Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Selatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Selatan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

La Dana Dan Kerbau

La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan. 



Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang. Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.

Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu.

Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong. Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.

Minggu, 09 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Si Penakluk Rajawali

Si Penakluk rajawali adalah seorang pemuda yang tinggal di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia. Pemuda tersebut dinikahkan dengan putri raja, karena berhasil memenangkan sayembara menaklukkan seekor rajawali raksasa. Dalam rangka apa raja negeri itu mengadakan sayembara? Lalu, bagaimana pemuda itu menaklukkan rajawali raksasa tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Si Penakluk Rajawali berikut ini.



Konon, pada zaman dahulu kala ada sebuah negeri di daerah Sulawesi Selatan yang diperintah oleh seorang raja. Raja tersebut mempunyai tujuh orang putri. Menurut adat di kerajaan itu, jika raja memiliki putri sampai tujuh orang, maka salah seorang di antaranya harus dipersembahkan kepada seekor rajawali raksasa agar keluarga istana terhindar dari malapetaka. Hal tersebut membuat sang Raja sedih dan gelisah, karena ia tidak mau kehilangan salah seorang putrinya. Ia pun berpikir keras mencari jalan keluar bagaimana caranya agar ketujuh putrinya tersebut dapat  hidup semua. Sudah berhari-hari sang Raja tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur memikirkan hal itu. Hingga pada suatu hari, tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikirannya.
“Mmm..., bagaimana kalau aku mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali itu. Barangkali di antara rakyatku ada yang mempunyai kesaktian yang tinggi dan mampu melumpuhkan rajawali itu,” pikir sang Raja.
Keesokan harinya, sang Raja segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di depan istana.
“Wahai, rakyatku! Aku akan mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali raksasa itu. Siapapun yang berhasil menaklukkannya, jika dia seorang laki-laki maka aku akan menikahkannya dengan putriku, dan jika dia seorang perempuan, maka aku akan mengangkatnya menjadi keluarga istana!” seru sang Raja kepada seluruh rakyatnya.
“Ampun, Baginda! Kapan sayembara tersebut akan dilaksanakan?” tanya seorang warga dengan penuh semangat.
“Menurut penasehat istana, rajawali raksasa itu akan datang ke negeri ini seminggu lagi. Jadi, mulai sekarang latih dan perdalamlah ilmu dan kesaktian kalian!” seru sang Raja.
Mendengar seruan itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing. Seminggu sebelum kedatangan rajawali tersebut, para warga tampak ramai melatih dan memperdalam ilmu kesaktian mereka dengan penuh semangat. Para laki-laki berharap dapat menjadi menantu raja, sedangkan kaum perempuan berharap dapat menjadi keluarga istana.
Sementara itu, para pengawal istana sedang membuat sebuah baruga (pendapa) di sebuah tempat yang agak jauh dari istana. Baruga tersebut merupakan tempat tinggal sang Putri sebelum disantap rajawali. Sang Putri sengaja dibuatkan baruga untuk memancing kedatangan burung rajawali tersebut. Selain sajian berupa anak gadis, juga disiapkan segala macam kue-kue, sokko (bahasa Bugis: nasi ketan), dan minuman di tempayan untuk burung rajawali tersebut.
Tidak terasa seminggu telah berlalu. Hari kedatangan rajawali itu pun tiba. Pagi-pagi sekali salah seorang putri raja yang menjadi persembahan diantar ke baruga tersebut. Sang putri diantar oleh keluarga dan pengawal istana. Bahkan banyak warga yang ikut mengantarnya. Mereka sangat khawatir terhadap nasib sang Putri yang akan menjadi santapan rajawali tersebut sekiranya tidak ada warga yang mampu mengalahkannya.
“Maafkan Ayah, Putriku! Ayah melakukan semua ini karena adat di negeri ini. Tapi, Nanda tidak usah khawatir, Ayah sedang berusaha untuk menyelamatkan Nanda dengan mengadakan sayembara ini. Semoga di antara warga ada yang mampu mengalahkan burung rajawali itu,” ucap sang Raja menenangkan hati putrinya.
Menjelang kedatangan rajawali itu, sang Raja bersama keluarga dan pengawal istana bergegas kembali ke istana dengan perasaan cemas. Tinggallah sang Putri seorang diri di atas baruga itu. Sementara itu, di sekitar tempat baruga itu berdiri, para peserta sayembara sudah bersiap-siap menyambut kedatangan burung rajawali dengan berbagai macam senjata di tangan mereka. Ada yang membawa tombak yang sudah dibubuhi racun, ada yang membawa tali untuk mengikat leher rajawali tersebut, dan ada pula yang membawa bambu runcing.
Tidak lama kemudian, seorang pemuda pengembara melintas di tempat itu. Ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk termenung di atas baruga. Ia pun segera naik ke atas baruga dan menghampiri gadis itu.
“Hai, gadis cantik! Kenapa kamu sedih dan duduk sendirian di sini?” tanya pemuda itu dengan perasaan iba.
“Aku sedang menunggu ajal,” jawab sang Putri dengan suara lirih.
“Apa maksudmu?” tanya pemuda itu penasaran.
“Aku adalah seorang putri raja dan mempunyai enam orang saudara perempuan. Menurut adat di negeri ini, jika putri raja sudah berjumlah tujuh orang, maka salah seorang di antaranya harus dipersembahkan kepada seekor rajawali raksasa untuk disantap,” jelas sang Putri.
“Tapi, jika ada orang yang mampu menaklukkan rajawali itu, maka raja akan menikahkannya denganku,” tambah sang Putri.
“Maaf, Tuan Putri! Jika diperkenankan, hamba akan menemani sang Putri di sini,” kata pemuda itu.
“Jangan! Nanti kamu ikut dimakan rajawali itu.”
“Tidak usah khawatir, Tuan Putri! Hamba akan melindungi Tuan Putri dari sergapan rajawali itu.”
Sambil menuggu rajawali itu, tiba-tiba pemuda itu mengantuk sekali dan akhirnya tertidur di atas baruga itu. Sang Putri pun memerhatikan pemuda itu.
“Baik sekali pemuda ini. Semoga dia mampu mengalahkan rajawali itu, sehingga dialah yang akan menikah denganku,” kata sang Putri dalam hati dengan penuh harap.
Ketika hari beranjak siang, tiba-tiba terdengar suara gemuruh laksana angin topan datang menerjang. Dari kejauhan tampak seekor burung raksasa sedang terbang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya menuju ke arah baruga. Mengetahui bahwa yang datang adalah burung rajawali raksasa itu, maka sang Putri segera membangunkan pemuda itu.
“Ayo, Bangun! Rajawali raksasa itu sudah datang!” seru sang Putri.
