Kalimantan Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang didiami oleh berbagai macam suku-bangsa. Salah satu di antaranya adalah suku Banjar. Suku Banjar ini terbagi atas tiga sub-suku yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala. Ada dua versi mengenai terbentuknya sub-suku tersebut yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat.
Pertama, menurut versi sejarah, terbentuknya sub-suku Banjar Pahuluan di Kalimantan Selatan berkaitan dengan dua kelompok masyarakat Melayu yang sama-sama berasal dari Sumatera dan sekitarnya. Kelompok masyarakat Melayu yang pertama-tama datang ke kawasan itu, yang biasa dikenal sebagai penduduk asli, yaitu suku Dayak Bukit. Sementara, kelompok masyarakat Melayu yang datang belakangan disebut-sebut sebagai cikal-bakal suku Banjar. Kedua kelompok masyarakat Melayu di atas mendiami lembah-lembah sungai yang sama di Pegunungan Meratus. Meskipun mereka hidup bertetangga, tetapi mereka tidak berbaur. Masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Jadi, daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini, nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan merupakan daerah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno. Daerah inilah yang dinamakan Pahuluan, sehingga masyarakat yang mendiami daerah ini disebut sebagai suku Banjar Pahuluan.
Adapun suku bangsa Banjar Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan Banjar yang berpusat di tepi Sungai Tabalong. Daerah ini merupakan tempat tinggal suku bangsa Dayak Maanyan dan Lawangan, sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk sub-suku Batang Banyu. Sementara, suku bangsa Banjar Kuala terbentuk ketika pusat kerajaan Banjar dipindahkan ke Banjarmasin, dimana sebagian suku Banjar Batang Banyu ikut pindah ke pusat kekussaan yang baru tersebut. Di sana, mereka bertemu dengan suku Dayak Ngaju di sekitar kerotan. Kemudian mereka berbaur dan selanjutnya membentuk sub-suku Banjar yang dikenal dengan Banjar Kuala.
Kedua, menurut versi cerita rakyat, bahwa terbentuknya sub-suku Banjar Pahuluan dan Banjar Kuala dikaitkan dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kalimantan yang dikenal dengan Datung Ayuh dan Bambang Siwara. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang perbedaan pandangan antara dua orang bersaudara yang bernama Ayuh dan Bambang Siwara. Kedua orang bersaudara ini diturunkan oleh Ning Bahatara dari alam Patilarahan ke alam dunia. Konon, daerah Batu Bintihan yang terdapat di bagian sebelah Barat Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan diyakini sebagai tempat pendaratannya. Keyakinan ini diperkuat dengan sebuah batu sebesar truk gajah yang melintang di tengah Sungai Amandit yang di bagian atasnya terdapat puluhan pasang bekas telapak kaki yang masih tergurat.
Di dunia, kedua orang bersaudara tersebut menjalani hidup mereka sebagai manusia di hutan belantara Kalimantan. Sebagai bekal, keduanya diberi buku yang berisi sejumlah ilmu. Lalu buku tersebut mereka bagi menjadi dua bagian yang sama. Mereka pun menerimanya dengan senang hati. Namun, belum sempat mereka mempelajari buku itu, tiba-tiba tempat mereka dilanda banjir. Apa yang akan mereka lakukan terhadap buku tersebut? Selamatkah mereka dari ancaman banjir tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Ayuh dan Bambang Siwara berikut ini.
Alkisah, di daerah Batu Bintihan di bagian sebelah Barat Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, hiduplah dua orang bersaudara yang bernama Ayuh dan Bambang Siwara. Mereka berasal dari alam Patilarahan yang diutus oleh Ning Bahatara untuk menjalani hidup mereka sebagai manusia biasa di dunia. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari, mereka dibekali sebuah buku yang berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan. Sebagai tanda persaudaraan, keduanya sepakat untuk membagi buku petunjuk itu. Lalu buku itu mereka penggal menjadi dua bagian secara diagonal, sehingga buku itu disebut juga Buku Ba-rincung. Ayuh dan Bambang Siwara menerimanya dengan senang hati.
Namun, belum sempat mereka mempelajari isi buku itu, tiba-tiba tempat mereka dilanda banjir besar. Tanpa pikir panjang, Ayuh segera menelan buku itu. Ia sangat khawatir buku itu rusak terendam banjir. “Ah, buku ini sudah aman di dalam perutku,” kata Ayuh dalam hati dengan senangnya.
Lain halnya dengan Bambang Siwara. Ia segera membaca bagian isi buku yang diterimanya. Ia pun mendapat beberapa petunjuk dari hasil bacaannya. Salah satunya adalah apabila terjadi banjir besar, batang bambu dapat dijadikan sebagai rakit yang akan mengapungkannya sampai air surut. Petunjuk itulah yang digunakan oleh Bambang Siwara.
Semakin lama genangan air semakin tinggi. Bambang Siwara pun segera mengajak saudaranya untuk menebang beberapa pohon bambu untuk dibuat rakit. “Hai, Saudaraku! Ayo, bantu saya menebang bambu!” ajak Bambang Siwara. “Untuk apa?” tanya Ayuh dengan santainya. “Saya baru saja mendapat petunjuk dari buku itu. Jika kita ingin selamat dari banjir, sebaiknya kita membuat rakit dari bambu,” jelas Bambang Siwara.
Ayuh tidak menghiraukan ajakan saudaranya itu. Justru ia menjawab, “Sebentar lagi air akan surut. Jika pun air semakin bertambah, kita lari naik ke puncak bukit yang tertinggi. Di sana kita pasti aman.”
