dikayuh sampannya menuju hulu sungai. Baru tiba ti ditengah perjalanan ia mengubah pikirannya. Ia berbalik mendayung perahunya ke arah hilir. Begitu hampir sampai di desa hilir sungai. Dilihatnya beberapa tamu menuju hulu sungai. Tamu tersebut mengatakan bahwa kerbau yang disembelih disana sangat kurus. Iapun mengubah haluan perahunya menuju hulu sungai. Sesampainya ditepi desa hulu sungai, para tamu sudah beranjak pulang. Pesta disana sudah selesai.

Pak lebai cepat-cepat mengayuh perahunya menuju desa hilir sungai. Sayangnya, disanapun pesta sudah berakhir. Pak Lebai tidak mendapat kepala kerbau yang diinginkannya.


Saat itu ia sangat lapar, ia memutuskan untuk memancing ikan dan berburu. Untuk itu ia membawa bekal nasi. Untuk berburu ia mengajak anjingnya.

Setelah memancing agak lama, kailnya dimakan ikan. Namun kail itu menyangkut di dasar sungai. Pak Lebaipun terjun untuk mengambil ikan tersebut. Sayangnya ikan itu dapat meloloskan diri. Dan anjingnya memakan nasi bekal pak Lebai. Oleh karena kemalangan nasibnya, pak Lebai diberi julukan Lebai Malang.

Jumat, 25 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Mak Isun Kayo

Payakumbuh adalah nama sebuah kota madya di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Di wilayah ini terdapat sebuah negeri yang disebut dengan Batang Tabik. Konon, di negeri ini pernah ada seorang juragan bendi dan beruk yang bernama Mak Isun. Pada suatu hari, kawanan beruk miliknya mengepung rumahnya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Mak Isun, sehingga rumahnya dikepung oleh kawanan beruk itu? Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Mak Isun Kayo berikut ini.



Alkisah, di Negeri Batang Tabik, Payakumbuh, Sumatra Barat, hiduplah seorang lelaki paruh baya bernama Mak Isun. Ketika masih muda, ia bekerja sebagai kusir bendi pada orang kaya di negeri itu. Ia seorang kusir yang rajin dan tekun. Bendinya selalu bersih dan kudanya terpelihara dengan baik, sehingga ia disukai oleh juragannya dan orang-orang pun senang menumpang bendinya.
Selain rajin dan tekun, Mak Isun juga hemat dan rajin menabung. Sebagian upah dari hasil menarik bendi ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan selebihnya ditabung. Setelah berjalan beberapa tahun, uang tabungannya pun cukup banyak. Ketika juragannya meninggal dunia, ia gunakan tabungannya untuk membeli kuda dan bendi itu dari keluarga juragannya.
Semenjak menjadi pemilik bendi, uang sewa yang biasanya disetorkan kepada juragannya, ia masukkan ke dalam tabungannya. Dalam waktu dua tahun, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli lagi satu bendi beserta kudanya. Kemudian bendi tersebut ia sewakan kepada orang lain.
Waktu terus berjalan, Mak Isun tetap giat menabung dan terus membeli kuda beserta bendinya hingga akhirnya ia memiliki delapan buah bendi berikut kudanya. Bendi yang pertama kali dibelinya, tetap dia yang mengemudikannya, sedangkan tujuh buah bendi lainnya ia sewakan kepada orang lain. Semakin hari penghasilan Mak Isun semakin banyak, sehingga ia pun terkenal sebagai juragan bendi yang kaya. Sejak itu, namanya dikenal sebagai Mak Isun Kayo.
Walaupun sudah menjadi kaya, cara hidup Mak Isun tetap tidak berubah. Ia tetap hemat dan rajin merawat kuda dan bendinya. Setiap ada kerusakan segera diperbaiki dan diperbaharui. Ia senantiasa mengajarkan hal itu kepada semua kusirnya. Ia berpendirian bahwa kuda yang kuat dan bendi yang bersih akan disukai oleh penumpang. Oleh karena itu, ia mewajibkan para kusirnya untuk memberi makan dan memandikan kudanya setiap hari. Demikian pula, mereka harus mencuci dan membersihkan bendi setiap selesai dipakai.
Pada suatu sore, Mak Isun sedang duduk-duduk di teras rumahnya sambil memerhatikan para kusir bendi sedang memandikan kuda dan membersihkan bendi. Saat itu, tiba-tiba sesuatu terlintas di dalam pikirannya.
”Aku harus mencari pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang untuk menambah kekayaanku. Tapi pekerjaan apa ya?” tanyanya dalam hati.
Sesaat kemudian, tiba-tiba seorang warga yang bernama Pak Sole dengan seekor beruknya melintas di depan rumahnya. Pak Sole adalah seorang ”tukang beruk”. Ia menerima upah dengan cara memerintahkan seekor beruk memetik kelapa di kebun kelapa penduduk sekitar.  
”Pak Sole...!” teriak Mak Isun memanggil Pak Sole.
”Iya, Tuan!” jawab Pak Sole sambil menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya.
“Kemari sebentar!” seru Mak Isun.
Dengan hati bertanya-tanya, Pak Sole segera menghampiri Mak Isun.  
”Ada apa, Tuan!” tanya Pak Sole penasaran.
”Silahkan duduk, Pak Sole!” kata Mak Isun.