Pemuda itu pun segera bangun sambil mengusap-usap matanya. Rajawali itu semakin mendekat. Sang Putri yang ketakutan segera bersembunyi di belakang pemuda itu sambil menutup matanya. Sementara sang Pemuda segera mengeluarkan senjata pusakanya berupa sebilah badik yang dapat menikam sendiri dan seutas tali yang dapat mengikat sendiri. Begitu hinggap di baruga, rajawali itu langsung menyantap kue-kue, sokko, dan minuman yang tersedia. Setelah menghabiskan makanan dan minuman sesaji tersebut, rajawali itu bersiap untuk menyantap sang Putri.
Melihat keadaan itu, sang Pemuda segera bertindak. Ia memerintahkan talinya untuk mengikat rajawali itu. Secepat kilat, tali ajaib itu meluncur dan melilit seluruh tubuh rajawali itu. Sang rajawali berusaha melepaskan lilitan tali itu dengan mengepak-ngepakkan sayapnya. Beberapa saat kemudian, tali itu mengendor karena tidak kuat menahan kepakan sayap rajawali itu.“Tuan, tolong aku! Aku tidak sanggup menahan kepakan sayap rajawali ini,” seru tali itu meminta tolong kepada tuannya.
Tanpa berpikir panjang, pemuda itu pun segera memerintahkan badiknya.
“Hai badikku, tikam rajawali itu!” seru sang Pemuda.  
Secepat kilat, badik sakti itu langsung menikam dan terus menikam hingga rajawali itu mati. Sang putri masih menutup matanya, karena ketakutan. Ia hanya mendengar suara pemuda itu sedang berbicara dengan seseorang. Namun, setelah membuka matanya, sang Putri merasa heran, karena tidak ada orang lain kecuali dia dan pemuda itu.
Para warga yang bersembunyi di sekitar tempat itu baru muncul setelah tahu rajawali itu mati. Senjata yang ada di tangan mereka tidak sempat mereka gunakan, karena pemuda itu dengan cepat sekali melumpuhkan rajawali itu. Akhirnya, para peserta sayembara yang merasa dirinya sakti segera mencincang dan memotong-motong tubuh rajawali itu.
Sementara pemuda yang telah mengalahkan rajawali itu berpamitan kepada sang Putri ingin melanjutkan perjalanannya. Sebagai ucapan terima kasih, sang Putri memberikan selandangnya kepada pemuda itu.
“Terima kasih! Anda telah menyelamatkan nyawaku. Bawalah selendang ini sebagai cenderamata dariku,” ucap sang Putri.
Setelah pemuda itu pergi, sang Putri diusung oleh warga kembali ke istana. Sebagian warga yang merasa dirinya sakti saling berebut ingin membawa tubuh rajawali itu ke hadapan sang Raja. Namun, karena tubuh rajawali itu besar, maka para warga membagi-baginya. Ada yang membawa kepala, ada yang memikul paha, dan ada yang mengambil kaki rajawali itu. Mereka berebut tubuh rajawali, karena ingin dikatakan sebagai pahlawan yang berhasil mengalahkan rajawali itu.
Sesampainya di istana, sang Putri disambut gembira oleh sang Raja dan seluruh keluarga istana. Sang raja kemudian bertanya kepada putrinya tentang siapa orang yang berhasil mengalahkan rajawali itu.
“Ampun, Ayahanda! Ananda tidak mengenalnya. Sepertinya pemuda gagah itu bukanlah warga negeri ini,” jawab sang Putri.
“Tapi, apakah Nanda tahu bagaimana dan dengan apa pemuda itu mengalahkan rajawali itu?” tanya sang Raja.
“Ananda juga tidak tahu, Ayah! Waktu itu Nanda sedang menutup mata karena ketakutan. Nanda hanya mendengar pemuda itu berseru: `Ikat rajawali itu...! Tikam raja wali itu...! Saat Nanda membuka mata, ternyata rajawali itu sudah mati,” cerita sang Putri.
“Tapi, jika bertemu lagi dengan pemuda itu, apakah Nanda dapat mengenalnya?” sang Raja kembali bertanya.
“Iya, Ayah! Saya dapat mengenal pemuda itu, karena sebelum ia pergi, Nanda memberikan selendang Nanda kepadanya,” jawab sang Putri.
Setelah mendengar cerita putrinya itu, sang Raja pun mengerti bahwa orang yang berhasil melumpuhkan rajawali itu bukanlah rakyat negeri itu. Kemudian ia segera menemui para peserta sayembara yang sudah berkumpul di halaman istana.
“Wahai, seluruh rakyatku! Berdasarkan cerita dari putriku bahwa orang yang telah mengalahkan rajawali itu adalah seorang pemuda yang tidak dikenal. Ia bukan warga negeri ini. Oleh karena itu, walaupun rajawali itu telah mati, tidak seorang pun di antara kalian yang kunikahkan dengan putriku. Akan tetapi, aku akan mengadakan pesta besar-besaran atas matinya rajawali itu,” kata sang Raja.
Keesokan harinya, pesta besar-besaran pun berlangsung ramai. Berbagai jenis makanan dan minuman disuguhkan. Tidak ketinggalan pula berbagai seni pertunjukan dipertontonkan. Bahkan dalam pesta itu, raja juga mengadakan lomba sepak raga (bola kaki). Para warga berbondong-bondong ke pesta tersebut, baik sebagai peserta lomba maupun sebagai penonton ataupun undangan. Di serambi istana, sang Raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya sedang duduk menyaksikan lomba sepak raga. Peserta lomba silih berganti masuk arena lomba memainkan bola. Di tengah keramaian penonton, tiba-tiba seorang pemuda gagah memasuki arena lomba. Pemuda itu mempermainkan bola di kaki, di paha, dan di kepalanya dengan tangkas, gesit dan lincah. Lengan pemuda itu dibalut dengan selendang wanita yang berkibar-kibar seakan-akan menari.
“Ayah! Itulah pemuda yang telah mengalahkan rajawali raksasa!” seru sang Putri sambil menunjuk ke arah pemuda yang berada di tengah arena lomba.
Sang Raja pun tersentak kaget, seakan-akan tidak percaya apa yang sedang disaksikannya.  Ternyata, selain sakti, pemuda itu juga sangat mahir bermain sepak raga. Sang Raja sangat kagum kepada pemuda itu. Setelah pemuda itu keluar dari arena lomba, sang Raja pun memanggil pemuda itu.
“Hei, anak muda! Kemarilah sebentar!” seru sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ada apa Baginda memanggil Hamba?” tanya pemuda itu penasaran.
“Benarkah Engkau yang telah mengalahkan rajawali itu?” sang Raja balik bertanya.
“Benar, Baginda!” jawab pemuda itu.
“Dengan apa kamu mengalahkannya?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba menggunakan seutas tali dan sebilah badik yang dapat bergerak sendiri jika diperintah,” jawab pemuda itu.
Mendengar jawaban dari pemuda itu, semua warga yang hadir dan pernah mengaku sebagai penakluk rajawali itu menjadi malu. Akhirnya, sang Raja pun menikahkan pemuda itu dengan putrinya yang selamat dari santapan rajawali. Pemuda si penakluk rajawali pun hidup berbahagia bersama sang Putri di dalam istana.
* * *
Demikian cerita Si Penakluk Rajawali dari daerah Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat kepahlawanan atau kesatria dan akibat buruk dari sifat ketidakjujuran.
Pertama, sifat kepahlawanan atau kesatria. Sifat ini tercermin pada perilaku si pemuda pengembara yang dengan keberaniannya, berhasil menumpas kejahatan dan keganasan seekor rajawali raksasa. Dikatakan dalam untaian syair Melayu:

wahai ananda tegakkan kepala,
orang teraniaya wajib kau bela
melawan yang batil janganlah kau jera
musuh yang datang jangan kau kira

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa pangkat, kedudukan, dan wanita dapat membuat seeorang berperilaku tidak jujur. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku para warga yang membawa tubuh rajawali untuk membuktikan kepada raja bahwa merekalah yang telah menaklukkan rajawali itu agar diangkat menjadi keluarga atau menantu raja. Padahal sebenarnya, bukan mereka yang telah menaklukkan rajawali itu. Akibatnya, mereka pun menjadi malu setelah sang Raja mengetahui bahwa penakluk rajawali itu adalah seorang pemuda pengembara, bukan mereka. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

karena tak jujur, hidup hancur
karena tak jujur, aib bertabur

karena tak jujur, hilanglah mujur
karena tak jujur, badan terkubur

karena tak jujuranak bini kebulur
karena tak jujur, muka berlumpur

karena tak jujur, penat berjemur
karena tak jujur, kepala bertelur

Sabtu, 08 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

I Laurang

Di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, Indonesia, beredar sebuah cerita rakyat tentang seorang pemuda bernama I Laurang. I laurang dalam bahasa Bugis terdiri dari tiga suku kata, yaitu I, la dan urang. I berarti si (menunjuk kepada seseorang), la berarti dia laki-laki, dan urang berarti udang. Jadi, I laurang berarti si laki-laki udang atau manusia udang. Dalam cerita itu, I Laurang dikisahkan menjadi rebutan tujuh orang putri raja. Mengapa pemuda itu dinamakan I Laurang dan menjadi rebutan para putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita I Laurang berikut ini. 



Alkisah,  di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sepasang suami-istri yang sudah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Mereka sangat menginginkan kehadiran seorang anak agar hidup mereka tidak kesepian. Oleh karena itu, setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan. Namun, hingga berusia paruh baya, mereka belum juga dikaruniai anak. Akhirnya, mereka pun mulai putus asa.
Pada suatu malam, kedua suami-istri itu berdoa kepada Tuhan dengan berkata:
 “Ya Tuhan, karuniakanlah kepada kami seorang anak, walaupun hanya berupa seekor udang!”
Beberapa lama kemudian, sang Istri pun hamil dan melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya sang Istri saat melihat bayi yang keluar dari rahimnya adalah seorang bayi laki-laki yang berbentuk dan berkulit udang. Ia dapat hidup di darat maupun dalam air. Oleh  karena itu, ia diberi nama I Laurang (Manusia Udang).
“Bang! Kenapa anak kita seperti udang?” tanya sang Istri heran.
“Adik tidak usah heran. Bukankah kita pernah meminta seorang anak walaupun hanya berupa seekor udang? Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita,” jawab sang Suami.
“Iya, Bang! Adik ingat sekarang. Kita memang pernah berdoa seperti itu?” kata sang Istri.
Menyadari hal itu, kedua suami-istri itu merawat I Laurang dengan penuh kasih sayang. Mereka memasukkannya ke dalam sebuah tempayan yang berisi air. Beberapa tahun kemudian, I Laurang pun tumbuh menjadi besar. Oleh karena badannya sudah tidak muat lagi, ia pun dikeluarkan dari tempayan. Sejak saat itu, I Laurang tidak lagi hidup dalam air. Ia hidup layaknya manusia lainnya. Namun, ia tidak dapat berjalan karena kakinya terbungkus oleh kulit udang. Walaupun hanya tinggal di dalam rumah, ia banyak tahu tentang keadaan dan peristiwa-peristiwa di sekitarnya yang didengar dari cerita-cerita ibunya.
Suatu waktu, ibunya bercerita bahwa raja yang memerintah negeri itu memiliki tujuh orang putri yang semuanya cantik jelita. Rupanya sejak mendengar cerita ibunya itu, ia selalu termenung dan membayangkan kecantikan wajah para putri raja. Ia juga selalu berangan-angan ingin menikah dengan salah seorang di antara mereka.
“Alangkah bahagianya aku jika mempunyai istri yang cantik. Tapi, mungkinkah aku dapat menikah dengan putri raja dengan kondisiku seperti ini?” tanya I Laurang dalam hati.
“Ah, aku tidak boleh putus asa dan menyerah sebelum mencoba,” tambahnya dengan penuh semangat.
Keesokan harinya, ia pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu! Sekarang ananda sudah dewasa. Ananda ingin berumah tangga dan mempunyai keturunan,” ungkap I Laurang.
“Memang kamu mau menikah dengan siapa?” tanya ibunya.
“Ananda ingin menikah dengan putri raja, Bu,” jawab I Laurang.
“Ha, dengan putri raja! Sungguh berat permintaanmu, Nak,” kata ayahnya dengan terkejut.
“Benar, Nak! Mana mungkin raja berkenan menerimamu sebagai menantunya dengan kondisi tubuhmu seperti ini,” tambah ibunya.
“Tapi, apa salahnya kita mencoba dulu, Bu. Bukankah putri raja itu ada tujuh orang dan cantik semua. Siapa tahu di antara mereka ada yang mau menikah denganku,” kata I Laurang mendesak kedua orang tuanya.
Setelah berkali-kali didesak, akhirnya kedua orang tua I Laurang pergi menghadap kepada sang Raja yang terkenal arif dan bijaksana itu untuk menyampaikan pinangan I Laurang.
“Ampun Baginda, jika kami yang miskin ini sudah lancang masuk ke istana yang megah ini. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan anak kami kepada salah seorang putri Baginda,” jelas ayah I Laurang sambil memberi hormat.
Mendengar penjelasan itu, sang Raja pun tersenyum manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah mulai memutih.
“Baiklah, kalau begitu! Aku akan menanyakan hal ini kepada tujuh putriku terlebih dahulu. Siapa di antara mereka yang bersedia menerima pinangan I Laurang,” kata Raja.
Setelah itu, Raja memerintahkan kepada Bendaharanya untuk mengumpulkan seluruh putrinya. Tidak berapa lama, ketujuh putri raja sudah berkumpul di ruang sidang. Raja kemudian menanyai satu per satu putrinya mulai dari yang sulung hingga kepada yang paling bungsu tentang pinangan I Laurang.
“Wahai, Putri Sulung! Bersediakah engkau menikah dengan I Laurang?” tanya Raja.
“Maafkan Nanda, Ayah! Nanda tidak mau menikah dengan I Laurang. Masih banyak pangeran dan pemuda tampan yang sepadan dengan Nanda,” kata si Putri Sulung menolak pinangan I Laurang.
Selanjutnya, Raja bertanya kepada putri keduanya. Namun, jawabannya sama dengan jawaban yang diberikan oleh si Putri Sulung. Demikian pula putri-putrinya yang berikutnya, mereka memberikan jawaban penolakan terhadap pinangan I Laurang. Akan tetapi, ketika pertanyaan itu ditujukan kepada si Bungsu, ia pun menjawab:
“Ampun Ayahanda! Jika Ayahanda berkenan, Nanda bersedia menikah dengan I Laurang”.
“Baiklah, Putriku! Ayahanda akan merestui kalian. Pesta pernikahan kalian akan kita langsungkan tiga hari lagi,” kata Raja.
Mendengar jawaban si Putri Bungsu dan restu dari Raja, ayah dan ibu I Laurang sangat gembira. Dengan perasaan suka cita, mereka pun mohon pamit kepada Raja untuk segera menyampaikan berita gembira itu kepada I Laurang.  
“Benarkah Raja menerima pinanganku, Ibu?” tanya I Laurang seakan-akan tidak percaya mendengar berita itu.
“Benar, Anakku! Putri bungsu Raja yang bersedia menikah denganmu,” jawab ibu I Laurang.
Yakin pinangannya diterima, I Laurang langsung keluar dari kulit kepompong udangnya. Alangkah terkejutnya kedua orang tuanya saat melihat wajah anaknya.
“Waaah, ternyata kamu tampan dan gagah, Anakku!” seru ibunya dengan takjub sambil mengamati seluruh tubuh I Laurang dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.
“Putri Bungsu pasti akan senang sekali mempunyai suami setampan kamu, Nak,” ujar ayah I Laurang.
Setelah itu, dengan ditemani ibunya, I Laurang pergi mencukur rambutnya yang sangat panjang, karena sejak kecil tidak pernah dipotong. Setiap bertemu warga di jalan, ibu I Laurang selalu ditanya tentang orang yang berjalan bersamanya.  
“Siapa lelaki tampan yang berjalan di sampingmu itu?” tanya salah seorang warga kepada ibu I Laurang.
“Dia anakku, I Laurang, yang akan menikah dengan putri raja,” jawab ibu I Laurang.
Semua orang tercengang ketika mengetahui bahwa lelaki tampan itu adalah I Laurang. Selama ini, mereka mengenal I Laurang berwajah buruk seperti udang.
Saat pesta pernikahan berlangsung, seluruh keluarga istana terkejut melihat ketampanan I Laurang, terutama si Putri Bungsu dan keenam kakaknya. Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata I Laurang seorang pemuda yang tampan. Berbeda dengan berita yang mereka dengar bahwa I Laurang itu buruk rupa seperti udang.
Si Putri Bungsu pun hidup berbahagia bersama I Laurang. Sementara keenam kakaknya iri hati dan dengki kepadanya. Mereka berniat merebut suami adiknya dengan cara mencelakai si Bungsu. Namun, niat jelek mereka diketahui oleh I Laurang. Oleh karena itu, I Laurang selalu menemani si Bungsu ke mana pun pergi, agar tidak diganggu oleh keenam kakaknya.
Pada suatu hari, I Laurang terpaksa harus meninggalkan istrinya, karena mendapat tugas dari aja untuk pergi berdagang ke daerah lain. Sebelum berangkat, I Laurang berpesan kepada istrinya.
“Dinda! Abang akan pergi berdagang ke negeri seberang. Dinda harus berhati-hati terhadap kakak-kakak Dinda. Rupanya mereka iri hati dan ingin mencelakai Dinda. Oleh karena itu, ambil dan bawalah pinang dan telur ini ke manapun Dinda pergi,” ujar I Laurang kepada istrinya.
“Baik, Kanda! Dinda akan selalu mengingat pesan Kanda,” jawab sang Putri Bungsu.
Setelah suami si Putri Bungsu berangkat, keenam kakaknya mengajaknya bermain ayunan di tepi laut. Si Bungsu pun menerima ajakan mereka tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Sesampainya di tepi laut, mereka bergiliran diayun. Ketika giliran si Putri Bungsu diayun, mereka beramai-ramai mengayunnya dengan kencang.
“Kak, hentikan! Kepalaku sudah pening dan peruktu mual. Hentikan...!!!” teriak si Putri Bungsu dengan ketakutan.
Keenam kakaknya tidak menghiraukan teriakannya. Mereka justru mengayunnya lebih kencang sehingga si Putri Bungsu terlempar ke laut dan tenggelam. Melihat kejadian itu, keenam kakaknya bersorak gembira dengan perasaan puas. Setelah itu, mereka pun pulang ke istana melapor kepada Raja bahwa si Bungsu meninggal dunia karena dimakan ikan saat mandi di tepi laut. Maka tersebarlah berita bahwa istri I Laurang meninggal dunia karena dimakan ikan.
Sementara itu, berkat pertolongan Tuhan, si Putri Bungsu yang tenggelam di laut masih hidup. Ia pun teringat dengan buah pinang dan telur pemberian suaminya. Buah pinang itu ia tanam di dasar laut, sedangkan telurnya ia pecahkan. Lama-kelamaan pecahan telur menjadi besar dan masuklah ia ke dalamnya untuk berlindung.
Beberapa bulan kemudian, buah pinang yang ditanamnya itu tumbuh menjadi pohon besar dan tinggi, sehingga melebihi permukaan air laut. Selang beberapa minggu, si Putri Bungsu menjelma menjadi seekor ayam dan kemudian bertengger di atas pohon pinang. Setiap ada perahu yang lewat, ayam itu selalu berkokok dan bertanya tentang keberadaan suaminya.
“Kuk kuruyuk...!!! Di manakah suamiku I Laurang? Bunga Putih nama perahunya!”
Demikian yang terus dilakukan ayam itu setiap ada perahu lewat.
Pada suatu hari, dari jauh tampaklah sebuah perahu yang akan melewati tempat ayam itu bertengger. Ketika kapal itu sudah dekat, ayam itu berkokok dengan sekeras-kerasnya dan menanyakan keberadaan suaminya.
“Kuk kuruyuk...!!! Di manakah suamiku I Laurang?”
Mendengar teriakan ayam itu, tiba-tiba seorang lelaki tampan keluar dari dalam kapal dan berdiri di anjungan.
“Aku I Laurang,” teriak lelaki tampan itu.
Kapal itu mendekati ayam yang sedang bertengger di atas pohon pinang. Saat kapal itu semakin dekat, ayam itu langsung terbang ke kapal sambil menangis.
“Bang! Ini aku Putri Bungsu, istrimu,” kata ayam itu.
I Laurang pun segera mengelus-ngelus ayam itu sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra. Beberapa saat kemudian, atas kuasa Tuhan, ayam itu berubah kembali menjadi si Putri Bungsu. Kedua suami-istri itu berpelukan sambil menangis. Setelah itu, si Putri Bungsu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia menjelma menjadi seekor ayam.
“Sudahlah, Dinda! Mari kita kembali ke istana. Tentu ayahanda, ibunda, serta keenam kakakmu sudah lama menunggumu,” ujar I Laurang kepada istrinya.
“Tapi, Bang! Bagaimana dengan keenam kakakku? Mereka pasti akan mencari cara lain untuk menyingkirkan Dinda, sehingga mereka bisa menikah dengan Abang,”  kata si Putri Bungsu dengan perasaan cemas.
“Dinda tidak usah khawatir. Abang mempunyai cara agar keenam kakak Dinda itu menjadi jera dan tidak akan mengganggu Dinda lagi,” ujar I Laurang menenangkan istrinya.
“Bagaimana caranya, Bang?” tanya si Putri Bungsu penasaran.
“Dinda bersembunyi di dalam peti itu. Kemudian Abang memberi Dinda jarum besar. Jika ada yang memikul peti itu, maka tusuklah pundaknya,” jelas I Laurang.
“Baik, Bang!” jawab si Putri Bungsu sambil mengangguk-angguk.
Ketika kapal yang mereka tumpangi merapat di pelabuhan, seluruh keluarga istana datang menyambut kedatangan I Laurang, tidak terkecuali keenam kakak si Putri Bungsu. Mereka senang sekali I Laurang telah kembali. Dalam hati mereka bertanya-tanya siapa di antara mereka yang akan dipilih oleh I Laurang untuk menjadi istrinya. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha mencari perhatian I Laurang. Ternyata I Laurang pun sudah memahami sikap dan gerak-gerik mereka.
“Barangsiapa di antara kalian yang mampu memikul peti itu sampai ke istana, maka dialah yang akan menjadi istriku,” ujar I Laurang sambil menunjuk peti yang berisi Putri Bungsu.
Mendengar pernyataan I Laurang itu, maka berlomba-lombalah mereka ingin mengangkat peti itu. Giliran pertama jatuh pada putri yang sulung. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat peti itu ke atas pundaknya. Namun, baru beberapa langkah berjalan, ia menghempaskan peti itu, karena tidak kuat menahan rasa sakit akibat terkena tusukan jarum di pundaknya. Putri Sulung gagal menjadi istri I Laurang. Selanjutnya giliran putri kedua yang mengangkat peti itu. Namun, baru beberapa meter berjalan, ia menjatuhkan peti itu, karena tidak mampu menahan rasa sakit di pundaknya. Demikian pula putri ketiga, keempat, kelima dan keenam, gagal memikul peti itu sampai ke istana.
“Oleh karena tidak seorang pun yang berhasil, maka kalian gagal menjadi istriku,” kata I Laurang dengan perasaan puas.
Setelah itu, I Laurang memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mengikat peti itu dengan tali, lalu mengangkatnya beramai-ramai ke istana. Sesampainya di istana, I Laurang kemudian menjelaskan apa sebenarnya isi peti itu.
“Pengawal! Buka peti itu!” seru I Laurang kepada salah seorang pengawal.
“Baik, Tuan!” jawab pengawal itu.
Setelah peti terbuka, alangkah terkejutnya keenam putri raja tersebut, karena ternyata isi peti itu adalah si Putri Bungsu yang mereka kira sudah meninggal dunia. Oleh karena tidak kuat menahan rasa malu kepada adiknya dan I Laurang, keenam kakaknya itu berlari berhamburan. Putri Sulung berlari ke arah pintu, putri kedua dan ketiga berlari ke dapur, putri keempat dan kelima berlari keluar dari istana, dan putri keenam berlari ke dekat sumur.
Akhirnya, si Putri Bungsu pun diangkat menjadi Raja untuk menggantikan ayahnya, sedangkan keenam kakaknya menjadi pelayannya. Putri Sulung yang berlari ke arah pintu bertugas membuka dan menutup pintu; putri kedua dan ketiga yang berlari ke dapur bertugas memasak; putri keempat dan kelima yang berlari keluar istana bertugas menumbuk padi di lesung; dan putri keenam yang berlari ke dekat sumur bertugas mencuci.
* * *
Demikian cerita I Laurang dari daerah Sulawesi Selatan, Indonesia. Cerita di atas termasuk dongeng yang mengandung nilai-nilai moral. Salah satu nilai moral yang dapat diambil dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan dari sifat iri hati dan dengki. Sifat ini tergambar pada sikap dan perilaku keenam putri raja yang iri hati dan dengki kepada adiknya dan mencoba untuk membunuhnya. Pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini adalah bahwa sifat iri hati dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang mengarah pada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain dan bahkan terhadap keluarga sendiri.
Dari cerita ini juga dapat diambil sebuah pelajaran bahwa orang-orang yang teraniaya akan selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Mahakuasa.  Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:

kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas bahwa jika kita berdoa kepada Tuhan, hendaknya lebih berhati-hati. Di samping itu juga, sebaiknya kita harus berlapang dada menerima semua pemberian Tuhan apapun bentuknya, karena terkadang di balik pemberian itu terdapat sebuah hikmah yang bermanfaat yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Jumat, 07 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sepakbola Binatang

Pada umumnya, pertandingan sepak bola dilakukan oleh manusia. Namun, apa jadinya jika yang bertanding sepak bola itu adalah binatang? Di daerah Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sebuah cerita rakyat yang mengisahkan tentang pertandingan sepak bola antarbinatang. Bagaimana para binatang tersebut bermain bola? Binatang apa saja yang ikut bertanding dan siapakah yang keluar sebagai juara dalam pertandingan sepak bola tersebut?  Temukan jawabannya dalam cerita Sepak Bola Binatang berikut ini.



Konon, di sebuah daerah di Sulawasi Selatan, ada sebuah padang rumput yang terbentang luas yang menjadi tempat berbagai jenis binatang seperti sapi, kerbau, gajah, keledai, kijang, dan lain sebagainya untuk merumput.
Pada suatu hari, gerombolan sapi dan kerbau bertemu di padang rumput tersebut. Kebetulan mereka datang bersamaan dan hendak merumput di bagian padang rumput yang hijau dan subur. Mereka bergerombol dan saling berebut untuk menguasai di tempat itu.
“Hei, Sapi! Rumput ini bagian kami. Kalian pindah ke tempat lain!” seru seekor kerbau.
“Tidak! Kami juga berhak makan di sini. Lagi pula kita datang bersamaan,” jawab seekor sapi.
Oleh karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya mereka saling dorong dan akhirnya terjadilah perkelahian. Para binatang lainnya yang juga merumput di padang itu bersorak-sorai memberi semangat. Maka makin serulah perkelahian antara gerombolan sapi dan kerbau. Perkelahian tersebut tampak seimbang. Mereka saling tanduk dan saling dorong dengan sekuat tenaga. Sesekali gerombolan sapi itu mengeluarkan bunyi lenguh yang sangat keras.
“Mooohhhh......!!!”
Hingga siang hari, perkelahian tersebut masih berlangsung dan belum ada yang kalah atau pun menang. Tidak lama kemudian, Singa sang Raja Hutan, tiba-tiba muncul dari balik semak belukar di pinggir padang rumput. Melihat perkelahian itu, ia pun segera mengaung.
“Auuunngggg.........!!!”
“Hei, hentikan perkelahian itu!” seru sang Singa dengan marah.
Mendengar seruan itu, gerombolan sapi dan kerbau itu pun berhenti berkelahi. Para binatang lain yang menjadi penonton pun berhenti bersorak-sorai. Semuanya menundukkan kepala dan tidak berani bergerak sedikit pun, karena takut kepada sang Raja Hutan.
“Berkelahi lagi, berkelahi lagi...! Hampir setiap hari terjadi perkelahian di tempat ini. Kemarin rusa dengan kambing berkelahi karena rumput. Dua hari yang lalu keledai dan kuda juga berkelahi memperebutkan rumput. Sekarang kerbau dan sapi juga berkelahi. Semuanya gara-gara rumput,” kata sang Raja Hutan.
Oleh karena tidak ingin kembali terjadi pertikaian, Sang Raja Hutan menyuruh semua binatang untuk berkumpul di tengah padang rumput.
“Dengarkan kalian semua! Aku tidak ingin melihat lagi ada perkelahian di antara kalian. Untuk itu, aku ingin mengusulkan bagaimana kalau diadakan pertandingan sepak bola untuk membina persahabatan di antara penghuni hutan ini?” usul sang Raja Hutan.
“Setujuuu....!” teriak seluruh binatang yang hadir di tempat itu.
Mereka menyambut gembira usulan itu, karena di samping dapat membina persahabatan juga menjadi hiburan bagi mereka, baik sebagai peserta maupun penonton. Mereka yang ingin mengikuti pertandingan itu segera mendaftarkan timnya. Tim yang paling pertama mendaftar adalah kerbau, kemudian menyusul sapi, gajah, keledai, kuda, kambing, domba, dan seterusnya. Sedangkan sang Raja Hutan hanya berperan sebagai wasit, karena jika timnya ikut dalam pertandingan tersebut, pasti binatang lain akan segan kepadanya.  
Keesokan harinya, pertandingan sepak bola antarbinatang itu pun dimulai. Pada pertandingan hari pertama, tim kambing berhadapan dengan tim domba. Kedua tim itu tampak bersiap-siap menempati posisi masing-masing. Sementara binatang lainnya yang menjadi penonton telah memenuhi pinggir lapangan. Mereka sudah tidak sabar lagi ingin menyaksikan pertandingan seru itu.
“Ayo...! Ayo..., kalian bisa...!” terdengar suara penonton memberi semangat kepada tim kesayangan mereka.
Setelah kedua tim bersiap, sang Wasit pun meniup peluitnya sebagai tanda pertandingan dimulai. Pertandingan itu pun berlansung seru dan menarik. Terkadang pula menimbulkan kelucuan, sehingga mengundang tawa para penonton. Pada pertandingan itu tim kambing menang 2 – 1 atas tim domba. Pertandingan berikutnya dilanjutkan keesokan harinya dan seterusnya.
Setelah pertandingan berlansung beberapa hari, maka tinggallah empat tim yang berhasil masuk ke babak semifinal, yaitu tim kuda, gajah, kerbau, dan sapi. Pada semifinal pertama, tim kuda berhadapan dengan tim sapi. Pada pertandingan itu, tim kuda tampil kurang bersemangat, karena sehari sebelumnya, raja mereka meninggal dunia dimakan usia. Akhirnya, pertandingan itu dimenangkan oleh tim sapi dan berhasil masuk ke babak final.
Keesokan harinya, semifinal kedua, tim gajah berhadapan dengan tim kerbau. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, tiba-tiba turun hujan deras sehingga lapangan padang rumput tergenang air. Melihat kondisi itu, tim gajah menolak untuk bertanding hari itu. Namun, tim kerbau merasa keberatan jika pertandingan itu ditunda. Oleh karena kedua tim tidak ada yang mau mengalah, akhirnya terjadilah pertengkaran. Melihat keadaan itu, sang Wasit pun segera turun tangan.
“Untuk tidak mengecewakan para penonton yang sudah berdatangan ingin menyaksikan permainan kalian, maka pertandingan semifinal kedua ini harus dilangsungkan hari ini juga, walaupun lapangan banjir,” tegas sang Wasit.
Oleh karena sudah merupakan keputusan wasit yang tidak dapat diganggu gugat, maka pertandingan antara tim gajah dan kerbau harus dilangsungkan pada hari itu juga. Akibatnya, tim gajah selalu mendapat serangan bertubi-tubi dari tim kerbau. Tim gajah tidak dapat bergerak dan berlari, karena lapangan becek dan licin. Beberapa kali tim gajah terjatuh dan terjungkal di lapangan, sehingga menjadi sebuah tontonan yang lucu dan menarik.
Sementara itu, tim kerbau dengan leluasa bergerak dan berlari kesana kemari sambil menggiring bola, karena mereka sudah terbiasa bermain-main dan mandi di kubangan yang becek dan banjir. Sudah dapat dipastikan sebelumnya bahwa pertandingan itu dimenangkan oleh tim kerbau. Tim kerbau menang dengan skor 3 – 0 atas tim gajah. Akhirnya di babak final, tim kerbau bertemu dengan musuh bebuyutannya, yakni tim sapi yang sudah masuk babak final terlebih dahulu.
Sebelum para pemain dan penonton bubar, wasit mengumumkan bahwa jadwal pertandingan babak final akan dilangsungkan dua hari lagi.
“Saya sengaja menunda jadwal pertandingan babak final ini sampai dua hari lagi untuk memberi waktu para pemain untuk beristirahat, agar kedua tim tersebut dapat tampil lebih baik dan menarik, sehingga para penonton dapat terhibur,” kata sang Wasit.
“Kami juga setuju jika pertandingan ini ditunda. Kami harus memulihkan tenaga terlebih dahulu,” kata kapten kesebelasan tim sapi.
“Kami juga setuju,” sahut kapten kesebelsan tim kerbau.
 Setelah itu, para penonton dan pemain membubarkan diri. Kedua tim yang akan bertanding di babak final beristirahat selama dua hari untuk memulihkan tenaga. Di samping itu, kedua tim juga sedang mempersiapkan dan menyusun strategi masing-masing.
Tidak terasa, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, yakni pertandingan babak final antara tim kesebelasan kerbau berhadapan dengan tim kesebelasan sapi. Para penonton telah memadati pinggir lapangan ingin menyaksikan pertandingan seru itu. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari itu cuaca sangat panas. Oleh karena itu, kedua tim tersebut membuka baju masing-masing. Mereka pun bertanding tanpa pakaian. Sorak-sorai penonton pun semakin ramai.
Tidak berapa lama, wasit pun meniup peluit sebagai tanda pertandingan babak final dimulai. Pertandingan itu berlansung seru dan menarik. Kedua tim saling memperlihatkan ketangkasan mereka menendang dan menggiring bola dengan teknik yang tinggi. Kedua tim silih berganti menyerang. Sudah beberapa menit pertandingan berlangsung, namun belum ada tim yang mencetak gol ke gawang tim lawan. Makin lama, permainan pun tampak keras. Mereka saling ganjal-mengganjal jika tim lawan membawa bola.
Di tengah pertandingan itu berlansung, tiba-tiba cuaca menjadi mendung. Tak lama kemudian, turun hujan lebat disertai dengan angin kencang. Butiran-butiran air hujan yang turun dari langit sebesar batu-batu kerikil. Jika tertimpa air hujan itu, akan terasa sakit dan menusuk. Para penonton mulai panik. Mereka berlarian kesana-kemari mencari tempat berteduh untuk menghindari air hujan.  
Para pemain pun sudah tidak mendengar lagi komando dari wasit. Kedua tim berlarian menuju ke tempat penyimpanan pakaian. Pada saat itu, tim kerbau yang pertama kali berlari salah alamat, karena dilanda kepanikan dan kesakitan terkena hujan. Mereka berlari ke tempat penyimpanan pakaian tim sapi, lalu memakai pakaian sapi tersebut. Setelah itu, mereka berlari berpencar entah ke mana. Sementara tim sapi yang datang terlambat, terpaksa memakai pakaian tim kerbau yang tertinggal, lalu berlari berpencar untuk mencari tempat berteduh.
Sejak kejadian itu, pakaian (kulit) sapi terlihat lebih longgar atau kebesaran, karena memakai pakaian kerbau. Demikian sebaliknya, pakaian (kulit) kerbau terlihat kesempitan atau kekecilan, karena memakai pakaian sapi.  Itulah sebabnya, di punggung sapi terdapat bagian yang cekung (berongga) dan di bagian leher bawahnya bergelambir, sedangkan pada kerbau tidak demikian.
* * *
Demikian cerita Sepak Bola Binatang dari daerah Sulawesi Selatan, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori fabel (cerita binatang) yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah tidak adanya sifat tenggang rasa antara sesama. Sifat ini digambarkan oleh sikap dan perilaku para binatang yang saling berebut makanan enak dan tidak ada yang mau mengalah. Akibatnya, terjadilah pertengkaran dan perkelahian di antara mereka. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

