Tampilkan postingan dengan label Gorontalo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gorontalo. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Daerah Tapa, Tuladenggi Dan Panthungo

Tapa, Tuladenggi, dan Panthungo adalah tiga nama daerah di Provinsi Gorontalo. Menurut cerita, nama ketiga daerah tersebut diberikan oleh pemimpin Kerajaan Bolango yang bernama Raja Tilahunga saat melakukan perjalanan bersama rombongannya ke arah hulu. Mengapa Raja Tilahunga menamai demikian ketiga daerah tersebut? Simak kisahnya dalam cerita Asal Usul Daerah Tapa, Tuladenggi, dan Panthungo berikut ini.


Dahulu, di daerah Gorontalo ada sebuah kerajaan bernama Bolango. Kerajaan itu dipimpin oleh Raja Tilahunga yang terkenal arif dan bijaksana. Rakyatnya senantiasa tunduk dan patuh kepadanya. Apapun perintahnya, mereka tidak pernah membangkang.
Raja Tilahunga memiliki kegemaran berkelana hingga ke pedalaman. Suatu hari, ia bermaksud untuk melakukan perjalanan panjang. Maka, dikumpulkanlah para pembesar dan hulubalang kerajaan dalam suatu rapat besar untuk membicarakan rencana tersebut.
Wahai, para pembesar dan hulubalangku. Tiga hari lagi kita akan berpergian jauh. Karena perjalanan ini cukup lama, maka aku minta kalian untuk mempersiapkan semua kebutuhan yang diperlukan selama bepergian,” perintah Raja, “Semua urusan kerajaan aku serahkan kepada para pejabat istana. Aku harap kalian dapat menjalankan tugas-tugas kerajaan dengan baik selama kepergianku.”
“Perintah Baginda akan kami laksanakan,” kata para pejabat kerajaan.
Tiga hari kemudian, rombongan Raja Tilahunga pun berangkat menuju ke arah hulu dengan membawa bekal makanan secukupnya. Selain itu, mereka juga membawa alat-alat perkebunan seperti cangkul, linggis, kapak dan sebagainya. Peralatan tersebut akan mereka gunakan untuk membuka lahan perkebunan saat menemukan lahan yang subur di tengah perjalanan mereka.
Perjalanan Raja Tilahunga bersama rombongannya kali ini cukup melelahkan. Jalan yang mereka lalui adalah areal perbukitan yang terjal. Tak jarang pula mereka harus melalui semak belukar dan menyeberangi sungai yang cukup dalam dan berbatu. Tentu saja, keadaan tersebut membuat tenaga mereka terkuras.
Setelah hampir setengah hari berjalan, rombongan Raja Tilahunga tiba di sebuah bukit yang dipenuhi pepohonan yang rindang. Udaranya sejuk dan pemandangan di sekitarnya sangat indah dan mempesona. Sang Raja dan rombongannya pun beristirahat sejenak di tempat itu.
 “Kita beristirahat sejenak di tempat ini untuk melepaskan lelah,” kata Raja Tilahunga,  
Seluruh anggota rombongan pun berhenti. Para anggota rombongan masing-masing mencari tempat berteduh di bawah pohon yang rindang. Sementara itu, beberapa hulubalang terlihat sibuk menyiapkan tempat beristirahat untuk sang Raja. Namun, sebagai raja yang bijaksana, Raja Tilahunga menolak untuk dibuatkan tempat peristirahatan yang istimewa. Ia tidak ingin ada jarak antara dirinya sebagai raja dengan para pengawalnya. Ia lebih suka bergaul dan menyatu bersama mereka agar menjadi lebih akrab. Oleh karena itu, semua pakaian kebesaran yang dikenakannya ia lepaskan dan meletakkannya di tanah. Hal itu berarti bahwa Raja Tilahunga meletakkan jabatannya sementara sebagai raja. Sejak saat itu, tanah berbukit itu dinamakan Bukit Tapa, yang diambil dari kata tapatopo yaitu meletakkan atau menitipkan sesuatu (jabatan) yang sifatnya sementara.
Setelah rasa letih dan lelah mereka lenyap, rombongan Raja Tilahunga kembali melanjutkan perjalanan. Ketika itu, hari sudah menjelang siang. Terik matahari yang semakin panas dan menyengat membuat kerongkongan semua rombongan kering dan ditambah pula perut yang sudah mulai keroncongan. Melihat para pengawalnya mulai kehausan dan kelaparan, sang Raja pun memutuskan untuk berhenti dan beristirahat saat melawati sebuah padang rumput yang luas dan hijau .
“Pengawal, berhenti!” teriak sang Raja.
Semua rombongan pun berhenti. Tampak wajah anggota rombongan itu mulai pucat karena kelelahan.
“Sebaiknya kita beristirahat dulu di tempat ini. Silakan kalian membuka perbekalan kalian!” ujar sang Raja, “Tapi, ingat! Setelah makan, rapikan kembali perbekalan kalian masing-masing.”
“Baik, Baginda!” jawab semua anggota rombongan serempak.
Dengan perasaan senang dan gembira, seluruh anggota rombongan segera membuka perbekalan masing-masing. Mereka pun makan dengan lahap. Selesai makan, mereka pun merapikan kembali bekal mereka. Namun, di antara rombongan itu masih ada beberapa orang yang terlihat makan dengan lahap seolah-olah hendak menghabiskan semua perbekalannya. Melihat hal itu, sang Raja pun segera mengingatkan mereka.
“Wahai, para Pengawal! Sebaiknya kalian makan sekenyangnya saja. Jika terlalu kenyang, tentu akan membuat kalian susah untuk berjalan. Lagi pula, perjalanan kita masih cukup panjang. Kalian harus lebih menghemat makanan agar tidak cepat kehabisan bekal,” kata sang Raja.
Mendengar nasihat sang Raja, mereka pun segera menghentikan makannya dan merapikan bekal yang masih tersisa. Salah seorang dari anggota rombongan itu bernama Denggi. Ia memang terkenal suka makan dan rakus. Ketika rombongan lain sedang sibuk merapikan bekal, ia justru merampas makanan milik mereka.
“Hai, Denggi! Jangan kamu ambil bekalku! Ayo, cepat kembalikan!” seru seorang anggota rombongan yang makanannya dirampas oleh Denggi.
Denggi yang serakah itu menolak untuk mengembalikannya sehingga terjadilah pertekaran di antara mereka. Ketika pertengkaran itu berlangsung, beberapa anggota rombongan yang lain ikut marah-marah kepada Denggi. Rupanya, Denggi tidak hanya merampas bekal milik seorang pengawal saja, tetapi juga milik beberapa anggota rombongan yang lain. Kericuhan pun terjadi di tengah-tengah padang rumput tersebut dan mengundang perhatian Raja Tilahunga.
Setelah mengetahui bahwa penyebab kericuhan itu adalah Denggi, sang Raja pun segera menasehatinya. Dengan sikap arif dan bijaksana, ia menegur Denggi tanpa membuat pengawalnya itu tersinggung. Akhirnya, Denggi yang rakus itu mengakui kesalahannya dan segera meminta maaf kepada kawan-kawannya. Sejak itu, padang rumput yang luas dan hijau itu diberi nama Tuladenggi, yaitu dimbil dari kata tula yang berarti rakus dan nama si Denggi. Jadi, Tuladenggi berarti “Denggi yang rakus”.
Setelah masalah itu selesai, Raja Tilahunga dan rombongannya melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di tepi Danau Limboto. Pemandangan di sekitar danau itu sangat indah dan memukau. Pepohonan yang tumbuh subur di tepian danau membuat suasana di sekitarnya menjadi sejuk. Sang Raja amat menyukai keindahan daerah itu. Karena hari sudah mulai gelap, ia pun mengajak rombongannya untuk beristirahat di tempat itu.
“Pengawal, kita berhenti di sini. Cepat dirikan tenda-tenda kalian!” titah Raja Tilahunga, “Daerah ini sangat cocok dijadikan lahan perkebunan.”
“Daulah, Baginda,” jawab para pengawalnya.
Para pengawal tersebut segera mendirikan tenda di tepi Danau Limboto. Setelah tenda-tenda itu selesai didirikan, Raja Tilahunga dan beberapa pengawalnya segera beristirahat. Namun, sebagian yang lain masih berjaga di sekitar tenda untuk mewaspadai serangan musuh atau binatang buas yang kemungkinan datang secara tiba-tiba. 
Keesokan harinya, Raja Tilahunga memerintahkan para pengawalnya agar mengeluarkan alat-alat perkebunan mereka. Namun, alangkah terkejutnya mereka karena tangkai pegangan peralatan banyak yang rusak.
“Ampun, Baginda! Peralatan kita banyak yang rusak,” lapor seorang pengawal.
Mendengar laporan itu, Raja Tilahunga segera memerintahkan para pengawalnya untuk memperbaiki peralatan tersebut. Setelah itu, sang Raja pun menamai daerah itu dengan nama Panthungo yang berarti tangkai pegangan alat berkebun.
Setelah semua peralatan diperbaiki, seluruh anggota rombongan mulai bekerja membuka lahan perkebunan. Ada yang menebang pohon dan ada pula yang membabat semak-semak. Sebagian anggota rombongan membuat rakit dan perahu untuk digunakan menangkap ikan di Danau Limboto.
Setelah lahan perkebunan siap ditanami, mereka menanaminya dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran. Rombongan Raja Tilahunga akhirnya tinggal untuk beberapa lama di daerah itu. Alhasil, hasil perkebunan mereka pun amat melimpah. Mereka juga memperoleh banyak hasil tangkapan ikan dari Danau Limboto.
Sebenarnya, sang Raja amat senang tinggal di daerah itu. Namun, ia tidak mungkin meninggalkan rakyatnya di Kerajaan Bolango. Akhirnya, rombongan sang Raja pun meninggalkan daerah itu dengan membawa hasil perkebunan dan ikan yang cukup banyak.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Daerah Tapa, Tuladenggi, dan Panthungo dari Provinsi Gorontalo. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa menjadi pemimpin harus bersikap adil, arif, dan bijaksana seperti halnya Raja Tilahunga. Selain itu, hendaknya kita tidak menjadi orang yang rakus atau serakah seperti Denggi.

Jumat, 21 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Limonu Yang Perkasa

Limonu adalah putra kedua Raja Naha dan cucu Raja Ilato dari Kerajaan Gorontalo. Ketika ia masih dalam kandungan ibunya, ayah dan kakaknya yang bernama Paha atau Pahu tewas saat berperang melawan Hemuto. Saat dewasa, Limonu pun mengetahui bahwa orang yang telah menghabisi nyawa ayah dan kakaknya adalah Hemuto yang merupakan guru silatnya sendiri. Akankah Limonu menuntut balas kepada gurunya sendiri atas kematian ayahnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Limonu Yang Perkasa berikut ini.



Alkisah, di daerah Gorontalo, ada seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Limonu. Ayahnya telah tewas dalam sebuah peperangan saat ia masih dalam kandungan ibunya yang bernama Ohihiya. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan didik oleh ibunya seorang diri. Ketika beranjak dewasa, Limonu dimasukkan ke dalam perkumpulan silat yang ada di daerah itu. Dari situlah Limonu dapat menguasai dasar-dasar ilmu silat.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa para tokoh-tokoh atau pendekar silat dari daerah utara akan mengadakan pertemuan di Benteng Otanaha. Dalam pertemuan itu, seorang pendekar silat terkenal bernama Hemuto akan menjajal ilmu silatnya yang tinggi sekaligus mengadakan upacara pengukuhan bagi para pendekar silat yang sudah tamat. Mendengar kabar itu, Limonu bermaksud menghadiri pertemuan tersebut untuk berguru kepada Hemuto. Niat itu pun ia sampaikan kepada ibunya.
Ibu Limonu tertegun sejenak. Mendengar nama Hemuto, ia menjadi teringat kepada suami dan putranya Paha yang telah tiada. Perasaan trauma karena peristiwa yang menimpa kedua orang yang sangat dicintainya puluhan tahun silam itu begitu sulit ia hilangkan. Karena perasaan itu, ia tidak rela jika putra kesayangannya menjadi murid Pak Hemuto. Namun di sisi lain, ia tidak ingin peristiwa itu diketahui oleh Limonu. Oleh karena itu, ia berupaya memberikan alasan lain agar Limonu tidak menghadiri pertemuan tersebut.
“Limoto, anakku! Bukankah pertemuan itu hanya dihadiri oleh para pesilat yang sudah terpilih? Sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Kamu harus lebih banyak berlatih dan memantangkan dulu ilmu silatmu. Setelah itu, kamu baru boleh mengikuti upacara pengukuhan di perkumpulan Pak Hemuto,” ujar Permaisuri Ohihiya kepada putranya.
Meskipun ibunya telah berusaha mencegahnya, Limonu tetap bersikeras ingin menghadiri pertemuan tersebut dan berkeinginan menjadi murid Pak Hemuto. Tekad keras Limonu itu tak terbendung lagi sehingga permaisuri Ohihiya harus merelakan keinginan putranya.
Keesokan hari, saat hari mulai gelap, para tokoh silat mulai memadati tempat pertemuan di Benteng Otanaha. Sementara itu, Limonu yang baru datang pada saat pertemuan akan dimulai langsung masuk ke ruang pertemuan untuk mencari duduk di sebelah saudara seperguruannya. Setelah duduk, ia mengamati satu per satu para tokoh silat dan para tamu undangan. Begitu bertemu pandang dengan Hemuto, ia tunduk memberi hormat. Pak Hemuto pun membalasnya dengan senyum lalu menghampiri Limonu.
“Hai, anak muda! Siapa kamu dan berasal dari mana?” tanya Pak Hemuto.
“Saya Limonu Pak, penduduk di sekitar benteng ini,” jawab Limonu tersenyum sambil memberi hormat.
“O ya, Limonu, kalau boleh saya tahu, apa maksudmu datang ke acara ini tanpa diundang?” Pak Hemuto kembali bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, Limonu pun mengutarakan maksud kehadirannya pada acara itu bahwa dirinya ingin berguru kepada Pak Hemuto.
Hemuto hanya diam sambil memandangi Limonu dengan penuh perhatian. Rupanya, ia mengagumi perawakan dan keberanian pemuda itu beradu pandang dengan dirinya. Selama ini, ia jarang menemukan pemuda yang seberani itu. Oleh karena itu, Hemuto tertarik untuk mengangkatnya menjadi murid demi memperkuat pasukan berani mati yang akan dibentuknya. Akhirnya, pada kesempatan yang lain, Pak Hemuto menyatakan kesediaannya untuk menerima Limonu menjadi muridnya dengan harapan pemuda pemberani itu akan menjadi penerus kepemimpinannya.
Alangkah senangnya hati Limonu karena keinginannya dipenuhi oleh Pak Hemuto. Sejak itulah, Limonu menjadi murid Pak Hemuto. Ia sangat tekun berlatih dan cepat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya sehingga kian hari kemampuan ilmu silatnya dapat menyamai ilmu gurunya. Hemuto pun semakin kagum pada keberanian dan kegigihan Limonu. Tidak mengherankan jika Limonu dianggap sebagai murid kesayangan Hemuto.
Suatu sore, ketika Limonu sedang asyik membersihkan keris peninggalan sang ayah di pekarangan rumah, tiba-tiba ibunya datang menghampirinya.
“Limonu, anakku! Ada sesuatu yang Ibu ingin ceritakan kepadamu,” sapa ibunya.
“Ada apa, Bu? Sepertinya penting sekali,” kata Limonu seraya menghentikan kegiatannya.
“Sebaiknya, kamu simpan dulu keris itu. Setelah itu, barulah Ibu akan bercerita,” ujar ibunya.
“Baik, Bu,” jawab Limonu seraya memasukkan keris itu ke dalam sarungnya dan memasukkannya ke dalam kotak kayu jati yang berukir lalu segera menyimpannya di kamar.
Sekembali kembali dari kamar, Limonu duduk di samping ibunya.
“Ada ada gerangan, Bu? Ceritakanlah, Limonu siap mendengarnya,” kata Limonu penasaran.
“Limonu, anakku. Kini kamu sudah dewasa. Sudah saatnya Ibu membuka rahasia ini kepadamu. Ibu sudah tidak kuat lagi memikul beban yang berat ini,” ungkapnya.
“Rahasia apa, Bu?” tanya Limonu semakin penasaran.
Permaisuri Ohihiya pun menceritakan semua perihal ayah Limonu mulai dari kedudukannya sebagai penguasa di negeri itu hingga keinginannya menjadi raja di dua wilayah daratan yaitu Daratan Barat dan Daratan Utara.
“Saat kamu masih dalam kandungan Ibu, ayahmu adalah penguasa negeri ini. Suatu ketika, ayahmu ingin menguasai daerah Daratan Utara yang berada di bawah kekuasaan Hemuto. Ibu sudah menasehatinya, namun ayahmu tidak mau mengurungkan niatnya sehingga terjadilah peperangan antara pasukan Daratan Barat dan Daratan Utara. Dalam pertempuran itu, ayahmu gugur dan menyusul kemudian kakakmu Paha yang pada saat itu sebagai pimpinan Pasukan Berani Mati,” jelas ibu Limonu.
“Lalu, siapa pembunuh ayah dan kakak Paha, Bu?” tanya Limonu penasaran.
Permaisuri Ohihiya hanya menghela nafas panjang. Baginya sungguh berat untuk memberitahukan hal itu kepada putra kesayangannya.
“Katakanlah, Bu! Siapa pembunuh ayah dan kaka Paha sebenarnya? Limonu siap menuntut balas atas kematian mereka” desak Limonu.
Akhirnya, Permaisuri Ohohiya pun memberitahukan bahwa orang yang telah membunuh ayah dan kakak Limonu adalah Pak Hemuto yang pada saat itu sebagai pemimpin pasukan Daratan Utara.
“Apa Ibu? Pak Hemuto?” Limonu terkejut, “Ah, tidak mungkin, Bu. Tidak mungkin guru Hemuto yang melakukannya. Ia begitu baik dan telah menurunkan ilmu silatnya kepadaku.”
“Tapi, begitulah kenyataannya, anakku” kata ibunya.
Limonu benar-benar tidak percaya terhadap peristiwa yang telah menimpa keluarganya. Di hatinya bertarung antara kewajiban membalas kematian ayah dan kakaknya dan kewajiban berbakti kepada gurunya. Bagi Limonu, kenyataan itu merupakan sebuah pilihan hidup yang sangat sulit untuk ditetapkan. Setelah lama merenung, akhirnya ia memutuskan untuk tetap menuntut balas walaupun harus berhadapan dengan gurunya sendiri.
Limonu seorang pemuda yang cerdik dan bijaksana. Ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya dengan caranya sendiri tanpa harus durhaka terhadap gurunya. Ia hanya ingin hidup damai bersama dengan penduduk di sekitarnya dan sekaligus membela orang-orang yang lemah. Dengan dalih inilah, Limonu kemudian membentuk pasukan berani mati dan melatihnya jurus-jurus silat tingkat tinggi.
Setelah membangun sebuah pasukan yang kuat, Limonu mengadakan pertemuan dengan para tokoh dan guru silat, termasuk gurunya Hemuto, untuk memperkenalkan pasukannya. Pada pertemuan itu, ia bermaksud menanyakan langsung perihal kematian ayahnya kepada Pak Hemuto. Ketika gilirannya melaporkan mengenai keberadaan pasukannya, pada saat pula Limonu mengajukan suatu pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh Pak Hemuto.
“Guru, seandainya seorang ayah gugur dalam pertempuran merebut kekuasaan, apakah seorang anak boleh meneruskan pertarungan itu demi membalas kematian ayahnya?” tanya Limonu.
Hemuto tersentak kaget. Kini, ia menyadari bahwa ternyata Limonu adalah putra Raja Naha yang hendak menutut balas atas kematian ayahnya. Karena tidak ingin dipermalukan oleh muridnya di hadapan orang banyak, Hemuto menjawab, “Kalau aku katakan... ya, apa rencanamu?”
Akhirnya, Limonu menantang gurunya untuk melaksanakan pertarungan itu. Tapi, sebelum pertarungan itu dimulai, ia mengajukan dua pilihan kepada gurunya, yaitu pertama mengadakan pertarungan tersebut dengan syarat pemenangnya berhak menguasai dua daratan tersebut. Pilihan yang kedua adalah Pak Hemuto harus menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Limonu tanpa harus berperang. Penyerahan kekuasaan itu dianggap oleh Limonu sebagai penebus kematian ayah dan kakaknya.
Akhirnya, Pak Hemuto memilih syarat yang pertama karena ia tidak ingin kalah tanpa berperang sehingga harga dirinya tidak jatuh di hadapan orang banyak. Maka dalam sekejap, tempat pertemuan itu berubah menjadi arena peperangan antara pasukan Limonu dan Hemuto. Dalam pertempuran itu, Hemuto dan pasukannya terdesak dan melarikan diri. Namun, peperangan tersebut tidak berakhir sampai di situ. Suatu ketika, Hemuto dan pasukannya kembali menyerang dan mengepung Benteng Otanaha tempat pertahanan Limonu dan pasukannya. Namun, dengan siasat cerdiknya, Limonu dan pasukannya menggulingkan bebatuan besar dari puncak bukit disertai lemparan batu kepada pasukan Hemuto. Peristiwa pelemparan batu tersebut dalam bahasa Gorontalo disebut “mo dembenga botu”, karena pada saat pasukan Limonu melemparkan batu mereka berseru “Dembenga.... Dembenga timongoliyo...!” atau “Lempar...! Lempari mereka...!”
Pada peristiwa tersebut banyak pasukan Hemuto yang tewas dan sebagian yang lain lari tunggang-langgang karena dikejar sambil dilempari batu oleh pasukan Limonu sampai ke utara. Menurut cerita, tempat peristiwa pelemparan batu tersebut manjadi nama desa yang sampai saat ini dikenal dengan Desa Dembe I. Sementara itu, tempat berakhirnya pelemparan batu yang dilakukan oleh pasukan Limonu di daerah utara disebut dengan Desa Dembe II.
* * *
Demikian cerita Limonu Yang Perkasa dari daerah Gorontalo. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat pemberani sebagaimana yang dimiliki Limonu. Berkat keberanian dan keperkasaannya, ia berhasil membentuk pasukan berani mati dan mengalahkan pasukan Hemuto. Pesan moral lainnya adalah keutamaan sifat berbakti kepada orang tua. Demi kecintaannya kepada sang ayah yang telah meninggal, Limonu berani berperang melawan gurunya sendiri, Hemuto.

Kamis, 20 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote

Botu Liodu Lei Lahilote adalah sebuah batu berbentuk telapak kaki manusia yang terletak di Pantai Pohe, Provinsi Gorontalo, Indonesia. Oleh masyarakat setempat dipercayai sebagai telapak kaki Lahilote. Botu Liodu Lei Lahilote dalam bahasa setempat berarti batu bekas telapak kaki si Lahilote. Peristiwa apakah yang terjadi di daerah itu sehingga bekas telapak kaki Lahilote ada di atas batu tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote berikut ini.



Alkisah, di Tanah U Duluo lo`u Limo lo Pohite, Gorontalo, ada seorang pemuda tampan dan gagah bernama Piilu Le Lahilote, yang akrab dipanggil Lahilote. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil di pinggir hutan. Ia pemuda yang tekun, pekerja keras, dan memiliki angan-angan yang tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, setiap hari ia moleleyangi (mengembara masuk keluar hutan) berburu binatang.
Suatu hari, ketika hendak beristirahat di tepi telaga di tengah hutan, Lahilote mendengar suara gadis-gadis yang sedang ramai bercanda.
“Hai, suara siapa itu? Dari mana sumber suara itu?” tanya Lahilote dalam hati.
Lahilote pun segera mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa sumber suara tersebut berasal dari telaga itu. Ia kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon besar, lalu mengintip untuk memeriksa keadaan. Ia tersentak kaget melihat tujuh gadis cantik sedang asyik mandi dan bersenda gurau di telaga itu. Ia mengawasi setiap gerak-gerik mereka tanpa berkedip sedikit pun. Rupanya, pemuda tampan itu terpesona melihat kecantikan para gadis tersebut.
Mulanya, Lahilote mengira ketujuh gadis itu penduduk bumi. Namun, setelah melihat tumpukan pakaian dan sayap yang berada di tepi telaga, barulah ia sadar bahwa ternyata mereka adalah Putri lo Owabu (putri kahyangan/bidadari). Karena terposana melihat kecantikan para bidadari tersebut, maka timbullah niatnya untuk menahan salah seorang dari mereka untuk dijadikan istri. Dengan kesaktiannya, ia segera mengubah wujudnya menjadi seekor ayam hutan jantan. Kemudian ia berjalan mendekati tempat tumpukan pakaian dan sayap itu sambil mengais-ngaiskan kakinya di tanah. Pada saat ketujuh putri kahyangan tersebut menyelam, dengan cepat Lahilote mengambil salah satu dari tujuh sayap tersebut, lalu membawanya pulang dan menyembunyikannya di lumbung padi yang berada di kolong rumahnya.
Setelah itu, Lahilote bergegas kembali ke telaga. Setibanya di sana, ia mendapati ketujuh bidadari tersebut sedang berkemas-kemas. Satu persatu mereka mengenakan pakaian masing-masing. Betapa terkejutnya salah satu dari bidadari itu ketika mengetahui sayapnya tidak ada di tempatnya. Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari yang paling bungsu.
“Kak! Apakah kalian melihat sayap Adik?” tanya bidadari bungsu.
“Tidak, Dik!” jawab keenam kakaknya serentak.
“Tadi Adik meletakkannya di mana?” tanya bidadari sulung.
“Adik meletakkannya di atas batu ini bersama pakaian Kakak,” jawab bidadari bungsu dengan bingung.
Sementara bidadari bungsu sedang kebingungan mencari sayapnya, keenam kakaknya telah bersiap-siap terbang menuju Kahyangan karena hari sudah semakin sore.
“Bungsu! Kami harus meninggalkanmu sendirian di sini!” ujar si sulung seraya terbang ke angkasa bersama keempat adiknya yang lain.
“Bagaimana dengan nasib Adik, Kak?” teriak si bungsu mengiba.
“Maafkan kami, Dik! Kami tidak bisa membantumu. Jagalah dirimu baik-baik!” seru putri sulung.
Si Bungsu hanya bisa berdiri terpaku memandangi keenam kakaknya yang terbang ke angkasa. Ketika mereka menghilang dari pandangannya, ia pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah.... Ibu...! Tolonglah aku! Aku tidak mau tinggal sendirian di sini,” keluh si Bungsu.
Sementara itu, Lahilote yang melihat si Bungsu bersedih segera keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
“Hai, gadis cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu bersedih dan menangis?” tanya Lahilote seolah-olah tidak mengetahui peristiwa yang menimpa bidadari itu.
Gadis cantik itu tidak menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu. Ia baru berhenti menangis setelah Lahilote membujuk dan merayunya berkali-kali.
“Nama saya  Boilode Hulawa dari Negeri Kahyangan,” kata bidadari itu memperkenalkan diri.
Begitu pula sebaliknya, Lahilote memperkenalkan diri kepada Boilode Hulawa, lalu kembali menghiburnya.
“Wahai, Boilode Hulawa! Dinda tidak perlu bersedih hati tinggal di bumi ini. Kanda akan menolong Dinda,” hibur Lahilote.
“Tapi, Kanda! Dinda tidak mempunyai sanak saudara dan keluarga di negeri ini,” kata bidadari bungsu itu dengan hati sedih.
“Tenanglah! Dinda tidak usah khawatir! Dinda boleh tinggal bersama Kanda di rumah Kanda,” bujuk Lahilote.
Mendengar bujukan itu, hati Putri Boilode Hulawa yang tadi sedih berubah menjadi senang dan gembira. Lahilote pun mengajak Putri Boilode Hulawa ke rumahnya. Selang beberapa lama tinggal bersama, Lahilote menyampaikan keinginannya untuk menikahi putri kahyangan itu.
“Dinda! Maukah Dinda menikah dengan Kanda?” bujuk Lahilote.
Putri Boilode tersenyum, lalu menjawab:
“Wahai Kanda! Dinda tidak mempunyai alasan untuk menolak keinginan Kanda. Kepada siapa lagi Dinda harus menggantungkan nasib di negeri ini selain kepada Kanda,” jawab Putri Boilode menerima lamaran Lahilote.
Akhirnya, Lahilote dan Putri Boilode pun menikah. Mereka hidup rukun dan damai. Sejak itu, Lahilote semakin rajin bekerja. Ia tidak hanya berburu, tapi juga bercocok tanam. Sementara Boilode Hulawa sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Setahun kemudian, Boilode mulai merasa bosan dan capek melakukan pekerjaan-pekerjaan berat tersebut. Ia baru merasakan betapa beratnya hidup di dunia karena harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Namun, dengan kesaktiannya, ia dapat memasak sebutir beras yang mampu mencukupi makan mereka berdua dalam satu hari. Dengan begitu, ia bisa menghemat tenaga dan makanan. Tapi, hal itu tidak boleh diketahui suaminya agar kesaktiannya tidak hilang.
Suatu hari, Lahilote melihat ada sesuatu yang aneh pada istrinya. Ia berpikir, sudah beberapa bulan istrinya memasak nasi untuknya, tapi padi di lumbung tidak pernah berkurang. Ia juga tidak pernah melihat istrinya menumbuk padi sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, timbullah niatnya untuk mengawasi perilaku sehari-hari istrinya. Ia yakin bahwa istrinya sedang merahasiakan sesuatu kepadanya.
Keesokan harinya, Lahilote berpura-pura berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke kebun. Tanpa curiga sedikit pun, Boilode Huwala segera memasak satu butir beras dalam periuk dan menutupinya rapat-rapat. Sambil menunggu nasi itu masak, ia pergi ke sumur mencuci pakaian. Pada saat itulah, Lahilote yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar di belakang rumahnya segera menyelinap masuk ke dapur. Betapa terkejutnya ia ketika membuka tutup periku itu. Ia melihat isi periuk itu hanya sebutir beras.
“Oh, pantas saja padi di lumbung tidak pernah berkurang, setiap hari istriku hanya memasak sebutir beras. Tapi, mengapa dia merahasiakan hal itu kepadaku?” pikirnya seraya meninggalkan dapur.
Tak berapa lama kemudian, Boilode kembali dari sumur. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dapur memeriksa isi periuknya.
“Waduh, celaka! Kenapa berasnya masih tetap sebutir? Apakah suamiku telah melihat isi periuk ini?” pikirnya.
Setelah Putri Boilode Hulawa membiarkannya beberapa saat di atas tungku, beras itu tetap tidak berubah. Melihat hal itu, seluruh tubuhnya menjadi lemas dan tidak bergairah. Ia hanya bisa duduk termenung menyesali nasibnya karena rahasianya terbongkar. Dengan demikian, ia harus kembali bekerja keras.
Sejak itu, Putri Boilode harus menumbuk padi setiap hari untuk dimasak. Semakin hari padi dalam lumbung mereka pun semakin berkurang. Setahun kemudian, persediaan padi di lumbung mereka habis. Pada saat akan mengambil padi yang terakhir untuk ditumbuk, ia melihat sebuah benda di bawah lapisan lumbung itu.
“Hei, benda apa itu? Sepertinya aku pernah melihatnya?” gumam Putri Boilode.
Setelah memeriksa dan mengamati benda itu dengan seksama, Boilode tersentak kaget. Rupanya, benda itu tidak lain adalah sayapnya yang telah lama hilang. Melihat sayap itu, maka tahulah ia bahwa suaminyalah yang telah mengambil sayapnya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kegembiraannya. Keinginannya untuk kembali ke negerinya pun semakin meluap-luap. Namun, ketika mengambil sayap itu hatinya kembali bersedih, karena beberapa bagian sayapnya sudah sobek.
“Wah, sayap ini perlu dijahit. Tapi, bagaimana caranya agar tidak ketahuan suamiku?” kata Boilode dengan bingung.
Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara. Ia akan berpura-pura mual dan mengaku hamil di hadapan suaminya. Dengan begitu, Lahilote pasti akan merasa senang dan bahagia, dan akan memenuhi segala keinginan istrinya.
Keesokan harinya, Boilode berpura-pura sedang mual dan ingin sekali makan ikan laut.
“Kanda! Perut Dinda terasa mual. Dinda ingin sekali makan ikan laut. Maukah Kanda pergi mencarikannya?” pinta Boilode dengan pura-pura.
Tanpa curiga sedikit pun dan dengan senang hati, Lahilote pun segera berangkat ke laut untuk memenuhi permitaan Boilode. Setelah suaminya pergi, ia segera menjahit bagian-bagian sayapnya yang sobek. Akhirnya, berkat usaha dan ketekunannya, sayapnya pun kembali seperti semula dan dapat digunakan untuk kembali ke negerinya. Sebelum terbang ke Kahyangan, ia berpesan kepada lumbung padi milik suaminya.
“Wahai, Lumbung Padi! Jika suamiku telah kembali dari laut dan menanyakan diriku, tolong jangan engkau beritahu dia bahwa aku sudah menemukan sayapku. Jangan pula engkau beritahu dia bahwa aku telah kembali ke negeriku,” ujar Boilode.
Setelah itu, Boilode juga berpesan kepada pintu, jendela, dapur, belanga, dan semua perabot tanggan lainnya dengan pesan yang sama, yaitu agar mereka merahasiakan kepergiannya kepada Lahilote. Selain itu, ia juga berpesan kepada tetumbuhan, rerumputan, dan pepohonan dengan pesan yang sama. Hanya kepada pohon Hutia Mala (rotan) ia tidak berpesan, karena  menurut cerita, Hutia Mala adalah satu-satunya pohon yang tidak mau dipengaruhi oleh siapa pun. Ia akan selalu jujur dan berkata sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Setelah itu, Boilode Hulawa pun terbang ke angkasa. Sebelum sampai ke angkasa, terlebih dahulu ia melihat keadaan suaminya yang sedang mencari ikan di laut. Dari udara, ia melihat suaminya sedang beristirahat dan tidur terlentang di pantai. Ia pun meludahi suaminya dengan luwa la pomama (air sirih pinang) dan tepat mengenai dadanya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan menuju ke pintu langit. Sementara itu, Lahilote segera terbangun begitu merasakan ada air hangat di atas dadanya. Setelah mengamati dan mencium bau air luwa lo pomama itu, ia yakin bahwa luwa itu keluar dari mulut istrinya.
“Wah, jangan-jangan istriku telah menemukan sayapnya?” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote segera berlari kembali ke rumahnya dan memeriksa lumbung padinya. Ternyata dugaannya benar, sayap itu tidak ada lagi di tempatnya. Mengetahui hal itu, lemaslah sekujur tubuhnya. Untuk memantapkan keyakinannya, ia segera mencari keterangan dengan menanyai semua yang ada di sekitarnya, namun tak satu pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Meski demikian, ia tidak mau putus asa. Ia terus berusaha mencari keterangan ke sana kemari tanpa kenal lelah.
Setelah berhari-hari berjalan keluar masuk hutan, akhirnya Lahilote bertemu dengan Hutia Mala dan mengetahui bahwa istrinya telah kembali ke Kahyangan. Lahilote kemudian meminta pertolongan kepada Hutia Mala agar mengantarnya ke Kahyangan. Pohon ajaib itu bersedia menolongnya, tapi Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan  yaitu: pomala-malabi`u ode Pakusina, wau Dakusina, ode Masariku, wawu Magaribu (besedia dihempaskan ke negeri Palestina, ke Damaskus, ke Timur, ke Barat, dan ke seluruh alam empat penjuru); mencari seekor kucing kecintaan nabi untuk ditugaskan menjaga batang Hutia Mala agar tidak dimakan tikus; dan menyediakan tujuh buah kelapa yang kulitnya keras bila dikupas (bongo pi`ita) untuk makanan kucing tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote menyanggupi persyaratan tersebut. Setelah menyiapkan segala persyaratan itu, ia pun segera memanjat pohon Hutia Mala. Ketika berada di atas pohon, ia dihempaskan secepat kilat ke seluruh penjuru arah mata angin. Betapa ngeri perasaan Lahilote melalui ujian tersebut. Ia berpegang sekuat tenaga agar tubuhnya tidak terlempar. Setelah Hutia Mala berdiri tegak dan diam, Lahilote pun melanjutkan perjalanan menuju Negeri Kahyangan. Kedatangannya pun langsung diketahui oleh Boilode Hulawa dan saudara-saudaranya. Namun, Boilode Hulawa berpura-pura tidak mengenal suaminya. Sementara Lahilote kebingungan mengenali istrinya di antara tujuh wanita cantik yang ada di hadapannya, karena paras dan kecantikan mereka sama persis sehingga sulit untuk membedakannya.
Lahilote semakin bingung karena perutnya terasa sangat lapar. Ia akan mati kelaparan jika tidak diberi makan. Ia ingin meminta bantuan kepada istrinya, namun ia tidak mengetahui yang mana istrinya di antara ke tujuh bidadari tersebut. Karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar, ia pun menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki tua datang menghampirinya.
“Hai, anak manusia! Apa yang engkau risaukan, sehingga bersedih begitu?” tanya lelaki itu.
Lahilote pun menceritakan asal usul dan kerisauan hatinya kepada lelaki tua itu.
“Tenanglah, Anak Muda! Pergilah menemui mereka! Perhatikanlah siapa di antara mereka yang dihinggapi kunang-kunang di antara garis keningnya, maka itulah istrimu,” ujar lelaki tua itu seraya menghilang entah ke mana.
Dengan petunjuk itu, Lahilote kembali menemui ketujuh bidadari itu. Begitu bertemu dan melihat salah seorang di antara mereka dihinggapi seekorang kunang-kunang, ia segera memeluknya dengan erat.  
“Istriku, Kanda sangat merindukanmu,” ucap Lahilote sambil meneteskan air mata.
“Tidak! Aku bukanlah istrimu,” sanggah putri itu sambil meronta-ronta.
Sebenarnya putri itu tidak lain adalah Boilode Hulawa. Namun, ia berusaha mengelak dan menghindari Lahilote, karena teringat penderitaannya ketika ia berada di bumi. Akhirnya ia mengalah setelah Lahilote mendesaknya dan tidak mau melepaskan pelukannya. Meski demikian, ia tidak mau menerimanya begitu saja. Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan jika Lahilote masih ingin memperistrinya. Persyaratan pertama, Lahilote harus menebang sebuah pohon besar dengan menggunakan pisau kecil.
“Bagaimana mungkin sebilah pisau kecil dapat menebang sebuah pohon besar?” pikirnya dengan bingung.  
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba seekor burung belatuk datang menghampiri dan memberinya pertolongan. Burung belatuk itu bersama kawanannya segera mematuk batang pohon itu hingga tumbang. Setelah itu, Lahilota segera melaksanakan persyaratan berikutnya, yaitu mengangkat kayu besar itu ke suatu tempat tanpa meninggalkan setangkai dan sehelai pun daunnya. Lahilote pun berhasil melaksanakan syarat itu atas bantuan seekor ular besar. Demikian seterusnya Lahilote selalu mendapat pertolongan sampai berhasil memenuhi semua persyaratan Boilode Hulawa.
Boilode Hulawa pun menepati janjinya, yakni bersedia menjalin hubungan suami-istri dengan Lahilote. Sejak itu, Lahilote tinggal di Negeri Kahyangan dan diperlakukan layaknya seorang pangeran. Mereka hidup rukun, damai, dan bahagia. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama karena ditemukannya uban di kepala Lahilote. Menurut adat yang berlaku, tak seorang pun penghuni Kahyangan yang boleh beruban, karena hal itu pertanda ketuaan. Penduduk Kahyangan harus menjalani kehidupan abadi dan tetap awet muda.  Hal itulah yang membuat Boilode Hulawa menjadi cemas.
“Kanda! Kita harus merahasiakan hal ini. Jika salah seorang penghuni negeri ini mengetahui ada uban di kepala Kanda, maka celakalah kita. Kita akan diusir dari negeri ini,” ujar Boilde Hulawa.
“Bagaimana kalau uban Kanda kita bakar saja, Dinda?” usul Lahilote.
“Jangan, Kanda! Itu akan lebih berbahaya, karena keluarga Dinda akan mencium bau rambut terbakar yang sangat menyengat,” kata Lahilote.
Mereka pun bingung harus berbuat apa. Setelah berpikir keras, tidak ada jalan lain yang harus mereka tempuh kecuali kembali ke bumi. Ketika tiba di pintu langit, mereka sudah tidak mendapati pohon Hutia Mala yang dulu digunakan oleh Lahilote. Pohon Hutia Mala sudah lapuk dimakan tikus, karena kucing yang menjaganya sudah pergi akibat kehabisan makanan.
“Waduh, Dinda! Bagaimana caranya Kanda bisa turun ke bumi? Pohon Hutia Mala itu sudah tidak ada lagi, sedangkan Kanda tidak mempunyai sayap seperti Dinda,” tanya Lahilote dengan bingung
Sejenak Boilode Hulawa terdiam. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara, yaitu dengan menjadikan rambutnya sebagai jalan bagi Lahilote untuk sampai ke bumi. Satu persatu Boilode mulai mencabut rambutnya lalu menyambungnya. Setelah itu, ia menyuruh Lahilote berpegangan dan bergelantungan pada ujung rambut itu. Boilode telah mencabut seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul, namun Lahilote belum juga sampai ke bumi. Akhirnya, Lahilote melayang-layang di antara langit dan bumi. Tubuhnya terhempas ke seluruh penjuru arah karena tertiup angin.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba cuaca berubah. Langit menjadi mendung, angin topan bertiup kencang disertai hujan deras. Selang beberapa saat kemudian. tiba-tiba petir datang menyambar tubuh Lahilote hingga terbelah menjadi dua. Tak ayal lagi, ia pun jatuh ke bumi dalam posisi berdiri. Tubuhnya bagian kiri terhempas di Pulau Boalemo, Sulawesi Tengah, sedangkan tubuhnya bagian kanan terhempas di Pantai Pohe yang ditandai dengan adanya telapak kaki kanan di atas sebuah batu. Oleh masyarakat setempat batu itu diberi nama Botu Liodu Lei Lahilote.
* * *
Demikian cerita legenda Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas tergambar pada sikap dan perilaku Lahilote dan Boilode Hulawa. Dengang tekad dan kerja keras melewati berbagai rintangan dan ujian, Lohilote berhasil menemui istrinya di Negeri Kahyangan. Sementara Boilode Hulawa adalah seorang istri yang setia kepada suami. Ia rela mengorbankan segala yang dimilikinya, termasuk mengorbankan seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul demi menyelamatkan nyawa Lahilote, meskipun pada akhirnya suaminya itu meninggal dunia akibat terkena petir.

Rabu, 19 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Danau Limboto

Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini bernama Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, keberadaan danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Limboto berikut ini.



Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.  
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa saat kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di dekat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” bentak pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat  mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
 “Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Limboto dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Hingga kini Danau Limboto menjadi salah satu obyek wisata menarik di Gorontalo. Para pengunjung dapat menikmati berbagai kegiatan seperti memancing, lomba berperahu, dan menikmati ikan bakar segar.  Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas dapat dilihat pada keberanian dan kegigihan Mbu`i Bungale mempertahankan hak miliknya dengan menantang keempat orang pelancong untuk memperluas mata air Tupalo. Dalam kehidupan orang Melayu, mempertahankan hak milik sendiri sangatlah dianjurkan sebagaimana dikatakan dalam tunjuk ajar berikut ini:

apa tanda melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela