Tampilkan postingan dengan label Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Tauke Pemberani Dari Batavia

Pada zaman penjajahan Belanda, banyak tauke (pedagang keturunan Cina) yang tinggal di Batavia (Jakarta). Mereka hidup kompak dan saling membantu. Rupanya, kekompakan para tauke Cina ini tidak disenangi oleh Belanda karena dianggap kerap merugikan. Orang-orang kompeni pun berniat untuk memecah belah dan menghancurkan usaha para tauke Cina itu. Bagaimana sikap para tauke menghadapi ancaman dari kompeni Belanda? Simak kisahnya dalam cerita Tauke Pemberani dari Batavia berikut ini.


Pada abad ke-8 Masehi, Batavia sudah dalam jajahan kompeni Belanda. Meski demikian, sektor perdagangan tetap dikuasai oleh para pedagang keturunan Cina atau kaum tauke. Para tauke ini memiliki organisasi yang kokoh dan dibangun dengan rapi hingga ke pelosok. Jika harga barang naik, para tauke juga menaikkan harga demi memperoleh keuntungan.
Rupanya, keberadaan para tauke membuat geram para orang-orang kompeni Belanda. Mereka tidak menyukai tindakan para tauke tersebut. Untuk itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff sebagai penguasa Batavia saat itu mengadakan rapat bersama dengan para pejabat kompeni Belanda lainnya.
“Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi para tauke itu, Tuan?” tanya seorang pejabat kompeni.
“Kita harus segera bertindak. Kita kerahkan para budak belian sebanyak-banyaknya untuk bekerja sebagai tenaga kasar di laut dan mengawasi tingkah laku para tauke. Tapi, mereka terlebih dahulu harus dilatih menjadi pengawal yang siap mati,” ujar Gubernur Jenderal.
Keputusan penguasa Batavia itu disetujui oleh semua peserta rapat. Selang beberapa lama kemudian, pelabuhan Batavia pun dikuasai oleh para budak-budak belian kompeni Belanda yang sudah terlatih. Melihat keadaan itu, para tauke pun tidak tinggal diam. Mereka juga mengadakan rapat guna menghadapi para kompeni dan budak beliannya. Dalam rapat tersebut para tauke bersama warga kampung di Batavia bersepakat untuk mendatangkan guru silat dari negeri Tiongkok (Cina).
“Untuk menghadapi para budak belian kompeni Belanda, kita harus membekali diri kita dengan ilmu bela diri. Maka itu, kita harus mendatangkan seorang guru silat yang handal ke sini,” ujar salah seorang tauke.
“Setuju…!” kata para peserta rapat serentak.
Guru silat yang mereka inginkan pun akhirnya datang. Para taukue itu kemudian mengadakan latihan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Siang harinya, mereka tetap berdagang seperti biasanya. Salah seorang tauke yang paling menonjol dalam latihan tersebut adalah orang yang dikenal dengan julukan si Panjang.
Sebelumnya, si Panjang sudah lama mengikuti latihan silat sebuah perguruan perguruan silat Gading Melati. Ia sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat, bahkan menguasai beberapa jurus-jurus yang mematikan. Oleh karena kecakapannya, ia pun ditunjuk menjadi pemimpin untuk menggantikan guru mereka yang harus kembali ke Tiongkok.
Si Panjang sangat dihormati oleh kawan-kawannya dan menjadi tumpuan harapan para tauke untuk melawan Belanda. Sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, si Panjang selalu memberi amanat dan nasehat kepada kawan-kawannya.
“Meskipun kompeni Belanda selalu bertindak sewenang-wenang, kita harus ramah kepada mereka. Kalian yang sudah ada hubungan persahabatan dengan mereka, lanjutkan persahabatan itu,” ujar si Panjang, “Selain itu, kita harus tetap meningkatkan usaha dagang kita.”
Begitu hari sudah sore, para tauke sudah menutup toko atau warung masing-masing. Pada malam harinya, mereka berkumpul di Gading Melati dengan membawa makanan dan minuman untuk kepentingan perkumpulan. Sebelum latihan dimulai, si Panjang kembali memberi nasehat kawan-kawannya.
“Saudara-saudara sekalian. Siapa di antara kalian yang memiliki perahu di pelabuhan?” tanya si Panjang kepada kawan-kawannya.
“Saya, Ketua,” jawab puluhan tauke sambil mengacungkan tangan.
“Baiklah. Saya harap kita bisa menyediakan perahu khusus yang nantinya dapat kita gunakan dalam keadaan darurat,” ujar si Panjang.
“Baik, Tuan,” para pemilik perahu setuju.
Si Panjang kemudian mengajak kawan-kawannya untuk memulai latihan silat. Mereka berlatih dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat. Namun, tanpa mereka sadari, ada seorang lelaki bermata sipit yang sedang mengintai gerak-gerik mereka. Ia adalah Liu Chu, salah satu mata-mata yang disebar oleh kompeni Belanda. Beberapa saat kemudian, mata-mata itu segera melapor kepada Gubernur Jenderal Baron van Imhoff.
“Tuan, saya menemukan tempat berkumpul para tauke,” lapor Liu Chu.
“Di mana mereka berkumpul dan apa yang mereka lakukan?” tanya Gubernur Jenderal dengan penasaran.
“Mereka sedang berlatih silat di Gading Melati di daerah Gandaria. Setiap malam mereka selalu berkumpul dan berlatih di tempat itu,” ungkap agen kepercayaan kompeni Belanda itu, “Perkumpulan mereka dipimpin oleh si Panjang. Pengikutnya pun semakin banyak.”
“Apalagi yang kamu tahu tentang kegiatan mereka?” Gubernur Jenderal kembali bertanya.
“Mereka juga mengumpulkan berbagai macam senjata tajam,” jawab Liu Chu.
Mendengar keterangan itu, Gubernur Jenderal segera mengadakan rapat bersama para pejabat kompeni.
“Para tauke itu tidak bisa dibiarkan. Kita harus menghentikan kegiatan mereka,” ujar Gubernur Jenderal.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya salah seorang pejabat kompeni.
“Kita datangi tempat berkumpul mereka. Jika para tauke itu tidak bisa dikendalikan, kita asingkan mereka ke Ceylon (Sri Lanka),” ujar Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal segera memerintahkan para serdadunya untuk mendatangi Gading Melati dengan persenjataan lengkap. Ada yang membawa pistol dan pula yang dilengkapi senapan laras panjang. Malam itu, para tauke dan pedagang lainnya sedang berpesta. Atas perintah Gubernur Jenderal, para serdadu Belanda mengepung tempat itu. Begitu pesta selesai, mereka langsung menangkap orang-orang di sana. Selanjutnya, orang-orang itu digiring ke balai kota, lalu diserahkan kepada patroli keamanan yang sudah disiapkan di tepi sungai. Sesampai di muara Sungai Ciliwung, mereka dipindahkan ke kapal perang untuk dibawa ke Ceylon.
Rupanya, si Panjang dan beberapa kawannya tidak terlihat di antara tawanan tersebut. Rupanya pendekar sakti itu sedang ada keperluan lain sehingga ia tidak bersama-sama teman-temannya di Gading Melati. Sementara itu, di antara tawanan tersebut ada 4 orang yang berhasil menyelamatkan diri. Mereka pun segera kembali ke Gading Melati untuk melapor kepada si Panjang. Setiba di sana, mereka mendapati si Panjang dan beberapa rekan lainnya.
“Hai, kalian dari mana? Lalu, ke mana kawan-kawan kita yang lain?” tanya si Panjang cemas.
“Maaf, Ketua. Tadi banyak serdadu Belanda datang kemari dan menangkap kita semua. Kami berempat berhasil meloloskan diri, sedangkan kawan-kawan kita yang lain akan diasingkan ke Ceylon,” lapor salah satu dari 4 tawanan yang berhasil meloloskan diri itu.
“Benar, Tuan. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Serdadu Belanda itu dilengkapi dengan senapan dan pistol,” sahut yang lainnya.
Mendengar keterangan itu, si Panjang segera mengumpulkan rekan-rekannya yang masih tersisa, termasuk para pelaut rantauan. Selanjutnya mereka menuju ke pelabuhan untuk membebaskan rekan-rekannya yang ditawan. Setiba di sana, mereka segera melakukan penyerangan.
Perlawanan yang dilakukan oleh si Panjang dan rekan-rekannya itu membuat kompeni Belanda semakin geram. Mereka terus mengejar dan menangkap para pengikut si Panjang. Meski demikian, si Panjang yang sakti itu selalu berada di baris terdepan untuk membebaskan rekan-rekannya. Demikian pula rekan-rekannya tidak pernah gentar menghadapi kompeni Belanda. Begitulah keberanian para tauke dari tanah Batavia menghadapi kesewanang-wenangan kompeni Belanda di tanah Batavia. Meskipun pada akhirnya pertempuran itu dimenangkan oleh pihak Belanda, namun tidak sedikit dari para kompeni itu yang terluka dan bahkan tewas.
* * *
Demikian cerita Tauke Pemberani dari Batavia dari Jakarta. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat pemberani sebagaimana yang ditunjukkan oleh para tauke dari Batavia. Meskipun melawan kompeni Belanda yang mempunyai persenjataan lengkap, mereka tidak pernah gentar.