bila tidak bertenggang rasa,
sama suadara mangsa memangsa

bila tidak tenggang menenggang,

banyakan orang bermain parang

bila tidak tenggang menenggang,

seteru banyak musuh pun datang

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa kepanikan dapat mengakibatkan kerugian pada diri sendiri maupun kepada orang lain, sebagaimana ditunjukkan tim kerbau yang karena panik, sehingga mengambil pakaian sapi. Akibatnya, kerbau kesempitan memakai pakaian sapi, dan sebaliknya sapi kelonggaran memakai pakaian kerbau.

Kamis, 06 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Nenek Pakande

Nenek Pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat Bugis di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Nenek siluman itu adalah manusia kanibal yang sakti mandraguna. Ia sangat suka makan daging manusia, terutama daging anak-anak. Itulah sebabnya, masyarakat setempat memanggilnya Nenek Pakande. Dalam bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia. Suatu ketika, seorang pemuda yang cerdik bernama La Beddu berupaya untuk mengusir Nenek Pakande karena kelakuannya telah meresahkan seluruh warga. Mampukah La Beddu mengusir Nenek Pakande dari negeri itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Nenek Pakande berikut ini.


Alkisah, di daerah Sulawesi Selatan ada sebuah negeri yang bernama Soppeng. Penduduk negeri itu senantiasa hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Setiap hari mereka bekerja di sawah dengan hati tenang dan damai.
Pada suatu ketika, suasana tenang dan damai tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan sesosok siluman bernama Nenek Pakande. Ia datang ke negeri itu mencari mangsa untuk dijadikan santapannya. Nenek siluman itu sangat suka menyantap daging anak-anak. Oleh sebab itu, anak-anak selalu menjadi incarannya. Biasanya, Nenek Pakande mulai berkeliaran mencari mangsa ketika hari mulai gelap.
Pada suatu sore, di saat hari mulai gelap, Nenek Pakande melihat seorang anak kecil sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Anak itu termasuk anak bandel. Sudah berkali-kali dinasehati oleh orang tuanya agar segera masuk ke dalam, namun ia tetap saja asyik bermain seorang diri. Ketika suasana di sekitarnya lengah, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nenek Pakande. Ia segera menangkap anak itu lalu membawanya pergi.
Beberapa saat kemudian, sang ibu kebingungan mencari anaknya. Ia sudah mencari di sekitar rumah namun tidak juga menemukannya.
“Tolooong... tolooong.... anakku hilang!” teriak ibu itu panik.
Mendengar suara teriakan itu, para tetangga serentak berhamburan keluar rumah dan mengerumuni ibu itu.
“Apa yang terjadi dengan anak Ibu?” tanya salah seorang warga.
“Anakku..., anakku..., anakku hilang,” jawab ibu itu dengan sedih.
“Hilang ke mana anak Ibu?” tanya lagi warga itu.
“Entahlah, Pak!” jawab ibu itu dengan bingung, “Dia tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tadi, aku meninggalkannya sebentar ke dalam rumah saat dia sedang asyik bermain sendiri di halaman rumah. Ketika aku kembali untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah, dia sudah tidak ada,” jelasnya.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para warga beramai-ramai mencari anak itu. Mereka sudah mencari hingga ke mana-mana, namun belum juga menemukannya. Karena malam sudah larut, akhirnya para warga menghentikan pencarian. Pada keesokan harinya, saat matahari mulai tampak di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan pencarian, namun hasilnya tetap nihil.
Pada malam berikutnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini, seorang bayi yang menjadi korban. Bayi itu hilang di saat kedua orang tuanya sedang tertidur lelap. Kedua peristiwa tersebut benar-benar membuat resah seluruh warga. Para orang tua tidak dapat tidur pada malam hari karena harus menjaga anak-anak mereka.
Melihat keadaan tersebut, para dukun di Negeri Soppeng segera mencari tahu siapa penculik yang misterius itu. Dengan ilmu yang dimiliki, akhirnya mereka berhasil mengetahuinya. Berita tersebut kemudian mereka sampaikan kepada seluruh warga bahwa pelaku penculikan itu adalah Nenek Pakande. Betapa terkejutnya seluruh warga mendengar kabar tersebut karena mereka sangat mengenal watak atau perilaku Nenek Pakande.
“Hai, bukankah Nenek Pakande itu seorang siluman yang sakti mandraguna?” tanya seorang warga.
“Ya, benar. Dia sangat sakti dan tak seorang pun manusia biasa yang mampu mengalahkannya. Dia hanya takut kepada sesosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Namun, raksasa itu sudah tidak pernah lagi terdengar kabar keberadaannya,” jelas salah seorang dukun.
“Lantas, apa yang dapat kita lakukan?” tanya pula seorang warga lainnya dengan bingung.
Tak seorang pun warga yang menjawab. Mereka kebingungan menghadapi masalah itu. Di tengah-tengah kebingungan tersebut, seorang pemuda yang duduk paling belakang tiba-tiba angkat bicara. Pemuda itu bernama La Beddu. Ia pemuda yang cerdik.
“Maaf, para hadirin! Perkenankanlah saya untuk menyampaikan sesuatu. Saya mempunyai sebuah cara untuk membinasakan Nenek Pakande,” kata pemuda itu.
Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semua pandangan tertuju kepada pemuda itu. Sebagian dari warga memandangnya dengan penuh harapan. Namun, tak sedikit dari mereka yang memandangnya dengan pandangan yang merendahkan.
“Hai, La Beddu. Bagaimana caramu bisa mengalahkan Nenek Pakande? Bukankah dia sangat sakti, sementara kamu sendiri hanya pemuda biasa yang tidak mempunyai kesaktian sama sekali?” tanya salah seorang warga.
La Beddu hanya tersenyum, lalu menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
“Tidak selamanya kesaktian itu harus dilawan dengan kesaktian pula,” kata La Beddu.
Semua warga tercengang. Setelah itu, La Beddu menjelaskan bahwa satu-satu cara untuk mengalahkan Nenek Pakande adalah kecerdikan.
“Begini, saudara-saudara,” lanjutnya, “Kita semua sudah tahu bahwa Nenek Pakande hanya takut kepada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Oleh karena itu, saya akan mengelabui Nenek Pakande dengan berpura-pura menjadi seperti raksasa itu,” jelas La Beddu.
Mendengar penjelasan itu, para warga semakin bingung. Apalagi ketika La Beddu meminta kepada warga untuk menyiapkan masing-masing satu buah salaga (garu), satu ember busa sabun, satu ekor kura-kura dan belut, satu lembar kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar.
“Untuk apa salaga itu La Beddu? Bukankah sekarang belum musim tanam?” tanya seorang warga dengan bingung.
“Sudahlah, Pak. Bapak tidak usah terlalu banyak tanya. Kita lihat saja nanti hasilnya. Yang penting sekarang adalah mencari semua benda dan binatang yang saya sebutkan tadi lalu mengumpulkannya di rumah saya. Nantilah saya jelaskan semuanya,” ujar La Beddu.
Tanpa banyak tanya lagi, para warga segera melaksanakan permintaan La Beddu. Ada yang pergi mencari belut di sawah, ada pula yang mencari kura-kura di sungai. Sebagian yang lain sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember, sebuah batu besar, serta kulit rebung. Setelah memperoleh segala yang diperlukan, para warga segera membawanya ke rumah La Beddu.
“Hai, La Beddu! Jelaskanlah kepada kami mengenai maksud dan tujuan dari semua benda dan binatang ini!” desak pemuka masyarakat.
La Beddu pun kemudian menjelaskan bahwa salaga yang bentuknya menyerupai sisir, busa sabun yang menyerupai air ludah, dan kura-kura yang menyerupai kutu manusia itu akan digunakan untuk mengelabui Nenek Pakande. Dengan menunjukkan benda-benda tersebut, Nenek Pakande akan mengira itu semua adalah milik Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Sementara itu, kulit rebung yang bentuknya mirip terompet itu akan digunakan untuk menggelegarkan suaranya sehingga menyerupai suara raksasa itu. Adapun belut dan batu besar tersebut masing-masing akan diletakkan di depan pintu dan di depan tangga.
Setelah itu, La Beddu bersama para warga segera menyusun siasat. Dua orang warga ditunjuk yang masing-masing akan bertugas meletakkan belut di depan pintu dan batu besar di depan tangga.
Ketika hari mulai gelap, La Beddu segera naik ke atas loteng Sao Raja untuk bersembunyi sambil membawa salaga, busa sabun, kura-kura, dan kulit rebung. Sementara itu, kedua warga yang telah diberi tugas bersembunyi di bawah kolong Sao Raja. Setelah semuanya siap, para warga mulai menjebak Nenek Pakande dengan cara mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa penerangan sedikit pun. Kecuali Sao Raja, pintunya dibuka lebar dan di dalamnya dinyalakan sebuah pelita. Selain itu, seorang bayi juga diletakkan di dalam kamar sebagai umpan untuk menjebak Nenek Pakande agar masuk ke dalam Sao Raja tersebut.
Tak berapa lama kemudian, Nenek Pakande pun mendatangi Sao Raja tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, ia melangkah perlahan-lahan menaiki anak tangga Sao Raja satu per satu. Saat berada di depan pintu, indra penciumannya langsung merasakan bau bayi yang sangat menyengat. Nenek siluman itu pun langsung masuk ke dalam Sao Raja. Pada saat itulah, kedua warga yang bersembunyi di bawah kolong Sao Raja segera melaksanakan tugas mereka lalu kembali ke tempat persembunyianya tanpa sepengetahuan Nenek Pakande.
Ketika Nenek Pakande hendak mendekati bayi yang ada di dalam kamar, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara keras yang menegurnya.
“Hai, Nenek Pakande! Mau apa kamu datang kemari, ha?”
Suara itu tidak lain adalah suara La Beddu yang menggunakan kulit rebung di atas loteng. Namun, Nenek Pakande tidak mengetahui hal itu.
“Suara siapa itu?” tanya Nenek Pakande dengan terkejut.
“Aku adalah raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Ha... ha... ha... !” jawab suara itu seraya tertawa terbahak-bahak.
Mendengar jawaban itu, Nenek Pakande mulai ketakutan. Namun, ia belum yakin jika itu adalah suara raksasa tersebut.
“Apa buktinya jika engkau adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale?”
La Beddu yang berada di atas loteng segera menumpahkan busa sabun dari embernya tepat di depan Nenek Pakande. Alangkah terkejutnya perempuan siluman itu karena mengira busa sabun tersebut adalah air ludah raksasa itu.
“Bagaimana, Nenek Pakande? Apakah kamu masih meragukan diriku?” tanya suara itu.
“Bukti apa lagi bukti yang bisa kamu tunjukkan padaku?” Nenek Pakande balik bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, La Beddu segera menjatuhkan salaga dan kura-kuranya secara beruntun. Melihat kedua benda tersebut, Nenek Pakande langsung lari tunggang langgang karena ketakutan. Ia mengira kedua benda tersebut adalah sisir dan kutu milik raksasa itu. Begitu ia melewati pintu Sao Raja, kakinya menginjak belut yang diletakkan di tempat itu hingga terpeleset dan akhirnya terjatuh berguling-guling di tangga. Saat sampai di tanah, kepalanya terbentur pada batu besar yang sudah disiapkan di depan tangga.
Meskipun terluka parah, Nenek Pakande masih mampu berdiri dan melarikan diri entah ke mana. Namun, sebelum meninggalkan negeri itu, ia sempat berpesan kepada seluruh warga bahwa kelak ia akan kembali untuk memangsa anak-anak mereka. Oleh sebab itulah, hingga kini, masyarakat Soppeng sering menggunakan cerita ini untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak berkeliaran di luar di rumah ketika hari sudah gelap.
* * *
Demikian cerita Nenek Pakande dari daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan menggunakan akal sehat. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku La Beddu. Berkat kecerdikannya, ia dengan dibantu oleh para warga berhasil mengusir Nenek Pakande dari Negeri Soppeng. Sifat cerdik pandai ini digambarkan dalam pepatah Bugis berikut ini:
“Naia riyasennge’ pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adae’....” 

Artinya: Cerdik pandai (pannawanawa) adalah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari cara sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi.