Tampilkan postingan dengan label Ikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ikan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Ikan Duyung

Menurut kepercayaan masyarakat Sulawesi Tengah, Indonesia, khususnya yang berada di sekitar pantai, ikan duyung merupakan penjelmaan seorang perempuan cantik. Bagaimana seorang wanita cantik bisa menjelma menjadi seekor ikan duyung? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Asal Mula Ikan Duyung berikut ini. 



Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri bersama tiga orang anaknya. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Sang Ayah menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di ladang dan mencari ikan di laut. Setiap pagi, sebelum berangkat ke ladang, sang Ayah selalu sarapan bersama istri dan ketiga orang anaknya.
Pada suatu pagi, sepasang suami-istri bersama ketiga orang anaknya sedang sarapan bersama dengan lauk ikan. Saat itu persediaan lauk ikan cukup banyak, sehingga mereka tidak mampu menghabiskan semua. Usai sarapan, sang Ayah pun bersiap-siap berangkat ke kebun. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya.
“Istriku! Tolong simpan sisa ikannya untuk lauk makan siang nanti!”
“Baik, Bang,” jawab istrinya singkat.
Setelah itu, berangkatlah sang Ayah ke Ladang. Istrinya pun segera menyimpan sisa ikan itu di dalam lemari makan. Menjelang siang hari, anaknya yang bungsu tiba-tiba menangis minta makan. Ia sangat kelaparan setelah setengah harian bermain dengan kakak-kakaknya. Sang Ibu pun segera memberinya sepiring nasi dan beberapa cuil daging ikan dari dalam lemari. Si Bungsu makan dengan lahap sekali. Dalam beberapa menit saja, lauk ikan yang diberikan oleh ibunya langsung ia habiskan. Si Bungsu pun minta tambah lauk kepada ibunya.
“Ibu... aku ingin tambah lauk ikan lagi,” pinta si Bungsu sambil menangis merengek-rengek.
“Tapi sedikit saja ya, Anakku! Sisakan juga untuk makan siang Ayahmu nanti,” bujuk sang Ibu.
Bujukan sang Ibu tidak membuat si Bungsu berhenti menangis. Bahkan, si Bungsu menangis semakin menjadi-jadi sambil berguling-guling di tanah. Sang Ibu tidak sampai hati melihat anaknya menangis. Ia pun memberikan semua sisa ikan itu kepada si Bungsu. Setelah itu, barulah si Bungsu berhenti menangis.
Menjelang siang hari, sang Ayah pulang dari ladang. Ia sangat lapar dan meminta istrinya untuk segera menghidangkan makanan untuknya. Dengan perasaan cemas, istrinya pun segera menghidangkan makanan. Setelah hidangan tersedia, sang Ayah melihat hidangan itu tidak lengkap.
“Bu, mana sisa ikan tadi pagi? Kenapa tidak kamu hidangkan?” tanya sang Ayah.
“Maaf, Bang! Tadi si Bungsu menangis minta makan dengan lauk ikan,” jawab istrinya.
“Kenapa kamu berikan semua kepadanya?” tanya sang Ayah dengan nada marah.
“Maaf, Bang! Tadi aku hanya memberinya beberapa cuil daging ikan, tapi si Bungsu terus menangis merengek-rengek dan berguling-guling di tanah meminta ikan. Aku tidak tega melihatnya, Bang! Makanya aku berikan semua sisa ikan itu kepadanya,” jawab istrinya.
Mendengar jawaban itu, sang Ayah semakin marah dan tidak mau menerima alasan apapun dari istrinya.
“Aku tidak mau tahu. Aku sudah berpesan kepadamu agar menyimpan sisa ikan itu untuk makan siang!” bentak sang Ayah.
Sang Istri tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menangis dan meminta maaf kepada suaminya karena merasa bersalah. Berkali-kali ia meminta maaf kepada suaminya, namun sang Suami tetap tidak berhenti marah, bahkan kemarahannya semakin menjadi-jadi. Sang istri yang tidak tahan dimarahi terus meneteskan air mata.
“Aku tak sanggup lagi tinggal di rumah ini. Suamiku benar-benar tidak mau memaafkan aku lagi,” keluh sang Istri dalam hati.
Akhirnya, sang Istri pun memutuskan pergi. Pada saat tengah malam, ketika suami dan anak-anaknya sedang tertidur pulas, secara diam-diam ia meninggalkan rumah dan pergi ke laut.
Pada pagi harinya, sang Ayah dan ketiga anaknya bangun tidur. Seperti biasanya, setiap pagi mereka berkumpul untuk sarapan bersama. Betapa terkejutnya sang Ayah, karena hidangan untuk sarapan bersama belum tersedia. Dengan perasaan kesal, ia pun berteriak-teriak memanggil istrinya.
“Istriku... Istriku...! Kamu di mana?”
Berkali-kali sang Ayah berteriak memanggil istrinya, namun tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Sang Ayah bersama ketiga anaknya pun segera mencari sang Ibu di sekitar rumah. Mereka sudah mencari ke mana-mana, tetapi mereka tidak juga menemukannya.
“Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Si Bungsu menangis tidak kuat lagi menahan lapar?” tanya si Sulung kepada ayahnya.
“Carilah ibu kalian di laut!” seru sang Ayah.
“Kenapa harus ke laut, Ayah?” tanya lagi si Sulung.
“Barangkali ibu kalian sedang mencari ikan di laut. Bukankah si Bungsu kemarin menangis minta ikan?” imbuh sang Ayah.
Mendengar perintah sang Ayah, si Sulung pun segera mengajak kedua orang adiknya pergi ke laut untuk mencari ibu mereka. Sesampainya di laut, mereka memanggil ibu mereka sambil bernyanyi:
Ibu pulanglah Ibu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsu ingin menyusu...
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba ibu mereka muncul dari laut sambil membawa beberapa ekor ikan, lalu segera menyusui si Bungsu. Seusai menyusui, sang Ibu berpesan kepada anak-anaknya.
“Wahai, anak-anakku! Pulanglah ke rumah. Ayah kalian pasti sudah menungggu kalian.”
“Ayo Bu, kita pulang bersama-sama!” bujuk ketiga anak itu sambil menari-narik tangan sang Ibu.
“Kalian pulanglah duluan! Ibu akan menyusul kalian. Bawalah ikan ini untuk makan siang bersama Ayah kalian nanti. Ibu masih ingin mencari ikan lagi untuk kalian,” ujar sang Ibu.
Ketiga anak itu pun menuruti perintah sang Ibu. Mereka pulang sambil membawa ikan hasil tangkapan Ibu mereka. sesampainya di rumah, mereka segera melapor kepada sang Ayah.
“Ayah, Benar. Ternyata Ibu sedang berada di laut mencari ikan. Ini hasil tangkapannya,” kata si Sulung sambil menunjukkan ikan yang mereka bawa kepada sang Ayah.
“Ke mana Ibu kalian? Kenapa dia tidak pulang bersama kalian?” tanya sang Ayah.
“Ibu masih ingin mencari ikan yang lebih lagi, Ayah!” jawab ketiga anak itu serentak.
“Kalau begitu, segeralah panggang ikan itu untuk makan siang kita nanti!” seru sang Ayah.
Ketiga anak itu pun segera melaksanakan perintah sang Ayah. Tidak berapa kemudian, ikan-ikan tersebut selesai mereka pangggang. Namun, sang Ibu belum juga datang.
“Ayo kita makan dan habiskan ikan pangggang ini. Tidak usah menunggu Ibu kalian!” ajak sang Ayah.
“Tapi, kasihan Ibu, Ayah! Kalau ikan pangggang ini kita habiskan, nanti Ibu makan apa? Ibu pasti kelaparan sepulang dari laut nanti,” kata si Sulung.
“Diam kamu Sulung! Kamu tidak udah merasa kasihan kepada Ibumu. Bukankah dia juga tidak kasihan kepada Ayah, karena telah memberikan semua sisa ikan sarapan kemarin kepada si Bungsu,” bentak sang Ayah.
Mendengar bentakan itu, si Sulung dan kedua adiknya pun tidak berani membantah dan terpaksa mematuhi perintah sang Ayah. Dengan perasaan berat hati, ketiga anak itu pun terpaksa ikut menghabiskan ikan panggang itu bersama sang Ayah. Hingga mereka selesai makan siang, sang Ibu belum juga datang. Hati ketiga anak itu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap ibu mereka. Hati mereka semakin cemas saat hari menjelang sore, karena ibu mereka tidak juga kunjung pulang. Mereka pun tidak berani menyusul ibu mereka ke laut, karena hari sudah semakin gelap. 