Sabtu, 03 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Si Jampang, Robin Hood Dari Betawi

Si Jampang adalah pendekar legendaris dari Betawi yang dikenal sebagai “Robin Hood” dari Betawi. Dengan kepiawaiannya bermain silat, ia kerap merampok harta milik tuan-tuan tanah maupun orang kaya yang tamak di daerah Grogol, Depok. Lalu, hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada rakyat jelata. Bagi, tuan tanah dan orang kaya, si Jampang adalah momok yang menakutkan. Namun, ia merupakan sosok pahlawan bagi rakyat kecil. Bagaimana kisah hidup si Jampang? Berikut kisahnya dalam cerita Si Jampang, Robin Hood dari Betawi.


Selain si Pitung, Betawi juga memiliki pendekar legendaris yang dijuluki “Robin Hood” dari Betawi. Ia adalah si Jampang yang terkenal tampan, gagah perkasa, dan sakti. Nama si Jampang diambil dari nama daerah asal ibunya yaitu daerah Jampang di Sukabumi, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Banten. Si Jampang dan istrinya tinggal di Grogol, Depok. Mereka hidup berbahagia dan dikaruniai anak laki-laki yang sering dipanggil si Jampang Muda. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Saat anak mereka mulai beranjak remaja, istri si Jampang meninggal dunia karena sakit. Sejak itulah, si Jampang hidup menduda dan merawat anak semata wayangnya seorang diri. Karena ingin melihat anaknya menjadi anak saleh dan berguna bagi masyarakat, ia pun menitipkannya ke pondok pesantren.
Sejak itu, sang anak lebih tinggal di pondok pesantren. Terkadang, ia pulang menemui sang ayah jika memerlukan uang pembayaran sekolah dan untuk biaya hidup. Si Jampang merasa kesepian. Dari situlah muncul pikirannya ingin membantu rakyat Betawi yang menderita akibat mendapat tekanan dari para tuan tanah dan para orang kaya yang kikir.
“Ah, lebih baik aye rampok harta mereka untuk aye bagikan kepada rakyat jelata,” pikirnya.
Si Jampang pun mulai merampok harta benda para tuan tanah dan orang-orang kaya di daerah Grogol. Mereka yang menjadi korbannya pun murka kepadanya. Namun, rakyat justru senang karena sering mendapat bagian harta hasil rampokan si Jampang. Sejak itulah, ia terkenal sebagai perampok dan menjadi buah bibir warga, tidak terkecuali di kalangan para kyai dan santri di pondok pesantren. Hal itu membuat si Jampang Muda malu karena sepak terjang ayahnya.
Suatu ketika, anak si Jampang pulang ke rumah dengan membawa semua pakaiannya.
“Hai, Tong! Kenapa pakaianmu kamu bawa pulang semua?” tanya si Jampang kepada anaknya.
Aye tidak mau mengaji lagi, Be,” jawab sang anak, “Aye malu sekali.”
“Malu kenapa, Tong?” tanya sang Ayah.
“Bukankah Babe keturunan Banten? Biasanya orang-orang Banten itu alim. Tapi, Babe kok malah suka merampok? Semua orang di pesantren membicarakan Babe. Aye kan malu,” kata sang anak dengan perasaan kecewa.
“Hai, Tong. Kamu tidak perlu menasehati Babe seperti itu. Katakan saja apa maumu,” kata si Jampang.
Anak si Jampang hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata kepada ayahnya.
“Pokoknya, aye tidak mau mengaji lagi,” tegas anak si Jampang.
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kyai, tapi sekarang malah tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi perampok seperti ayah?” tanya sang Ayah.
Anak itu kembali menggeleng-gelengkan kepala. Ia benar-benar kecewa dengan perilaku ayahnya.
“Jadi, maumu apa, Tong? Mau menikah?” desak sang ayah yang mulai kesal.
“Tidak, Be. Babe saja yang menikah biar tidak kesepian lagi,” ujar sang anak.
Mendengar perkataan anaknya, si Jampang tertawa terbahak-bahak.
“Oh, kamu mau ibu lagi?” kata sang Ayah, “Baiklah, kalau begitu. Babe akan mencarikanmu ibu yang baru.”
Sang anak hanya terdiam. Sementara itu, si Jampang langsung teringat pada seorang janda bernama Mayangsari yang mempunyai seorang anak bernama Abdih. Janda itu adalah mantan istri Sarba, sahabatnya sejak kecil ketika mereka masih tinggal di Banten.
Suatu hari, si Jampang menyambangi rumah janda itu. Ciput, pembantu Mayangsari, ketakutan melihat kedatangan si Jampang yang terkenal sebagai perampok itu.
“Ah, jangan-jangan si Jampang ingin merampok di rumah ini,” pikirnya.
Ciput pun terlihat gugup saat menyambut kedatangan si Jampang.
“Ma... Maaf, Tuan Jampang. Ada apa gerangan Tuan ke mari?” tanya Ciput.
“Saya kemari ingin bertemu dengan tuan kamu,” jawab si Jampang. “Apakah ada?”
“Ada, Tuan,” jawab Ciput, “Silakan duduk dulu, akan saya panggilkan.”
Tak berapa lama, Mayangsari pun keluar menemui si Jampang. Ia lalu menceritakan perihal penyebab suaminya meninggal dunia.
“Dulu, kami ziarah ke makam di Gunung Kepuh Batu. Di sana, Bang Sarba bernazar akan menyumbang sepasang kerbau ke makam itu jika dikaruniai anak. Namun, setelah kami mempunyai anak laki-laki bernama Abdih, Bang Sarba lupa pada nazarnya. Kata orang, hal itulah penyebab kematian Bang Sarba,” cerita Mayangsari.
Aye jadi bingung karena Abdih sedang sekolah di Bandung dan membutuhkan biaya yang banyak. Padahal, aye sendiri hanya ibu rumah tangga. Untung Bang Sarba meninggalkan sedikit warisan yang bisa membantu biaya sekolah Abdih,” lanjutnya.
“Kamu tidak usah bingung memikirkan Abdih. Nanti aye yang mengurusnya,” ujar si Jampang.
“Apa maksudmu?” tanya Mayangsari.
Si Jampang tersenyum lalu menjelaskan maksudnya kepada Mayangsari.
“Begini, Mayang. Kamu kan janda, sedangkan aye seorang duda. Akan lebih baik jika kita menikah saja,” ujar si Jampang.
Mendengar perkataan itu, Mayangsari menjadi tersinggung karena ia tahu benar sifat dan perilaku si Jampang. Ia tidak sudi menikah dengan seorang perampok.
“Hai, Jampang. Jika mau menikah, menikahlah dengan orang lain!” cetus Mayangsari, “Aye lebih baik tetap menjanda daripada menikah dengan perampok.”
Mendengar perkataan itu, si Jampang sangat malu sekali. Ia pun cepat-cepat pergi dari rumah itu. Namun, dalam hatinya berkata bahwa dirinya tetap bertekad ingin memperistri janda itu. Saat itu pula, ia langsung ke rumah Sarpin, keponakannya yang sering diajak merampok bersamanya.
“Pin, aye perlu dukun,” ungkap si Jampang.
“Untuk apa, Mang?” tanya Sarpin bingung.
Si Jampang pun menceritakan perihal yang baru saja dialaminya di rumah Mayangsari.
Aye harus menikahinya, Pin. Untuk itulah, aye perlu dukun untuk meluluhkan hatinya,” ujar si Jampang.
“Oh, aye tahu dukun yang ampuh, Mang. Namanya Pak Dul dari Kampung Gabus,” kata Sarpin.
Hari itu juga, si Jampang ditemani Sarpin pergi ke Kampung Gabus. Setiba di rumah Pak Dul, ia pun menyampaikan maksud hatinya.
“Pak Dul, tolong aye. Aye minta guna-guna agar Mayangsari tergila-gila pada aye,” pinta si Jampang seraya memberi imbalan kepada Pak Dul.
Dukun itu kemudian memberikan ilmu guna-guna kepada si Jampang. Mayangsari pun menjadi gila terkena guna-guna si Jampang. Ia sering tertawa sering dan memanggil-manggil nama si Jampang. Abdih yang baru pulang dari Bandung amat heran melihat perilaku ibunya.
“Kenapa Ibu jadi begini, Put?” tanya Abdih kepada pembantunya.
“Barangkali gara-gara si Jampang. Dia pernah ke mari hendak melamar, tetapi ditolak,” jawab Ciput.
“Wah, benar. Ini pasti diguna-guna oleh si Jampang. Lihat saja, ibu selalu memanggil-manggil namanya,” imbuh Abdih.
Abdih sedih melihat kondisi ibunya. Ia pun segera mencari keterangan mengenai dukun yang dapat menyembuhkan ibunya. Akhirnya, Abdih pun menemukan Pak Dul dari Kampung Gabus. Tanpa berpikir panjang, ia segera ke rumah dukun itu untuk meminta bantuan. Sang Dukun pun menyanggupi permintaan Abdih. Karena dia sendiri yang membuat guna-guna itu, makan ia pun dapat mencabutnya dengan mudah. Seketika itu juga, Mayangsari sembuh dan tidak ingat lagi kepada si Jampang.
Keesokan harinya, Abdih pergi menemui si Jampang di rumahnya untuk membalas dendam. Namun, saat bertemu pendekar sakti itu, ia malah takut sendiri melihat tampangnya. Ia pun terpaksa bicara baik-baik kepada si Jampang agar tidak lagi mengganggu ibunya.
“Apa katamu? Aku tidak boleh menikahi ibu?” ujar si Jampang, “Bisa tidak bisa, aku harus menikah dengan ibumu!” gertak si Jampang.
Abdih semakin ketakutan melihat sikap nekad si Jampang. Ia pun segera mencari akal agar si Jampang tidak jadi menikah dengan ibunya.
“Bukannya tidak boleh menikahi ibuku, Mang. Tapi, ada syaratnya,” kata Abdih.
“Apa syarat itu, Abdih? Cepat katakan!” desak si Jampang.
“Mang Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai mas kawinnya,” jawab Abdi.
Abdi tahu bahwa si Jampang tidak akan mungkin memenuhi syarat itu. Maka, sebab itulah ia mengajukan persyaratan itu. Tapi, bagi si Jampang, tidak ada yang sulit baginya.
“Baiklah, Abdih. Kembalilah ke rumahmu! Syaratmu akan segera kupenuhi,” kata si Jampang.
Abdi pun kembali ke rumahnya dengan perasaan cemas. Jika memang benar si Jampang dapat memenuhi syarat itu, maka dirinya pun akan memiliki bapak tiri seorang perampok. Sementara itu, si Jampang kebingungan untuk memperoleh kerbau. Harga kerbau sangat mahal, sementara dia tidak mempunyai uang. Setelah berpikir sejanak, ia pun teringat pada Haji Saud, seorang kaya raya yang tinggal di daerah Tambuh. Sepasang kerbau bagi Haji Saud bukanlah berarti apa-apa.
Suatu malam, si Jampang bersama Sarpin menuju ke rumah Haji Saud dengan memakai topeng dan membawa golok. Keduanya berhasil mencuri sepasang kerbau milik Haji Saud dengan mudah. Namun, ketika mereka akan keluar pintu desa, puluhan anggota polisi telah mengepung. Para anggota polisi tersebut menodongkan senapan laras panjang. Si Jampang dan Sarpin pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan si Jampang sebagai gembong perampok dihukum mati.
Mendengar kabar tersebut, para tuan tanah dan orang-orang kaya merasa gembira. Sebaliknya, rakyat amat bersedih. Bagi mereka, si Jampang bukan sekedar perampok, tapi ia merupakan pahlawan.
* * *
Demikian cerita Si Jampang, Robin Hood dari Betawi dari Jakarta. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka merampok seperti si Jampang akan mendapatkan balasannya. Jika ia merampok harta milik orang-orang kaya kikir demi membantu rakyat jelata, hal itu masih bisa dibenarkan dan bahkan bisa dianggap sebagai pahlawan. Namun, jika ia mencuri untuk kepentingan pribadi, hal itu tidak dapat dibenarkan.

Minggu, 28 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pangeran Syarif

Jatuhnya Jayakarta ke tangan Kompeni Belanda pada tahun 1619 membuat banyak ulama marah. Mereka menjauhi keramaian kota dan pergi berbondong-bondong ke tempat yang lebih udik. Mereka melakukan persiapan, siapa tahu suatu saat dapat melakukan pembalasan untuk menguasai kota Jayakarta kembali. Walaupun kenyataannya sulit, mereka tidak kenal putus asa. Mereka terpaksa hidup di tepi-tepi hutan, sedangkan anak dan istri ditinggalkan beberapa saat. Hanya pada saat tertentu mereka berkumpul, sesudah itu berpisah kembali. Karena keadaan yang terus menekan, lama-kelamaan merepotkan juga kalau keluarga ditinggalkan. Mau tidak mau keluarga harus diajak. Salah seorang dari para ulama itu adalah Pangeran Sarif. Selain istri, ikut juga seorang pembantu lelakinya yang masih muda.



Kondisi kekuatan Kompeni Belanda dengan bentengnya yang baru harus diperhitungkan masak-masak. Oleh karena itu, diperlukan waktu cukup lama untuk mempersiapkan penyerangan. Hal yang lebih mendesak dan harus ditanggulangi adalah keamanan sehari-hari. Hampir setiap hari terjadi perampasan dan perampokan. Rakyat kecil ketakutan. Mereka tidak berani berjalan sendiri di jalan-jalan yang sepi, lebih-lebin di malam hari. Para perampok memilih rumah yang dianggap menyimpan banyak harta. Mereka menaklukkan pemiliknya. Syukur tidak dibunuh. Akan tetapi, sudah pasti barang-barang mereka dijarah habis. Setelah itu keadaan sepi kembali, membuat bulu kuduk meremang.

Para perampok bukan saja membawa golok-golok tajam untuk mendongkel daun nipah penutup rumah, tetapi yang lebih mengerikan adalah saat mereka menggunakan kesunyian malam untuk membuat galian panjang dari luar rumah. Pemilik rumah akan kaget keesokan harinya karena seluruh harta yang telah mereka kumpulkan dengan susah payah, lenyap begitu saja dibawa kabur perampok-perampok itu.

Rakyat kecil tetap rakyat kecil. Mereka hidup dari hasil pertanian. Ada juga bekas nelayan atau pemilik tambak ikan. Di tempat baru mereka membuat rumah sederhana dengan sisa-sisa hartanya.

Pada suatu malam mereka mendengar teriakan dan luar rumah. Teriakan para perampok kasar yang menantang agar keluar. Tentu saja tantangan itu mereka hindari sebab tidak mungkin menang. Lebih balk menurut saja apa kata perampok-perampok itu. Mereka tidak mau tubuh mereka diseret dan disiksa seperti korban yang lain. Biarlah sisa-sisa harta itu dibawa pergi, yang penting nyawa masih ada. Begitu juga anak istri selamat dan tidak dianiaya. Rumah para tetangga jauh letaknya dan mereka tidak mungkin memberikan pertolongan.

Keadaan tidak aman itu diketahul benar oleh Pangeran Sarif. Suatu saat memang terpikir olehnya untuk bertindak tegas menumpas perampok-perampok itu. Untung, dia masih berpiklr panjang. Kepada istri dan pembantunya dia menekankan untuk bersikap lebih tenang.

“Sekaii-kali tidak perlu takut,” katanya, “tenanglah. Harta kita ini juga harta Tuhan. Jadi, tidak perlu dirisaukan.”

Pekerjaan Pangeran Sarif adalah mengajar. Murid-muridnya diajar menulis huruf Arab dan dilatih membaca serta mempelajari Al-Qur’an. Pangeran Sarif menjelaskan arti dan tafsirnya. Sangat lugs pandangannya. Dalam tempo singkat makin banyak muridnya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang dewasa, bahkan lanjut usia ikut juga dalam pengajian Pangeran Sarif. Karena makin populer, Pangeran Sarif sering dijemput untuk mendatangi desa-desa terpencil. Di hadapan orang banyak, Pangeran Sarif memberikan penjelasan secara langsung. Bahasanya sederhana dan ada humornya. Orang makin senang. Mereka tertawa-tawa. Pangeran Sarif juga memasukkan ajaran-ajaran yang baik, mulai dari mengasuh anak sampai meningkatkan amal dalam kehidupan.

Istri Pangeran Sarif sudah biasa ditinggal sendiri di rumah. Banyak yang dikerjakannya selama suaminya berdakwah dari pagi hingga sore hari. Malam cepat berlalu dan pagi kembali. Siangnya Pangeran Sarif pulang, tetapi tidak lama pergi lagi memenuhi jemputan.

Pada suatu hari istri Pangeran Sarif merasa takut sekali tinggal sendiri di rumah sebab saat itu dia sedang hamil muda. Ketika malam tiba, suasana menjadi agak lain. Entah karena apa pembantunya sudah tidur dengan pulas di balai-balai depan. Sementara itu, di luar segerombolan penjahat sudah lama mengawasi rumah Pangeran Sarif. Mereka tahu kalau yang ada di rumah hanya istri dan pembantunya. Mereka lalu sating memberi isyarat. Anggota penjahat yang tersebar menangkap isyarat itu dan mereka bergerak ke rumah Pangeran Sarif.

Di samping rumah Pangeran Sarif jelas terlihat dua ekor sapi gemuk di dalam kandang. Di leher istri Pangeran Sarif juga terlihat kalung emas yang mahal. Anehnya, pada penglihatan para penjahat, sapi-sapi gemuk itu seperti berada di seberang lautan sehingga mereka harus berenang dengan susah payah untuk mencapainya. Kaki dan tangan mereka bergerak, tetapi tidak sampai juga. Mereka terengah-engah. Akhirnya, malam pun berlalu dengan cepat. Siangnya Pangeran Sarif datang.

“Mengapa kalian merangkak-rangkak di rumput pekarangan rumahku?” tanya Pangeran Sarif. Mendengar pertanyaan itu, para penjahat seperti radar dari pingsannya. Mereka gelagapan, malu. Akhirnya, mereka berterus terang.

“Ampunilah kami, Wan Haji. Kami memang telah berniat jahat. Kami amat menyesal. Kami berjanji tidak akan berbuat jahat lagi,” kata kepala penjahat.

“Jangan minta ampun kepadaku,” jawab Pangeran Sarif, “mintalah ampun kepada Allah. Allah-lah tempat kalian memohon segalanya, termasuk ampun kalian. Itu pun kalau kalian bersungguh-sungguh.”

“Kami bersungguh-sungguh, Wan Haji. Kami bertobat.”

Karena para penjahat itu bertobat, Pangeran Sarif memberikan bimbingan, “Ikutilah ucapanku!” Pangeran Sarif segera membacakan kalimat syahadat perlahan-lahan dan kepala penjahat beserta gerombolannya menirukan. Sejak itu mereka benarbenar bertobat dan menjadi pengikut Pangeran Sarif yang setia.

Pada suatu hari Pangeran Syarif menjelajah desa Bendungan, dekat Pasar Minggu. Hujan turun rintik-rintik. Dia meneruskan perjalanannya sampai ke tepi Sungai Ciliwung. Untuk melindungi kepalanya dari guyuran hujan, dia berkerudung kain. Tidak disangka-sangka dari arah berlawanan dia melihat rakit. Setelah ditanya, pemilik rakit mengatakan akan menuju ke kota Betawi yang makin kuat dikuasai serdadu Kompeni.

Setelah itu, dengan cepat Pangeran Sarif menyelinap ke jalan setapak di sebelah semak-semak dan membiarkan rakit itu berlalu. Dia berbuat begitu agar tetap tidak dikenal orang, terlebih bagi mereka yang akan pergi ke kota Betawi. Siapa tahu mereka lapor kepada musuh. Kalau sudah begitu biasanya serdadu-serdadu Kompeni segera datang karena para ulama waktu itu dianggap pengikut setia Pangeran Jayakarta. Siapa saja yang berjubah putih dianggap prajurit Pangeran Jayakarta.

Tukang rakit itu tahu betul kalau Pangeran Sarif menyelinap ke semak-semak di tikungan sungai. Pada penglihatannya Pangeran Sarif membelok melewati terowongan di pinggir Sungai Ciliwung. Rakit itu mengikuti Pangeran Sarif memasuki terowongan sempit dan gelap. Tidak lama kemudian Pangeran Sarif sudah muncul di pinggir Sungai Sunter dekat Pondok Gede. Tukang rakit masih mengikuti terus. Setelah sadar dia heran sekali, ketika dia bermaksud balik memasuki terowongan sempit, terowongan itu sudah tidak ada lagi.

“Ampunilah saya, Wan Haji,” tukang rakit itu menyembah-nyembah, “saya hanya tertarik kepada Wan Haji. Saya tidak bermaksud jelek. Saya tidak bermaksud melapor kepada serdadu-serdadu Kompeni. Percayalah!”

Seperti kepada kepala perampok tempo hari yang bermaksud jahat, kepada tukang rakit itu Pangeran Sarif juga menjawab penuh wibawa, “Jangan minta ampun kepadaku. Allah-lah tempat kamu memohon ampun. Allah-lah tempat kamu minta segalanya. Kamu hares memohon ampun kepada-Nya”

Tukang rakit itu lalu meniru apa yang diucapkan Pangeran Sarif. Dia menjadi pengikut Pangeran Sarif yang setia Pula. Terowongan yang bisa tembus ke Sungai Ciliwung itu kemudian dikenal dengan nama Lubang Buaya. Di daerah ini Pangeran Sarif bergerilya terus melawan serdadu-serdadu Kompeni. Para pengikutnya menyebar ke seluruh wilayah Betawi.

Rabu, 24 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Si Panjang

Kompeni Belanda pada abad ke-18 di Batavia merasa menghadapi masalah besar. Hambatan itu datang dari kalangan pedagang. Pelopornya adalah para tauke. Saingan ini memang amat licin karena para tauke dan organisasinya begitu terpadu. Sampai ke pelosok-pelosok mereka punya jaringan yang rapi dan tidak kentara, terutama dalam bidang perdagangan. Kalau harga yang satu naik, harga yang lain ikut naik. Tidak ada yang berbeda. Begitu juga dengan barang-barang mana yang harus muncul dan mana pula yang tidak dikeluarkan dulu. Semua demi keuntungan para tauke.



Dengan alasan untuk kebugaran jasmani para pedagang dan warga warung kelontong di beberapa kampung Batavia sepakat untuk mendatangkan guru silat dari seberang laut. Mereka mengadakan latihan tersembunyi, biasanya malam hari. Kalau patroli Kompeni datang, mereka pura-pura latihan barongsai karena perayaan besar hampir tiba. Mereka nanti akan mengarak liong-liong besar dan panjang keliling kota Batavia sambil membakar kembang api sehari semalam. Pokoknya pesta besar. Kue-kue langka yang dibuat setahun sekali dan buah-buahan segar menjadi suguhan utama di tiap rumah. Serba istimewa.

Pejabat-pejabat Kompeni tidak suka kepada niat para tauke itu karena penguasa dan penentu segalanya di Batavia adalah para pejabat Kompeni, bukan para tauke. Oleh karena itu, para pejabat Kompeni mengadakan rapat pleno, dihadiri seiuruh bagian yang mengendalikan kota Batavia. Akhirnya, didapatkan beberapa jalan keluar, antara lain dengan mengerahkan budak belian sebanyak-banyaknya. Harga mereka juga tidak murah. Budak laki-laki bisa digunakan sebagai tenaga kasar di laut dan di hutan atau dilatih menjadi pengawal yang handal dan siap mati. Budak perempuan sebagai pembantu rumah tangga.

Karena selalu ikut tuannya yang kaya dan berkuasa, para budak banyak yang menjadi sombong, lupa asalnya. Di hadapan para tauke. mereka bisa berlagak. Bicaranya lebih tinggi dari tuannya. Ikut mengisap cerutu dan bertolak pinggang. Sering terjadi perkelahian antara para budak dan pedagang kelontong di pasar. Anehnya, biarpun para budak itu di pihak yang bersalah, sesampai di pengadilan mereka dibela. Akhirnya timbul protes, kelihatan sekali pejabat-pejabat Kompeni tetap lebih melindungi para budak. Para tauke disalahkan.

“Itu tidak adil,” gerutu si Panjang di hadapan kawan-kawannya.

Si Panjang adalah salah seorang tauke yang sudah lama mengikuti latihan silat di Gading Melati dekat Gandaria. Karena kecakapannya yang menonjol, si Panjang diangkat menjadi pemimpin para pesilat. Dia juga mulai dihormati sebagai guru mereka, dianggap sebagai pengganti guru dari Tiongkok yang sudah tua dan tidak bertenaga lagi itu. Si Panjang masih muda, berusia tiga puluhan, dan kuat. Tidak heran jika dia menjadi tumpuan kawan-kawan pesilat se-Betawi.

“Kalian harus berlatih lebih giat,” kata si Panjang, dimulai sekarang kalian harus berkumpul di sini tiap malam. Kita latihan yang praktis saja, yaitu teknik-teknik mempertahankan diri. Kita juga perlu memperdalam penyerangan dengan tenaga kosong. Gerakan dengan sedikit tenaga, tetapi dapat melumpuhkan lawan. Siapa tahu bisa digunakan sewaktu-waktu. Akan tetapi, rahasia harus tetap kita pegang. Sekali lagi tutup mulut. Berlagaklah seperti tidak tahu apa-apa, tetapi pasang telinga tajam-tajam. Kalau mengetahui hal-hal yang aneh dan mencurigakan, cepat bentahukan ke pusat kita di sini.”

Banyak amanat dan nasihat si Panjang kepada kawan-kawannya. Di antaranya harus tetap ramah kepada orang-orang Kompeni. Mereka yang masih bersahabat teruskan persahabatan itu dan yang berdagang harus makin meningkatkan usaha dagangnya. Akan tetapi, begitu sore hari kalau warung serta toko tutup, mereka satu per satu harus berkumpul kembali ke Gading Melati. Mereka membawa sumbangan makanan dan minuman serta bahan makanan pokok yang bisa disimpan untuk kepentingan perkumpulan silat. Mereka yang memiliki jung-jung di pelabuhan Batavia juga diberi tugas untuk menyediakan satu jung khusus. Siapa tahu dapat digunakan sewaktu-waktu dalam keadaan darurat.

Penguasa Batavia pada waktu itu Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Dari laporan Para penyelidik. dia langsung bisa membaca gelagat aneh dalam kota pemerintahannya. Dia menyebarkan agen-agennya ke daerah sasaran. Di antara agen-agennya itu ada yang bernama Liu Chu. Dari Liu Chu diketahui bahwa pengikut si Panjang makin banyak dan tempat mereka berkumpul di Gading Melati dekat pabrik gula.

“Apa yang mereka kerjakan di sang, mata-mata?” tanya Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Jawab Liu Chu, “Mereka menimbun candu. Hanya bagian atas saja yang berwujud rempah-rempah.”

Selanjutnya Liu Chu menjelaskan bahwa mereka juga mengumpulkan senjata tajam. Tiap malam mereka berlatih penuh semangat. Ikut hadir saat Liu Chu memberikan laporan adalah Jacob. Setelah Liu Chu meninggalkan ruangan, Jacob diperintahkan Baron van Imhoff untuk mengadakan rapat yang membicarakan peningkatan keamanan. Keputusan rapat, kalau para tauke tidak bisa dikendalikan lagi, akan dibuang ke Ceylon (sekarang Sri Lanka).

Si Panjang dan kawan-kawan sudah mendengar keputusan yang dianggap sangat gila ini. Mengapa Beng Kong yang telah ditunjuk sebagai wakil para tauke menurut saja kepada Kompeni? Mengapa tidak memberikan gambaran sedikit lebih baik?

Swa Beng Kong adalah Kapten Cina yang sudah berkali-kali diperintahkan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff untuk membubarkan perkumpulan silat di kampung Gading Melati. Akan tetapi, mereka tetap saja membangkang. Malah Si Panjang mulai menunjukkan sikap permusuhan. Jacob mengusulkan agar orang-orang berpakaian pangsi hitam atau biru ditangkap saja. Padahal waktu itu orang baik-baik pun senang memakai pangsi hitam atau biru. Lebih-lebih saat diadakan pesta barongsai. Masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan tumpah ruah di pusat kota Batavia.

Selesai berpesta, serdadu-serdadu Kompeni sudah mengepung pusat keramaian. Mereka yang berpangsi hitam dan biru ditangkap. Orang-orang itu digiring ke balai kota. Lalu, dipindahkan ke patroli keamanan yang sudah disiapkan di tepi sungai. Sampai di muara Sungai Ciliwung mereka dipindahkan ke kapal perang. Sementara itu, beberapa orang sempat menyelamatkan diri. Empat orang lari ke Gading Metati. Mereka segera menemui si Panjang.

Dan keterangan para pelarian itu, si Panjang menggeleng-gelengkan kepala, “Sepertinya tidak mungkin. Apa benar mereka yang tertangkap diceburkan di tengah laut sebagai santapan hiu?” 

Sekali lagi si Panjang menggeleng-gelengkan kepaia. Dia bertekad melakukan balasan. Kemudian, dia mengerahkan anak buahnya yang sudah terlatih dalam bersilat dan para pelaut perantauan, temannya datam menyelundupkan candu. Beberapa puluh senjata bisa dimiliki. 

Tidak sedikit serdadu Kompeni yang berjatuhan kena peluru dari pendukung-pendukung si Panjang. Akan tetapi, Baron van Imhoff mengirimkan serdadu lebih banyak lagi. Akhirnya, kekuatan si Panjang tidak seimbang. Ketangkasan bersilat saja tidak akan mampu menghadapi pasukan bersenjata yang terlatih. Anak buah si Panjang kocar-kacir. Sementara itu, serdadu-serdadu Kompeni semakin ganas. Si Panjang dan gerombolannya mengundurkan diri sampai ke Peninggaran. Di sini si Panjang kena peluru dan tewas.

Gubernur Jenderal Baron van Imhoff tidak meiupakan jasa Liu Chu yang bertindak sebagai mata-mata selama pemerintahannya. Dia menaikkan gaji Liu Chu menjadi 80 dukat setiap bulan dan memberi hadiah-hadiah lainnya. Tentu saja disertai kenaikan pangkat.

Selasa, 23 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Entong Gendut Dari Batu Ampar

Pajak seyogianya diambil seperlima dari hasil panen. Bagian itu bisa berwujud padi, palawija, atau hasil pertanian lainnya, semuanya harus diserahkan kepada tuan tanah. Setelah tahun 1912, tuan tanah tidak mau lagi menerima bagian pajaknya. Dia minta kenaikan dua kali lipat. Alasannya, antara lain karena hasil panen jauh lebih bagus dari musim lalu. Dengan perbaikan sistem irigasi dari sungai ke sawah-sawah membuat hasil panen berlipat ganda, serta akibat pengukuran ulang. Tidak diremehkan pula kegigihan para mandor melakukan kontrol menjelang potong padi.



Umumnya para petani keberatan. Kenaikan 20% bukan hal ringan. Pajak yang berat. Para petani usul agar pajak itu diganti dengan sewa tanah. Akan tetapi, tuan tanah menolak sebab dialah yang berkuasa. Jadi, dia pulalah yang menentukan. Mereka yang merasa keberatan lebih baik pindah ke gunung saja.

Praktek-praktek busuk para mandor beserta centeng-centengnya di sawah waktu menimbang padi sangat meresahkan para petani. Kalau menimbang padi untuk pajak tuan tanah dilebih-lebihkan. Pihak petani dirugikan terus. Merekalah yang selalu menerima bagian paling buruk dan paling sedikit.

Kegiatan lain yang meresahkan para petani adatah “kompenian”, yaitu kerja bakti tanpa upah untuk kepentingan para tuan tanah. Para petani dan warga desa, laki-laki dewasa pada umumnya, bersungut-sungut. Mereka sering berbisik-bisik atau berunding sembunyi-sembunyi untuk melakukan perlawanan.

“Patahkan saja lehernya!”

Salah seorang petani dan warga desa lainnya menyambut dengan bersemangat, “Ya, nanti kita patahkan lehernya!”

Suasana makin panas.
Tuan tanah tahu suasana panas itu. Para petani dan warga desa tidak main-main. Oleh karena itu, permintaan agar pajak diganti dengan sewa tanah diluluskan. Akan tetapi, banyak petani yang akhirnya tidak mampu membayar. Barang-barang mereka dirampas mandor dan diserahkan kepada tuannya. Kalau tetap tidak bisa membayar sewa tanah, atau tidak ada lagi barang untuk menutup, rumah harus dijual. Pembelinya tuan tanah juga dengan harga amat murah.

Tuan tanah sering hanya mendapat rumah rusak. Dia lalu memerintahkan mandor dan para centeng untuk membakar. Petani-petani malang itu makin sengsara. Sejak itu suasana semakin buruk.

Pada tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke pengadilan. Dia petani dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak bisa membayar, rumahnya akan segera disita.

Kemudian, Taha bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di kebun Jaimin, tidak jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi semangat oleh Entong Gendut. Lalu, mereka berteriak bahwa putusan itu tidak adil.

Kenyataannya, tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya membayar 4 1/2 gulden. Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang. Gema tidak puas melanda Batuampar, 
Entong Gendut dan kawan-kawannya marah sekali. Namun, untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah, Para mandor, dan centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia dan kawan-kawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain dengan belajar dan berlatih silat. Entong Gendut sebagai pelatih karena sejak dulu dia dikenal sebagai pendekar.

Entong Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga. Anggota perkumpulan silatnya semula hanya beberapa gelintir orang, tetapi akhirnya bertambah, mencapai lebih dari 400 orang. Di antaranya yang bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi, dan Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat, Said Muksin Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.

Peristiwa berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady Rollinson di Cililitan Besar. Malam itu tanggal 5 April 1916 berlangsung pesta amat meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar juga semarak. Tuan Ament pemilik tanah luas di Tanjung Timur datang dengan mobilnya. Sebelum sampai di jembatan, sekelompok orang tidak dikenal melempari mobilnya dengan batu. Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca belakang mobilnya yang pecah dan

penyok-penyok itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady Rollinson. Di situ dia bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya. Dia ikut menyaksikan hidangan seni berupa musik dan tari-tarian yang menyenangkan. Dia merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging kalkun, dan semerbaknya panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan kawan-kawannya yang sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah Pondok Gede, para wedana, serta tidak ketinggalan pula noni-noni bermata biru berambut pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa kecil dan agak malu-malu.

Di luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis seperti topeng dan wayang kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka yang berada di luar pagar itu memperhatikan pemandangan pesta di halaman rumah Lady Rollinson.

Pesta di dalam makin menghangat. Pasangan-pasangan berdansa diiringi musik. Lalu, mendekatlah seorang pelayan kepada Lady Rollinson.

“Bagaimana, Tija?” tanya nyonya majikannya. “Saya sudah tahu, Nyonya.”
“Jadi, benar Entong Gendut pimpinannya?”
“Tidak salah, Nyonya.”
“Dia pula yang menggerakkan orang untuk melempari mobil tuan Ament?”
“Ya, Nyonya.”

Lady Rollinson mendekati Tuan Ament dan menganjurkan agar dia melapor ke komandan polisi dengan cepat.

“Tentu saja, Lady Rollinson,” jawab Tuan Ament, “pada waktu yang diperlukan saya bisa bertindak cepat. Sekarang tenang saja dulu.”

Tiba-tiba tetabuhan di luar pagar berhenti. Orang-orang yang berjualan makanan dan minuman
menutup kegiatannya. Para penonton bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Seketika sepi dan lampu-lampu keramaian dimatikan. Hal itu membuat tamu-tamu yang berpesta di rumah Lady Rollinson mulai berpikir, jangan-jangan bahaya mengancam. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik mereka minta diri kepada nyonya rumah. Mereka tergesa-gesa pulang dengan bendi atau mobil. Lady Rollinson ikut gelisah dan marah. Dia segera lapor kepada komandan polisi dan berkeluh kesah kepada residen.

Sementara itu, pengaruh Entong Gendut dan pembantu-pembantu dekatnya makin kuat. Apa yang dikatakan Entong Gendut diikuti semua oleh warga Batuampar dan sekitarnya. Wedana Meester Cornelis didatangi bawahannya yang menyampaikan laporan. Ia mengatakan bahwa pengaruh bek di kelurahan tidak bermanfaat lagi. Telinga dan mulut Entong Gendut ada di mana-mana.

Wedana Meester Cornelis dikawal komandan pasukan serta polisi melakukan peninjauan ke Batuampar. Di depan rumah yang diduga milik Entong Gendut, dia langsung memerintahkannya keluar, kalau tidak pintu akan didobrak. Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu. Selesai sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. Dia berjubah putih, di dadanya tersembul keris, dan tangannya memegang tombak panjang. Para pengawalnya bersorban dan bertombak berdiri di belakangnya.

“Aku raja dan aku tidak mau tunduk kepada siapa pun. Aku tidak mau mengikuti pimpinan hukum, apalagi buatan Belanda.”

Wedana Meester Cornelis berunding dengan opsir-opsir polisi. Sementara itu Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketahuilah. Aku amat malu kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin dan tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu rumah mereka dihanguskan? Amat disayangkan!”

Para pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka bersenjatakan panah dan tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan tembakan, ramailah kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema.

“Amuk, amuk!” teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak dan mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong Gendut banyak yang bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk yang tua, kaum perempuan, dan anak-anak diungsikan. Akan tetapi, korban warga Batuampar semakin banyak juga.

Entong Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai jubahnya yang putih. Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester Cornelis memerintahkan komandan pasukan untuk mengikat tangan Entong Gendut. Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah Sakit Kwini. Namun, di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para pengikutnya dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet dan Tanjung Timur. Setelah tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara

Selasa, 05 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Codet

Condet, sebuah daerah yang terletak di Kramat Jati, Jakarta Timur, ternyata menyimpan legenda. Dahulu, Condet adalah milik rakyat. Namun, sejak penjajah masuk ke wilayah Betawi, daerah Condet dan sekitarnya dikuasai oleh seorang tentara Belanda yang bernama Jan Ament. Ia adalah seorang yang suka bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itu, masyarakat Condet pun melakukan perlawanan terhadap Jan Ament. Berhasilkah warga Condet merebut kembali hak-hak mereka? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Codet berikut ini.



Pada pertengahan abad ke-18 M., di tanah Betawi ada seorang pangeran yang kaya-raya bernama Pangeran Geger. Masyarakat sekitar lebih akrab memanggilnya dengan nama Pangeran Codet karena terdapat bekas luka di dahinya. Wilayah kekuasaan sang pangeran meliputi daerah yang kini dikenal sebagai wilayah Codet di Jakarta Timur. Pangeran Codet memiliki istri bernama Polong dan lima orang anak. Salah satunya adalah Maemunah yang memiliki paras yang cantik nan rupawan. Tidak mengherankan jika banyak bangsawan yang datang melamarnya. 

Suatu hari, datanglah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Astawana hendak melamar Maemunah. Astawana berasal dari Makassar (Sulawesi Selatan), tapi ia sudah cukup lama tinggal di Betawi, tepatnya di sebelah timur Condet. Astawana terkenal memiliki kesaktian yang tinggi dan baik hati. Saat sampai di depan rumah Pangeran Codet, Astawana memberi salam.
“Assalamu’alaikum!” ucap pemuda itu dengan suara pelan.

Belum ada jawaban dari pemilik rumah. Salamnya baru mendapat jawaban setelah ia mengucapkan salam yang ketiga kalinya dengan suara agak keras.
“Waalaikum salam...!” terdengar suara wanita dari dalam rumah menjawab salamnya.

Beberapa saat kemudian, tampaklah seorang gadis cantik berjalan dari dalam rumah. Gadis yang tidak lain adalah Maemunah itu segera mempersilakan Astawana duduk di kursi yang ada di teras rumah. Teras rumah merupakan ruang tamu bagi rumah masyarakat Betawi.
“Silakan duduk, Bang!” ujar Maemunah.

Setelah itu, Maemunah segera masuk ke dalam untuk memanggil kedua orangtuanya. Tak berapa lama kemudian, Pangeran Codet bersama istrinya pun datang menemui Astawana.
“Maaf, Anak Muda. Anda siapa dan apa maksud kedatangan Anda ke mari?” tanya Pangeran Codet.
“Nama saya Astawana. Kedatangan saya kemari untuk melamar putri Tuan yang bernama Maemunah,” ungkap Astawana.

Mendengar nama pemuda itu, Pangeran Codet dan istrinya tersentak kaget. Nama itu tidak asing lagi bagi mereka.
“Pangeran Astawana yang terkenal sakti itu bukan?” tanya istri Pangeran Codet.
“I... Iya, Tuan!” jawab Astawana sedikit gugup, “Kebetulan saja orang-orang di daerah ini banyak yang mengenal saya.” 

Begitulah sifat Astawana. Meskipun memiliki kesaktian yang tinggi, ia selalu merendahkan. Hal itulah yang membuat Pangeran Codet dan istrinya terpikat untuk menjadikannya menantu. Tapi, semua itu tergantung pada Maemunah. Mereka tidak bisa memutuskan atas kemauan mereka sendiri tanpa persetujuan dari putri mereka. Ketika Maemunah datang membawa minuman, sang Ayah pun menyampaikan maksud kedatangan Astawana.
“Putriku, duduklah sebentar,” kata Pangeran Codet, “Ayah ingin memperkenalkamu dengan pangeran muda ini. Apakah kamu pernah mengenalnya?”

Maemunah tersenyum sambil tertunduk malu dan kemudian menjawab bahwa ia hanya sering mendengar nama itu, tapi belum pernah bertemu secara langsung.
Aye hanya mengenal namanya, Be,” jawab Maemunah singkat.
“Ketahuilah, kedatangan Astawan kemari ingin melamarmu. Bagaimana pendapatmu, Putriku?”
Maemunah tidak langsung menjawab dan termenung sejenak. Setelah berpikir bahwa Astawana adalah seorang yang sakti mandraguna, maka ia pun menjawab dengan mengajukan sebuah persyaratan kepada pemuda sakti itu.
“Iya, lamaran aye terima jika Abang mampu membuatkan dua rumah di dua tempat yang berbeda dalam waktu semalam,” pinta Maemunah, ”Dua rumah itulah sebagai mas kawinnya.”
 
Mendengar permintaan itu, Astawana tidak perlu berpikir panjang. Ia yakin mampu memenuhi syarat itu dengan kesaktian yang dimilikinya.
“Baiklah, saya menyanggupi persyaratan itu,” jawab Astawana dengan penuh keyakinan.

Ketika hari mulai gelap, pemuda asal Makassar itu segera berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Berkat doa dan dan kesaktiannya, ia pun berhasil mewujudkan pemintaan Maemunah. Dua rumah tersebut kemudian disebut sebagai Batuampar dan Balekambang. Kini, nama kedua rumah diabadikan menjadi dua nama kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. 

Permintaan Maemunah telah dipenuhi oleh Astawana. Perkawinan mereka pun dilangsung dengan meriah. Tamu undangan dari berbagai penjuru memadati kediaman Pangeran Codet. Kemeriahan pesta itu semakin terlihat ketika gambang kromong mulai dipentaskan. Alunan musik khas Betawi itu pun terdengar merdu menghibur para tamu undangan. Kedua mempelai yang duduk bersanding di kursi pelaminan tampak tersenyum bahagia menikmati kemeriahan pesta. Demikian pula Pangeran Codet dan istrinya turut bersuka-cita atas pernikahan putrinya.
Selang beberapa waktu setelah pernikahan putrinya, Pangeran Codet meninggal dunia karena sakit. Seluruh harta kekayaannya, termasuk tanah dan kekuasaannya diwarisi oleh Maemunah. Sejak itulah, istri Astawana itu menjadi penguasa di wilayah itu menggantikan kedudukan ayahnya. Untuk menghormati sang Ayah, Maemunah menyebut daerah kekuasaannya sebagai wilayah Codet yang lama-kelamaan diucapkan dengan nama Condet. 

Maemunah adalah sosok yang adil dan bijaksana. Atas kepemimpinannya, masyarakat di sekitarnya pun senantiasa hidup damai dan tenteram. Namun, beberapa tahun kemudian, kedamaian Condet terusik oleh kedatangan kompeni Belanda ke wilayah Betawi. Kaum penjajah itu mulai merampas tanah milik penduduk secara paksa. Jika ada penduduk yang melawan, mereka tidak segan-segan menganiaya, bahkan membunuh. 

Salah seorang Belanda yang tinggal di sekitar Condet adalah Jan Ament. Ia terkenal kejam dan serakah. Meskipun telah memiliki tanah yang luas dari hasil rampasan, ia tetap tidak merasa puas. Ia ingin menjadi tuan tanah paling kaya dan menguasai wilayah Condet. Mengetahui Maemunah memiliki tanah yang luas, Jan Ament pun ingin merampasnya. 

Suatu hari, Jan Ament bersama antek-anteknya mendatangi rumah Maemunah. Dengan sebilah pedang panjang terselip di pinggang, Jan Ament berseru di depan rumah Maemunah.
“Hai, perempuan pribumi, cepat keluar! Kalau tidak, aku akan masuk memaksamu ke keluar!” teriaknya sambil berkacak pinggang. 

Maemunah yang mendengar teriakan itu segera keluar bersama suaminya. Dengan tenang, putri almarhum Pangeran Codet itu menyapa Jam Ament dengan ramah.
“Maaf, Tuan! Barangkali ada sesuatu yang bisa aye bantu?” tanya Maemunah.
“Aku ke sini untuk meminta seluruh tanah milikmu. Cepat serahkan semua surat-surat tanahmu kepadaku! Kalau tidak, kamu akan tahu sendiri akibatnya. Pedang panjangku ini akan menebas lehermu,” ancam Jan Ament. 

Astawana yang berdiri di samping istrinya angkat bicara karena tidak tahan lagi melihat sikap Jan Ament.
“Hai, Belanda pengecut! Beraninya sama perempuan saja. Lawan aku jika kamu berani!” tantang Astawana seraya melompat ke hadapan Jan Ament.

Jan Ament tersentak kaget dan mundur beberapa langkah. Ketika ia hendak mengunus pedangnya, tiba-tiba sebuah tendangan keras melayang menghantam dadanya. Tentara Belanda itu pun terpental ke belakang dan terjatuh ke tanah. Melihat tuannya tidak berdaya, antek-antek Jan Ament hendak membantu. Namun, Jan Ament mencegah dan mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu.
“Ayo kita pergi dari sini!” ujar Jan Ament sambil memegang dadanya yang terkena tendangan Astwana. Sebelum meninggalkan halaman rumah Maemunah, Jan Ament mengancam akan kembali dengan jumlah orang yang lebih banyak. 

Beberapa hari kemudian, Jan Ament kembali mendatangi rumah Maemunah untuk menantang Astawana. Namun, ia tetap tidak mampu mengalahkan suami Maemunah yang sakti itu. 

Menurut cerita, Jan Ament baru berhasil merebut tanah Maemunah setelah menggunakan akal licik. Ia mengirim seorang anteknya untuk mengetahui kelemahan Astawana. Alhasil, usaha tersebut berhasil sehingga suami Maemunah itu dapat dikalahkan. Sejak itulah, Jan Ament menjadi penguasa di Condet dan dilanjutkan oleh anak cucunya. 

Keturunan Jan Ament yang menjadi tuan tanah tinggal di rumah besar di Kampung Gedong. Mereka membuat aturan yang memberatkan rakyat Condet dengan mewajibkan membayar sewa tanah setahun sekali. Selain itu, para petani diwajibkan melakukan kompenian, yaitu kerja bakti tanpa diberi upah untuk kepentingan tuan tanah. 

Semakin hari, kesewenang-wenangan kompeni Belanda terhadap rakyat Condet semakin menjadi-jadi. Jika ada warga yang tidak mampu membayar sewa tanah, mereka tidak segan-segan merampas dan menyita barang-barang atau pun rumah warga itu. Tapi, jika mendapat rumah sitaan yang rusak, mereka langsung membakarnya. 

Kesewenang-wenangan itu membuat rakyat Condet resah. Oleh karena itu, pada tahun 1916 M., rakyat Condet yang dipimpin oleh Entong Gendut bersepakat untuk melakukan perlawanan. Entong Gendut adalah seorang pendekar silat dari Batu Ampar yang juga bagian dari wilayah Condet. Ia dibantu oleh Astawana dan dua orang pendekar sakti lainnya bernama Modin dan Maliki yang keduanya juga berasal dari Batu Ampar. 

Entong Gendut bersama kawan-kawannya mempersiapkan diri terlebih dahulu. Mereka melatih warga belajar ilmu silat. Setelah anggotanya mencapai ratusan orang, perkumpulan silat yang dipimpin oleh Entong Gendut itu pun mulai melakukan perlawanan. Mereka dipersenjatai dengan golok, tombak, keris, dan panah. Sementara itu,  kompeni Belanda dilengkapi dengan senjata api dan senapan.

Saat pertempuran sedang berlangsung, anak buah Entong Gendut banyak yang tewas tertembus peluru. Tidak sedikit pula anggota pasukan kompeni Belanda yang tewas, terluka terkena bacok, atau tertembus anak panah. Dalam pertempuran itu, rakyat Condet akhirnya kalah setelah tentara Belanda mendapat bantuan sekompi pasukan. Entong Gendut pun tewas karena dadanya tertembus peluru. Sementara itu, para pengikutnya ditangkap dan dimasukkan ke penjara. 

Tanah di wilayah Condet baru kembali menjadi milik rakyat setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, di mana hak-hak Jan Ament dan keturunannya dihapuskan.
* * *
Demikian cerita Legenda Codet dari daerah Betawi, Jakarta Timur. Pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat cinta tanah air. Sifat ini terlihat pada perjuangan warga Condet merebut kembali hak-hak mereka dari para kompeni Belanda.