Botu Liodu Lei Lahilote adalah sebuah batu berbentuk telapak kaki manusia yang terletak di Pantai Pohe, Provinsi Gorontalo, Indonesia. Oleh masyarakat setempat dipercayai sebagai telapak kaki Lahilote. Botu Liodu Lei Lahilote dalam bahasa setempat berarti batu bekas telapak kaki si Lahilote. Peristiwa apakah yang terjadi di daerah itu sehingga bekas telapak kaki Lahilote ada di atas batu tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote berikut ini.
Alkisah, di Tanah U Duluo lo`u Limo lo Pohite, Gorontalo, ada seorang pemuda tampan dan gagah bernama Piilu Le Lahilote, yang akrab dipanggil Lahilote. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil di pinggir hutan. Ia pemuda yang tekun, pekerja keras, dan memiliki angan-angan yang tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, setiap hari ia moleleyangi (mengembara masuk keluar hutan) berburu binatang.
Suatu hari, ketika hendak beristirahat di tepi telaga di tengah hutan, Lahilote mendengar suara gadis-gadis yang sedang ramai bercanda.
“Hai, suara siapa itu? Dari mana sumber suara itu?” tanya Lahilote dalam hati.
Lahilote pun segera mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa sumber suara tersebut berasal dari telaga itu. Ia kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon besar, lalu mengintip untuk memeriksa keadaan. Ia tersentak kaget melihat tujuh gadis cantik sedang asyik mandi dan bersenda gurau di telaga itu. Ia mengawasi setiap gerak-gerik mereka tanpa berkedip sedikit pun. Rupanya, pemuda tampan itu terpesona melihat kecantikan para gadis tersebut.
Mulanya, Lahilote mengira ketujuh gadis itu penduduk bumi. Namun, setelah melihat tumpukan pakaian dan sayap yang berada di tepi telaga, barulah ia sadar bahwa ternyata mereka adalah Putri lo Owabu (putri kahyangan/bidadari). Karena terposana melihat kecantikan para bidadari tersebut, maka timbullah niatnya untuk menahan salah seorang dari mereka untuk dijadikan istri. Dengan kesaktiannya, ia segera mengubah wujudnya menjadi seekor ayam hutan jantan. Kemudian ia berjalan mendekati tempat tumpukan pakaian dan sayap itu sambil mengais-ngaiskan kakinya di tanah. Pada saat ketujuh putri kahyangan tersebut menyelam, dengan cepat Lahilote mengambil salah satu dari tujuh sayap tersebut, lalu membawanya pulang dan menyembunyikannya di lumbung padi yang berada di kolong rumahnya.
Setelah itu, Lahilote bergegas kembali ke telaga. Setibanya di sana, ia mendapati ketujuh bidadari tersebut sedang berkemas-kemas. Satu persatu mereka mengenakan pakaian masing-masing. Betapa terkejutnya salah satu dari bidadari itu ketika mengetahui sayapnya tidak ada di tempatnya. Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari yang paling bungsu.
“Kak! Apakah kalian melihat sayap Adik?” tanya bidadari bungsu.
“Tidak, Dik!” jawab keenam kakaknya serentak.
“Tadi Adik meletakkannya di mana?” tanya bidadari sulung.
“Adik meletakkannya di atas batu ini bersama pakaian Kakak,” jawab bidadari bungsu dengan bingung.
Sementara bidadari bungsu sedang kebingungan mencari sayapnya, keenam kakaknya telah bersiap-siap terbang menuju Kahyangan karena hari sudah semakin sore.
“Bungsu! Kami harus meninggalkanmu sendirian di sini!” ujar si sulung seraya terbang ke angkasa bersama keempat adiknya yang lain.
“Bagaimana dengan nasib Adik, Kak?” teriak si bungsu mengiba.
“Maafkan kami, Dik! Kami tidak bisa membantumu. Jagalah dirimu baik-baik!” seru putri sulung.
Si Bungsu hanya bisa berdiri terpaku memandangi keenam kakaknya yang terbang ke angkasa. Ketika mereka menghilang dari pandangannya, ia pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah.... Ibu...! Tolonglah aku! Aku tidak mau tinggal sendirian di sini,” keluh si Bungsu.
Sementara itu, Lahilote yang melihat si Bungsu bersedih segera keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
“Hai, gadis cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu bersedih dan menangis?” tanya Lahilote seolah-olah tidak mengetahui peristiwa yang menimpa bidadari itu.
Gadis cantik itu tidak menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu. Ia baru berhenti menangis setelah Lahilote membujuk dan merayunya berkali-kali.
“Nama saya Boilode Hulawa dari Negeri Kahyangan,” kata bidadari itu memperkenalkan diri.
Begitu pula sebaliknya, Lahilote memperkenalkan diri kepada Boilode Hulawa, lalu kembali menghiburnya.
“Wahai, Boilode Hulawa! Dinda tidak perlu bersedih hati tinggal di bumi ini. Kanda akan menolong Dinda,” hibur Lahilote.
“Tapi, Kanda! Dinda tidak mempunyai sanak saudara dan keluarga di negeri ini,” kata bidadari bungsu itu dengan hati sedih.
“Tenanglah! Dinda tidak usah khawatir! Dinda boleh tinggal bersama Kanda di rumah Kanda,” bujuk Lahilote.
Mendengar bujukan itu, hati Putri Boilode Hulawa yang tadi sedih berubah menjadi senang dan gembira. Lahilote pun mengajak Putri Boilode Hulawa ke rumahnya. Selang beberapa lama tinggal bersama, Lahilote menyampaikan keinginannya untuk menikahi putri kahyangan itu.
“Dinda! Maukah Dinda menikah dengan Kanda?” bujuk Lahilote.
Putri Boilode tersenyum, lalu menjawab:
“Wahai Kanda! Dinda tidak mempunyai alasan untuk menolak keinginan Kanda. Kepada siapa lagi Dinda harus menggantungkan nasib di negeri ini selain kepada Kanda,” jawab Putri Boilode menerima lamaran Lahilote.
Akhirnya, Lahilote dan Putri Boilode pun menikah. Mereka hidup rukun dan damai. Sejak itu, Lahilote semakin rajin bekerja. Ia tidak hanya berburu, tapi juga bercocok tanam. Sementara Boilode Hulawa sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Setahun kemudian, Boilode mulai merasa bosan dan capek melakukan pekerjaan-pekerjaan berat tersebut. Ia baru merasakan betapa beratnya hidup di dunia karena harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Namun, dengan kesaktiannya, ia dapat memasak sebutir beras yang mampu mencukupi makan mereka berdua dalam satu hari. Dengan begitu, ia bisa menghemat tenaga dan makanan. Tapi, hal itu tidak boleh diketahui suaminya agar kesaktiannya tidak hilang.
Suatu hari, Lahilote melihat ada sesuatu yang aneh pada istrinya. Ia berpikir, sudah beberapa bulan istrinya memasak nasi untuknya, tapi padi di lumbung tidak pernah berkurang. Ia juga tidak pernah melihat istrinya menumbuk padi sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, timbullah niatnya untuk mengawasi perilaku sehari-hari istrinya. Ia yakin bahwa istrinya sedang merahasiakan sesuatu kepadanya.
Keesokan harinya, Lahilote berpura-pura berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke kebun. Tanpa curiga sedikit pun, Boilode Huwala segera memasak satu butir beras dalam periuk dan menutupinya rapat-rapat. Sambil menunggu nasi itu masak, ia pergi ke sumur mencuci pakaian. Pada saat itulah, Lahilote yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar di belakang rumahnya segera menyelinap masuk ke dapur. Betapa terkejutnya ia ketika membuka tutup periku itu. Ia melihat isi periuk itu hanya sebutir beras.
“Oh, pantas saja padi di lumbung tidak pernah berkurang, setiap hari istriku hanya memasak sebutir beras. Tapi, mengapa dia merahasiakan hal itu kepadaku?” pikirnya seraya meninggalkan dapur.
Tak berapa lama kemudian, Boilode kembali dari sumur. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dapur memeriksa isi periuknya.
“Waduh, celaka! Kenapa berasnya masih tetap sebutir? Apakah suamiku telah melihat isi periuk ini?” pikirnya.
Setelah Putri Boilode Hulawa membiarkannya beberapa saat di atas tungku, beras itu tetap tidak berubah. Melihat hal itu, seluruh tubuhnya menjadi lemas dan tidak bergairah. Ia hanya bisa duduk termenung menyesali nasibnya karena rahasianya terbongkar. Dengan demikian, ia harus kembali bekerja keras.
Sejak itu, Putri Boilode harus menumbuk padi setiap hari untuk dimasak. Semakin hari padi dalam lumbung mereka pun semakin berkurang. Setahun kemudian, persediaan padi di lumbung mereka habis. Pada saat akan mengambil padi yang terakhir untuk ditumbuk, ia melihat sebuah benda di bawah lapisan lumbung itu.
“Hei, benda apa itu? Sepertinya aku pernah melihatnya?” gumam Putri Boilode.
Setelah memeriksa dan mengamati benda itu dengan seksama, Boilode tersentak kaget. Rupanya, benda itu tidak lain adalah sayapnya yang telah lama hilang. Melihat sayap itu, maka tahulah ia bahwa suaminyalah yang telah mengambil sayapnya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kegembiraannya. Keinginannya untuk kembali ke negerinya pun semakin meluap-luap. Namun, ketika mengambil sayap itu hatinya kembali bersedih, karena beberapa bagian sayapnya sudah sobek.
“Wah, sayap ini perlu dijahit. Tapi, bagaimana caranya agar tidak ketahuan suamiku?” kata Boilode dengan bingung.
Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara. Ia akan berpura-pura mual dan mengaku hamil di hadapan suaminya. Dengan begitu, Lahilote pasti akan merasa senang dan bahagia, dan akan memenuhi segala keinginan istrinya.
Keesokan harinya, Boilode berpura-pura sedang mual dan ingin sekali makan ikan laut.
“Kanda! Perut Dinda terasa mual. Dinda ingin sekali makan ikan laut. Maukah Kanda pergi mencarikannya?” pinta Boilode dengan pura-pura.
Tanpa curiga sedikit pun dan dengan senang hati, Lahilote pun segera berangkat ke laut untuk memenuhi permitaan Boilode. Setelah suaminya pergi, ia segera menjahit bagian-bagian sayapnya yang sobek. Akhirnya, berkat usaha dan ketekunannya, sayapnya pun kembali seperti semula dan dapat digunakan untuk kembali ke negerinya. Sebelum terbang ke Kahyangan, ia berpesan kepada lumbung padi milik suaminya.
“Wahai, Lumbung Padi! Jika suamiku telah kembali dari laut dan menanyakan diriku, tolong jangan engkau beritahu dia bahwa aku sudah menemukan sayapku. Jangan pula engkau beritahu dia bahwa aku telah kembali ke negeriku,” ujar Boilode.
Setelah itu, Boilode juga berpesan kepada pintu, jendela, dapur, belanga, dan semua perabot tanggan lainnya dengan pesan yang sama, yaitu agar mereka merahasiakan kepergiannya kepada Lahilote. Selain itu, ia juga berpesan kepada tetumbuhan, rerumputan, dan pepohonan dengan pesan yang sama. Hanya kepada pohon Hutia Mala (rotan) ia tidak berpesan, karena menurut cerita, Hutia Mala adalah satu-satunya pohon yang tidak mau dipengaruhi oleh siapa pun. Ia akan selalu jujur dan berkata sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Setelah itu, Boilode Hulawa pun terbang ke angkasa. Sebelum sampai ke angkasa, terlebih dahulu ia melihat keadaan suaminya yang sedang mencari ikan di laut. Dari udara, ia melihat suaminya sedang beristirahat dan tidur terlentang di pantai. Ia pun meludahi suaminya dengan luwa la pomama (air sirih pinang) dan tepat mengenai dadanya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan menuju ke pintu langit. Sementara itu, Lahilote segera terbangun begitu merasakan ada air hangat di atas dadanya. Setelah mengamati dan mencium bau air luwa lo pomama itu, ia yakin bahwa luwa itu keluar dari mulut istrinya.
“Wah, jangan-jangan istriku telah menemukan sayapnya?” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote segera berlari kembali ke rumahnya dan memeriksa lumbung padinya. Ternyata dugaannya benar, sayap itu tidak ada lagi di tempatnya. Mengetahui hal itu, lemaslah sekujur tubuhnya. Untuk memantapkan keyakinannya, ia segera mencari keterangan dengan menanyai semua yang ada di sekitarnya, namun tak satu pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Meski demikian, ia tidak mau putus asa. Ia terus berusaha mencari keterangan ke sana kemari tanpa kenal lelah.
Setelah berhari-hari berjalan keluar masuk hutan, akhirnya Lahilote bertemu dengan Hutia Mala dan mengetahui bahwa istrinya telah kembali ke Kahyangan. Lahilote kemudian meminta pertolongan kepada Hutia Mala agar mengantarnya ke Kahyangan. Pohon ajaib itu bersedia menolongnya, tapi Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: pomala-malabi`u ode Pakusina, wau Dakusina, ode Masariku, wawu Magaribu (besedia dihempaskan ke negeri Palestina, ke Damaskus, ke Timur, ke Barat, dan ke seluruh alam empat penjuru); mencari seekor kucing kecintaan nabi untuk ditugaskan menjaga batang Hutia Mala agar tidak dimakan tikus; dan menyediakan tujuh buah kelapa yang kulitnya keras bila dikupas (bongo pi`ita) untuk makanan kucing tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote menyanggupi persyaratan tersebut. Setelah menyiapkan segala persyaratan itu, ia pun segera memanjat pohon Hutia Mala. Ketika berada di atas pohon, ia dihempaskan secepat kilat ke seluruh penjuru arah mata angin. Betapa ngeri perasaan Lahilote melalui ujian tersebut. Ia berpegang sekuat tenaga agar tubuhnya tidak terlempar. Setelah Hutia Mala berdiri tegak dan diam, Lahilote pun melanjutkan perjalanan menuju Negeri Kahyangan. Kedatangannya pun langsung diketahui oleh Boilode Hulawa dan saudara-saudaranya. Namun, Boilode Hulawa berpura-pura tidak mengenal suaminya. Sementara Lahilote kebingungan mengenali istrinya di antara tujuh wanita cantik yang ada di hadapannya, karena paras dan kecantikan mereka sama persis sehingga sulit untuk membedakannya.
Lahilote semakin bingung karena perutnya terasa sangat lapar. Ia akan mati kelaparan jika tidak diberi makan. Ia ingin meminta bantuan kepada istrinya, namun ia tidak mengetahui yang mana istrinya di antara ke tujuh bidadari tersebut. Karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar, ia pun menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki tua datang menghampirinya.
“Hai, anak manusia! Apa yang engkau risaukan, sehingga bersedih begitu?” tanya lelaki itu.
Lahilote pun menceritakan asal usul dan kerisauan hatinya kepada lelaki tua itu.
“Tenanglah, Anak Muda! Pergilah menemui mereka! Perhatikanlah siapa di antara mereka yang dihinggapi kunang-kunang di antara garis keningnya, maka itulah istrimu,” ujar lelaki tua itu seraya menghilang entah ke mana.
Dengan petunjuk itu, Lahilote kembali menemui ketujuh bidadari itu. Begitu bertemu dan melihat salah seorang di antara mereka dihinggapi seekorang kunang-kunang, ia segera memeluknya dengan erat.
“Istriku, Kanda sangat merindukanmu,” ucap Lahilote sambil meneteskan air mata.
“Tidak! Aku bukanlah istrimu,” sanggah putri itu sambil meronta-ronta.
Sebenarnya putri itu tidak lain adalah Boilode Hulawa. Namun, ia berusaha mengelak dan menghindari Lahilote, karena teringat penderitaannya ketika ia berada di bumi. Akhirnya ia mengalah setelah Lahilote mendesaknya dan tidak mau melepaskan pelukannya. Meski demikian, ia tidak mau menerimanya begitu saja. Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan jika Lahilote masih ingin memperistrinya. Persyaratan pertama, Lahilote harus menebang sebuah pohon besar dengan menggunakan pisau kecil.
“Bagaimana mungkin sebilah pisau kecil dapat menebang sebuah pohon besar?” pikirnya dengan bingung.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba seekor burung belatuk datang menghampiri dan memberinya pertolongan. Burung belatuk itu bersama kawanannya segera mematuk batang pohon itu hingga tumbang. Setelah itu, Lahilota segera melaksanakan persyaratan berikutnya, yaitu mengangkat kayu besar itu ke suatu tempat tanpa meninggalkan setangkai dan sehelai pun daunnya. Lahilote pun berhasil melaksanakan syarat itu atas bantuan seekor ular besar. Demikian seterusnya Lahilote selalu mendapat pertolongan sampai berhasil memenuhi semua persyaratan Boilode Hulawa.
Boilode Hulawa pun menepati janjinya, yakni bersedia menjalin hubungan suami-istri dengan Lahilote. Sejak itu, Lahilote tinggal di Negeri Kahyangan dan diperlakukan layaknya seorang pangeran. Mereka hidup rukun, damai, dan bahagia. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama karena ditemukannya uban di kepala Lahilote. Menurut adat yang berlaku, tak seorang pun penghuni Kahyangan yang boleh beruban, karena hal itu pertanda ketuaan. Penduduk Kahyangan harus menjalani kehidupan abadi dan tetap awet muda. Hal itulah yang membuat Boilode Hulawa menjadi cemas.
“Kanda! Kita harus merahasiakan hal ini. Jika salah seorang penghuni negeri ini mengetahui ada uban di kepala Kanda, maka celakalah kita. Kita akan diusir dari negeri ini,” ujar Boilde Hulawa.
“Bagaimana kalau uban Kanda kita bakar saja, Dinda?” usul Lahilote.
“Jangan, Kanda! Itu akan lebih berbahaya, karena keluarga Dinda akan mencium bau rambut terbakar yang sangat menyengat,” kata Lahilote.
Mereka pun bingung harus berbuat apa. Setelah berpikir keras, tidak ada jalan lain yang harus mereka tempuh kecuali kembali ke bumi. Ketika tiba di pintu langit, mereka sudah tidak mendapati pohon Hutia Mala yang dulu digunakan oleh Lahilote. Pohon Hutia Mala sudah lapuk dimakan tikus, karena kucing yang menjaganya sudah pergi akibat kehabisan makanan.
“Waduh, Dinda! Bagaimana caranya Kanda bisa turun ke bumi? Pohon Hutia Mala itu sudah tidak ada lagi, sedangkan Kanda tidak mempunyai sayap seperti Dinda,” tanya Lahilote dengan bingung
Sejenak Boilode Hulawa terdiam. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara, yaitu dengan menjadikan rambutnya sebagai jalan bagi Lahilote untuk sampai ke bumi. Satu persatu Boilode mulai mencabut rambutnya lalu menyambungnya. Setelah itu, ia menyuruh Lahilote berpegangan dan bergelantungan pada ujung rambut itu. Boilode telah mencabut seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul, namun Lahilote belum juga sampai ke bumi. Akhirnya, Lahilote melayang-layang di antara langit dan bumi. Tubuhnya terhempas ke seluruh penjuru arah karena tertiup angin.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba cuaca berubah. Langit menjadi mendung, angin topan bertiup kencang disertai hujan deras. Selang beberapa saat kemudian. tiba-tiba petir datang menyambar tubuh Lahilote hingga terbelah menjadi dua. Tak ayal lagi, ia pun jatuh ke bumi dalam posisi berdiri. Tubuhnya bagian kiri terhempas di Pulau Boalemo, Sulawesi Tengah, sedangkan tubuhnya bagian kanan terhempas di Pantai Pohe yang ditandai dengan adanya telapak kaki kanan di atas sebuah batu. Oleh masyarakat setempat batu itu diberi nama Botu Liodu Lei Lahilote.
* * *
Demikian cerita legenda Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas tergambar pada sikap dan perilaku Lahilote dan Boilode Hulawa. Dengang tekad dan kerja keras melewati berbagai rintangan dan ujian, Lohilote berhasil menemui istrinya di Negeri Kahyangan. Sementara Boilode Hulawa adalah seorang istri yang setia kepada suami. Ia rela mengorbankan segala yang dimilikinya, termasuk mengorbankan seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul demi menyelamatkan nyawa Lahilote, meskipun pada akhirnya suaminya itu meninggal dunia akibat terkena petir.
EmoticonEmoticon