Keesokan harinya, barulah ketiga anak itu kembali ke laut menemui ibu mereka. Sesampainya di laut, mereka tidak melihat ibu mereka. Mereka pun memanggil sang Ibu sambil bernyanyi:

Ibu pulanglah Ibu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsu ingin menyusu...

Setelah tiga kali mereka bernyanyi, barulah ibu mereka baru muncul dari laut. Betapa terkejutnya ketiga kakak beradik itu ketika melihat tubuh ibu mereka dipenuhi dengan sisik ikan. Mereka sangat ketakutan dan tidak percaya bahwa perempuan yang bersisik seperti ikan itu adalah ibu mereka. Si Bungsu pun enggan untuk menyusu kepadanya.
“Mendekatlah kemari, anak-anakku! Aku ini ibu kalian!” bujuk sang Ibu.
“Tidak! Ibu kami tidak bersisik seperti ikan,” jawab ketiga anak itu serentak.
Setelah berkata begitu, ketiga anak tersebut langsung pergi meninggalkan perempuan bersisik itu. Mereka menyusuri pantai tanpa arah dan tujuan yang jelas. Sementara sang Ibu yang telah menjelma menjadi ikan duyung kembali ke laut.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Ikan Duyung dari daerah Sulawesi Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah akibat buruk dari sifat kasar langgar. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku sang Suami yang telah bersikap kasar kepada istrinya. Sikap kasar yang ditunjukkan sang Suami itu menyebabkan istrinya minggat dari rumah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu (Tenas Effendy, 1994/1995: 55):

binasa badan diri kasar langgar,
binasa badan kurang ajar

Kamis, 09 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Pesut Mahakam

Pesut adalah salah satu nama jenis ikan yang terdapat di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, Indonesia. Menurut cerita, ikan pesut tersebut merupakan penjelamaan dua anak kecil kakak-beradik. Peristiwa apakah yang menimpa kedua anak tersebut sehingga menjelma menjadi ikan pesut? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Pestu Mahakam berikut ini



Alkisah, di sebuah dusun di Rantau Mahakam, Kalimantan Timur, hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, serta seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Keluarga tersebut senantiasa hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Sang Ayah seorang kepala rumah tangga yang arif dan bijaksana, sedangkan sang Ibu sangat terampil dan cekatan dalam mengatur usuran rumah tangga. Kebutuhan hidup mereka dapat tercukupi dari hasil menanam berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran di kebun.
Pada suatu hari, sang Istri terserang sebuah penyakit aneh. Sudah banyak tabib yang telah mengobatinya, namun penyakitnya tak kunjung sembuh hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sejak itu, kehidupan keluarga tersebut menjadi berantakan dan tak terurus lagi. Sang Ayah dan kedua putra dan putrinya terus terlarut dalam kesedihan. Sang Ayah menjadi pemurung dan suka bermalas-malasan, sedangkan kedua anaknya kelihatan bingung, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Melihat kondisi tersebut, para sesepuh dusun berusaha untuk membujuk mereka agar tidak larut dalam kesedihan dan sang Ayah kembali mencari nafkah seperti biasanya.
“Sudahlah, Pak! Hilangkanlah kesedihanmu itu dan kembalilah bekerja seperti biasanya! Lihatlah kedua anakmu itu, mereka semakin kurus karena kurang makan!” ujar seorang sesepuh dusun kepada sang Ayah.
Rupanya, nasehat-nasehat tersebut tidak pernah ia hiraukan. Keadaan tersebut berlangsung hingga satu musim, yaitu sejak musim tanam hingga musim panen. Seperti biasanya, setiap musim panen tiba, penduduk dusun tersebut mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian selama tujuh hari tujuh malam.
Kemeriahan pesta ternyata belum mampu menghibur hati keluarga tersebut, terutama sang Ayah. Tapi, begitu mendengar kabar bahwa dalam pertunjukan seni tersebut ada seorang gadis cantik yang pandai dan gemulai menari, hati sang Ayah langsung tergerak ingin menyaksikan pertunjukan tersebut. Dengan penuh semangat, ia berjalan mendekati tempat pertunjukan di mana gadis itu akan menari. Ia sengaja berdiri paling depan agar dapat menyaksikan tarian serta wajah gadis itu dengan jelas.
Beberapa saat kemudian, pertunjukan pun dimulai. Perlahan-lahan gadis cantik itu memasuki panggung seraya memainkan tariannya. Gerakan tubuhnya yang lemah lembut dan gemulai benar-benar mengundang decak kagum para penonton. Lain halnya dengan sang Ayah, ia hanya sesekali tersenyum. Pandangan matanya senantiasa tertuju kepada wajah cantik gadis itu tanpa bergeming sedikit pun. Suatu saat, tiba-tiba pandangan gadis itu tertuju kepadanya sambil melemparkan senyum manisnya. Pada saat itulah, jantung sang Ayah berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hagi kepada gadis itu, begitu pula sebaliknya.
Usai pertunjukan, para penonton membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Sementara sang Ayah tidak beranjak dari tempatnya berdiri, karena ingin bertemu dengan gadis cantik itu. Tak berapa lama kemudian, gadis itu turun dari panggung dan menghampirinya. Setelah berkenalan, mereka pun mengungkapkan perasaan masing-masing dan bersepakat untuk menikah.
“Abang sudah mempunyai dua orang anak. Apakah Adik bersedia untuk membantu Abang merawat mereka?” pinta sang Ayah kepada gadis penari itu.
“Tentu saja, Bang! Adik berjanji akan menyayangi mereka sama seperti anak kandung Adik sendiri,” jawab gadis itu.
Setelah mendapat restu dari para sesepuh kampung, akhirnya mereka pun menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan sepekan setelah pesta adat tersebut. Setelah menikah dengan gadis itu, sang Ayah tidak pernah lagi murung dan bermalas-malasan, dan begitu pula kedua anaknya. Keluarga itu telah menemukan kembali suasana kedamaian yang pernah dulu mereka rasakan. Sang Ayah kembali rajin bekerja di kebun dengan dibantu oleh anak laki-lakinya. Sedangkan istri barunya sibuk menyiapkan makanan di rumah dengan dibantu oleh anak perempuannya.
Namun, baru beberapa bulan saja keharmonisan itu berlangsung, keluarga itu kembali diguncang prahara. Sang Ibu tiri ternyata mengingkari janjinya untuk menyayangi kedua anak tirinya. Sifat dan perilakunya tiba-tiba menjadi benci kepada mereka. Ia sering memberi mereka sisa-sisa nasi. Sang Ayah yang mengetahui perilaku istrinya tersebut tidak dapat berbuat apa-apa karena ia sangat mencintainya. Sejak itu, segala urusan rumah tangga ditangani oleh sang Ibu tiri. Setiap hari ia menyuruh kedua anak tirinya mencari kayu bakar di hutan, bahkan ia sering menyuruh mereka untuk mengerjakan hal-hal di luar kemampuan mereka.
Pada suatu hari, sang Ibu menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan dengan jumlah cukup banyak.
“Hai, pemalas! Carilah kayu bakar ke hutan! Kalian harus mengumpulkan kayu bakar yang jumlahnya tiga kali lipat dari yang kalian peroleh kemarin. Ingat, jika kalian pulang sebelum mengumpulkan kayu sebanyak itu, maka kalian tidak akan mendapat makan hari ini!” ancam sang Ibu Tiri.
“Maaf, Bu! Untuk apa kayu bakar sebanyak itu? Bukankah kayu bakar masih banyak? Kalau kayunya mau habis barulah kami mencarinya lagi,” tawar si anak laki-laki.
“Dasar anak pemalas! Rupanya, kalian sudah mulai berani membantah Ibu ya? Awas nanti saya laporkan kepada ayah kalian, bahwa kalian pemalas!” sang Ibu kembali mengancam kedua anak tirinya.
Tanpa berkata apa-apa, si anak perempuan segera menarik tangan kakaknya. Ia menyadari bahwa ayah mereka telah dipengaruhi oleh sang Ibu Tiri. 
“Sudahlah, Bang! Kita turuti saja perintah Ibu! Tidak ada gunanya kita membantah, karena kita tetap akan dipersalahkan,” ujar si anak perempuan dengan suara pelan.
Setelah menyiapkan beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setibanya di hutan, mereka segera mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya tanpa mengenal lelah. Namun, hingga hari menjelang sore, mereka belum mengumpulkan kayu bakar sebanyak yang diminta ibu tiri mereka. Karena takut dimarahi, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di tengah hutan. Mereka tidur di dalam sebuah gubuk reot untuk berlindung dari cuaca dingin. Kedua orang kakak-beradik itu baru dapat memejamkan mata ketika malam telah larut, karena perut mereka dibelit rasa lapar.
Keesokan harinya, kedua anak itu kembali mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Namun, ketika hari menjelang siang, kedua anak itu tiba-tiba tergeletak di tanah, karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar. Untungnya, ada seorang kakek yang sedang melintas di tempat itu dan segera menolong mereka. Kakek itu mengangkat mereka ke bawah sebuah pohon yang rindang seraya mengipas-ngipas mereka. Beberapa saat kemudian, kedua anak malang itu pun tersadar.
“Kita di mana? Kenapa berada di tempat ini?” tanya sang Kakak kepada adiknya.
“Kakek siapa?” tanyanya lagi ketika melihat seorang tua yang tak dikenalnya sedang duduk di samping mereka.
“Tenang, Cucuku! Kakek yang telah membawa kalian ke tempat ini. Kakek menemukan kalian sedang tergeletak tidak sadarkan diri di tengah hutan ini. Kalian siapa dan apa yang kalian lakukan di tempat ini?” tanya kakek itu.
Kedua anak malang itu pun menceritkan semua peristiwa yang mereka alami hingga mereka jatuh pingsan di tengah hutan. Karena iba setelah mendengar cerita mereka, kakek itu menyuruh mereka pergi ke sebuah tempat di mana terdapat banyak buah-buahan.
Setelah berterima kasih, kedua anak tersebut segera menuju ke arah rimbunan pohon. Betapa senangnya hati mereka ketika tiba di tempat yang dimaksud. Mereka mendapati beraneka jenis pohon yang sedang berbuah. Ada pohon durian, nangka, cempedak, mangga, dan pepaya. Melihat banyak buah-buahan yang telah masak berserakan di bawah pohon itu, kedua anak itu segera memakannya dengan sepuas-puasnya hingga kenyang. Badan mereka pun kembali segar. Setelah itu, mereka kembali mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya dengan penuh semangat. Sebelum senja tiba, mereka telah berhasil mengumpulkan kayu sebanyak yang diminta ibu tiri mereka. Kayu-kayu tersebut mereka angkut sedikit demi sedikit pulang ke rumah. Setelah menyusun kayu-kayu di kolong rumah, mereka segera naik ke rumah ingin melapor kepada sang Ibu tiri. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati seluruh isi rumah telah kosong.
“Adikku! Ayah dan Ibu telah pergi meninggalkan kita! Lihatlah semua harta benda di rumah ini telah mereka bawa serta!” seru si anak laki-laki.
Menyadari hal itu, si anak perempuan menjadi sedih dan menangis dengan sekeras-kerasnya. Ia sedih karena ia tahu bahwa ibu tirinya telah memengaruhi ayah mereka untuk pergi dari rumah. Tak berapa lama kemudian, para tetangganya pun berdatangan untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.
“Hai, kenapa adikmu menangis?” tanya seorang warga.
Si anak laki-laki pun menceritakan semua peristiwa yang mereka alami hingga ayah dan ibu tiri mereka pergi secara diam-diam. Mereka juga memberitahu kepada warga bahwa mereka bersikeras untuk pergi mencari orang tua mereka.
Keesokan harinya, kedua anak malang itu berangkat mencari orang tua mereka. Beberapa tentangga yang iba memberi mereka bekal makanan di perjalanan. Sudah dua hari kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan kedua orang tua mereka. Pada hari ketiga, tibalah mereka di tepi Sungai Mahakam. Mereka melihat asap api mengepul di sebuah pondok yang terletak di tepi sungai. Setibanya di sana, mereka mendapati seorang kakek sedang duduk-duduk di depan pondok.
“Maaf, Kek! Boleh kami bertanya kepada Kakek,” sapa si anak laki-laki sambil memberi hormat kepada penghuni gubuk reot itu.
“Apa yang bisa kubantu, cucuku?” tanya kakek itu.
“Maaf, Kek! Kami sedang mencari kedua orang tua kami. Apakah Kakek pernah melihat seorang laki-laki setengah bayah dan seorang perempuan yang masih muda lewat di sini?"
Setelah terdiam sebentar sambil mengingat-ingat, kakek itu pun memberitahukan kepada mereka bahwa beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang lewat di tempat itu sambil membawa barang yang banyak. Bahkan, mereka sempat mampir di gubuk sang Kakek untuk meminta air minum, karena kehausan.
Kedua anak itu pun yakin bahwa kedua orang yang diceritakan sang Kakek tesebut adalah orang tua mereka.
“Tidak salah lagi, mereka adalah orang tua kami, Kek!” seru kedua anak itu serentak.
“Apakah Kakek tahu ke mana tujuan mereka?” tanya si anak laki-laki.
“Kalau tidak salah, waktu itu mereka berkata akan menetap di seberang sungai sana,” jelas kakek itu.
Mendengar penjelasan itu, kedua anak itu segera menuju ke seberang sungai dengan menggunakan perahu milik kakek itu. Setibanya di seberang sungai, mereka menemukan sebuah pondok kecil yang masih baru tidak jauh dari sungai. Dari dalam pondok itu, asap api tampak mengepul.
“Aku yakin, Ayah dan Ibu pasti ada di dalam pondok itu!” seru sang Kakak.
“Kakak benar! Lihatlah baju yang di jemur di samping pondok itu. Bukankah itu baju Ayah yang dulu pernah Adik jahit?” kata sang Adik.
Tanpa ragu lagi, kedua anak itu segera menghampiri pondok itu.
“Ayah...! Ibu...! Kami datang!” seru sang Kakak.

Berkali-kali mereka berteriak memanggil, namun tidak mendapat jawaban. Akhirnya mereka memberanikan diri memasuki pondok itu. Alangkah senangnya hati mereka karena ternyata barang-barang yang terdapat di dalam pondok itu adalah milik ayah mereka. Melihat asap masih mengepul di dapur, sang Kakak segera memeriksanya, karena mengira kedua orang tua mereka sedang memasak di dapur. Namun, ketika masuk ke dapur, ia hanya mendapati sebuah panci berisi nasi yang sudah menjadi bubur di atas api. Sepertinya, orang tua mereka terburu-buru saat akan meninggalkan pondok, sehingga lupa mengangkat panci tersebut. Karena kelaparan, sang Kakak langsung melahap nasi bubur yang masih panas tersebut. Tak lama kemudian, adiknya pun menyusul dan ikut melahap nasi bubur tersebut hingga habis.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba kedua anak itu merasakan sesuatu yang aneh. Suhu badan mereka tiba-tiba meningkat dan rasanya panas sekali bagaikan terbakar api. Dengan panik, kedua anak itu berlari ke sana kemari mencari air untuk menyiram tubuh mereka. Semua air tempayan di pondok itu telah habis mereka gunakan, namun suhu badan justru semakin tinggi. Mereka pun segera berlari menuju ke sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di pinggir jalan mereka peluk untuk mendinginkan badan mereka. Namun, pohon-pohon pisang tersebut justru menjadi layu. Begitu tiba di tepi sungai, mereka langsung terjun ke dalam air. Tak berapa lama kemudian, kedua anak itu menjelma menjadi dua ekor ikan yang kepalanya menyerupai kepala manusia.
Sementara itu, ayah dan ibu tiri kedua anak itu baru saja pulang dari ladang. Betapa terkejutnya sang Ayah ketika masuk ke dalam pondoknya, ia menemukan sebuah bungkusan dan dua buah mandau milik anaknya. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas turun dari pondok untuk mencari kedua anaknya dengan mengikuti jalan menuju sungai. Setibanya di tepi sungai, ia melihat dua ekor ikan yang bergerak ke sana kemari di tengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Ketika ia akan memberitahukan hal itu kepada istrinya, ternyata sang Istri telah menghilang secara gaib. Akhirnya, lelaki setengah baya itu pun sadar bahwa istri barunya itu bukanlah manusia biasa. Sang Istri memang tidak pernah menceritakan asal usulnya. Sang Ayah pun sangat menyesal karena telah menelantarkan kedua anaknya, sehingga berubah menjadi ikan.
Mendengar kabar tersebut, penduduk di sekitarnya berbondong-bondong ke tepi Sungai Mahakam untuk menyaksikan kedua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia tersebut. Mereka memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut sangat panas dan dapat mematikan ikan-ikan kecil di sekitarnya.
* * *
Demikian cerita Legenda Pesut Mahakam dari Kalimantan Timur. Oleh masyarakat Kutai, ikan penjelmaan kedua anak tersebut mereka namai ikan Pasut atau Pesut, sedangkan masyarakat di pedalaman Mahakam menamainya ikan Bawoi. Pesan moral yang terdapat dalam cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat orang tua yang suka menelantarkan anak-anaknya. Hal ini digambarkan oleh sikap dan perilaku sang Ayah yang telah pergi meninggalkan kedua anaknya, karena lebih memilih istri barunya. Akibatnya, kedua anaknya terlantar dan berubah menjadi ikan Pesut. Dari sini dapat petik sebuah pelajaran bahwa berubahnya kedua anak tersebut menjadi seekor ikan adalah akibat kelalaian sang Ayah dalam melindungi dan menjaga mereka. Dalam kehidupan orang Melayu, orang tua seperti ini disebut tidak tahu diri, tak bertanggungjawab, dan tak beradat, sehingga kelak di akhirat akan menanggung akibat kelalaiannya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kalau tersalah mendidik anak:
banyak akibat yang tidak baik
banyak kerja yang kan menyalah
banyak harta tersia-sia
banyak ilmu yang tak sejudu
banyak petuah yang tak berfaedah
banyak nasehat yang tak bermanfaat
banyaklah dosa ibu dan bapak
banyaklah salah kan berbawak

Rabu, 01 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Ikan Patin

Ikan patin adalah salah satu jenis ikan konsumsi yang hidup di air tawar. Ikan jenis ini banyak dijumpai di sungai-sungai di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Bentuk ikan patin cukup unik. Badannya panjang dan berwarna putih dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Selain itu, ikan patin juga mengandung protein hewani yang cukup tinggi dan rasanya pun gurih. Meski demikian, tidak semua masyarakat Kalimantan Tengah mau memakannya. Mengapa demikian? Temukan jawabannya dalam cerita Asal-Usul Ikan Patin berikut ini.



Alkisah, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Si Suami bernama Labih, sedangkan istrinya bernama Manyang. Walau hidup miskin, mereka senantiasa hidup rukun, damai dan bahagia. Keduanya saling menyayangi. Ke mana saja pergi, mereka selalu berdua dan saling membantu dalam setiap pekerjaan. Ketika Labih ke hutan mencari kayu atau mencari ikan di sungai, istrinya selalu menyertainya. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menjalani hidup berdua tanpa kehadiran seorang anak. Mereka setiap hari berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang untuk mengisi hari-hari mereka. Namun, sebelum mendapatkan anak, Manyang meninggal dunia karena sakit. Maka tinggallah Labih seorang diri. Hidupnya pun semakin terasa sepi.
Labih adalah seorang suami yang sabar. Ia sadar bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Meski demikian, ia tetap tekun dan rajin bekerja. Sejak ditinggal mati istrinya, ia tetap menjalani hidupnya seperti biasanya. Setiap pulang dari hutan mencari kayu bakar, ia selalu meluangkan waktunya mencari ikan di sungai untuk dijadikan lauk. Begitulah kegiatan Labih setiap hari hingga ia menjadi seorang kakek.
Pada suatu hari, Labih pergi memancing ikan di Sungai. Setelah memasang kailnya, ia duduk sambil menunggu ikan memakan umpannya. Hari itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan ikan, karena persediaan lauk untuk makan malam sudah habis. Dengan penuh harap, ia bersiul-siul sambil memegang gagang kailnya. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba gagang kailnya bergetar. Ia pun segera menyentakkan dan menarik kailnya ke tepi. Alangkah kecewanya kakek itu saat melihat benda yang menggantung di ujung kailnya.
“Wah! Aku kira ikan besar, ternyata hanya ranting kayu,” gumam Labih seraya melepas ranting kayu itu dari mata kailnya.
Setelah itu, Labih kembali memasang kailnya dengan umpan yang lebih besar dengan harapan bisa mendapatkan ikan yang besar pula. Sudah berjam-jam ia memancing, namun belum seekor ikan pun yang memakan umpannya. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus menunggu pancingnya. Ia menyadari bahwa pekerjaan memancing membutuhkan kesabaran.
“Ah, aku tidak boleh putus asa. Aku harus menunggu sampai mendapatkan ikan,” gumam Labih seraya melemparkan kailnya ke tengah sungai.
Ternyata benar, kesabaran Labih membuahkan hasil. Tidak berapa lama setelah ia melemparkan kailnya, tiba-tiba seekor ikan besar melahap umpannya. Ikan itu menarik kailnya ke sana kemari hendak melepaskan diri. Dengan sekuat tenaga, ia pun segera menarik dan mengangkat kailnya ke tepi sungai. Betapa gembiranya hati Labih saat melihat seekor ikan terkail di ujung kailnya. Ia sangat takjub, karena selama bertahun-tahun memancing di sungai itu baru kali ini ia memperoleh ikan sebesar itu. Setelah ia amati secara seksama, ternyata ikan itu adalah ikan patin.
“Waaah, besar sekali ikan patin ini! Dagingnya pasti gurih dan lezat,” ucapnya dengan takjub.
Setelah itu, Labih pun memutuskan untuk berhenti memancing, karena merasa ikan itu sudah cukup untuk dimakan selama beberapa hari. Begitulah setiap kali Labih memancing, ia tidak pernah mengambil ikan di sungai itu lebih dari cukup. Sebab, ia menyadari bahwa besok atau lusa ia akan kembali lagi memancing di sungai itu. Akhirnya, dengan perasaan gembira, Labih membawa pulang ikan patin itu ke rumahnya lalu meletakkannya di dapur. Kemudian ia segera mencari pisau hendak membelah ikan itu. Namun, pisau yang biasa ia gunakan membelah ikan ternyata sudah tumpul. Ia pun segera mengasah pisau itu di atas batu yang berada di samping rumahnya.
Alangkah terkejutnya Labih setelah kembali ke dapurnya. Ia mendapati seorang bayi perempuan mungil dan cantik. Wajah bayi itu tampak kemerah-merahan. Bulu matanya lentik dan rambutnya sangat hitam dan ikal. Melihat bayi itu, Labih menjadi bingung dan gugup ingin menyetuhnya, karena selama hidupnya belum pernah mengurus bayi. Ia berusaha untuk menepis perasaan gugup itu dan meyakinkan dirinya bahwa bayi itu adalah titipan Tuhan yang diamanatkan kepadanya untuk dirawat yang harus ia syukuri. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk merawat bayi itu dan memberinya nama Leniri.
Ketika Labih hendak mengangkat dan menimang-menimangnya untuk dimandikan, Leniri tersenyum. Labih pun membalasnya dengan senyuman kasih sayang. Namun, ketika Labih memandikannya, Leniri tiba-tiba menangis dengan keras.
“Oaaa... oaaa... oaaa...!”
Labih pun segera menghiburnya sambil mengusap-usap keningnya.
“Cup, cup, cup! Leniri anakku, diamlah!”
Leniri pun terdiam dan kembali tersenyum. Usai memandikannya, Labih menghangatkan tubuh Leniri dengan sehelai kain, lalu membuatkannya bubur dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Setelah Leniri kenyang, kakek itu membuatkannya ayunan di tengah-tengah rumah. Perlahan-lahan, ia mengayun Leniri sambil bersenandung.
“Leniri sayang, anakku seorang... Cepatlah besar menjadi gadis dambaan...”
Tak berapa lama Leniri pun tertidur pulas dalam ayunan mendengar senandung Labih.  Sejak itu, Labih merawat dan membesarkan Leniri dengan penuh kasih sayang dan perhatian yang melimpah. Saat Leniri beranjak remaja, ia mengajarinya berbagai ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tak lupa pula ia menanamkan budi pekerti kepada putri kesangannya itu. Bahkan, seringkali ia mengajaknya mencari kayu bakar di hutan dan memancing ikan di sungai untuk mengenalkan alam secara lebih dekat kepadanya.
Waktu terus berjalan. Leniri tumbuh menjadi gadis cantik dan berbudi, penurut, dan rajin membantu ayahnya. Ia juga pandai bergaul dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak heran, jika semua orang sayang kepadanya. Ia pun menjadi dambaan semua pemuda di kampung itu. 

Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda tampan yang bernama Simbun hendak melamar Leniri.
“Permisi! Bolehkah saya masuk?” seru Simbun dari depan rumah.
“Silahkan, Anak Muda!” jawab Labih yang sedang duduk bersantai bersama Leniri.
Setelah anak muda itu duduk, Leniri pun segera masuk ke dapur untuk menyiapkan minuman. Sementara itu, Labih segera mempersilahkan pemuda yang belum dikenalnya itu untuk duduk.
“Anak Muda, Engkau ini siapa?” tanya Labih.
“Maaf, apabila kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan. Nama saya Simbun. Saya berasal dari kampung sebelah,” jawab Simbun.
“Ada yang bisa kubantu, Simbun?” Labih kembali bertanya.
“Sebenarnya, maksud kedatang saya kemari ingin melamar putri Tuan yang bernama Leniri itu. Jika diperkenankan, saya berjanji akan membahagiakannnya, Tuan,” ungkap Simbun.
Mengetahui maksud kedatangan Simbun, Labih terdiam sejenak. Ia ragu untuk memberikan jawaban, karena putrinya adalah keturunan ikan patin. Ia tidak ingin asal-usul putrinya yang selama ini dirahasiakannya diketahui oleh orang banyak. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya Labih memberi jawaban.
“Baiklah, Simbun! Aku bersedia menikahkanmu dengan Leniri, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” kata kakek itu.
“Apakah syarat itu, Tuan?” tanya Simbun penasaran.  
“Begini, Simbun! Sebenarnya, Leniri itu adalah keturunan ikan patin. Kakek menemukannya saat Kakek sedang memancing di Sungai dua puluh tahun yang lalu. Jika kamu berjanji untuk tidak menyakiti hati Leniri dengan mengungkap asal-usulnya, maka kamu boleh menikahinya,” jawab Labih.
“Baiklah, Kek! Saya berjanji tidak akan menyakiti hati Leniri. Saya akan menyayanginya sepenuh hati,” ucap Simbun.
Akhirnya, Labih pun menerima lamaran Simbun. Tak berapa lama kemudian, Leniri pun keluar dari dapur sambil membawa minum untuk ayah dan tamunya. Usai menyuguhkan minuman, Leniri duduk di samping ayahnya sambil tertunduk malu-malu.
“Leniri, Anakku! Kenalkan anak muda ini, namanya Simbun. Kedatangannya kemari hendak melamarmu,” kata Labih.
”Iya, Ayah! Niri sudah mendengarkan semua pembicaraan ayah dengan Simbun. Niri yakin, semua keputusan Ayah adalah demi kebahagiaan Niri juga,” jawab Leniri.
Labih pun mengerti maksud jawaban dari putrinya bahwa ia pun menerima lamaran itu dan bersedia mengarungi kehidupan rumah tangga bersama Simbun. Akhirnya, Simbun dan Leniri pun menikah. Mereka hidup rukun dan berbahagia. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan dan diberi nama Ari.
Suatu hari, ketika Simbun akan berangkat bekerja, Leniri memintanya untuk menunggui Ari yang sedang tertidur di ayunan. Leniri  akan pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Hari itu, cucian Leniri cukup banyak, sehingga memakan waktu lama untuk mencuci dan menjemurnya. Hari menjelang siang, Leniri belum juga pulang dari sungai. Simbun pun mulai kesal menunggu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul istrinya. Namun, ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba anaknya terbangun dan menangis keras. Ia pun bertambah kesal dan marah. Tanpa disadarinya, tiba-tiba ia berucap:
“Dasar! Ibumu memang keturunan ikan! Jika bertemu dengan air, pasti ia tidak mau berhenti!”
Tanpa sepengetahuannya, Leniri telah kembali dari sungai dan mendengar ucapannya itu. Leniri pun tidak sanggup menahan air matanya, karena sedih. Ia tidak pernah menyangka kalau suaminya akan melanggar janji yang telah diucapkan ketika akan menikahinya.
“Tidak ada lagi gunanya aku tinggal di sini. Suamiku sudah tidak sayang lagi kepadaku,” gumam Leniri.
Usai bergumam, Leniri masuk ke dalam rumah dan mendekati putranya yang sedang menangis. Setelah menyusuinya, ia menghampiri suaminya.
“Bang! Jagalah anak kita baik-baik. Adik harus kembali ke tempat asal Adik di sungai. Abang telah melanggar janji Abang sendiri,” kata Leniri.
Simbun tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa bersalah dan sangat menyesal, karena telah menyakiti hati istrinya. Ketika ia hendak meminta maaf, Leniri sudah keburu pergi. Ia berusaha mengejarnya hingga ke tepi sungai, namun Leniri telah menjadi seekor ikan patin.
“Istriku! Kembalilah...!” teriak Simbun dari tepi sungai.
Namun teriakannya sia-sia. Leniri sudah berenang hingga ke tengah sungai dan menghilang. Sejak itu, Simbun harus merawat dan membesarkan anaknya seorang diri.
* * *
Demikian cerita Asal-Usul Ikan Patin dari daerah Kalimantan Tengah. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang hingga kini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat setempat. Cerita di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu: keutamaan sifat sabar dan akibat yang ditimbulkan oleh sifat mengikari janji.
Pertama, keutamaan sifat sabar. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat sabar adalah hal yang penting dan diutamakan. Orang yang selalu bersabar dalam menghadapi berbagai masalah, maka kebaikan akan selalu bersamanya. Tuhan akan memberinya nikmat yang lebih baik dan lebih luas. Hal ini digambarkan oleh sifat dan perilaku Labih yang senantiasa bersabar dalam menghadapi segala permasalahan. Berkat kesabarannya tersebut, Tuhan pun memberinya seorang anak perempuan yang cantik bernama Leniri.
Kedua, akibat buruk dari sifat ingkar janji. Sifat ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Orang yang ingkar janji, tidak hanya menyakiti dan mengecewakan hati orang lain, tetapi juga menyikiti hati sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kita lebih berhati-hati dalam mengucapkan janji agar terhindar dari hal-hal yang dapat menyakiti hati sendiri dan hati orang lain. Hal ini terlihat dalam cerita di atas ketika Simbun mengingkari janjinya untuk tidak menyakiti hati Leniri. Akibatnya, Leniri pun pergi meninggalkannya, karena sakit hati.
Selain itu, sifat ini juga dipantangkan karena termasuk salah satu ciri orang munafik. Salah satu petuah amanah tentang sifat munafik ini disebutkan dalam ungkapan Melayu seperti berikut: 

apa tanda orang munafik,
lidah bercabang, akal berbalik

Minggu, 03 Februari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Ikan Patin

Ikan patin adalah salah satu jenis ikan sungai atau air tawar. Ikan jenis ini memiliki bentuk yang unik. Badannya panjang sedikit memipih, berwana putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, tidak bersisik, mulutnya kecil, memiliki sungut berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba. Ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar sungai dan lebih banyak mencari makan pada malam hari. 



Ikan patin banyak dijumpai di Provinsi Riau, Indonesia. Menurut masyarakat setempat, dulunya ikan ini hanya ada di daerah aliran Sungai Indragiri, Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Rokan. Ikan patin yang asli adalah berasal dari sungai dan memiliki aroma khas. Selain itu, ikan patin yang dari sungai biasanya memiliki ukuran lebih panjang dan lebih berat. Pada era tahun 1970-an hingga 1980-an, masyarakat Riau masih sering menjumpai ikan patin yang panjangnya sampai satu meter lebih.
Kini, ikan patin yang asli dari sungai sudah jarang dijumpai. Sejak 10 tahun terakhir, budidaya ikan patin sudah mulai ramai dilakukan oleh masyarakat Riau. Namun, hasilnya sangat berbeda dengan ikan asli dari sungai. Ikan patin hasil budidaya ukurannya lebih pendek dan ringan, rata-rata hanya sepanjang 25-50 centimeter dengan berat kurang dari satu kilogram dan terkadang masih berbau tanah. Walaupun demikian, jika ikan patin tersebut dimasak dengan bumbu yang benar, mencium aromanya saja sudah mampu menggugah selera bagi penikmatnya. Oleh karenanya, di sejumlah warung makan di Riau, menu masakan ikan patin menjadi salah satu menu favorit khas Melayu, khususnya masakan gulai ikan patin dan asam pedas ikan patin. Namun, senikmat dan segurih apa pun ikan patin, tidak semua orang Melayu mau memakannya. Kenapa sebagian orang Melayu tidak mau memakan ikan patin? Temukan jawabanaya dalam cerita Legenda Ikan Patin berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu merasa bahagia. Ia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerajaan sehari-harinya adalah menangkap ikan di sungai dan mencari kayu di hutan.
Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.
“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,” demikian terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading.
Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya.
“Hai, anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati.
Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya. Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung.
“Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” tetua Kampung berpesan.
“Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang.
“Dayang sayang, anakku seorang… Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenalkan kehidupan alam lebih dekat.
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.
“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.
“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.
“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.
Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah.
“Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya.
Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu.
“Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah.
Awangku Usop menyanggupi syarat itu.
“Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.
Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.
Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.
Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya. 

Sesampai di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya.
“Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.
Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya.
“Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik!”
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
* * *
Demikian cerita Legenda Ikan Patin dari Provinsi Riau. Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai tersebut di antaranya kewajiban mendidik anak, berbudi pekerti luhur, dan pantangan melanggar janji. Sifat kewajiban mendidik anak tercermin pada sifat Awang Gading yang telah mendidik dan membekali berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti pada Dayang Kumunah. Sifat berbudi pekerti luhur tercermin pada sifat Dayang Kumunah. Meskipun cantik, ia tetap tidak sombong. Sementara itu pantangan yang dilanggar oleh Awangku Usop adalah melanggar janji. Ia telah mengingkari janjinya untuk tidak meminta Dayang Kumunah tertawa.
Mendidik anak dengan baik dan budi pekerti luhur patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang Melayu, mendidik anak adalah kewajiban orang tua, karena telah menjadi perintah ajaran agama dan adat lembaga. Mendidik dan memelihara anak tidak boleh diabaikan, karena kewajiban orang tua dalam mendidik anak tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Oleh karena itu, sifat ini sangat diutamakan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Banyak petuah amanah yang berkaitan dengan mendidik anak yang diwariskan dalam budaya Melayu, salah satu di antaranya adalah seperti berikut:
anak dididik sejak kecil
anak diajar sejak terpancar
anak dibela selamanya
Sementara sifat suka mengingkari janji sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu, karena sifat ini termasuk salah satu ciri orang munafik. Petuah amanah tentang sifat munafik juga banyak diwariskan dalam budaya Melayu, di antaranya seperti berikut:
apa tanda orang munafik,
lidah bercabang, akal berbalik