“Daripada kita terus berlari ke sana ke mari menghindari genangan air, lebih baik kita segera membuat alat pengapung. Justru kita jauh lebih aman sambil menunggu air surut kembali,” Bambang Siwara kembali memberikan saran kepada saudaranya. Namun, saran itu tidak ditanggapi oleh Ayuh.
Melihat tidak ada tanggapan, Bambang Siwara segera menebang rumpun bambu yang banyak terdapat di sekitarnya. Batang demi batang ia satukan, lalu diikatnya dengan bilah-bilah rotan. Akhirnya jadilah sebuah rakit bambu yang juga disebut sebagai lanting. Tak lupa pula, Bambang Siwara mengisi rakit bambunya dengan berbagai macam bekal.
Arus air kian bertambah deras. Rakit bambu buatan Bambang Siwara mulai dihanyutkan oleh arus tersebut. Sementara Ayuh yang sejak tadi hanya tidur menunggu genangan air surut, tidak menyangka jika justru genangan air bertambah tinggi. Maka dengan sekuat tenaga Ayuh berenang mengejar Bambang Siwara yang sudah berada di atas rakitnya. “Tolooong... tolooong... tolong aku saudaraku...!” teriak Ayuh meminta tolong.
Bambang Siwara berusaha untuk menolong saudaranya. Ia melemparkan sebilah rotan ke arah Ayuh, namun Ayuh tidak berhasil menangkap ujung bilah rotan itu. Sementara rakit Bambang Siwara kian hanyut terbawa arus air, sehingga kedua bersaudara itu semakin berjauhan. Akhirnya mereka pun perpisah dan tidak pernah bertemu lagi.
* * *
Setelah peristiwa di atas, Ayuh diberitakan menjadi penghuni bukit-bukit di kiri kanan jajaran Pegunungan Meratus. Ia kemudian dikenal sebagai “Datung Ayuh”. Ia berkelana di hutan belantara. Wujudnya jarang terlihat karena banyak terlindung semak dan belukar. Oleh karena itu, masyarakat di sekitarnya memberinya gelar “Datung Payumbun” yang berarti tokoh yang tersembunyi. Walaupun demikian, kadang-kadang suaranya terdengar sangat nyaring dan lantang. Suara itu kadang-kadang muncul di tengah ladang ketika ia mengusir burung pipit dan burung lainnya. Kadang-kadang juga suaranya terdengar lewat celah gunung ketika ia sedang bersuka ria. Menurut cerita, seluruh generasinya kemudian disebut “Urang Bukit” karena mereka menghuni daerah perbukitan. Turunan Ayuh kemudian dikenal sebagai “Urang Pahuluan” karena mereka tinggal di daerah hulu sungai yang ada di Kalimantan. Mata pencaharian pokok mereka adalah bertani dengan sistem berhuma ladang dan sebagian bersawah tadah hujan.
Sementara itu, Bambang Siwara hanyut bersama arus munuju arah selatan Kalimantan yang kemudian melahirkan generasi “Urang Banjar Kuala.” Mata pencaharian pokok mereka sebagian besar berdagang. Mata pencaharian ini merupakan warisan Bambang Siwara. Ilmu tentang berdagang tersebut ia peroleh dari Buku Ba-rincung yang pernah dibacanya. Oleh karena itu, generasi Bambang Siwara oleh Urang Pahuluan disebut “Dagang”, sedangkan Urang Pahuluan sendiri disebut “Dangsanak” oleh generasi Bambang Siwara. Hal ini mengingatkan bahwa kedua rumpun tersebut semula berasal dari dua badangsanak.
Adapun nilai moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah pentingnya menuntut ilmu. Hal ini tercermin pada sikap Bambang Siwara ketika ia dan saudaranya, Ayuh, dilanda banjir, ia segera membaca buku yang menjadi bagiannya untuk mencari petunjuk atau ilmu. Lain halnya Ayuh yang langsung menelan buku yang menjadi bagiannya, sehingga ia tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan memiliki keutamaan bagi kehidupan manusia
Orang Melayu juga menyadari sepenuhnya tentang keutamaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Itulah sebabnya mengapa banyak ungkapan yang mencerminkan keutamaan ilmu dan keburukan orang tidak berilmu. Dalam ungkapan adat dikatakan: “sebaik-baik manusia banyak ilmunya, seburuk-buruk manusia yang buta keta,” atau dalam ungkapan lain juga dikatakan, “mulia insan karena pengetahuan, hina orang ilmunya kurang.” Selain itu, Tenas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu,” juga banyak menyebutkan tentang keutamaan ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk ungkapan maupun dalam untaian syair dan pantun. Dalam bentuk ungkapan dikatakan:
apa tanda Melayu jati,
mau berguru duduk berdiri
mau berguru duduk berdiri
apa tanda Melayu berakal,
ilmu dituntut menjadi bekal
ilmu dituntut menjadi bekal
apa tanda Melayu beriman,
mencari ilmu untuk pedoman
mencari ilmu untuk pedoman
Dalam untaian syair dikatakan:
wahai ananda cahaya mata,
ilmu dituntut menjadi pelita
supaya menjauh gelap gulita
semoga kelak hidupmu bahagia
ilmu dituntut menjadi pelita
supaya menjauh gelap gulita
semoga kelak hidupmu bahagia
wahai ananda tambatan jiwa,
carilah ilmu yang bermakna
amalkan olehmu sehabis daya
supaya hidupmu tak teraniaya
carilah ilmu yang bermakna
amalkan olehmu sehabis daya
supaya hidupmu tak teraniaya
Dalam untaian pantun disebutkan:
bertuah parang karena hulunya
bulu dikepal elok terasa
bertuah orang karena ilmunya
ilmu diamalkan hidup sentosa
bulu dikepal elok terasa
bertuah orang karena ilmunya
ilmu diamalkan hidup sentosa
EmoticonEmoticon