”Terima kasih, Tuan!” jawab Pak Sole sambil memegangi beruknya.
” Pak Sole, berapa upahmu menjadi tukang beruk?” tanya Mak Isun.
”Tidak tentu, Tuan! Tergantung jarak kebun kelapa yang akan dipetik buah kelapanya. Jika dekat, saya mendapat upah tiga butir kelapa, dan jika jauh upahnya lima butir,” jelas Pak Sole.
”Berapa penghasilanmu sehari?” tanya Mak Isun.
”Jika dirata-rata, sehari saya memperoleh sekitar dua puluh lima butir kelapa,” jawab Pak Sole.
”Wah, lumayan juga penghasilanmu,” kata Mak Isun.
”Tapi, Tuan!”
”Kenapa, Pak Sole,” tanya Mak Isun penasaran.
”Saya tidak tahu masih dapat menjadi tukang beruk atau tidak, karena majikan saya hendak menjual semua beruknya untuk ongkos naik haji,” jelas Pak Sole.
”Siapa yang akan membelinya?” tanya Mak Isun.
”Belum tahu, Tuan!” jawab Pak Sole.
”Siapa nama majikanmu?” tanya Mak Isun.
”Pak Kari, Tuan!” jawab Pak Sole.
‘Kalau begitu, sampaikan kepada Pak Kari bahwa aku yang akan membeli semua beruknya,” ungkap Mak Isun.
”Baik, Tuan! Nanti malam saya akan pergi menemuinya,” kata Pak Sole seraya berpamitan.
Pada malam harinya, Pak Sole ke rumah majikannya untuk menyampaikan niat Mak Isun. Pak Kari pun setuju. Akhirnya, Mak Isun membeli semua beruk Pak Kari dan kemudian menyewakannya kepada orang lain, termasuk Pak Sole. Selain mendapat keuntungan sewa beruk, Mak Isun juga mewajibkan kepada semua penyewa beruknya untuk menjual upah mereka kepadanya dengan harga murah, sehingga ia pun mendapat keuntungan yang banyak. Untuk memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, Mak Isun tidak menjual kelapa itu, melainkan menjualnya dalam wujud kopra (daging kelapa yang sudah dikeringkan). Lambat laun, ia tidak hanya terkenal sebagai juragan bendi dan beruk, tapi sebagai pedagang kopra.
Pada suatu waktu, harga kopra melonjak tinggi. Mengetahui hal itu, Mak Isun berubah pikiran hendak menaikkan upah sewa beruknya. Ia menyadari bahwa dialah satu-satunya pemilik beruk di negeri itu yang hampir semua penduduknya memiliki kebun kelapa. Oleh karena itu, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia pun segera mengumpulkan semua tukang beruknya di rumahnya.
”Mulai besok, upah sewa beruk kita naikkan dua kali lipat. Jika jarak kebunnya dekat, upahnya menjadi enam butir kelapa, dan jika jaraknya jauh upahnya menjadi sepuluh butir,” ujar Mak Isun kepada para tukang beruk.
”Maaf, Tuan! Apakah itu tidak memberatkan penduduk?” tanya Pak Sole.
”Benar, Tuan! Tidak mungkin mereka mau membayar upah sebesar itu. Upah sewa beruk yang kami berlakukan selama ini pun masih ada penduduk yang merasa keberatan” tambah seorang tukang beruk yang lain.
”Kalau mereka tidak mau, biarkan saja kelapa mereka tua di pohon,” jawab Mak Isun dengan ketus.
”Tapi, Tuan! Kalau tidak memetik kelapa, kami mau makan apa? Padahal hanya itu harapan hidup kami!” kata seorang tukang beruk beriba.
”Dasar kalian semua orang bodoh! Jika kita menaikkan upah sewa beruk, pasti semua penduduk akan terpaksa menerimanya. Kalian sudah tahu bahwa tidak seorang pun penduduk yang pandai memanjat pohon kelapa secepat beruk itu. Lagi pula, mereka tidak akan rugi karena kebun kelapa itu adalah warisan dari orang tua mereka,” jelas Mak Isun dengan nada kesal.
Para tukang beruknya tidak setuju dengan keputusan Mak Isun, karena mereka merasa kasihan kepada penduduk. Namun, Mak Isun tidak mau tahu mengenai masalah itu. Ia tetap teguh pada pendiriannya hendak menaikkan upah sewa beruk. Para tukang beruk itu pun menjadi kesal dengan sikap Mak Isun. Dengan perasaan kecewa, seluruh tukang beruk kembali ke rumah masing-masing. Pada malam harinya, mereka bermusyawarah untuk mencari cara agar Mak Isun mau membatalkan niatnya itu. Dalam pertemuan itu, mereka bersepakat untuk menakut-nakuti Mak Isun dengan cara menyuruh beruk-beruk itu mengepung rumahnya.
Keesokan paginya, saat membuka jendela rumahnya, Mak Isun dikejutkan dengan seekor beruk yang menyeringainya. Dengan perasaan panik, ia pun segera membuka pintu depan. Namun, saat pintu terbuka, ia disambut dengan cibiran dan seringai beruk yang lain. Mak Isun berlari menuju pintu belakang, namun dua ekor beruk sudah menunggunya. Kemudian berlari menuju ke jendela yang lain, juga dihadang oleh beruk. Rumah Mak Isun benar-benar dikepung oleh belasan beruk, sehingga ia tidak bisa keluar.
”Tolong... !!! Tolong... !!! Singkirkan beruk-beruk itu dari rumahku!” teriak Mak Isun meminta tolong.
Mendengar suara teriakan itu, para penduduk berkumpul di halaman rumahnya hendak menyaksikan peristiwa itu. Namun, tidak seorang pun penduduk yang berani menolongnya, termasuk para kusir bendinya. 
Sementara itu, Mak Isun yang berada di dalam rumah itu semakin panik.
“Jika sampai berhari-hari beruk-beruk itu mengepung rumah ini dan tidak diberi makan, apa jadinya kelak? Mereka pasti mengobrak-abrik rumahku, atau... jangan-jangan aku yang menjadi sasaran mangsa mereka, karena kelaparan,” pikir Mak Isun.
Akhirnya, Mak Isun menyadari bahwa ia tidak boleh memaksakan kehendaknya. Ia pun mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak menaikkan sewa beruk kepada penduduk.
* * *
Demikian cerita Mak Isun Kayo dari Payakumbuh, Sumatra Barat, Indonesia. Hingga kini, peristiwa itu masih menjadi bahan cerita masyarakat Payakumbuh, Sumatra Barat. Mereka terkadang tertawa geli mendengar kisah Mak Isun yang kaya itu dicibir dan diseringai oleh beruknya sendiri. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dari cerita di atas, setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik, yaitu sifat rajin menabung dan sifat serakah.
Pertama, sifat rajin menabung. Sifat ini tercermin pada sikap Mak Isun yang pandai mengatur masalah keuangannya, yaitu sebagian upah yang diperoleh dari hasil kerjanya dimasukkan ke dalam tabungannya. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa setiap kita mendapat rezeki hendaknya sebagian disisihkan untuk ditabung.
Kedua, sifat serakah atau tamak. Sifat ini juga tercermin pada sikap Mak Isun. Pada mulanya, Mak Isun adalah orang kaya yang dihormati. Namun, karena keserakahannya terhadap harta, ia pun dibenci oleh penduduk sekitar. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa harta dapat menjatuhkan marwah seseorang. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
apa tanda orang tamak,
karena harta marwah tercampak

Kamis, 24 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Nagari Koto Nan Ampek Dan Koto Nan Gadang

Negeri Koto Nan Ampek adalah sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Konon, daerah yang subur ini dulunya merupakan kawasan hutan lebat. Oleh masyarakat sekitar, kawasan ini dijadikan permukiman dan diberi nama Nagari Koto Nan Ampek dan Koto nan Gadang. Mengapa daerah tersebut diberi nama Nagari Koto Nan Ampek dan Koto nan Gadang? Temukan jawabannya dalam cerita Asal Mula Negeri Koto Nan Ampek berikut ini!



Alkisah, di sebuah nagari di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, ada sebuah kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana. Diberi gelar demikian karena ia seorang raja yang sungguh arif dan bijaksana. Ia senantiasa menjalankan segala kewajibannya sebagai seorang raja dan memberikan segala sesuatu yang menjadi hak rakyatnya. Rakyat negeri ini senantiasa hidup aman, tentram dan makmur. Betapa tidak, selain memiliki raja yang arif dan bijaksana, mereka juga memiliki tanah yang luas dan berbagai jenis tanaman yang tumbuh dengan subur. Hasil buminya sangat melimpah. Ternak-ternak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat merumput dengan leluasa sehingga tumbuh sehat dan besar-besar. Ternak-ternak tersebut mereka jual ke negeri-negeri sekitarnya dengan harga yang cukup mahal.
Keadaan nagari yang aman dan sejahtera tersebut membuat rakyat selalu patuh, hormat, dan menjunjung tinggi kewibawaan Baginda Mulia. Segala titah raja mereka laksanakan dengan penuh tanggungjawab. Mereka juga senantiasa menjaga kekayaan dan tanah negeri yang luas dan subur itu.
Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita, dan tiga orang putri yang masih kecil. Di sela kesibukannya mengurus kerajaan, Baginda Mulia selalu meluangkan waktu dengan mengajak keluarganya keluar istana untuk melihat pemandangan dan kekayaan alam yang dimiliki negeri mereka. Bahkan, Baginda Mulia sering mengajak putri sulungnya berkunjung ke kerajaan-kerajaan tetangga dan berjalan-jalan ke pelosok desa untuk melihat kondisi kehidupan sehari-hari rakyatnya. Dengan demikian, Putri Sulung banyak tahu tentang masalah-masalah yang sering dihadapi oleh kerajaan.
Waktu terus berjalan. Ketiga putri Baginda Mulia tumbuh menjadi gadis-gadis yang cantik dan cerdas. Terutama Putri Sulung, ia seorang gadis yang sudah mulai berpikiran dewasa. Ia sering dimintai pandangan oleh ayahnya, karena selalu bersikap sabar dan tenang dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi kerajaan.
Pada suatu sore, sang Permaisuri melihat Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana sedang duduk sendirian di serambi istana.
“Apa yang sedang Kanda pikirkan? Ada yang bisa Dinda bantu?” tanya sang Permaisuri.
“Iya, Dinda! Kanda sedang memikirkan putri kita yang sulung. Di antara ketiga putri kita, dialah yang tampak lebih dewasa dan bijaksana dalam berpikir. Ia juga banyak mengerti mengenai persoalan kerajaan ini,” jawab Baginda Mulia.
“Lalu, ada apa dengannya, Kanda?” tanya Permaisuri tidak mengerti.
“Begini, Dinda! Kanda rasa sudah waktunya ia menikah. Untuk itu, Kanda bermaksud untuk mencarikan jodoh yang sepadan dengannya. Kanda berharap agar menantu dan putri kita dapat menggantikan kedudukan Kanda kelak,” jelas Baginda Mulia.
“Benar, Kanda! Ia juga sabar, tidak sombong dan rendah hati. Dinda juga berharap kerajaan ini kelak dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana seperti Kanda,” tambah Permaisuri.
“Tapi, apakah Kanda sudah mempunyai pilihan untuknya?” tanya Permaisuri ingin tahu.
“Belum, Dinda,” jawab Baginda Mulia.
“Lalu, apa rencana Kanda?” Permaisuri kembali bertanya.
“Kanda bermaksud memancang gelanggang di depan istana. Siapa pun yang menang dalam gelanggang itu, dialah yang akan menjadi menantu kita dan pastinya ia adalah seorang pemuda yang sepadan dengan putri kita,” jelas Baginda Mulia.
Mendengar penjelasan itu, sang Permaisuri pun setuju. Keesokan harinya, Baginda Mulia memanggil Putri Sulung.
“Ampun, Ayahanda! Ada apakah gerangan Ayahanda dan Ibunda memanggil Putri?” tanya Putri Sulung penasaran.
“Begini, Putriku! Kini engkau telah dewasa. Ayah dan Bundamu bermaksud mencarikan jodoh yang sepadan untukmu. Kami berharap engkau dan suamimu kelak dapat menggantikan Ayahandamu untuk memimpin kerajaan ini,” jawab Baginda Mulia.
Mendengar jawaban itu, Putri Sulung pun terdiam sambil menundukkan kepala. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
“Bagaimana pendapatmu, Putriku?” desak sang Ibunda.
“Jika sekiranya itu adalah jalan yang terbaik untuk masa depan Ananda dan kerajaan ini, Ananda tidak keberatan. Tapi, bagaimana Ayahanda dan Ibunda memilihkan jodoh untuk Ananda?” Putri Sulung balik bertanya ingin tahu.
Baginda Mulia Nan Arif dan Bijaksana pun menjelaskan semua rencananya. Setelah mendapat persetujuan dari Putri Sulungnya, Baginda Mulia pun segera mengumpulkan semua pejabat istana untuk membicarakan segala hal yang menyangkut keperluan penyelenggaraan gelanggang tersebut. Setelah itu, para pengawal istana segera menyebarkan pengumuman ke seluruh penjuru negeri dan mengirim surat undangan kepada kerajaan-kerajaan tetangga agar bersedia mengirim utusan atau putra mahkota mereka.
Dalam waktu singkat, ramailah orang membicarakan gelanggang yang akan diselenggarakan oleh Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana itu. Setiap hari, dari pagi sampai sore, banyak pemuda dan putra mahkota berlatih untuk mengasah kemampuan dan kesaktian mereka.
Sementara para pemuda dan putra mahkota sibuk berlatih, Baginda Mulia beserta pembesar kerajaan sibuk bermusyawarah untuk persiapan pembukaan dalam acara gelanggang tersebut.
“Mahapatih, apa rencana untuk pembukaan gelanggang nanti?” tanya Baginda Mulia kepada Bendahara Kerajaan.
“Ampun, Baginda! Jika hamba boleh mengusulkan, sebaiknya kita mengadakan tari-tarian untuk menyambut para tamu,” jawab Bendahara sambil memberi hormat.
“Ada usulan yang lain?” Baginda Mulia bertanya kepada peserta rapat lainnya.
“Hamba usul Baginda!” sahut salah seorang menteri.
“Apakah itu? Katakanlah!” desak Baginda Mulia.
“Bagaimana kalau kita mengadakan jamuan makan dengan para undangan dan peserta lomba agar semakin eratlah hubungan persaudaraan kita,” ungkap sang Menteri.
“Ampun, Baginda Mulia! Untuk menjamu mereka, tentu kita harus menyediakan makanan enak dan lezat dari bahan-bahan pilihan,” tambah seorang menteri lainnya.
“Benar, Baginda! Kita harus menyembelih beberapa ekor kerbau yang besar-besar dan sehat-sehat,” Bendahara Kerajaan menambahkan.
Mendengar jawaban itu, Baginda Mulia terdiam sejenak. Ia memikirkan binatang ternak apa yang pantas untuk dihidangkan kepada para tamunya. Sesaat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam pikirinnya.
“Ah, kalau begitu, perintahkan kepada rakyat untuk segera menangkap lima ekor kerbau yang besar-besar di hutan sebelah timur sana! Barangsiapa yang berhasil menangkapnya akan mendapat hadiah yang pantas. Tapi ingat Paman Patih, tidak boleh kurang dari lima ekor kerbau,” tegas Baginda Mulia.
“Daulah, Baginda! Perintah kami laksanakan,” jawab Bendahara sambil memberi hormat.
Bendahara Kerajaan pun segera memerintahkan para pengawal untuk menyebarkan pengumuman ke seluruh pelosok nagari. Dalam waktu singkat, seluruh rakyat nagari mengetahui pengumuman tersebut dan segera melaksanakan titah Baginda Mulia dengan penuh hormat dan tanggungjawab. Sebelum berangkat, mereka mempersiapkan segala keperluan untuk menangkap kerbau dan makanan untuk bekal di perjalanan. Sebab, hutan tempat di mana kerbau-kerbau Baginda Mulia berada sangat jauh dari perkampungan.
Setelah itu, berangkatlah satu rombongan menuju hutan yang dimaksud oleh Baginda Mulia. Berhari-hari mereka berjalan keluar masuk hutan, melintasi sungai-sungai besar, menahan hawa dingin serta terik matahari yang menyengat.
Pada suatu hari, sampailah mereka di sebuah hutan lebat. Pepohonannya tumbuh subur dan hijau.
“Apakah hutan ini yang dimaksudkan Baginda Mulia?” tanya seorang warga kepada penetua (orang yang dituakan), pemimpin rombongan itu.
Belum sempat penetua menjawab, seorang warga lain bertanya pula.
“Di mana kerbau-kerbau itu?”
“Tenang saudara-saudara! Sebaiknya kita cari dulu kerbau-kerbau itu. Barangkali mereka berkeliaran di sekitar hutan ini,” jawab penetua menenangkan anggota rombongannya.
Setelah beberapa lama mencari, mereka tidak juga menemukan kerbau-kerbau tersebut.
“Sudah kita telusuri hutan ini, namun belum juga menemukan kerbau itu,” kata seorang warga yang mulai putus asa.
“Jangan cepat putus asa, saudara! Kalau kita berusaha dengan sungguh-sungguh, kita pasti akan menemukan mereka. Inilah kesempatan kita membaktikan diri kepada Baginda Mulia yang demikian baik dan selalu memperhatikan nasib kita,” ujar penetua memberi semangat.
“Berhubung hari sudah sore, sebaiknya kita beristirahat dulu di tempat ini. Besok pagi-pagi sekali kita melanjutkan pencarian ini di hutan sebelah timur yang memisahkan dua sungai besar itu. Aku yakin hutan itulah yang dimaksudkan oleh Baginda Mulia dan kita pasti menemukan kerbau-kerbau itu,” tambah penetua sembari memberi petunjuk kepada anggota rombongannya.
Keesokan harinya, saat matahari mulai terbit, rombongan itu berangkat menuju ke arah hutan sebelah timur. Setelah melintasi beberapa sungai besar, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Pohon-pohonnya tampak besar-besar dan banyak binatang yang berkeliaran di dalamnya. Saat mereka menjelajahi hutan itu, tak jarang mereka menjumpai binatang buas yang sering mengancam keselamatan mereka. Namun, hal tersebut tidak membuat mereka patah semangat. Mereka terus berjalan menuju ke tengah hutan.
Penetua! Kita beristirahat dulu sejenak. Rasanya lemas semua badanku,” pinta seorang anggota rombongan.
“Iya, Tuan! Sebaiknya kita beristirahat dulu. Sudah jauh kita berjalan, namun belum menemukan tanda-tanda keberadaan kerbau itu,” tambah anggota rombongan lainnya.
Akhirnya sebagian mereka beristirahat untuk melepas lelah sambil menikmati bekal yang hampir habis. Namun, penetua bersama beberapa anggota rombongan lainnya terus berjalan lebih jauh ke tengah hutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara keras dan lantang dari seorang warga yang bertubuh gemuk dan besar.
“Koto nan ampek...! Koto nan ampek...! (Ini dia yang empat ekor!)
Anggota rombongan lain yang sedang beristirahat segera berlari menuju ke arah sumber suara itu. Mereka yang tadinya lemas, tiba-tiba menjadi kuat dan bersemangat.
“Akhirnya kita menemukan mereka,” kata penetua.
“Wah... bagus sekali warnanya, bersih dan mengkilap,” ucap seorang warga yang baru saja tiba di tempat itu.
“Untuk mengenang perjuangan kita ini, tempat ini aku namakan Koto Nan Ampek. Semoga anak cucu kita dapat mengenang perjuangan kita dan tempat ini menjadi daerah yang subur seperti keempat kerbau ini,” kata penetua.
Para warga yang ikut dalam rombongan itu pun mengangguk-angguk sebagai tanda setuju. Setelah itu, mereka pun segera menggiring keempat kerbau itu ke sebuah padang rumput.
“Lalu, bagaimana dengan kerbau yang satu ekor, Penetua?” tanya salah seorang warga.
“Aku yakin kerbau itu tidak jauh dari daerah Koto Nan Ampek ini. Sebaiknya kita bagi anggota rombongan yang ada. Sebagian menunggu keempat kerbau ini dan yang lainnya mencari kerbau yang satu itu,” ujar penetua.
“Baik, Tuan!” jawab semua anggota rombongan serentak.
Rombongan pencari kerbau itu pun dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mencari di sebelah utara, sedangkan kelompok kedua mencari di tepian sungai. Ternyata, untuk mencari seekor kerbau tidaklah mudah. Mereka harus menyusuri tepian sungai dan jalan-jalan sempit yang dikelilingi pohon-pohon besar. Namun, hal itu tidak membuat semangat mereka surut. Mereka terus mencarinya ke sana kemari. Tidak berapa lama, tiba-tiba seorang warga berteriak dengan suara keras dan lantang dari arah sungai.
“Koto nan gadang! Koto nan gadang! (Inilah yang besar!).
Mendengar teriakan itu, anggota rombongan lainnya segera mendatangi orang yang berteriak itu.
“Wah, besar sekali kerbau ini!” ucap seorang warga dengan penuh rasa kagum.
“Aku tidak pernah menyangka jika Baginda Mulia mempunyai ternak kerbau sebesar ini!” ungkap seorang warga lainnya.
Akhirnya mereka pun berhasil mendapatkan kelima kerbau itu.
“Untuk mengenang penemuan ini, maka aku namakan daerah ini dengan nama kenegerian Koto Nan Gadang, tempat ditemukannya kerbau yang terbesar. Semoga kenegerian ini akan berkembang maju dan rakyatnya mampu menjadi pembesar-pembesar negeri,” kata penetua sambil mengelus-elus kepala kerbau besar itu.
Alangkah senang hati mereka atas hasil yang mereka peroleh. Rasa lelah yang mereka rasakan pun tiba-tiba hilang. Dengan penuh semangat, mereka menggiring kelima kerbau besar itu menuju istana.
Sesampainya di istana, rombongan penetua itu disambut gembira dan disalami satu per satu oleh Baginda Mulia. Sesuai dengan janjinya, Baginda Mulia pun memberikan hadiah kepada penetua bersama rombongannya, masing-masing satu hektar tanah. Kecuali penetua mendapat dua hektar tanah, karena ia berhasil memimpin rombongannya mendapatkan lima ekor sapi tersebut untuk disembelih dalam acara pembukaan gelanggang.
Pada hari yang telah ditentukan, acara pembukan gelanggang pun dimulai. Tamu yang hadir datang dari berbagai penjuru negeri untuk mengikuti acara tersebut. Mereka disuguhkan berbagai macam makanan enak dan lezat serta pementasan tari-tarian. Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan acara inti, yaitu acara gelanggang. Satu per satu peserta gelanggang menunjukkan kemampuan dan kesaktiannya. Setelah seluruh peserta tampil, ditetapkanlah seorang pemenang dan dinikahkan dengan putri sulung Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana.
* * *
Demikian cerita Asal Nagari Koto Nan Ampek dan Koto nan Gadang dari daerah Sumatra Barat. Cerita di atas termasuk legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas, yaitu pentingnya seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, serta sifat tidak mudah putus asa.
Pertama, pentingnya seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Sifat ini tampak pada sikap dan perilaku Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana dalam memimpin rakyatnya. Ia senantiasa menjalankan kewajibannya dengan baik dan memperhatikan hak-hak rakyatnya, sehingga ia pun dihormati dan dipatuhi oleh rakyatnya. Dalam kehidupan orang Melayu, pemimpin wajib dihormati, ditaati, dan dipatuhi sepanjang ia menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar. (Tenas Effendy, 2006). Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
Raja adil raja disembah,
Raja zalim raja disanggah
Kedua, sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini tercermin pada sifat dan perilaku penetua dalam memimpin rombongannya. Ia tidak pernah berputus asa menghadapi berbagai cobaan dan rintangan yang dihadapi ketika mencari lima ekor kerbau di tengah hutan. Berkat kesungguhannya, ia bersama rombongannya dapat menemukan kelima kerbau tersebut.

Rabu, 23 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Siamang Putih

Siamang Putih adalah sebuah legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sumatra Barat, khususnya yang tinggal di pesisir utara Pantai Tiku. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, siamang putih merupakan penjelmaan seorang gadis cantik yang bernama Puti Juilan. Ia adalah cucu dari Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung saat itu. Mengapa Puti Juilan berubah menjadi siamang putih? Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Siamang Putih berikut ini.



Alkisah, di Kampung Alai di pesisir utara Pantai Tiku Sumatra Barat, tersebutlah seorang juragan kapal yang bernama Nahkoda Baginda. Ia adalah putra Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung. Nahkoda Baginda mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Puti Juilan. Kecantikan parasnya terkenal hingga ke berbagai negeri. Belum seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena selain cantik bagaikan bidadari, ia juga keturunan bangsawan. Sementara, para pemuda atau perjaka yang tinggal di negeri itu dan negeri di sekitarnya kebanyakan menjadi nelayan atau anak buah ayahnya. Sebenarnya, banyak anak orang kaya atau pun keturunan bangsawan yang pantas untuk menjadi pendamping hidup Puti Juilan, namun semuanya telah berkeluarga dan beranak-pinak.
Keadaan tersebut membuat hati Puti Juilan cemas. Setiap hari ia selalu tampak murung dan mengurung diri dalam kamar. Mengetahui keadaan itu, Tuanku Raja Kecik pun cemas memikirkan nasib cucu kesayangannya itu. Ia pun segera memanggil putra dan menantunya (ayah dan ibu Puti Juilan) untuk mengadakan pertemuan keluarga. Dalam pertemuan tersebut, mereka bersepakat untuk mengadakan pesta gelanggang keramaian, yaitu tempat orang menghibur diri dan bercengkrama. Pesta yang akan berlangsung selama sebulan penuh tersebut bertujuan untuk mencarikan jodoh yang pantas untuk Puti Juilan.
Pada malam sebelum pesta itu dimulai, Puti Juilan bermimpi bertemu dengan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Sutan Rumandung. Ia pun menceritakan perihal mimpinya itu kepada kedua orang tua dan kakeknya. Mendengar cerita cucunya itu, Tuanku Raja Kecik menitahkan kepada pengawal istana untuk mencari pemuda itu pada saat pesta berlangsung. Pada pesta hari pertama, di antara undangan yang hadir tak seorang pun yang bernama Sutan Rumandang. Memasuki hari kedua dan ketiga, pemuda itu tidak juga ditemukan. Demikian pula pada hari-hari berikutnya hingga perhelatan besar tersebut berakhir.
Akhirnya, Tuanku Raja Kecik meminta bantuan kepada ahli nujum istana untuk menggerakkan hati Sutan Rumandang agar datang ke Kampung Alai. Dengan kesaktiannya, ahli nujum itu berhasil mendatangkan pemuda itu. Suatu hari, sebuah kapal layar berlabuh di dermaga. Perahu tersebut tampak rusak parah di mana seluruh tiangnya patah karena diterpa badai. Melihat kedatangan perahu itu, salah seorang prajurit yang bertugas di dermaga segera melapor kepada Tuanku Raja Kecik.
“Ampun, Baginda! Baru saja sebuah kapal asing berlabuh di dermaga. Kapal itu dinahkodai oleh seorang pemuda tampan,” lapor prajurit.
“Suruh pemuda itu menghadap kepadaku!” titah Tuanku Raja Kecik.
“Baik, Baginda! Titah segera hamba laksanakan!” jawab prajurit itu.
Tak berapa lama kemudian, prajurit itu pun kembali bersama pemuda itu. Tuanku Raja Kecik bersama keluarga istana, termasuk Puti Juilan, menyambutnya dengan baik. Saat melihat pemuda itu, Puti Juilan langsung tersentak kaget seakan-akan tidak percaya. Pemuda itulah yang hampir setiap malam hadir dalam mimpinya. Puti Juilan pun berbisik kepada ibunya.
“Bu, pemuda itulah yang selalu hadir dalam mimpi Puti,” bisik Puti Juilan.
“Apakah kamu yakin, Putriku?” tanya ibunya dengan suara pelan.
“Puti yakin sekali, Bu! Wajahnya sama persis dengan wajah pemuda di dalam mimpi Puti,” jawab Puti dengan penuh keyakinan.
“Baiklah kalau begitu, Putriku! Ibu akan menanyakan siapa sebenarnya pemuda itu,” kata ibunya.
“Maaf, Anak Muda! Engkau ini siapa dan berasal dari mana?” tanya ibu Puti Juilan kepada pemuda itu.
“Nama hamba Sutan Rumandang putra seorang juragan dari negeri seberang,” jawab pemuda itu.
Mendengar jawaban pemuda itu, semua keluarga istana yang hadir merasa sangat gembira dan bahagia, terutama Tuanku Raja Kecik.
“Pucuk ditiba ulam pun tiba. Pemuda yang selama ini kita tunggu akhirnya datang juga,” ucap Tuanku Raja Kecik dengan perasaan lega.
Dengan tidak sabar, Tuanku Raja Kecik ingin segera menikahkan cucu kesayangannya itu dengan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang menolak, karena ia harus pergi mencari harta yang banyak untuk menikahi Puti Juilan.
“Maaf, Baginda! Untuk saat ini, hamba belum pantas menikahi Puti Juilan, karena usaha hamba sedang merugi,” ungkap Sutan Rumandang.
Seluruh keluarga istana pun mengerti maksud pemuda tampan itu. Namun, sebelum Sutan Rumandang berangkat berlayar, keluarga istana bersepakat untuk menunangkan mereka. Akhirnya, pertunangan itu dilangsungkan dengan sangat meriah.
Usai acara pertunangan, Sutan Rumandang memohon izin kepada Puti Juilan dan keluarga istana untuk pergi berlayar mencari harta yang banyak. Puti Juilan bersama kakek dan kedua orang tuanya turut mengantar Sutan Rumandang ke dermaga. Dalam perjalanan menuju ke dermaga, Puti Juilan terlihat sedih dan wajahnya murung. Sungguh berat hatinya ingin berpisah dengan Sutan Rumandang.
Tak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di dermaga. Sebelum kapal layar yang akan ditumpangi Sutan Rumandang meninggalkan dermaga, Puti Juilan berpesan dan mengucapkan janji kepada tunangannya.
“Kanda Sutan Rumandang, berhati-hatilah di jalan dan cepatlah kembali setelah berhasil! Dinda bersumpah akan selalu setia menanti Kanda sampai kapan pun. Dinda tidak akan menikah selain dengan Kanda. Jika Dinda melanggar sumpah ini, biarlah Dinda menjadi siamang,” ucap Puti Juilan.
“Kanda pun bersumpah, jika Kanda tidak setia kepada Dinda, biarlah Kanda tenggelam bersama kapal Kanda di tengah laut,” balas Sutan Rumandang dengan ucapan sumpah.
Setelah berpamitan, Sutan Rumandang pun berlayar mengarungi samudara luas. Dari atas kapal, ia melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Puti Juilan pun membalasnya sambil meneteskan air mata. Semakin jauh kapal itu ke tengah laut, air mata Puti Juilan semakin deras mengalir. Ketika kapal itu hilang dari pandangan mata, Puti bersama keluarganya meninggalkan dermaga.
Sejak itu, Puti Juilan selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar melindungi tunangannya dan cepat kembali untuk menikahinya. Waktu berjalan begitu cepat. Sudah setahun lebih menunggu, Puti Juilan belum juga mendapat kabar dari tunangannya. Hingga akhir tahun kedua, tunangannya belum juga kembali dari pelayarannya. Ketika memasuki tahun ketiga, sebuah kapal dagang yang besar dan megah sedang berlabuh di dermaga. Mendengar kedatangan kapal itu, Puti Juilan bersama keluarganya segera menuju ke dermaga. Saat mereka tiba di dermaga, Puti Juilan tampak kecewa, karena kapal itu ternyata bukan milik tunangannya.
Namun, kekecewaan Puti Juilan langsung terobati saat ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah dan beberapa pengawalnya turun dari kapal.
“Melihat pakaian dan jumlah pengawalnya, pemuda itu pastilah bukan orang sembarangan,” kata Puti Juilan dalam hati.
Puti Juilan terus memerhatikan pemuda itu turun dari meniti anak tangga kapal satu persatu. Dengan penuh wibawa, pemuda itu berjalan menuju ke arah tempat ia dan keluarganya berdiri. Wajah tampan dan kewibawaan pemuda itu benar-benar memikat hati Puti Juilan. Pikirannya tentang Sutan Rumandang tiba-tiba lenyap begitu saja. Seluruh perhatian dan perasaannya tercurahkan kepada pemuda tampan itu.
“Bu, coba perhatikan pemuda itu! Dia sangat tampan dan gagah,” bisik Puti Juilan.
Ibunya pun mengerti maksud Puti Juilan kalau dia menyukai pemuda itu. Ia pun mengajak pemuda itu ke istana. Setelah ditanya tentang asal-usulnya, ternyata pemuda itu seorang keturunan bangsawan dari negeri tetangga. Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan Puti Juilan dengan mengadakan pesta yang sangat meriah. Seluruh bangsawan dan orang-orang kaya di negeri itu dan di negeri tetangga turut diundang. Berbagai seni pertunjukan juga digelar. Ketika semua undangan telah hadir, pesta pun dimulai. Penghulu mulai menanyai kesediaan kedua mempelai.
“Apakah kamu bersedia menikah dengan Puti Juilan?” tanya penghulu kepada mempelai laki-laki.
Setelah mempelai laki-laki itu menyatakan kesediaannya, penghulu itu bertanya kepada Puti Juilan. Ketika hendak menjawab pertanyaan penghulu, tiba-tiba Puti Juilan memekik seperti orang tersengat lebah.
`Aduh, sakitnya!” pekik Puti Juilan sambil melompat berdiri.
Setelah itu, Puti Juilan kembali duduk. Saat akan menjawab pertanyaan kedua dari penghulu, ia kembali memekik sambil melompat dan bergayut di ambang pintu. Pada saat akan menjawab pertanya ketiga, ia memekik lagi dengan suara yang sangat keras seraya melompat tinggi ke bubungan rumah. Semua yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut lari berhamburan ke luar rumah. Mereka melihat tubuh Puti Juilan di atas bubungan sedikit demi sedikit ditumbuhi oleh bulu berwarna putih. Lama-kelamaan, bulu itu semakin tebal dan memenuhi tubuhnya. Bentuk tubuh dan wajahnya pun perlahan-lahan berubah menyerupai seekor siamang.
Begitu seluruh tubuh Puti Juilan telah menjelma menjadi seekor siamang putih, barulah Tuanku Raja Kecik tersadar bahwa cucu kesayangannya itu telah melanggar sumpahnya. Namun, apa hendak diperbuat, nasi telah menjadi bubur. Seluruh keluarga istana hanya bisa pasrah menerima nasib malang yang telah menimpa Puti Juilan. Setiap hari, kala sang surya akan kembali ke peraduannya, siamang putih duduk di atas bubungan rumah sambil berbunyi dengan suara keras.
“Wuuut... wuut.... wuut!”
Siamang putih itu terus berbunyi sambil menatap jauh ke arah laut menanti kedatangan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang tak kunjung tiba. Semakin hari, suara siamang terdengar semakin sendu, seperti tangis seorang gadis yang sedang putus asa. Beberapa hari kemudian, suara siamang tidak pernah terdengar lagi. Seorang warga telah menemukannya mati di atas pohon ketaping tempatnya bersarang. Mengetahui hal itu, keluarga istana segera mengambil dan membawanya pulang untuk dikuburkan layaknya manusia. Seluruh rakyat negeri turut berduka cita atas meninggalnya Puti Juilan dalam wujud seekor siamang.
Beberapa hari kemudian, terdengarlah kabar bahwa Sutan Rumandang tenggelam di tengah laut karena telah melanggar sumpahnya, yakni menikah dengan seorang putri di negeri rantau.
* * *
Demikian cerita Siamang Putih dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita yang berbentuk legenda tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa orang yang melanggar sumpah dan mengingkari janji seperti Puti Juilan, akan termakan oleh sumpah dan janjinya. Dalam kehidupan orang Melayu, mengingkari janji merupakan sifat tercela dan termasuk ciri kemunafikan. Orang munafik adalah orang yang bertolak belakang antara lahir dengan batinnya, atau dengan kata lain orang munafik adalah orang yang tidak jujur dan tidak pandai memegang amanah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda orang tidak berbudi,
lain di mulut lain di hati

apa tanda orang yang malang,
lain di muka lain di belakang