Tampilkan postingan dengan label Kalimantan Selatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kalimantan Selatan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putri Junjung Buih

Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri.



Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu. Benar seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.

Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula. Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua bermimpi disuruh dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai. Raja Tua pun mengikuti petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam perjalanan pulang ia menemukan sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung diatas segumpalan buih. Oleh karena itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung Buih.

Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu sudah dapat berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta untuk ditenunkan selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam waktu setengah hari. Ia juga meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang wanita cantik.

Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi pengasuh dari puteri ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita bernama Ratu Kuripan. Selain pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib. Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan waktu yang singkat itu, Ratu Kuripan pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat mengagumkan. Kain dan selimut yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan, kemudian Raja Tua mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut berperanan besar dalam hampir setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.

Selasa, 30 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Kota Banjarmasin

Pada zaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Konon, Sekar Sungsang seorang penganut Syiwa. la mendirikan candi dan lingga terbesar di Kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu bernama Candi Laras. Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja Sukarama mengamanatkan agar cucunya, Pangeran Samudera, kelak menggantikan tahta, Pangeran Mangkubumi-lah yang naik takhta.



Kerajaan tidak hentinya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan. Konon, siapa pun menduduki takhta akan merasa tidak aman dari rongrongan. Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam suatu usaha perebutan kekuasaan. Sejak itu, Pangeran Tumenggung menjadi penguasa kerajaan.

Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.

Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.

Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.

Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.

Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.

Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.

Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.

Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.

Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.

Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.

Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la mampu menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.

Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.

Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.

Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.

Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.


Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.

Senin, 29 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Mandin Tangkaramin

Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada sebuah desa bernama Malinau. Kira-kira satu kilometer dari tempat itu ada sebuah air terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon, menurut Bahasa penduduk di sana, mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin berarti air terjun Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan.



Air terjun itu. tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya sehingga jika berada di hutan itu terasa selalu dalam dekapan gelap malam.

Di dasar air terjun Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil. Di antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum, bernama Manggu Masak.

Konon, air terjun itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu antara Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam terpendam.

Bujang Alai adalah seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan harapan orang-orang tertarik kepadanya.

Berbeda sekali keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan sederhana dan tidak setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menunjukkan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat. Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.

Jika Bujang Alai menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya, Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jika bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.

Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap melanggar adat dan mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya.

Bukan hanya orang tua gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang Kuratauan pun terusik perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau perempuan yang akan dijodohkan kepadanya, peristiwa itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menunjukkan kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh karena itu, Bujang Kuratauan bertekad menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Jauh di hati kecilnya muncul kecurigaan bahwa Bujang Alai menculik gadis itu.

“Sekali ini pasti ia akan kena batunya,” ujar Bujang Kuratauan dalam hati.

Belum lagi usaha pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba menepuk dada. Ia berkata dengan lantang, “Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu mampu menahan ujung kerisku Iebih dulu!”

Jelaslah bahwa Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan. Dahi Bujang Kuratauan berkerut, daun telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan kanannya meraba hulu parang bungkulnya. Ia berkata dengan suara datar, “Aku tak akan menjemput gadis itu ke rumahmu, tetapi aku menuntut tanggung jawabmu sebagai lelaki!”

“Lelaki maksudmu? Keris ini membuktikan kelelakianku! Tentukan tempat dan waktunya!” ujar Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang.

“Musuh tidak kucari, tetapi jika bersua pantang kuelakkan,” sahut Bujang Kuratauan. Ia, berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan suara tertelan, “Jika kerismu mau menjual darah, parang bungkul tumpul ini mampu membelinya!”

Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang tanding, itulah yang akan terjadi.

Keris Nagarunting milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya, diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. Bujang Kuratauan tidak ingin kalah aksi melihat atraksi yang dipamerkan Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi.

Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang Alai dengan tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris Nagarunting ke dada Bujang Kuratauan. Akan tetapi, Bujang Kuratauan sudah slap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya. Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung dapat dielakkannya. Bahkan jika mau, pasti is sempat menebaskan parang bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi, Bujang Kuratauan bukan orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu ternyata membuat hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan.

“Gunakan senjatamu jika engkau merasa sebagai lelaki!” tantang Bujang Alai.

Bujang Kuratauan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap nlemegang hulu parang bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan dilakukan Bujang Alai.

Nalurinya tidak salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Bujang Kuratauan sehingga Bujang Kuratauan susah mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan parang bungkul menimbulkan kilatan api di angkasa. Mereka memiliki kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratauan tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan menebaskan parang bungkulnya.

Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai, tetapi tidak segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang Kuratauan, berkali-kali ujung keris Bujang Alai tidak dapat dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya.

“Kita lanjutkan di tempat lain!” ujar Bujang Alai.
“Di mana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.
“Mandin Tangkaramin pilihanku!” ujar Bujang Alai.
“Di sana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.

Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang saat pertarungan berikut itu mereka gunakan untuk mempersiapkan diri agar dapat mengalahkan lawan.

Setelah merenung dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan berkata dalam hati, “Ia kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya.”

Jika Bujang Alai berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang Kuratauan justru membuat tumpul parang bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul seperti bagian belakangnya.

Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka sebab keduanya kebal. Akan tetapi, parang bungkul Bujang Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat tubuh Bujang Alai memar atau remuk di dalam. Akhirnya, Bujang Alai pun meninggal.

Tersiarlah berita tewasnya Bujang Alai di tangan Bujang Kuratauan. Kematian Bujang Alai itu membuat suasana menjadi panas. Keluarga Bujang Alai ingin menuntut balas sebab utang darah harus dibayar darah.

Pihak Bujang Kuratauan tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan jatuhnya korban. Siasat pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan sehingga perhatian musuh terpancing dalam gelap gulita itu.

Pihak Bujang Alai mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan kemarahan meluap. Pihak Bujang Kuratauan menghindarkan diri agar jangan terjadi bentrokan. Setelah sampai di puncak air terjun Mandin Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah.

Melihat nyala obor-obor itu pihak Bujang Alai menduga musuh menyimpang jalan sambil berlari menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada nyala obor yang dilemparkan.

Kelompok Bujang Alai pun langsung memintas menuju obor. Jalan pintas yang mereka perkirakan memang tidak ada, kecuali jurang menganga sehingga mereka pun jatuh di atas bongkah batu. Darah mereka mengucur di batu-batu dan menjadikan batu-batu merah warnanya, semerah kulit manggis masak. Penduduk menyebutnya Batu Manggu Masak.

Jumat, 26 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Telaga Bidadari

Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.



Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.

Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.

“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.

Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.

Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.

Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.

“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.

Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).

Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.

Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.

“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”

Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.


Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.

Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.

Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.

Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.

“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.

Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.

“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.

Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.

Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.

“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.

Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.

Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.


Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.

Kamis, 25 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Datu Kalaka

Menurut cerita orang tua-tua beberapa abad yang lalu, di suatu kampung tinggallah seorang lelaki bernama Datu Kalaka. Ia amat disegani dan dihormati orang-orang di kampung itu karena ia menjadi pemimpin masyarakat di sana. Itu pula sebabnya ia diberi gelar datu oleh masyarakat.



Datu Kalaka disegani dan dihormati masyarakat, tetapi ia dibenci dan ditakuti Belanda. Ia sangat menentang Belanda dan memimpin perlawanan yang banyak meminta korban di pihak Belanda. Anehnya, walaupun pernah berkali-kali terkepung pasukan Belanda, Datu Kalaka selalu dapat meloloskan diri.

Tersebar berita di masyarakat, khususnya di kalangan orang Belanda, bahwa Datu Kalaka mempunyai kesaktian menghilangkan diri. Walaupun orang biasa dapat melihat, orang Belanda tetap tidak mampu melihat. Hal itu membuat penasaran pihak Belanda. Dengan segala tipu daya, mereka berusaha menangkap Datu Kalaka. Mereka menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mampu menyerahkan Datu Kalaka hidup maupun mati kepada pihak Belanda.

Oleh karena itu, Datu Kalaka selalu pindah tempat tinggal untuk menghindarkan diri dari Belanda. Jadi, jika Belanda berusaha mencarinya di kampung pasti sia-sia. Akan tetapi, pada waktu-waktu tertentu, ia kembali ke rumah, berkumpul dengan keluarga dan masyarakat sekitar.
Karena sudah cukup lama Belanda tidak pernah datang ke kampungnya, Datu Kalaka merasa aman dan tidak perlu pindah tempat tinggal. Ia menetap di kampung sambil mengerjakan ladang dan kebun serta memimpin masyarakat.

Pada suatu hari, ketika Datu Kalaka sedang bersantai di rumah, ada orang datang memberitahu bahwa pasukan Belanda memasuki kampung. Tentu mereka akan menangkap Datu Kalaka.

Sebagai seorang datu, Datu Kalaka tidak mau menunjukkan kekhawatirannya di hadapan orang lain. Ia juga tidak ingin menyelamatkan diri sendiri jika masyarakat menjadi korban karenanya. Oleh karena itu, ia menyuruh penduduk menyelamatkan diri. Setelah itu, ia memikirkan cara untuk meloloskan diri. Sayang, tempat tinggalnya sudah dikepung Belanda. Tidak mungkin lagi ia lepas dari sergapan. Jika sampai tertangkap, ia tidak dapat membayangkan hukuman apa yang akan diterimanya. Mungkin ia akan disiksa, dikurung, bahkan dibunuh. Jika ia melawan, berarti bunuh diri.

Datu Kalaka tidak ingin ditangkap dan tidak mau mati konyol. Ia berpikir cepat dan memutuskan mengambil jalan nekat yang tidak masuk akal. Jika jalan yang ditempuh itu ternyata meleset, nyawa taruhannya.

Ketika pasukan Belanda memasuki kampung, mereka amat penasaran karena kampung sepi. Rumah-rumah kosong. Belanda marah dan melampiaskan kemarahan mereka dengan menghancurkan kampung itu. Mereka berpencar dan memeriksa segenap pelosok kampung.

Mereka kaget ketika tiba-tiba melihat suatu pemandangan aneh tapi nyata di suatu lorong. Sebuah ayunan raksasa! Kedua sisi kain panjang yang dijadikan ayunan itu diikat wilatung (sejenis rotan yang besar batangnya) ditautkan ke puncak betung (bambu besar) yang ada di kiri kanan lorong itu. Mereka amat terkejut ketika menengok ke dalam ayunan yang berada di tengah-tengah lorong. Di dalam ayunan itu terbaring dengan tenangnya seorang bayi raksasa sebesar ayunan. Bayi itu menatap serdadu Belanda yang berdiri di sekeliling ayunan, kemudian ia memejamkan mata. Ukuran bayi itu lebih besar dan panjang daripada ukuran orang dewasa yang normal. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu, bahkan berkumis dan bercambang lebat.

Seluruh anggota pasukan Belanda gemetar ketakutan. Jika bayinya saja sebesar itu, apalagi orang tuanya. Pasukan Belanda pun hilang keberaniannya. Mereka segera meninggalkan bayi raksasa dan kampung yang telah kosong itu untuk kembali ke markas.

Bayi raksasa itu ternyata Datu Kalaka. Sebelum pasukan Belanda datang, ia sempat membuat ayunan. Kemudian, ia berbaring di dalam ayunan itu dan berlaku seperti bayi.

Di Kabupaten Hulu Sungal Tengah Propinsi Kalimantan Selatan sekarang masih ada sebuah desa bernama Kalaka. Konon, nama itu diambil dari nama Datu Kalaka. Di sana juga ada sebuah makam, menurut orang tua-tua makam itu makam Datu Kalaka. Makam itu luar biasa besarnya, jarak antara nisan yang satu dengan nisan lainnya kucang lebih dua meter. Orang percaya bahwa tubuh Datu Kalaka itu tinggi besar, lebar dadanya kurang lebih tujuh kilan (jengkal).

Minggu, 28 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Ning Rangda

Provinsi Kalimantan Selatan termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal memiliki hasil kerajinan tangan yang khas dan unik. Kain sasirangan dan tenun pagatan merupakan hasil kerajinan tangan berupa hasil tenun yang menjadi ciri khas provinsi ini. Hasil kerajinan tersebut memiliki motif, warna yang sangat menarik dan berkualitas tinggi. Bahkan, tenun sutera khas Kalimantan Selatan tersebut telah mengalami sentuhan elektik nan modern serta penuh dengan gaya oleh para desiner atau perancang busana.
Sejak dahulu, masyarakat Kalimantan Selatan sudah terkenal dengan kemahirannya menenun, merenda dan menyulam. Dalam sebuah cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan diceritakan bahwa pada zaman dahulu, ada seorang gadis yang sangat mahir menenun, namanya Rangda. Hasil tenunannya yang ia jual ke pasar menjadi rebutan para pembeli. Namun, para peminatnya tersebut belum mengetahui siapa si penenun itu. Oleh karena itu, mereka bermaksud untuk melacaknya. Berhasilkah mereka menemukan penenun itu? Apa yang akan mereka lakukan setelah bertemu dengan penenun itu? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita rakyat Ning Randa berikut ini.


Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah desa di daerah Kalimantan Selatan, hiduplah seorang nenek tua yang bernama Ning Randa. Ia dipanggil Ning karena umurnya yang sudah tua dan bungkuk. Pekerajaannya sehari-hari lebih banyak duduk ketika masih muda. Saat beranjak remaja, ia mulai dipingit oleh orang tuanya. Selama masa pingitan, ia dibekali oleh orang tuanya dengan berbagai keterampilan untuk mempersiapkan diri sebagaimana halnya perawan yang akan menikah. Ia diajarkan cara menenun dalam berbagai motif dan warna di dalam lingkungan keluarganya. Selain itu, ia juga diajarkan berbagai resep masakan dan cara menanam obat-obatan.
Rangda adalah seorang gadis yang berbakat. Hasil tenunannya sangat berkualitas. Motif dan warnanya indah dan menarik. Maka tidaklah mengherankan jika hasil tenunannya yang dijual oleh pembantunya di pasar menjadi rebutan para pembeli. Banyak peminat yang penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya yang menghasilkan barang tenunan yang sebagus itu. Mereka kemudian ingin melacaknya.
Pada suatu hari, tersebar berita bahwa si penenun itu adalah seorang perawan yang cantik dan mungil yang bernama Rangda, tinggal di ujung kampung. Berita itu pun kemudian menyebar ke banyak orang. Para pemuda berbondong-bondong ke ujung kampung itu melihatnya. Mereka sangat takjub ketika melihat wajah si Rangda. Selain pandai menenun, ternyata wajah Rangda jauh lebih cantik daripada yang diperkirakan orang.
Sejak itu, tersebarlah berita kecantikan Rangda yang alami ke seluruh penjuru desa. Bahkan menembus batas-batas desa, hingga meluas sampai ke pusat kerajaan. Rangda perawan desa bak kembang yang sedang mekar mengundang banyak kumbang datang bertandang. Banyak pemuda lajang yang datang meminang. Namun, tak seorang peminang pun yang diterima oleh orang tua Rangda. Oleh karena kharisma yang dimiliki orang tua Rangda, tak seorang pun peminang yang pinangannya ditolak merasa tersinggung dan dendam terhadap keluarga Rangda.
Sementara itu di dalam istana, Putra Raja yang tampan sakit keras. Sang Raja sebagai orang tuanya merasa sedih bukan kepalang. Kesedihan yang dirasakan oleh sang Raja tidak saja karena penyakit Pangeran Muda yang tidak kunjung sembuh, tetapi juga karena anak kesayangannya itu belum memiliki pendamping hidup. Raja yang sudah uzur itu sangat berharap putranya segera mendapat pendamping hidup sebelum diresmikan menjadi raja. Oleh karena itulah, Raja merasa perlu untuk mencarikan dukun sakti yang dapat mengobati penyakit putranya.
Pada suatu hari, didatangkanlah seorang dukun yang terkenal sangat sakti dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Setelah segala keperluannya tersedia, dukun itu mulai membacakan mantra dan mengeluarkan seluruh ramuannya untuk diminumkan kepada sang Pangeran. Meskipun telah berusaha dengan segala kemampuannya, dukun itu belum mampu menyembuhkan penyakit sang Pangeran. Setelah mengobati Putra Mahkota, di hadapan sebuah persidangan yang dihadiri oleh Raja dan para punggawa kerajaan, sang Dukun menceritakan tentang apa yang dialami oleh Putra Mahkota.
“Ampun, Baginda Raja! Hamba sudah mengerahkan seluruh kemampuan yang hamba miliki, namun penyakit Putra Mahkota belum bisa disembuhkan. Hamba tidak mengerti tentang penyakit yang diderita Putra Mahkota. Beliau selalu mengigau dalam ketidaksadarannya,” dukun itu bercerita di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan.
“Hai, Pak Dukun! Ceritakan apa isi igauan putraku!” seru sang Raja penasaran. “Antara sadar dan tidak, Putra Mahkota selalu tersenyum bagai orang yang sedang jatuh cinta. Sebuah nama selalu disebut-sebutnya,” jelas dukun itu lalu menunduk memberi hormat.
“Teruskan!” seru sang Raja tidak sabar. “Menurut pengetahuan hamba, Putra Mahkota sedang jatuh hati kepada seorang perawan desa. Namun, ilmu hamba belum mampu melacak keberadaan perawaan itu,” jelas dukun itu kepada sang Raja.
“Ah, mana mungkin? Di kota pusat kerajaan ini sangat banyak perawan cantik yang ingin menjadi istrinya,” bantah sang Raja.
“Hampir semua perawan keturunan bangsawan sudah diperkenalkan kepada Putra Mahkota, namun tak seorang pun yang sesuai dengan hati sang Pangeran,” ujar Mangkubumi menambah keterangan sang Raja.
“Mohon ampun, Baginda Raja! Hamba hanyalah seorang dukun yang hanya bisa meramalkan. Hamba mohon maaf bila ramalan hamba meleset dari perkiraan,” kata dukun itu merendah.
“Baiklah, Pak Dukun!” seru sang Raja. “Tadi kamu mengatakan bahwa dalam igauan putraku selalu menyebut-menyebut sebuah nama. Masih ingatkah kamu isi igauan putraku?” tanya sang Raja. “Sebutkan nama itu! Barangkali di antara yang hadir di sini ada yang pernah mendengar atau mengenal gadis itu,” tambah sang Raja.
“Seingat hamba, Putra Mahkota sering menyebut-nyebut nama Rangda,” jawab dukun itu. “Rangda... Rangda... Rangda,” sang Raja menyebut nama itu berulang-ulang. Lalu ia mengejanya dengan pelan, “R-a-n-g-d-a... yah, Rangda...”
“Wahai, para hadirin! Siapa di antara kalian yang pernah mendengar atau mengenal nama itu?” tanya sang Raja kepada seluruh peserta sidang yang hadir. Pertanyaan Raja itu membuat suasana persidangan menjadi hening. Para peserta sidang hanya saling berpandangan.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba Wakil Mangkubumi angkat bicara. “Ampun, Baginda! Setahu hamba, anak dara yang bernama Rangda adalah termasuk warga kerajaan ini. Rumah keluarganya terletak di ujung kampung di balik gunung, tidak mudah untuk sampai ke sana. Keelokan wajah gadis yang bernama Rangda itu tidak perlu disangsikan lagi. Ia juga memiliki banyak keterampilan,” jelas Wakil Mangkubumi.
“Hai, Wakil Mangkubumi! Dari mana kamu tahu semua hal itu?” tanya sang Raja penasaran. “Ampun, Baginda! Renda dan sulaman yang melekat pada jubah Tuanku saat ini adalah hasil keterampilan tangannya. Ke sanalah hamba memesan beberapa tahun lalu ketika hamba dipercaya mengurus pakaian kebesaran Tuanku. Perangkat pakaian permaisuri sebagian juga ditenun oleh gadis itu. Selimut yang saat ini dipakai oleh Putra Mahkota juga salah satu hasil pekerjaan tangannya,” jawab Wakil Mangkubumi dengan jelas.
“Lalu, siapa orang tuanya?” tanya lagi sang Raja. “Orang tua gadis itu hanyalah rakyat biasa yang tinggal di sebuah dusun. Namun, bila kerajaan ini mau membuka riwayat masa lampau, barangkali akan ditemukan kembali keluarga istana yang pernah hilang. Ayah Rangda adalah orang yang pertama kali diangkat oleh Baginda Raja terdahulu sebagai Imam Perang di kerajaan ini. Oleh karena jatuh cinta dengan seorang gadis desa, ia rela melepaskan jabatan tersebut,” jelas Wakil Mangkubumi.   
Mendengar penjelasan tersebut, sang Raja semakin penasaran ingin segera meminang gadis itu. “Pengawal, siapkan segala sesuatunya! Besok pagi aku dan Putra Mahkota akan langsung meminang gadis itu,” perintah sang Raja.
“Namun sebelumnya, aku minta Wakil Mangkubumi dan beberapa pengawal berangkat terlebih dahulu. Sampaikan berita peminangan ini kepada Rangda dan suruh ia agar terus merenda untuk baju pengantinnya,” tambah sang Raja. “Baik, Baginda! Permisi!” jawab Wakil Mangkubumi sambil berpamitan dengan memberi hormat kepada sang Raja.
Keesokan paginya, rombongan kerajaan tampak meninggalkan istana menuju kampung Rangda. Putra Mahkota yang mengetahui rencana peminangan tersebut, tampak pulih kesehatannya. Matanya terlihat bersinar. Tubuhnya kembali bugar. Ia sangat ceria dan bersemangat menempuh perjalanan itu walaupun sangat sulit dilalui.
Namun di tengah perjalanan, Putra Mahkota kembali jatuh sakit karena kelelahan. Sakitnya pun bertambah parah. Tampaknya nyawa Putra Mahkota tidak dapat ditolong lagi. Dalam perjalanan itu, akhirnya maut menjemputnya sebelum sampai ke tujuan.
Sementara itu, sejak mendengar kabar akan dipinang oleh Putra Mahkota, Rangda mulai sibuk merenda baju pengantin, menenun sarung, dan menyulam banyak pakaian yang akan dikenakannya kelak. Namun, setelah mendengar berita kematian Putra Mahkota, hati Rangda menjadi sangat sedih bukan kepalang.
Untuk menghibur hatinya yang sedih itu, Rangda terus merenda, menenun dan menyulam sambil menanti kekasih yang sangat ia dambakan sampai tubuhnya bungkuk. Berita kematian Putra Mahkota seakan tidak pernah didengarnya. Ia terus menanti, entah sampai kapan. Walaupun semua harapan itu tidak akan pernah datang, Rangda tetap setia menunggu kekasihnya datang.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral. Salah satu nilai moral yang terkandung di dalamnya adalah sifat tekun bekerja. Sifat ini tercermin pada sifat Rangda yang sangat rajin dan tekun menenun, menyulam dan merenda berbagai jenis pakaian. Sifat tekun bekerja ini adalah salah satu sifat terpuji yang patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi orang Melayu, rajin dan tekun bekerja dalam mencari nafkah sangat diutamakan dan menjadi tolok ukur untuk menilai kepribadian seseorang. Siapa yang mau bekerja keras, rajin, dan bersungguh hati dianggap sebagai teladan dan bertanggungjawab, serta dihormati oleh anggota masyarakat. Di dalam tunjuk ajar Melayu, keutamaan bekerja keras, tekun, dan tabah cukup banyak disebutkan. Tenas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” juga banyak menyebutkan mengenai hal tersebut, baik dalam bentuk ungkapan, maupun untaian syair dan pantun. Dalam bentuk ungkapan dikatakan:

apa tanda Melayu jati,
bekerja tekun sampai ke mati
apa tanda Melayu jati,
bekerja tidak membilang hari
apa tanda Melayu bertuah,
bekerja keras sampai ke tua

Dalam untaian syair dikatakan:
wahai ananda kekasih ibu,
bekerjalah engkau sepanjang waktu
bekerja keras janganlah malu
semoga Allah memberkahi hidupmu

Dalam untaian pantun dikatakan:
apa tanda parang berbaja
kalau diasah tajamnya nampak
apa kelebihan orang bekerja
ke tengah ke tepi tiada tercampak

Sabtu, 27 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Datung Ayuh Dan Bambang Siwara

Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang didiami oleh berbagai macam suku-bangsa. Salah satu di antaranya adalah suku Banjar. Suku Banjar ini terbagi atas tiga sub-suku yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala. Ada dua versi mengenai terbentuknya sub-suku tersebut yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat.
Pertama, menurut versi sejarah, terbentuknya sub-suku Banjar Pahuluan di Kalimantan Selatan berkaitan dengan dua kelompok masyarakat Melayu yang sama-sama berasal dari Sumatera dan sekitarnya. Kelompok masyarakat Melayu yang pertama-tama datang ke kawasan itu, yang biasa dikenal sebagai penduduk asli, yaitu suku Dayak Bukit. Sementara, kelompok masyarakat Melayu yang datang belakangan disebut-sebut sebagai cikal-bakal suku Banjar. Kedua kelompok masyarakat Melayu di atas mendiami lembah-lembah sungai yang sama di Pegunungan Meratus. Meskipun mereka hidup bertetangga, tetapi mereka tidak berbaur. Masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Jadi, daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini, nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan merupakan daerah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno. Daerah inilah yang dinamakan Pahuluan, sehingga masyarakat yang mendiami daerah ini disebut sebagai suku Banjar Pahuluan

Adapun suku bangsa Banjar Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan Banjar yang berpusat di tepi Sungai Tabalong. Daerah ini merupakan tempat tinggal suku bangsa Dayak Maanyan dan Lawangan, sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk sub-suku Batang Banyu. Sementara, suku bangsa Banjar Kuala terbentuk ketika pusat kerajaan Banjar dipindahkan ke Banjarmasin, dimana sebagian suku Banjar Batang Banyu ikut pindah ke pusat kekussaan yang baru tersebut. Di sana, mereka bertemu dengan suku Dayak Ngaju di sekitar kerotan. Kemudian mereka berbaur dan selanjutnya membentuk sub-suku Banjar yang dikenal dengan Banjar Kuala.
Kedua, menurut versi cerita rakyat, bahwa terbentuknya sub-suku Banjar Pahuluan dan Banjar Kuala dikaitkan dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kalimantan yang dikenal dengan Datung Ayuh dan Bambang Siwara. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang perbedaan pandangan antara dua orang bersaudara yang bernama Ayuh dan Bambang Siwara. Kedua orang bersaudara ini diturunkan oleh Ning Bahatara dari alam Patilarahan ke alam dunia. Konon, daerah Batu Bintihan yang terdapat di bagian sebelah Barat Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan diyakini sebagai tempat pendaratannya. Keyakinan ini diperkuat dengan sebuah batu sebesar truk gajah yang melintang di tengah Sungai Amandit yang di bagian atasnya terdapat puluhan pasang bekas telapak kaki yang masih tergurat.
Di dunia, kedua orang bersaudara tersebut menjalani hidup mereka sebagai manusia di hutan belantara Kalimantan. Sebagai bekal, keduanya diberi buku yang berisi sejumlah ilmu. Lalu buku tersebut mereka bagi menjadi dua bagian yang sama. Mereka pun menerimanya dengan senang hati. Namun, belum sempat mereka mempelajari buku itu, tiba-tiba tempat mereka dilanda banjir. Apa yang akan mereka lakukan terhadap buku tersebut? Selamatkah mereka dari ancaman banjir tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Ayuh dan Bambang Siwara berikut ini.

Alkisah, di daerah Batu Bintihan di bagian sebelah Barat Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, hiduplah dua orang bersaudara yang bernama Ayuh dan Bambang Siwara. Mereka berasal dari alam Patilarahan yang diutus oleh Ning Bahatara untuk menjalani hidup mereka sebagai manusia biasa di dunia. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari, mereka dibekali sebuah buku yang berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan. Sebagai tanda persaudaraan, keduanya sepakat untuk membagi buku petunjuk itu. Lalu buku itu mereka penggal menjadi dua bagian secara diagonal, sehingga buku itu disebut juga Buku Ba-rincung. Ayuh dan Bambang Siwara menerimanya dengan senang hati.
Namun, belum sempat mereka mempelajari isi buku itu, tiba-tiba tempat mereka dilanda banjir besar. Tanpa pikir panjang, Ayuh segera menelan buku itu. Ia sangat khawatir buku itu rusak terendam banjir. “Ah, buku ini sudah aman di dalam perutku,” kata Ayuh dalam hati dengan senangnya.
Lain halnya dengan Bambang Siwara. Ia segera membaca bagian isi buku yang diterimanya. Ia pun mendapat beberapa petunjuk dari hasil bacaannya. Salah satunya adalah apabila terjadi banjir besar, batang bambu dapat dijadikan sebagai rakit yang akan mengapungkannya sampai air surut. Petunjuk itulah yang digunakan oleh Bambang Siwara.
Semakin lama genangan air semakin tinggi. Bambang Siwara pun segera mengajak saudaranya untuk menebang beberapa pohon bambu untuk dibuat rakit. “Hai, Saudaraku! Ayo, bantu saya menebang bambu!” ajak Bambang Siwara. “Untuk apa?” tanya Ayuh dengan santainya. “Saya baru saja mendapat petunjuk dari buku itu. Jika kita ingin selamat dari banjir, sebaiknya kita membuat rakit dari bambu,” jelas Bambang Siwara.
Ayuh tidak menghiraukan ajakan saudaranya itu. Justru ia menjawab, “Sebentar lagi air akan surut. Jika pun air semakin bertambah, kita lari naik ke puncak bukit yang tertinggi. Di sana kita pasti aman.”
 “Daripada kita terus berlari ke sana ke mari menghindari genangan air, lebih baik kita segera membuat alat pengapung. Justru kita jauh lebih aman sambil menunggu air surut kembali,” Bambang Siwara kembali memberikan saran kepada saudaranya. Namun, saran itu tidak ditanggapi oleh Ayuh.
Melihat tidak ada tanggapan, Bambang Siwara segera menebang rumpun bambu yang banyak terdapat di sekitarnya. Batang demi batang ia satukan, lalu diikatnya dengan bilah-bilah rotan. Akhirnya jadilah sebuah rakit bambu yang juga disebut sebagai lanting. Tak lupa pula, Bambang Siwara mengisi rakit bambunya dengan berbagai macam bekal.
Arus air kian bertambah deras. Rakit bambu buatan Bambang Siwara mulai dihanyutkan oleh arus tersebut. Sementara Ayuh yang sejak tadi hanya tidur menunggu genangan air surut, tidak menyangka jika justru genangan air bertambah tinggi. Maka dengan sekuat tenaga Ayuh berenang mengejar Bambang Siwara yang sudah berada di atas rakitnya. “Tolooong... tolooong... tolong aku saudaraku...!” teriak Ayuh meminta tolong.
Bambang Siwara berusaha untuk menolong saudaranya. Ia melemparkan sebilah rotan ke arah Ayuh, namun Ayuh tidak berhasil menangkap ujung bilah rotan itu. Sementara rakit Bambang Siwara kian hanyut terbawa arus air, sehingga kedua bersaudara itu semakin berjauhan. Akhirnya mereka pun perpisah dan tidak pernah bertemu lagi.
* * *
Setelah peristiwa di atas, Ayuh diberitakan menjadi penghuni bukit-bukit di kiri kanan jajaran Pegunungan Meratus. Ia kemudian dikenal sebagai “Datung Ayuh”. Ia berkelana di hutan belantara. Wujudnya jarang terlihat karena banyak terlindung semak dan belukar. Oleh karena itu, masyarakat di sekitarnya memberinya gelar “Datung Payumbun” yang berarti tokoh yang tersembunyi. Walaupun demikian, kadang-kadang suaranya terdengar sangat nyaring dan lantang. Suara itu kadang-kadang muncul di tengah ladang ketika ia mengusir burung pipit dan burung lainnya. Kadang-kadang juga suaranya terdengar lewat celah gunung ketika ia sedang bersuka ria. Menurut cerita, seluruh generasinya kemudian disebut “Urang Bukit” karena mereka menghuni daerah perbukitan. Turunan Ayuh kemudian dikenal sebagai “Urang Pahuluan” karena mereka tinggal di daerah hulu sungai yang ada di Kalimantan. Mata pencaharian pokok mereka adalah bertani dengan sistem berhuma ladang dan sebagian bersawah tadah hujan.
Sementara itu, Bambang Siwara hanyut bersama arus munuju arah selatan Kalimantan yang kemudian melahirkan generasi “Urang Banjar Kuala.” Mata pencaharian pokok mereka sebagian besar berdagang. Mata pencaharian ini merupakan warisan Bambang Siwara. Ilmu tentang berdagang tersebut ia peroleh dari Buku Ba-rincung yang pernah dibacanya. Oleh karena itu, generasi Bambang Siwara oleh Urang Pahuluan disebut “Dagang”, sedangkan Urang Pahuluan sendiri disebut “Dangsanak” oleh generasi Bambang Siwara. Hal ini mengingatkan bahwa kedua rumpun tersebut semula berasal dari dua badangsanak.
Adapun nilai moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah pentingnya menuntut ilmu. Hal ini tercermin pada sikap Bambang Siwara ketika ia dan saudaranya, Ayuh, dilanda banjir, ia segera membaca buku yang menjadi bagiannya untuk mencari petunjuk atau ilmu. Lain halnya Ayuh yang langsung menelan buku yang menjadi bagiannya, sehingga ia tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan memiliki keutamaan bagi kehidupan manusia
Orang Melayu juga menyadari sepenuhnya tentang keutamaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Itulah sebabnya mengapa banyak ungkapan yang mencerminkan keutamaan ilmu dan keburukan orang tidak berilmu. Dalam ungkapan adat dikatakan: “sebaik-baik manusia banyak ilmunya, seburuk-buruk manusia yang buta keta,” atau dalam ungkapan lain juga dikatakan, “mulia insan karena pengetahuan, hina orang ilmunya kurang.” Selain itu, Tenas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu,” juga banyak menyebutkan tentang keutamaan ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk ungkapan maupun dalam untaian syair dan pantun. Dalam bentuk ungkapan dikatakan:
apa tanda Melayu jati,
mau berguru duduk berdiri
apa tanda Melayu berakal,
ilmu dituntut menjadi bekal
apa tanda Melayu beriman,
mencari ilmu untuk pedoman

Dalam untaian syair dikatakan:
wahai ananda cahaya mata,
ilmu dituntut menjadi pelita
supaya menjauh gelap gulita
semoga kelak hidupmu bahagia
wahai ananda tambatan jiwa,
carilah ilmu yang bermakna
amalkan olehmu sehabis daya
supaya hidupmu tak teraniaya

Dalam untaian pantun disebutkan:

bertuah parang karena hulunya
bulu dikepal elok terasa
bertuah orang karena ilmunya
ilmu diamalkan hidup sentosa