Si Penakluk rajawali adalah seorang pemuda yang tinggal di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia. Pemuda tersebut dinikahkan dengan putri raja, karena berhasil memenangkan sayembara menaklukkan seekor rajawali raksasa. Dalam rangka apa raja negeri itu mengadakan sayembara? Lalu, bagaimana pemuda itu menaklukkan rajawali raksasa tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Si Penakluk Rajawali berikut ini.
Konon, pada zaman dahulu kala ada sebuah negeri di daerah Sulawesi Selatan yang diperintah oleh seorang raja. Raja tersebut mempunyai tujuh orang putri. Menurut adat di kerajaan itu, jika raja memiliki putri sampai tujuh orang, maka salah seorang di antaranya harus dipersembahkan kepada seekor rajawali raksasa agar keluarga istana terhindar dari malapetaka. Hal tersebut membuat sang Raja sedih dan gelisah, karena ia tidak mau kehilangan salah seorang putrinya. Ia pun berpikir keras mencari jalan keluar bagaimana caranya agar ketujuh putrinya tersebut dapat hidup semua. Sudah berhari-hari sang Raja tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur memikirkan hal itu. Hingga pada suatu hari, tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikirannya.
“Mmm..., bagaimana kalau aku mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali itu. Barangkali di antara rakyatku ada yang mempunyai kesaktian yang tinggi dan mampu melumpuhkan rajawali itu,” pikir sang Raja.
Keesokan harinya, sang Raja segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di depan istana.
“Wahai, rakyatku! Aku akan mengadakan sayembara untuk menaklukkan rajawali raksasa itu. Siapapun yang berhasil menaklukkannya, jika dia seorang laki-laki maka aku akan menikahkannya dengan putriku, dan jika dia seorang perempuan, maka aku akan mengangkatnya menjadi keluarga istana!” seru sang Raja kepada seluruh rakyatnya.
“Ampun, Baginda! Kapan sayembara tersebut akan dilaksanakan?” tanya seorang warga dengan penuh semangat.
“Menurut penasehat istana, rajawali raksasa itu akan datang ke negeri ini seminggu lagi. Jadi, mulai sekarang latih dan perdalamlah ilmu dan kesaktian kalian!” seru sang Raja.
Mendengar seruan itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing. Seminggu sebelum kedatangan rajawali tersebut, para warga tampak ramai melatih dan memperdalam ilmu kesaktian mereka dengan penuh semangat. Para laki-laki berharap dapat menjadi menantu raja, sedangkan kaum perempuan berharap dapat menjadi keluarga istana.
Sementara itu, para pengawal istana sedang membuat sebuah baruga (pendapa) di sebuah tempat yang agak jauh dari istana. Baruga tersebut merupakan tempat tinggal sang Putri sebelum disantap rajawali. Sang Putri sengaja dibuatkan baruga untuk memancing kedatangan burung rajawali tersebut. Selain sajian berupa anak gadis, juga disiapkan segala macam kue-kue, sokko (bahasa Bugis: nasi ketan), dan minuman di tempayan untuk burung rajawali tersebut.
Tidak terasa seminggu telah berlalu. Hari kedatangan rajawali itu pun tiba. Pagi-pagi sekali salah seorang putri raja yang menjadi persembahan diantar ke baruga tersebut. Sang putri diantar oleh keluarga dan pengawal istana. Bahkan banyak warga yang ikut mengantarnya. Mereka sangat khawatir terhadap nasib sang Putri yang akan menjadi santapan rajawali tersebut sekiranya tidak ada warga yang mampu mengalahkannya.
“Maafkan Ayah, Putriku! Ayah melakukan semua ini karena adat di negeri ini. Tapi, Nanda tidak usah khawatir, Ayah sedang berusaha untuk menyelamatkan Nanda dengan mengadakan sayembara ini. Semoga di antara warga ada yang mampu mengalahkan burung rajawali itu,” ucap sang Raja menenangkan hati putrinya.
Menjelang kedatangan rajawali itu, sang Raja bersama keluarga dan pengawal istana bergegas kembali ke istana dengan perasaan cemas. Tinggallah sang Putri seorang diri di atas baruga itu. Sementara itu, di sekitar tempat baruga itu berdiri, para peserta sayembara sudah bersiap-siap menyambut kedatangan burung rajawali dengan berbagai macam senjata di tangan mereka. Ada yang membawa tombak yang sudah dibubuhi racun, ada yang membawa tali untuk mengikat leher rajawali tersebut, dan ada pula yang membawa bambu runcing.
Tidak lama kemudian, seorang pemuda pengembara melintas di tempat itu. Ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk termenung di atas baruga. Ia pun segera naik ke atas baruga dan menghampiri gadis itu.
“Hai, gadis cantik! Kenapa kamu sedih dan duduk sendirian di sini?” tanya pemuda itu dengan perasaan iba.
“Aku sedang menunggu ajal,” jawab sang Putri dengan suara lirih.
“Apa maksudmu?” tanya pemuda itu penasaran.
“Aku adalah seorang putri raja dan mempunyai enam orang saudara perempuan. Menurut adat di negeri ini, jika putri raja sudah berjumlah tujuh orang, maka salah seorang di antaranya harus dipersembahkan kepada seekor rajawali raksasa untuk disantap,” jelas sang Putri.
“Tapi, jika ada orang yang mampu menaklukkan rajawali itu, maka raja akan menikahkannya denganku,” tambah sang Putri.
“Maaf, Tuan Putri! Jika diperkenankan, hamba akan menemani sang Putri di sini,” kata pemuda itu.
“Jangan! Nanti kamu ikut dimakan rajawali itu.”
“Tidak usah khawatir, Tuan Putri! Hamba akan melindungi Tuan Putri dari sergapan rajawali itu.”
Sambil menuggu rajawali itu, tiba-tiba pemuda itu mengantuk sekali dan akhirnya tertidur di atas baruga itu. Sang Putri pun memerhatikan pemuda itu.
“Baik sekali pemuda ini. Semoga dia mampu mengalahkan rajawali itu, sehingga dialah yang akan menikah denganku,” kata sang Putri dalam hati dengan penuh harap.
Ketika hari beranjak siang, tiba-tiba terdengar suara gemuruh laksana angin topan datang menerjang. Dari kejauhan tampak seekor burung raksasa sedang terbang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya menuju ke arah baruga. Mengetahui bahwa yang datang adalah burung rajawali raksasa itu, maka sang Putri segera membangunkan pemuda itu.
“Ayo, Bangun! Rajawali raksasa itu sudah datang!” seru sang Putri.
Pemuda itu pun segera bangun sambil mengusap-usap matanya. Rajawali itu semakin mendekat. Sang Putri yang ketakutan segera bersembunyi di belakang pemuda itu sambil menutup matanya. Sementara sang Pemuda segera mengeluarkan senjata pusakanya berupa sebilah badik yang dapat menikam sendiri dan seutas tali yang dapat mengikat sendiri. Begitu hinggap di baruga, rajawali itu langsung menyantap kue-kue, sokko, dan minuman yang tersedia. Setelah menghabiskan makanan dan minuman sesaji tersebut, rajawali itu bersiap untuk menyantap sang Putri.
Melihat keadaan itu, sang Pemuda segera bertindak. Ia memerintahkan talinya untuk mengikat rajawali itu. Secepat kilat, tali ajaib itu meluncur dan melilit seluruh tubuh rajawali itu. Sang rajawali berusaha melepaskan lilitan tali itu dengan mengepak-ngepakkan sayapnya. Beberapa saat kemudian, tali itu mengendor karena tidak kuat menahan kepakan sayap rajawali itu.“Tuan, tolong aku! Aku tidak sanggup menahan kepakan sayap rajawali ini,” seru tali itu meminta tolong kepada tuannya.
Tanpa berpikir panjang, pemuda itu pun segera memerintahkan badiknya.
“Hai badikku, tikam rajawali itu!” seru sang Pemuda.
Secepat kilat, badik sakti itu langsung menikam dan terus menikam hingga rajawali itu mati. Sang putri masih menutup matanya, karena ketakutan. Ia hanya mendengar suara pemuda itu sedang berbicara dengan seseorang. Namun, setelah membuka matanya, sang Putri merasa heran, karena tidak ada orang lain kecuali dia dan pemuda itu.
Para warga yang bersembunyi di sekitar tempat itu baru muncul setelah tahu rajawali itu mati. Senjata yang ada di tangan mereka tidak sempat mereka gunakan, karena pemuda itu dengan cepat sekali melumpuhkan rajawali itu. Akhirnya, para peserta sayembara yang merasa dirinya sakti segera mencincang dan memotong-motong tubuh rajawali itu.
Sementara pemuda yang telah mengalahkan rajawali itu berpamitan kepada sang Putri ingin melanjutkan perjalanannya. Sebagai ucapan terima kasih, sang Putri memberikan selandangnya kepada pemuda itu.
“Terima kasih! Anda telah menyelamatkan nyawaku. Bawalah selendang ini sebagai cenderamata dariku,” ucap sang Putri.
Setelah pemuda itu pergi, sang Putri diusung oleh warga kembali ke istana. Sebagian warga yang merasa dirinya sakti saling berebut ingin membawa tubuh rajawali itu ke hadapan sang Raja. Namun, karena tubuh rajawali itu besar, maka para warga membagi-baginya. Ada yang membawa kepala, ada yang memikul paha, dan ada yang mengambil kaki rajawali itu. Mereka berebut tubuh rajawali, karena ingin dikatakan sebagai pahlawan yang berhasil mengalahkan rajawali itu.
Sesampainya di istana, sang Putri disambut gembira oleh sang Raja dan seluruh keluarga istana. Sang raja kemudian bertanya kepada putrinya tentang siapa orang yang berhasil mengalahkan rajawali itu.
“Ampun, Ayahanda! Ananda tidak mengenalnya. Sepertinya pemuda gagah itu bukanlah warga negeri ini,” jawab sang Putri.
“Tapi, apakah Nanda tahu bagaimana dan dengan apa pemuda itu mengalahkan rajawali itu?” tanya sang Raja.
“Ananda juga tidak tahu, Ayah! Waktu itu Nanda sedang menutup mata karena ketakutan. Nanda hanya mendengar pemuda itu berseru: `Ikat rajawali itu...! Tikam raja wali itu...! Saat Nanda membuka mata, ternyata rajawali itu sudah mati,” cerita sang Putri.
“Tapi, jika bertemu lagi dengan pemuda itu, apakah Nanda dapat mengenalnya?” sang Raja kembali bertanya.
“Iya, Ayah! Saya dapat mengenal pemuda itu, karena sebelum ia pergi, Nanda memberikan selendang Nanda kepadanya,” jawab sang Putri.
Setelah mendengar cerita putrinya itu, sang Raja pun mengerti bahwa orang yang berhasil melumpuhkan rajawali itu bukanlah rakyat negeri itu. Kemudian ia segera menemui para peserta sayembara yang sudah berkumpul di halaman istana.
“Wahai, seluruh rakyatku! Berdasarkan cerita dari putriku bahwa orang yang telah mengalahkan rajawali itu adalah seorang pemuda yang tidak dikenal. Ia bukan warga negeri ini. Oleh karena itu, walaupun rajawali itu telah mati, tidak seorang pun di antara kalian yang kunikahkan dengan putriku. Akan tetapi, aku akan mengadakan pesta besar-besaran atas matinya rajawali itu,” kata sang Raja.
Keesokan harinya, pesta besar-besaran pun berlangsung ramai. Berbagai jenis makanan dan minuman disuguhkan. Tidak ketinggalan pula berbagai seni pertunjukan dipertontonkan. Bahkan dalam pesta itu, raja juga mengadakan lomba sepak raga (bola kaki). Para warga berbondong-bondong ke pesta tersebut, baik sebagai peserta lomba maupun sebagai penonton ataupun undangan. Di serambi istana, sang Raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya sedang duduk menyaksikan lomba sepak raga. Peserta lomba silih berganti masuk arena lomba memainkan bola. Di tengah keramaian penonton, tiba-tiba seorang pemuda gagah memasuki arena lomba. Pemuda itu mempermainkan bola di kaki, di paha, dan di kepalanya dengan tangkas, gesit dan lincah. Lengan pemuda itu dibalut dengan selendang wanita yang berkibar-kibar seakan-akan menari.
“Ayah! Itulah pemuda yang telah mengalahkan rajawali raksasa!” seru sang Putri sambil menunjuk ke arah pemuda yang berada di tengah arena lomba.
Sang Raja pun tersentak kaget, seakan-akan tidak percaya apa yang sedang disaksikannya. Ternyata, selain sakti, pemuda itu juga sangat mahir bermain sepak raga. Sang Raja sangat kagum kepada pemuda itu. Setelah pemuda itu keluar dari arena lomba, sang Raja pun memanggil pemuda itu.
“Hei, anak muda! Kemarilah sebentar!” seru sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ada apa Baginda memanggil Hamba?” tanya pemuda itu penasaran.
“Benarkah Engkau yang telah mengalahkan rajawali itu?” sang Raja balik bertanya.
“Benar, Baginda!” jawab pemuda itu.
“Dengan apa kamu mengalahkannya?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba menggunakan seutas tali dan sebilah badik yang dapat bergerak sendiri jika diperintah,” jawab pemuda itu.
Mendengar jawaban dari pemuda itu, semua warga yang hadir dan pernah mengaku sebagai penakluk rajawali itu menjadi malu. Akhirnya, sang Raja pun menikahkan pemuda itu dengan putrinya yang selamat dari santapan rajawali. Pemuda si penakluk rajawali pun hidup berbahagia bersama sang Putri di dalam istana.
* * *
Demikian cerita Si Penakluk Rajawali dari daerah Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat kepahlawanan atau kesatria dan akibat buruk dari sifat ketidakjujuran.
Pertama, sifat kepahlawanan atau kesatria. Sifat ini tercermin pada perilaku si pemuda pengembara yang dengan keberaniannya, berhasil menumpas kejahatan dan keganasan seekor rajawali raksasa. Dikatakan dalam untaian syair Melayu:
wahai ananda tegakkan kepala,
orang teraniaya wajib kau bela
melawan yang batil janganlah kau jera
musuh yang datang jangan kau kira
orang teraniaya wajib kau bela
melawan yang batil janganlah kau jera
musuh yang datang jangan kau kira
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa pangkat, kedudukan, dan wanita dapat membuat seeorang berperilaku tidak jujur. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku para warga yang membawa tubuh rajawali untuk membuktikan kepada raja bahwa merekalah yang telah menaklukkan rajawali itu agar diangkat menjadi keluarga atau menantu raja. Padahal sebenarnya, bukan mereka yang telah menaklukkan rajawali itu. Akibatnya, mereka pun menjadi malu setelah sang Raja mengetahui bahwa penakluk rajawali itu adalah seorang pemuda pengembara, bukan mereka. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
karena tak jujur, hidup hancur
karena tak jujur, aib bertabur
karena tak jujur, aib bertabur
karena tak jujur, hilanglah mujur
karena tak jujur, badan terkubur
karena tak jujuranak bini kebulur
karena tak jujur, muka berlumpur
karena tak jujur, penat berjemur
karena tak jujur, kepala bertelur
EmoticonEmoticon