Tampilkan postingan dengan label Kera. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kera. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Anak Pipit Dan Kera

Tersebutlah seekor kera yang tinggal sendiri di atas pohon di dekat sebuah tepian. Kera itu ditinggalkan kawan-kawannya karena ia sombong dan mementingkan diri sendiri. Dia menganggap pohon tempat tinggalnya itu miliknya sehingga kera-kera lain tidak diizinkan tinggal di sana. Tepian mandi itu pun dianggap miliknya.



Ada seekor itik yang selalu pergi ke tepian itu. Dia senang mandi sepuas-puasnya di tepian itu setelah selesai mencari makan dan kenyang perutnya.

Pada mulanya, kera membiarkan itik itu mandi di tepian. Akan tetapi, ketika dia melihat air di tepian menjadi keruh setiap itik itu selesai dia pun marah.

“Cis tak tahu malu, mandi di tepian orang lain!” maki kera kepada itik yang baru saja selesai mandi. “Bercerminlah dirimu yang buruk rupa itu! Patukmu seperti sudu (paruh yang lebar). Matamu sipit seperti pampijit (kutu busuk)! Sayapmu lebar seperti kajang sebidang (selembar atap dari dawn nipah)! Jari-jarimu berselaput jadi satu! Enyahlah kau, itik jelek!”

Itik malu dan sakit hati dicemooh seperti itu. Ingin sekali dia menantang kera untuk berkelahi. Akan tetapi, dia takut dikalahkan kera besar itu. Dia pun menangis sepanjang jalan menumpahkan kekesalan dan kejengkelannya.

Seekor induk pipit yang sedang memberi makan kepada anak-anaknya terkejut. Dia melongokkan kepala dari sarangnya yang tinggi di atas pohon.

“Hai itik yang baik, mengapa engkau menangis sepanjang jalan? Beri tahu kepadaku apa sebabnya. Mungkin aku dapat menolongmu!”

“Kera besar di atas pohon di tepian itu menghinaku!” jawab itik. “Aku malu sekali! Itu sebabnya aku menangis!” Itik itu menangis kembali seperti tadi.

“Ooo begitu! Apa saja yang dikatakannya?”

Itik menceritakan kembali semua caci maki yang diucapkan kera. Mendengar penjelasan itik, induk pipit segera berkata, “Berhentilah menangis, itik yang baik! Besok kembalilah ke sana dan mandilah sepuasmu!”

“Aku takut! Aku malu dimaki kera itu lagi!”

“Jangan takut, itik yang baik! Kalau kera itu memakimu, balaslah! Sebutlah segala keburukannya!” Induk_pipit pun mengajari itik membalas cemoohan kera.

“Terima kasih, induk pipit yang baik! Besok aku akan mandi lagi ke tepian dan nasihatmu akan kuturuti!” Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya agak terhibur dengan nasihat induk pipit.

“Esok tahu rasa kau, hai kera yang sombong!” katanya dalam hati sambil tersenyum seorang diri.

Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi.

“Hei, berhenti! Apakah engkau tetap tak punya rasa malu?” jeritnya dari atas dahan.

Itik pura-pura tidak mendengar jeritan itu. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Setelah puas, barulah dia naik ke tebing dan slap pulang ke rumah.

Seperti kemarin, kera kembali mencaci maki sepuas-puasnya. Dengan tenang itik mendengarkan. Setelah kera puas mengungkapkan keburukan dan kejelekannya, itik pun membalas, “Apakah engkau merasa cantik? Berkacalah di muka air di tepian itu! Tubuhmu ditumbuhi bulu-bulu kasar! Kepalamu seperti buah tandui (sejenis kuini/mempelam yang tumbuh di hutan) dilumu (dimasukkan ke mulut sambil diambil sarinya hingga tersisa biji dan ampasnya). Telapak tanganmu hitam kotor! Kuku-kukumu ….”

Belum selesai itik membalas caciannya, kera itu segera memotong, “Lancang sekali mulutmu! Tentu ada binatang lain yang memberi tahu kepada kamu!”

“Tentu saja, hai kera angkuh! Tidak jauh dari sini seekor induk pipit membuat sarang. Dialah yang mengajariku!”

“Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya!”

Itik bergegas pulang ke Tumahnya. Dia memberitahu induk pipit tentang niat busuk kera sombong itu. “Alangkah bodohnya engkau!” kata induk pipit dengan kesai. “Seharusnya tidak kau sebutkan siapa yang mengajarimu! Rupamu bukan hanya jelek, tetapi engkau pun tolol!”
Belum sempat induk pipit bersiap-siap mengungsi, kera sudah mendatangi sarangnya dan langsung menerkamnya. Akan tetapi, dengan sigap induk pipit itu terbang. Sayang, anak pipit tidak sempat dibawa untuk menyelamatkan diri.

Dengan kejengkelan luar biasa kera memasukkan anak pipit itu ke dalam mulutnya. Sarang pipit diacak-acaknya. Kemudian, dia duduk di atas pohon itu menanti induk pipit kembali ke sarang untuk menjemput anaknya. Pada saat itulah, induk pipit akan diterkamnya.

Anak pipit sedih berada dalam kegelapan karena kera selalu mengatupkan mulutnya. Kera takut anak pipit itu terbang. Dalam keadaan itu, anak pipit mengeluh seorang diri. Setiap keluhannya dijawab kera dengan gumaman.

“Apakah Ibuku sudah datang?”
“Mmm-mmm …!”
“Apakah Ibuku sudah mandi?”
“Mmrn-mmm …!”
“Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur?”
“Ha-ha-ha-ha-ha …!”

Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya.

“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.

Dia merasa tertipu. Apalagi anak pipit itu meninggalkan sesuatu di dalam mulutnya. Di daun lidahnya ada kotoran anak pipit. Kera benar-benar merasa kalah. Bukan saja karena ditinggalkan anak-beranak itu, melainkan karena mendapat kotoran anak pipit.

Kera marah bukan main. Akal sehatnya hilang. Dia mencari sembilu yang tajam dan kotoran anak pipit itu bukan dikaisnya dengan sembilu, melainkan lidahnya yang dipotong. Darah pun tak henti-hentinya mengalir dari Iidahnya. Dia menggelepar-gelepar kesakitan, lalu jatuh dari dahan dan mati seketika. Tamatlah riwayat kera besar yang sombong itu.

Rabu, 23 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Siamang Putih

Siamang Putih adalah sebuah legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sumatra Barat, khususnya yang tinggal di pesisir utara Pantai Tiku. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, siamang putih merupakan penjelmaan seorang gadis cantik yang bernama Puti Juilan. Ia adalah cucu dari Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung saat itu. Mengapa Puti Juilan berubah menjadi siamang putih? Kisah menarik ini dapat Anda ikuti dalam cerita Siamang Putih berikut ini.



Alkisah, di Kampung Alai di pesisir utara Pantai Tiku Sumatra Barat, tersebutlah seorang juragan kapal yang bernama Nahkoda Baginda. Ia adalah putra Tuanku Raja Kecik yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung. Nahkoda Baginda mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Puti Juilan. Kecantikan parasnya terkenal hingga ke berbagai negeri. Belum seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena selain cantik bagaikan bidadari, ia juga keturunan bangsawan. Sementara, para pemuda atau perjaka yang tinggal di negeri itu dan negeri di sekitarnya kebanyakan menjadi nelayan atau anak buah ayahnya. Sebenarnya, banyak anak orang kaya atau pun keturunan bangsawan yang pantas untuk menjadi pendamping hidup Puti Juilan, namun semuanya telah berkeluarga dan beranak-pinak.
Keadaan tersebut membuat hati Puti Juilan cemas. Setiap hari ia selalu tampak murung dan mengurung diri dalam kamar. Mengetahui keadaan itu, Tuanku Raja Kecik pun cemas memikirkan nasib cucu kesayangannya itu. Ia pun segera memanggil putra dan menantunya (ayah dan ibu Puti Juilan) untuk mengadakan pertemuan keluarga. Dalam pertemuan tersebut, mereka bersepakat untuk mengadakan pesta gelanggang keramaian, yaitu tempat orang menghibur diri dan bercengkrama. Pesta yang akan berlangsung selama sebulan penuh tersebut bertujuan untuk mencarikan jodoh yang pantas untuk Puti Juilan.
Pada malam sebelum pesta itu dimulai, Puti Juilan bermimpi bertemu dengan seorang pemuda keturunan bangsawan bernama Sutan Rumandung. Ia pun menceritakan perihal mimpinya itu kepada kedua orang tua dan kakeknya. Mendengar cerita cucunya itu, Tuanku Raja Kecik menitahkan kepada pengawal istana untuk mencari pemuda itu pada saat pesta berlangsung. Pada pesta hari pertama, di antara undangan yang hadir tak seorang pun yang bernama Sutan Rumandang. Memasuki hari kedua dan ketiga, pemuda itu tidak juga ditemukan. Demikian pula pada hari-hari berikutnya hingga perhelatan besar tersebut berakhir.
Akhirnya, Tuanku Raja Kecik meminta bantuan kepada ahli nujum istana untuk menggerakkan hati Sutan Rumandang agar datang ke Kampung Alai. Dengan kesaktiannya, ahli nujum itu berhasil mendatangkan pemuda itu. Suatu hari, sebuah kapal layar berlabuh di dermaga. Perahu tersebut tampak rusak parah di mana seluruh tiangnya patah karena diterpa badai. Melihat kedatangan perahu itu, salah seorang prajurit yang bertugas di dermaga segera melapor kepada Tuanku Raja Kecik.
“Ampun, Baginda! Baru saja sebuah kapal asing berlabuh di dermaga. Kapal itu dinahkodai oleh seorang pemuda tampan,” lapor prajurit.
“Suruh pemuda itu menghadap kepadaku!” titah Tuanku Raja Kecik.
“Baik, Baginda! Titah segera hamba laksanakan!” jawab prajurit itu.
Tak berapa lama kemudian, prajurit itu pun kembali bersama pemuda itu. Tuanku Raja Kecik bersama keluarga istana, termasuk Puti Juilan, menyambutnya dengan baik. Saat melihat pemuda itu, Puti Juilan langsung tersentak kaget seakan-akan tidak percaya. Pemuda itulah yang hampir setiap malam hadir dalam mimpinya. Puti Juilan pun berbisik kepada ibunya.
“Bu, pemuda itulah yang selalu hadir dalam mimpi Puti,” bisik Puti Juilan.
“Apakah kamu yakin, Putriku?” tanya ibunya dengan suara pelan.
“Puti yakin sekali, Bu! Wajahnya sama persis dengan wajah pemuda di dalam mimpi Puti,” jawab Puti dengan penuh keyakinan.
“Baiklah kalau begitu, Putriku! Ibu akan menanyakan siapa sebenarnya pemuda itu,” kata ibunya.
“Maaf, Anak Muda! Engkau ini siapa dan berasal dari mana?” tanya ibu Puti Juilan kepada pemuda itu.
“Nama hamba Sutan Rumandang putra seorang juragan dari negeri seberang,” jawab pemuda itu.
Mendengar jawaban pemuda itu, semua keluarga istana yang hadir merasa sangat gembira dan bahagia, terutama Tuanku Raja Kecik.
“Pucuk ditiba ulam pun tiba. Pemuda yang selama ini kita tunggu akhirnya datang juga,” ucap Tuanku Raja Kecik dengan perasaan lega.
Dengan tidak sabar, Tuanku Raja Kecik ingin segera menikahkan cucu kesayangannya itu dengan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang menolak, karena ia harus pergi mencari harta yang banyak untuk menikahi Puti Juilan.
“Maaf, Baginda! Untuk saat ini, hamba belum pantas menikahi Puti Juilan, karena usaha hamba sedang merugi,” ungkap Sutan Rumandang.
Seluruh keluarga istana pun mengerti maksud pemuda tampan itu. Namun, sebelum Sutan Rumandang berangkat berlayar, keluarga istana bersepakat untuk menunangkan mereka. Akhirnya, pertunangan itu dilangsungkan dengan sangat meriah.
Usai acara pertunangan, Sutan Rumandang memohon izin kepada Puti Juilan dan keluarga istana untuk pergi berlayar mencari harta yang banyak. Puti Juilan bersama kakek dan kedua orang tuanya turut mengantar Sutan Rumandang ke dermaga. Dalam perjalanan menuju ke dermaga, Puti Juilan terlihat sedih dan wajahnya murung. Sungguh berat hatinya ingin berpisah dengan Sutan Rumandang.
Tak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di dermaga. Sebelum kapal layar yang akan ditumpangi Sutan Rumandang meninggalkan dermaga, Puti Juilan berpesan dan mengucapkan janji kepada tunangannya.
“Kanda Sutan Rumandang, berhati-hatilah di jalan dan cepatlah kembali setelah berhasil! Dinda bersumpah akan selalu setia menanti Kanda sampai kapan pun. Dinda tidak akan menikah selain dengan Kanda. Jika Dinda melanggar sumpah ini, biarlah Dinda menjadi siamang,” ucap Puti Juilan.
“Kanda pun bersumpah, jika Kanda tidak setia kepada Dinda, biarlah Kanda tenggelam bersama kapal Kanda di tengah laut,” balas Sutan Rumandang dengan ucapan sumpah.
Setelah berpamitan, Sutan Rumandang pun berlayar mengarungi samudara luas. Dari atas kapal, ia melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Puti Juilan pun membalasnya sambil meneteskan air mata. Semakin jauh kapal itu ke tengah laut, air mata Puti Juilan semakin deras mengalir. Ketika kapal itu hilang dari pandangan mata, Puti bersama keluarganya meninggalkan dermaga.
Sejak itu, Puti Juilan selalu berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar melindungi tunangannya dan cepat kembali untuk menikahinya. Waktu berjalan begitu cepat. Sudah setahun lebih menunggu, Puti Juilan belum juga mendapat kabar dari tunangannya. Hingga akhir tahun kedua, tunangannya belum juga kembali dari pelayarannya. Ketika memasuki tahun ketiga, sebuah kapal dagang yang besar dan megah sedang berlabuh di dermaga. Mendengar kedatangan kapal itu, Puti Juilan bersama keluarganya segera menuju ke dermaga. Saat mereka tiba di dermaga, Puti Juilan tampak kecewa, karena kapal itu ternyata bukan milik tunangannya.
Namun, kekecewaan Puti Juilan langsung terobati saat ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah dan beberapa pengawalnya turun dari kapal.
“Melihat pakaian dan jumlah pengawalnya, pemuda itu pastilah bukan orang sembarangan,” kata Puti Juilan dalam hati.
Puti Juilan terus memerhatikan pemuda itu turun dari meniti anak tangga kapal satu persatu. Dengan penuh wibawa, pemuda itu berjalan menuju ke arah tempat ia dan keluarganya berdiri. Wajah tampan dan kewibawaan pemuda itu benar-benar memikat hati Puti Juilan. Pikirannya tentang Sutan Rumandang tiba-tiba lenyap begitu saja. Seluruh perhatian dan perasaannya tercurahkan kepada pemuda tampan itu.
“Bu, coba perhatikan pemuda itu! Dia sangat tampan dan gagah,” bisik Puti Juilan.
Ibunya pun mengerti maksud Puti Juilan kalau dia menyukai pemuda itu. Ia pun mengajak pemuda itu ke istana. Setelah ditanya tentang asal-usulnya, ternyata pemuda itu seorang keturunan bangsawan dari negeri tetangga. Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan Puti Juilan dengan mengadakan pesta yang sangat meriah. Seluruh bangsawan dan orang-orang kaya di negeri itu dan di negeri tetangga turut diundang. Berbagai seni pertunjukan juga digelar. Ketika semua undangan telah hadir, pesta pun dimulai. Penghulu mulai menanyai kesediaan kedua mempelai.
“Apakah kamu bersedia menikah dengan Puti Juilan?” tanya penghulu kepada mempelai laki-laki.
Setelah mempelai laki-laki itu menyatakan kesediaannya, penghulu itu bertanya kepada Puti Juilan. Ketika hendak menjawab pertanyaan penghulu, tiba-tiba Puti Juilan memekik seperti orang tersengat lebah.
`Aduh, sakitnya!” pekik Puti Juilan sambil melompat berdiri.
Setelah itu, Puti Juilan kembali duduk. Saat akan menjawab pertanyaan kedua dari penghulu, ia kembali memekik sambil melompat dan bergayut di ambang pintu. Pada saat akan menjawab pertanya ketiga, ia memekik lagi dengan suara yang sangat keras seraya melompat tinggi ke bubungan rumah. Semua yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut lari berhamburan ke luar rumah. Mereka melihat tubuh Puti Juilan di atas bubungan sedikit demi sedikit ditumbuhi oleh bulu berwarna putih. Lama-kelamaan, bulu itu semakin tebal dan memenuhi tubuhnya. Bentuk tubuh dan wajahnya pun perlahan-lahan berubah menyerupai seekor siamang.
Begitu seluruh tubuh Puti Juilan telah menjelma menjadi seekor siamang putih, barulah Tuanku Raja Kecik tersadar bahwa cucu kesayangannya itu telah melanggar sumpahnya. Namun, apa hendak diperbuat, nasi telah menjadi bubur. Seluruh keluarga istana hanya bisa pasrah menerima nasib malang yang telah menimpa Puti Juilan. Setiap hari, kala sang surya akan kembali ke peraduannya, siamang putih duduk di atas bubungan rumah sambil berbunyi dengan suara keras.
“Wuuut... wuut.... wuut!”
Siamang putih itu terus berbunyi sambil menatap jauh ke arah laut menanti kedatangan Sutan Rumandang. Namun, Sutan Rumandang tak kunjung tiba. Semakin hari, suara siamang terdengar semakin sendu, seperti tangis seorang gadis yang sedang putus asa. Beberapa hari kemudian, suara siamang tidak pernah terdengar lagi. Seorang warga telah menemukannya mati di atas pohon ketaping tempatnya bersarang. Mengetahui hal itu, keluarga istana segera mengambil dan membawanya pulang untuk dikuburkan layaknya manusia. Seluruh rakyat negeri turut berduka cita atas meninggalnya Puti Juilan dalam wujud seekor siamang.
Beberapa hari kemudian, terdengarlah kabar bahwa Sutan Rumandang tenggelam di tengah laut karena telah melanggar sumpahnya, yakni menikah dengan seorang putri di negeri rantau.
* * *
Demikian cerita Siamang Putih dari daerah Sumatra Barat, Indonesia. Cerita yang berbentuk legenda tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa orang yang melanggar sumpah dan mengingkari janji seperti Puti Juilan, akan termakan oleh sumpah dan janjinya. Dalam kehidupan orang Melayu, mengingkari janji merupakan sifat tercela dan termasuk ciri kemunafikan. Orang munafik adalah orang yang bertolak belakang antara lahir dengan batinnya, atau dengan kata lain orang munafik adalah orang yang tidak jujur dan tidak pandai memegang amanah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda orang tidak berbudi,
lain di mulut lain di hati

apa tanda orang yang malang,
lain di muka lain di belakang