Tampilkan postingan dengan label Kalimantan Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kalimantan Barat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putri Anam Dan Putri Bussu

Putri Anam dan Putri Bussu adalah dua orang gadis kakak beradik yang tinggal di sebuah daerah di Kalimantan Barat. Suatu hari, Putri Bussu memperoleh labu berisi emas dari seorang tetangganya. Mengetahui hal itu, Putri Anam juga ingin untuk mendapatkan labu emas seperti adiknya itu. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Simak cerita selengkapnya dalam cerita Putri Anam dan Putri Bussu berikut ini.


Alkisah, di suatu tempat di Kalimantan Barat, hiduplah dua gadis kakak beradik. Si sulung bernama Putri Anam, sedangkan adiknya bernama Putri Bussu. Keduanya mempunyai sifat yang berbeda. Putri Anam gadis pemalas, serakah, dan tidak sabar, sedangkan Putri Bussu adalah gadis yang rajin, sabar, cerdik, dan luhur budi pekertinya.
Suatu siang yang terik, Putri Bussu sedang duduk di teras rumah sambil mengipas-ngipas wajahnya karena kepanasan. Tanpa diduga, tiba-tiba kipasnya diterbangkan angin hingga tersangkut di atas pohon jeruk di halaman rumah Pak Rusa’, tetangganya. Maka, cepat-cepatlah ia mengejar kipas itu. Rupanya, kipas itu tersangkut di dahan pohon jeruk yang paling tinggi. Karena ia tidak kuat memanjat, ia pun bermaksud untuk meminta bantuan kepada Pak Rusa’.
“Permisi…! Permisi… Pak Rusa!“ teriak Putri Bussu di depan pintu rumah Pak Rusa’.
Tak berapa kemudian, Pak Rusa’ pun keluar dari dalam rumahnya.
“Ada apa, Putri Bussu? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Rusa’ yang baik hati itu.
“Iya, Pak Rusa’. Kipasku tersangkut di atas pohon jeruk itu,” kata Putri Bussu sambil menunjuk ke arah kipasnya, “Bolehkah saya minta tolong diambilkan kipas itu?”
“Tentu, Putri Bussu. Tapi, tolong buatkan aku semangkuk bubur,” pinta Pak Rusa’.
“Baiklah,” jawab Putri Bussu seraya masuk ke dalam rumah Pak Rusa’.
Sementara Putri Bussu membuat bubur, Pak Bissu memanjat pohon jeruk. Lelaki paruh baya itu tidak kesulitan mengambil kipas milik Putri Bussu. Setelah turun dari pohon jeruk, ia segera masuk ke dalam rumahnya dan menyerahkan kipas itu kepada pemiliknya.
“Terima kasih, Pak Rusa’,” ucap Putri Bussu setelah mendapatkan kembali kipasnya.
Sambil menunggu bubur itu matang, Pak Rusa’ duduk-duduk di serambi rumahnya. Tidak lama kemudian, Putri Bussu pun keluar membawakannya semangkuk bubur.
“Ini buburnya, Pak. Silakan dicicipi,” ujar Putri Bussu.
“Terima kasih, Tuan Putri,” ucap Pak Rusa’.
Pak Rusa’ tidak langsung menyantap bubur itu karena masih panas. Ia lebih suka menyantap bubur yang sudah dingin. Namun, hingga hari menjelang sore, bubur itu belum juga dimakan. Putri Bussu pun tidak akan kembali ke rumahnya sebelum Pak Rusa’ menyantap bubur buatannya. Sambil menunggu dengan sabar, ia pun berbincang-bincang dengan tetangganya itu. Dalam perbincangan itu, Pak Rusa’ mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada sang Putri.
“Apa yang berbunyi riuh rendah itu, Tuan Putri?” tanya Pak Rusa’.
“Itu orang sedang menumbuk emping,” jawab Putri Bussu.
“Apa yang dikipas-kipas, Tuan Putri?” tanyanya lagi.
“Orang sedang menyapu lantai di siang hari,” jawab sang Putri.
“Apa yang terang benderang, Tuan Putri?” Pak Rusa’ kembali bertanya.
“Bintang timur merupakan tanda hari akan siang,” jawab Putri Bussu.
“Apa yang bergoyang-goyang, Tuan Putri?” tanya Pak Rusa’.
“Daun simpur ditiup angin,” jawab sang Putri.
“Apa yang bergerak-gerak, Tuan Putri?” tanyanya lagi.
“Kayu besar hanyut dari hulu,” jawab Putri Bussu.
“Buburnya sudah matang belum, Tuan Putri?” tanya Pak Rusa’.
“Sudah sejak tadi, Pak Rusa’. Bahkan, buburnya sudah dingin,” jawab Putri Bussu.
Rupanya, Pak Rusa’ lupa pada buburnya karena keasyikan mengobrol dengan Putri Bussu. Karena bubur itu sudah dingin, ia pun segera menyantapnya hingga habis.
“Terima kasih, Tuan Putri. Masakan buburmu enak sekali,” ucap Pak Rusa’, “Jika Tuan Putri ingin pulang, ambillah sebutir buah labu di dapur.”
“Terima kasih, Pak Rusa’,” jawab Putri Bussu seraya masuk ke ruang dapur Pak Rusa’.
Rupanya, di bawah dapur Pak Rusa’ terdapat banyak labu dengan ukuran yang berbeda-beda. Karena tidak mau serakah, ia pun mengambil labu yang ukurannya paling kecil. Setelah itu, ia pun berpamitan. Sebelum ia pergi, Pak Rusa’ berpesan kepadanya.
“Setelah Tuan Putri sampai di rumah, tutup dulu pintu dan jendela rumah Tuan Putri, lalu masuklah ke dalam kelambu. Setelah itu, baru Tuan Putri membelah labu itu,” pesan Pak Rusa’.
Sesampainya di rumahnya, Putri Bussu menuruti nasehat Pak Rusa’. Alangkah terkejutnya ia setelah membelah labu itu. Ternyata, labu itu berisi emas.
“Oh, Pak Rusa’, terima kasih atas kebaikanmu,” gumam Putri Bussu dengan perasaan gembira.
Sementara itu, Putri Anam yang curiga melihat adiknya masuk ke dalam kelambu di siang bolong segera menghampirinya.
“Hai, Bussu, apa yang kamu lakukan di dalam kelambu?” tanya Putri Anam.
Putri Bussu pun menceritakan perihal labu emas yang diperolehnya dari Pak Rusa’. Mengetahui hal itu, Putri Anam pun berkeinginan untuk memiliki labu seperti milik adiknya.
“Bagaimana caranya kamu mendapatkan labu emas itu dari Pak Rusa?” tanya Putri Anam.
Putri Bussu menjawab jujur dengan menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga mendapatkan labu emas itu. Setelah mendengar cerita itu, sang Kakak segera melakukan hal yang sama seperti adiknya. Ia sengaja menerbangkan kipas ke rumah Pak Rusa’. Setelah ia ke rumah Pak Rusa’, lelaki paruh baya itu pun menyuruhnya untuk membuat bubur. Putri Anam segera melaksanakan permintaan itu.
Setelah matang, Putri Anam segera menyajikan bubur itu kepada Pak Rusa’. Seperti biasa, Pak Rusa’ itu tidak suka menyantap bubur panas. Maka, ia pun menunggu bubur itu dingin dulu. Namun, karena tidak sabar ingin segera mendapatkan labu emas itu, Putri Anam berbohong kepada Pak Rusa’.
“Silakan dimakan, Pak Rusa’. Buburnya sudah dingin,” kata Putri Anam.
Pak Rusa’ pun segera menyantap bubur itu. Pada saat ia memakannya, ternyata bubur itu masih panas. Tak ayal, mulut Pak Rusa’ pun terasa terbakar. Bubur yang ada di mulutnya segera dimuntahkan.
“Bubur ini masih panas sekali, Tuan Putri,” tukas Pak Rusa’ dengan kesal.
Meskipun Putri Anam berbohong, Pak Rusa’ tetap akan memberikan labu emas kepadanya. Maka, Pak Rusa’ pun mempersilahkan Putri Anam untuk memilih salah satu labu yang ada di bawah dapurnya.
“Nanti jika Tuan Putri ingin pulang, ambillah salah satu labu di bawah dapur,” ujar Pak Rusa’.
“Baik, Pak Rusa’,” jawab Putri Anam seraya masuk ke ruang dapur Pak Rusa’.
Ketika sampai di ruang dapur itu, dilihatnya banyak labu. Karena keserakahannya, ia pun memilih labu yang paling besar dan berat.
“Sebaiknya saya pilih labu yang besar ini saja. Pasti emasnya juga banyak,” gumam Putri Anam.
Setelah mengambil labu yang paling besar itu, Putri Anam pun berpamitan. Pak Rusa’ tak lupa berpesan kepadanya seperti pesannya kepada Putri Bussu. Setiba di rumahnya, ia pun segera menutup pintu dan jendela rumah serta kelambunya, lalu membelah labu itu. Alangkah terkejutnya ia setelah labu itu terbelah. Labu itu ternyata bukan berisi emas, melainkan puluhan binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lipan. Tak ayal, putri yang serakah itu pun menjerit-jerit ketakutan. Ketika ia hendak melarikan diri, puluhan binatang buas tersebut telah menggigitnya. Ia pun mengerang-ngerang kesakitan.
* * *
Demikian cerita Putri Anam dan Putri Bussu dari Kalimantan Barat. Pesan moral yang dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka berbohong, serakah, dan tidak memiliki sifat sabar akan menanggung akibatnya seperti halnya Putri Anam. Sebaliknya, orang yang baik hati, jujur, dan tidak serakah seperti Putri Bussu akan mendapatkan ganjaran berupa anugerah yang melimpah.

Jumat, 02 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Sungai Landak

Sungai Landak membentang di wilayah Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Dahulu, sebelum menjadi sungai, daerah ini masih berupa tanah lapang. Namun, karena suatu peristiwa, tanah lapang tersebut kemudian menjelma menjadi sungai. Peristiwa apakah itu? Lalu, mengapa dinamakan Sungai Landak? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Legenda Sungai Landak berikut ini.


Dahulu, di sebuah desa yang terletak di pinggir hutan di pedalaman Kalimantan Barat, hiduplah sepasang suami istri. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehari-hari sang Suami bercocok tanam dengan menanam palawija di ladang. Meskipun hidupnya serba pas-pasan, pasangan suami istri tersebut selalu ingin membantu orang lain yang sedang mengalami kesusahan.
Suatu malam, ketika sang Istri sudah tidur dengan nyenyaknya, sang Suami masih terlihat gelisah. Sesekali ia miring ke kanan, sesaat kemudian miring lagi ke kiri. Malam semakin larut, namun lelaki itu tetap tidak bisa memejamkan mata. Ia pun bangkit dari tidurnya lalu duduk di samping istrinya.
“Huh, kenapa mataku sulit sekali kupejamkan?” keluh petani itu.
Sesekali petani itu memandangi istrinya yang sudah terlelap. Suatu ketika, saat menoleh ke arah istrinya, ia dikejutkan oleh sebuah peristiwa aneh pada istrinya. Kepala sang Istri mengeluarkan asap. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seekor kelabang (lipan) yang memancarkan sinar berwarna putih keluar dari kepala istrinya. Kelabang itu kemudian merayap keluar dari rumahnya dan menuruni tangga.
“Hai, mau ke mana kelabang itu?” gumamnya seraya mengikuti hewan berkaki seribu itu.
Cahaya bulan purnama yang menerangi sekitar rumahnya memudahkan sang Suami mengikuti kelabang itu. Tak berapa lama kemudian, kelabang itu sampai pada sebuah ceruk (lubang) yang digenangi air, tidak jauh dari rumahnya. Si petani menunggu beberapa saat, namun kelabang itu tidak keluar lagi.
“Ah, dasar kelabang aneh,” gumamnya seraya kembali masuk ke dalam rumahnya.
Petani itu kembali merebahkan tubuhnya di samping sang Istri dan mencoba untuk memejamkan mata. Namun, hingga pagi hari, ia tetap tidak bisa tidur. Pada esok harinya, ia pun menceritakan peristiwa aneh yang dilihatnya semalam kepada sang Istri.
“Dinda, apakah kamu merasakan kelabang itu keluar dari kepalamu?” tanya sang Suami.
“Tidak, Kanda. Tapi, semalam Dinda mimpi aneh,” jawab sang Istri.
“Mimpi aneh apakah itu, Dinda?” tanya sang Suami penasaran.
Sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya bahwa ia berjalan amat jauh melewati padang tandus hingga sampai ke sebuah pinggir danau yang amat luas. Di tengah danau, terlihat seekor landak yang sangat besar. Bulunya bewarna kuning keemasan dan matanya tajam menyala. Belum lagi istrinya selesai bercerita, sang Suami menyelanya.
“Lalu, apa yang dinda lakukan?” tanya sang Suami.
“Dinda sangat ketakutan, Kanda. Landak raksasa itu hendak menerkam Dinda. Jadi, Dinda pun lari meninggalkan danau itu,” cerita sang Istri.
Mendengar cerita tersebut, si Petani termenung sejenak dan kemudian berkata kepada istrinya.
“Hmmm... jangan-jangan mimpi Dinda ada hubungannya dengan kelabang yang keluar dari kepala Dinda tadi malam?” pikirnya.
Akhirnya, petani itu mengajak istrinya menuju ceruk tempat kelabang itu menghilang. Ia bermaksud menangkap kelabang itu.
“Hati-hati, Kanda!” seru sang Istri, “Jangan sampai tersengat oleh kelabang itu. Racunnya sangat berbahaya.”
“Baik, Dinda,” jawab sang Suami.
Sang Suami kemudian memasukkan tangannya ke dalam ceruk itu. Beberapa saat kemudian, tangannya terasa menyentuh sebuah benda keras dan ujungnya runcing. Dengan hati-hati, ia mencoba memegang dan kemudian mengambil benda itu. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat benda itu yang ternyata sebuah patung landak emas. Bentuknya sangat indah dan matanya terbuat dari berlian.
“Lihat, Istriku! Patung landak emas ini sungguh luar biasa,” kata sang Suami dengan kagum.
“Sebaiknya patung itu kita bawa ke rumah, Kanda,” ujar istrinya.
Suami dan istri itu pun membawa patung landak emas itu ke rumah mereka. Kemudian mereka menyimpannya dengan baik di suatu tempat yang aman.
“Wah, jika patung itu kita jual, maka kita akan kaya, Kanda,” kata sang Istri.
“Benar, Dinda. Tapi, kita jangan tergesa-gesa menjualnya. Biarlah kita simpan dulu. Siapa tahu kita mendapat petunjuk mengenai patung landak emas itu,” ujar sang Suami.
Benar perkiraan sang Suami. Pada malam harinya, ia mendapat petunjuk melalui mimpi. Dalam mimpi itu, ia didatangi seekor landak besar.
“Tuan, izinkanlah hamba tinggal di rumah kalian. Sebagai imbalannya, hamba akan memberikan semua yang Tuan inginkan,” pinta landak raksasa itu kepada si Petani, “Patung itu cukup diusap kepalanya lalu mengucapkan mantra.”
Landak besar itu kemudian mengajarkan dua jenis mantra. Mantra pertama dibaca saat akan mulai meminta sesuatu, sedangkan mantra kedua dibaca untuk menghentikan apa telah diminta tersebut. Si petani pun dengan cepat menghafal kedua mantra tersebut.
Keesokan harinya, petani itu bercerita kepada istrinya perihal mimpinya semalam. Mendengar cerita itu, sang Istri tidak sabar lagi ingin membuktikannya.
“Wah, kalau begitu. Bagaimana kalau perkataan landak besar itu kita buktikan sekarang?” desak sang Istri, “Kanda masih hafal kan kedua mantra itu?”
“Iya, Dinda. Kanda telah menghafalnya dengan baik,” jawab sang Suami.
Sang Suami segera mengusap kepala patung landak emas itu lalu membaca mantra pertama. Setelah itu, ia pun menyampaikan keinginannya.
“Wahai, patung landak! Berikanlah kami beras yang melimpah!” pinta si Petani.
Seketika, butiran-butiran beras pun berhamburan keluar dari mulut patung landak emas itu. Setelah mendapatkan beras yang cukup, si Petani pun segera membaca mantra kedua untuk menghentikannya. Beras itu pun berhenti keluar dari mulut patung landak itu. Setelah itu, si Petani dan istrinya mengajukan permintaan lain seperti perhiasan dan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Maka, dalam waktu singkat, mereka pun menjadi kaya raya. Keinginannya untuk membantu orang yang susah pun terkabulkan. Sebagian hartanya ia bagi-bagikan kepada mereka.
Rupanya, di antara warga kampung itu, ada seorang perampok yang merasa iri. Ia pun segera menyelidiki asal muasal harta kekayaan suami istri itu. Setelah terus-menerus mengamati dan mengintai, akhirnya perampok itu mengetahui rahasia kekayaan mereka.
“Ooohhh... ternyata patung landak sakti itu yang membuat mereka cepat kaya,” gumam si perampok.
Perampok itu pun segera menyusun siasat untuk bisa mendapatkan patung landak emas itu. Ia segera membuat patung landak yang bentuknya mirip patung landak yang sakti itu. Ketika sepasang suami istri itu pergi ke ladang, ia pun menyelinap masuk ke dalam rumah mereka lalu menukar patung landak emas itu dengan patung landak buatannya. Setelah berhasil mendapatkan patung landak emas itu, ia segera meninggalkan kampung itu dan pindah ke sebuah daerah bernama Ngabang (kini menjadi Kecamatan Ngabang).
Saat itu, Ngabang sedang dilanda kekeringan. Warga sangat kesulitan mendapatkan air. Jangankan untuk mandi, air untuk dipakai memasak pun sangat sulit mereka peroleh. Melihat keadaan itu, timbullah niat si perampok untuk menjadi pemimpin di daerah itu. Ia pun segera mengumpulkan seluruh warga untuk menarik simpati mereka.
“Wahai, seluruh penduduk Ngabang! Aku akan membantu kalian dari kesulitan yang kalian hadapi. Aku akan menyediakan air yang kalian butuhkan,” ujar si Perampok di hadapan seluruh warga Ngabang.
Para penduduk pun amat senang menyambut kabar gembira tersebut. Si Perampok kemudian mengusap kepala patung landak emas itu lalu membaca mantra pertama. Seketika, air pun memancar keluar dari mulut patung landak emas itu dengan deras. Semua warga bersorak-sorai gembira dan berlomba-lomba menadahi air itu dengan tempayan.
“Horeee... horeee... kita dapat air!” terdengar teriakan gembira seluruh warga.
Semakin lama, semburan air itu semakin deras hingga menggenangi daerah tersebut. Para warga yang mulai cemas segera meminta kepada si Perampok agar menghentikannya.
“Cukup... cukup...! Cepat hentikan...!” teriak para warga. 
Si perampok berusaha menutup mulut patung landak itu dengan telapak tangannya. Namun, ia tak kuasa membendung derasnya semburan air. Rupanya ia tidak mengetahui mantra kedua karena ia hanya menyaksikan petani itu membaca mantra yang pertama.
Semakin lama, semburan air yang keluar dari mulut patung landak itu semakin deras. Sebagian wilayah Ngabang pun mulai tergenang banjir. Para warga yang ketakutan melihat kejadian itu berlarian meninggalkan daerah tersebut untuk menghindari banjir yang semakin besar. Si Perampok juga ingin melarikan diri, namun ia tidak dapat menggerakkan kaki dan tangannya. Dalam penglihatannya, ada seekor landak raksasa yang memegang kedua kakinya, sedangkan tangannya terasa lengket pada patung landak emas tersebut.
Daerah Ngabang pun terendam banjir besar hingga menenggelamkan si perampok bersama patung landak emas. Sementara itu, patung landak itu terus-menerus menyemburkan air. Daerah itu tidak dapat lagi menampung genangan air yang semakin banyak sehingga air pun mengalir hingga membentuk sungai kecil dan kemudian menjadi sungai besar.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat setempat menyebut sungai itu dengan nama Sungai Landak karena airnya bersumber dari mulut patung landak emas itu. Hingga kini, Sungai Landak masih dapat kita jumpai di Kecamatan Ngabang yang merupakan ibukota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Aliran Sungai Landak ini melewati tengah-tengah Kota Ngabang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, patung landak emas itu terus memancarkan air sampai sekarang sehingga Sungai Landak tidak pernah kering sepanjang tahun.
* * *
Demikian cerita Legenda Sungai Landak dari Ngabang, Kalimantan Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa jika sebuah barang berharga jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab dan serakah seperti si perampok akan mendatangkan bencana bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Jumat, 19 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Bukit Kelam

Bukit Kelam merupakan salah satu obyek wisata alam yang eksotis di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan Hutan Wisata ini memiliki panorama alam yang memesona, yaitu berupa pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal setinggi kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi pepohonan di kaki dan puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit Kelam, tersimpan sebuah cerita yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam dulunya merupakan sebuah rantau.  Namun, karena terjadi suatu peristiwa, maka kemudian rantau itu menjelma menjadi Bukit Kelam. Bagaimana kisahnya sehingga rantau itu menjelma menjadi bukit yang indah dan memesona? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Bukit Kelam berikut ini.



Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak. 
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap. 

Demikian cerita Legenda Bukit Kelam dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sikap iri hati dan tamak, dan keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat. Sifat iri hati dan tamak tercermin pada sifat dan perilaku Bujang Beji yang hendak menguasai ikan milik Temenggung Marubai yang ada di Sungai Melawi. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran, bahwa sifat tamak dan serakah dapat menyebabkan seseorang menjadi iri dan dengki. Sifat ini tidak patut dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kalau orang tak tahu diri,
seumur hidup iri mengiri
apa tanda orang serakah,
berebut harta terbuan tuah

Sementara sifat suka bermusyawarah untuk mufakat terlihat pada perilaku kawanan sampok dan beruang yang berusaha untuk menggagalkan rencana jelek Bujang Beji yang hendak membinasakan dewi-dewi di kayangan. Menurut Tenas Effendy, melalui musyawarah dan mufakat, tunjuk ajar dapat dikembangkan dengan pikiran, ide, atau gagasan yang dapat disalurkan. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

di dalam musyawarah,
buruk baiknya akan terdedah
di dalam mufakat,
berat ringan sama diangkat

Kamis, 18 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Batu Menangis

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur. Provinsi ini memiliki ratusan sungai besar dan kecil, sehingga dijuluki sebagai wilayah “Seribu Sungai”. Menurut cerita, di sebuah daerah di provinsi ini ada seorang gadis cantik yang menjelma menjadi batu. Peristiwa apa yang menimpa gadis itu, sehingga menjelma menjadi batu? Ingin tahu cerita selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Menangis Berikut ini.



Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi.  Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.
Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.
”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.
”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.
”Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.
”Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.
Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.
”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.
”Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu.
”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata Darmi.
”Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.
Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.
Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.
”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.
”Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya.
”Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!” seru Ibunya.
Namun  setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.
”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.
”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.
”Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi.
”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.
”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku  malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.
Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan.
Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.
”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.
”Ke pasar!” jawab Darmi dengan pelan.
”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” tanya lagi temannya sambil menunjuk orang tua yang membawa keranjang.
”Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.
Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.
”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.
”Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.
”Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.
”Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Jawaban yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.
”Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran.
Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
”Hei, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.
Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.
”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.
”Ibu...! Ibu... ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.
”Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.

Demikian cerita dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan dari sikap durhaka terhadap orang tua. Oleh karena itu, seorang anak harus hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya, karena doa ibu akan didengar oleh Tuhan.
Terkait dengan sifat durhaka ini, dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:

kalau hidup mendurhaka,
kemana pergi akan celaka
 
kalau suka berbuat durhaka,
orang benci Tuhan pun murka.

Rabu, 17 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Burung Ruai

Burung ruai atau kuau besar (argusianus argus) adalah salah satu jenis burung yang banyak terdapat di daerah Sambas, Kalimantan Barat. Burung ini memiliki warna bulu yang indah dan suara yang lantang. Oleh orang-orang Dayak Kanayatan, bulu burung ruai dibuat mahkota (tangkulas) untuk pakaian adat. Menurut cerita, burung ruai merupakan penjelmaan seorang putri raja. Bagaimanakah kisahnya? Simak baik-baik cerita Asal Mula Burung Ruai berikut ini.



Alkisah, di pedalaman Benua Bantahan sebelah timur Kota Sekura, Ibukota Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, terdapat sebuah kerajaan milik orang-orang suku Dayak. Kerajaan itu berada di dekat Gunung Bawang dan Gunung Ruai. Raja pemimpin kerajaan itu memiliki tujuh orang putri. Namun sayang, ibu dari anak-anaknya itu meninggal dunia saat si Bungsu masih kecil.
Di antara ketujuh putri raja, anak yang paling bungsu adalah yang tercantik. Selain rupawan, si Bungsu juga memiliki budi pekerti yang luhur, rajin, suka menolong, dan taat kepada orang tua. Lain halnya dengan keenam kakaknya, perilaku mereka amat buruk. Mereka memiliki sifat angkuh, pemalas, dan suka membantah. Tidak mengherankan jika sang Ayah lebih sayang dan memanjakan si Bungsu.
Rupanya, perlakuan sang Ayah terhadap si Bungsu membuat keenam kakaknya menjadi iri hati dan benci kepada adiknya. Setiap kali sang Ayah tidak berada di istana, mereka melampiaskan kebenciannya kepada si Bungsu dengan memerintahnya sesuka hati mereka. Bahkan, mereka tidak segan-segan memukulnya. Si Bungsu menjadi takut kepada kakak-kakaknya dan terpaksa menuruti semua perintah yang diberikan kepadanya.
Suatu hari, saat sang Ayah sedang berkunjung ke negeri tetangga karena urusan kerajaan, keenam putri raja itu memukul si Bungsu hingga seluruh tubuhnya lebam. Si Bungsu yang malang itu tidak berani mengadu kepada sang Ayah karena keenam kakaknya selalu mengancamnya.
Saat hari menjelang siang, sang Ayah pun kembali dari negeri tetangga. Alangkah terkejutnya ia saat melihat tubuh putri bungsunya penuh dengan lebam. Karena curiga terhadap keenam putrinya, ia pun segera memanggil mereka untuk menghadap.
“Apa yang terjadi dengan si Bungsu? Kenapa tubuhnya lebam-lebam begitu?” tanya sang Ayah kepada keenam putrinya.
“Begini, Yah. Tadi si Bungsu terjatuh saat sedang bermain di taman,” sahut putri kedua memberi alasan.
“Benarkah begitu, Anakku?” sang Ayah balik bertanya kepada si Bungsu yang duduk si sampingnya.
Putri Bungsu hanya terdiam sambil menunduk. Sesekali ia menoleh ke arah keenam kakaknya. Putri Bungsu pun tidak berani berkata jujur kepada ayahnya karena keenam kakaknya terus memelototinya.
“Benar, Yah. Tadi aku terjatuh saat mengejar kupu-kupu di taman bunga sehingga tubuhku terbentur di pagar taman,” jawab si Bungsu lirih.
Mendengar jawaban itu, sang Ayah pun percaya begitu saja sehingga tidak memperpanjang permasalahan tersebut.
“Baiklah, kalau memang benar begitu. Lain kali, berhati-hatilah jika sedang bermain di taman!” pesan sang Ayah.
“Baik, Yah,” jawab si bungsu.
Jawaban si Bungsu itu menyelamatkan keenam kakaknya dari hukuman dari sang Ayah. Namun, pada hari-hari berikutnya mereka masih saja memperlakukan si Bungsu dengan semena-mena ketika sang Ayah sedang tidak berada di istana. Begitulah nasib yang dialami si Bungsu setiap hari. Seringkali putri yang malang itu menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
Suatu malam, si Bungsu duduk di dekat jendela kamarnya sambil memandangi bintang-bintang di langit. Si Bungsu sulit memejamkan mata karena teringat kepada ibundanya. Dalam kondisi yang dialaminya saat ini, si Bungsu amat membutuhkan perlindungan dari sosok seorang ibu.
“Seandainya ibunda masih ada, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Ibunda pasti akan selalu melindungiku,” ratap si Bungsu.
Malam semakin larut. Si Bungsu sudah mulai mengantuk dan akhirnya tertidur. Saat pagi menjelang, si Bungsu sudah bangun terlebih dahulu. Sementara keenam kakaknya masih saja bermalas-malasan di kamar masing-masing.
“Tok... Tok... Tok...!” tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, “Permisi, Tuan Putri!”
Mendengar suara ketukan pintu disusul panggilan seorang dayang istana, Putri Bungsu segera membuka pintu.
“Ada apa, wahai dayang?” tanya si Bungsu.
“Maaf, Putri! Hamba mendapat perintah dari Baginda agar semua putrinya segera berkumpul di pendapa istana sekarang. Ada sesuatu yang ingin Baginda sampaikan,” jawab dayang itu.
“Apakah keenam kakakku sudah kamu bangunkan?” tanya si Bungsu.
“Sudah, Tuan Putri! Hamba sudah berkali-kali membangunkan mereka, tapi tak seorang pun yang membukakan pintu. Barangkali mereka masih tertidur pulas,” jelas dayang itu. 
“Baiklah, kalau begitu. Tolong sampaikan kepada Ayah bahwa kami segera ke sana. Biarlah aku yang membangunkan mereka,” ujar sang putri.
Setelah dayang itu pergi, si Bungsu memberanikan diri untuk membangunkan keenam kakaknya. Namun saat dibangunkan, mereka justru marah-marah karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur. Mereka baru bangun setelah sang Ayah yang membangunkan mereka karena sudah tidak sabar menunggu.
“Ada apa gerangan Ayah memanggil kami?” tanya putri yang paling sulung setelah mereka semua berkumpul di pendapa istana.
“Dengarlah, wahai putri-putriku! Ayah akan berkunjung ke kerajaan tetangga selama satu bulan karena ada urusan penting. Selama Ayah berada di sana, kekuasaan kerajaan ini Ayah limpahkan kepada si Bungsu,” jelas sang Ayah, “Untuk itu, semua perintah dan keputusan berada di tangan si Bungsu. Kalian pun harus taat dan patuh terhadap perintahnya.”
Alangkah terkejutnya keenam putri raja mendengar pernyataan itu. Iri hati dan kebencian mereka terhadap si Bungsu pun semakin menjadi-jadi. Keesokan harinya, sang Ayah pun meninggalkan istana bersama para pengawal dan prajurit.
Sepeninggal sang Ayah, si Bungsu berharap bahwa dengan kekuasaan yang diamanatkan kepadanya dapat mengatasi perilaku kakak-kakaknya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kakak-kakak yang licik itulah yang mengambil-alih kekuasaan istana dan  semakin leluasa memperlakukan si Bungsu dengan sewenang-wenang.
Suatu hari, keenam putri raja itu berniat mencelakai si Bungsu dengan mengajaknya mencari ikan di Gua Batu. Di dalam gua itu terdapat aliran-aliran sungai kecil yang banyak ikannya. Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata di dalam gua itu juga tinggal seorang kakek yang sakti.
Saat mereka tiba di gua itu, si Bungsu pun disuruh masuk terlebih dahulu menyusuri lorong-lorong gua. Ketika ia telah jauh masuk ke dalam, justru kakak-kakaknya pergi meninggalkannya. Maka, tinggallah si Bungsu seorang diri di dalam gua. Suasana gua yang gelap gulita membuat si Bungsu tersesat. Ia pun hanya bisa menangis siang dan malam.

Setelah tujuh hari berada di dalam gua itu, tiba-tiba si Bungsu mendengar suara gemuruh yang menggelegar seolah-olah hendak meruntuhkan dinding-dinding gua. Ia pun menjerit-jerit ketakutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang kakek tua muncul di hadapannya.
“Sedang apa kamu di sini, Cucuku?” tanya kakek itu.
Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga berada di dalam gua itu seorang diri sambil meneteskan air mata. Mendengar cerita itu, kakek itu pun merasa iba kepadanya. Dengan kesaktiannya, kakek itu mengubah setiap tetesan air mata si Bungsu menjadi telur putih yang besar dan berjumlah banyak. Selang beberapa saat kemudian, kedua tangan si Bungsu perlahan-lahan ditumbuhi bulu dan kemudian berubah menjadi sayap burung.
“Apa yang terjadi pada tanganku, Kek?” tanya si Bungsu dengan heran.
“Tenanglah, Cucuku! Kakek akan menolongmu dari kesengsaraan ini. Kamu akan kuubah menjadi seekor burung. Setelah itu, eramilah telur-telur itu hingga menetas menjadi burung-burung yang akan menjadi temanmu!” ujar kakek itu.
Setelah kakek sakti itu berdoa, seluruh tubuh si Bungsu perlahan-lahan ditumbuhi bulu-bulu yang indah. Saat si Bungsu menjelma menjadi burung, berkatalah kakek itu kepada si Bungsu.
“Cucuku, kini kamu telah menjadi burung dan kamu kuberi nama Burung Ruai.”
“Kwek... Kwek... Kwek...!!!” jawab si Bungsu dengan suara burung.
Begitu si Bungsu selesai menjawab, kakek itu pun menghilang. Burung ruai penjelmaan si Bungsu itu pun segera mengerami telur-telur itu. Setelah dierami selama 25 hari, telur-telur itu akhirnya menetas. Setelah dewasa, burung-burung ruai itu meninggalkan gua dan bertengger di atas pohon di depan istana ayahnya. Dari atas pohon itulah, si Bungsu menyaksikan keenam kakaknya dihukum oleh ayahnya karena telah mencelakai dirinya.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Burung Ruai dari daerah Sambas, Kalimantan Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat iri hati dapat membuat seseorang melakukan tindakan semena-mena terhadap orang lain, walaupun terhadap saudara sendiri. Orang yang memiliki sifat dan perilaku jahat dan suka menganiaya orang lain pasti akan menerima balasannya. Hal ini terjadi keenam kakak si Bungsu, karena suka menganiaya si Bungsu, mereka pun mendapat hukuman dari sang Ayah.