Selasa, 21 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Tadulako Bulili

Tadulako Bulili adalah sebutan untuk panglima perang Desa Bulili, yang terdiri dari tiga orang yaitu, Tadulako Bantaili, Makeku, dan Molove. Kata tadulako dalam bahasa setempat berarti penglima perang. Ketiga panglima perang tersebut bertanggungjawab atas keselamatan penduduk Bulili. Suatu ketika, raja di negeri itu yang bernama Raja Sigi, membuat masalah di desa itu. Apa tindakan ketiga tadulako tersebut? Lalu, masalah apa yang telah diperbuat oleh Raja Sigi? Ikuti kisahnya dalam cerita Tadulako Bulili berikut ini.



Alkisah, di sebuah lereng gunung di daerah Sulawesi Tengah, terdapat sebuah desa yang bernama Bulili. Seluruh penduduk desa tersebut senantiasa hidup rukun dan damai. Kerukunan dan kedamaian tersebut tercipta karena di desa itu terdapat tiga orang tadulako atau panglima perang yang terkenal pemberani, sakti mandraguna, dan bijaksana, yaitu Bantaili, Makeku, dan Molove. Mereka bertanggungjawab atas ketentraman dan keselamatan rakyat Bulili.
Di Desa Bulili, tinggal pula seorang gadis cantik bernama Moro. Moro adalah seorang gadis yang cantik nan rupawan. Berita tentang kecantikannya tersebar hingga ke berbagai penjuru negeri. Raja Sigi yang mendengar berita itu segera mengutus berapa pengawalnya ke Desa Bulili untuk melamar Moro. Sesampainya di sana, para utusan raja tersebut menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada keluarga Moro.
”Maaf, jika kedatangan kami secara tiba-tiba tanpa memberi kabar sebelumnya. Kami adalah utusan Raja Sigi untuk menyampaikan lamaran raja kami kepada Moro,” ungkap ketua utusan tersebut.
Meskipun lamaran itu datang dari Raja Sigi, keluarga Moro tidak serta merta menerimanya, karena harus mendapat persetujuan dari ketiga tadulako Bulili.
“Maaf, Tuan-Tuan! Kami tidak berani memutuskannya sekarang. Kami harus mendapat persetujuan dari pemimpin kami. Jika Tuan berkenan menunggu, kami segera mengundang mereka datang kemari,” kata ayah Moro.
“Baiklah, kami bersedia menunggu,” kata ketua utusan.
Ayah Moro pun segera mengutus salah seorang anggota keluarganya untuk memanggil ketiga tadulako Bulili. Tak berapa lama kemudian, utusan itu pun kembali bersama ketiga tadulako tersebut. Setelah terjadi perundingan antara para utusan raja dengan ketiga tadulako tersebut, akhirnya lamaran Raja Sigi pun diterima.
Para utusan tersebut segera kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira itu kepada Raja Sigi. Mendengar lamarannya diterima, Raja Sigi segera memerintahkan seluruh pengawalnya agar mempersiapkan segala keperluan untuk pesta perkawinannya. Beberapa hari kemudian, pesta perkawinan Raja Sigi dengan Moro pun dilangsungkan dengan sangat meriah di istana Sigi.
Setelah menikah, Raja Sigi memutuskan untuk tinggal di Desa Bulili. Namun, baru beberapa bulan setelah menikah, tiba-tiba rumah tangga mereka dilanda prahara. Mereka sering bertengkar, karena berbeda pemahaman. Rupanya, hal itu membuat Raja Sigi tidak betah tinggal di Desa Bulili dan berniat untuk kembali ke istana Sigi. Namun, ia ragu untuk menyampaikan niat itu kepada Moro, karena permaisurinya itu sedang mengandung tujuh bulan. Setelah berpikir, akhirnya ia menemukan sebuah alasan yang dapat melunakkan hati permaisurinya.
“Permaisuriku! Kanda harus kembali ke istana Sigi. Ada urusan kerajaan yang harus Kanda selesaikan. Izinkanlah Kanda pergi!” bujuk Raja Sigi.
Moro akhirnya mengizinkan suaminya kembali ke istana Sigi, walaupun dengan berat hati. Setelah dua bulan kepergian suaminya, Moro pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa kehadiran Raja Sigi. Para warga pun menanyakan keberadaan Raja Sigi kepada Moro.
“Baginda raja ke mana, Moro?” tanya seorang warga.
Dengan perasaan haru, Moro meceritakan prahara yang menimpa rumah tangganya hingga Raja Sigi pergi meninggalkannya. Mendengar cerita Moro, masyarakat Bulili menjadi gempar. Ketiga tadulako Bulili pun mendengar berita itu. Setelah mengadakan perurundingan, akhirnya tadulako Bantaili dan Makeku mendapat tugas untuk menemui Raja Sigi di istana. Setibanya di halaman istana, mereka dihadang oleh Raja Sigi.
“Hai, apa maksud kedatangan kalian kemari?” tanya Raja Sigi sambil berkacak pinggang.
“Ampun, Baginda! Apakah tidak sebaiknya berita ini kami sampaikan di dalam istana saja, Baginda?” pinta tadulako Bantaili.
“Ah, tidak perlu! Kalian tidak perlu masuk ke dalam istanaku. Katakanlah, apa maksud kedatangan kalian kemari!” desak Raja Sigi.
“Baiklah, Baginda! Kedatangan kami kemari ingin menyampaikan berita gembira bahwa permaisuri Baginda sudah melahirkan seorang bayi laki-laki. Untuk itu, kami meminta lumbung padi untuk putra Baginda yang baru lahir,” jawab Bantaili.
Mendengar berita gembira itu, Raja Sigi bukannya gembira dan bahagia, melainkan marah. Ia mengira kedua tadulako Bulili itu hanya mengada-ada agar mereka diberikan lumbung padi untuk keperluan penduduk Bulili.
“Hai, kalian jangan banyak alasan! Kalian meminta lumbung padi pasti karena penduduk Bulili sedang kelaparan,” jawab Raja Sigi dengan angkuhnya.
“Ampun, Baginda! Berita yang kami sampaikan ini adalah benar adanya. Lumbung padi yang kami minta hanya untuk putra Baginda semata, bukan untuk penduduk Bulili,” sahut Makeku meyakinkan Raja Sigi.
“Bawalah lumbung besar yang berisi padi di belakang istana, jika kalian mampu mengangkatnya!” seru Raja Sigi.
Merasa diremehkan, kedua tadulako dari Bulili tersebut tersinggung. Dengan wajah memerah, mereka segera ke belakang istana untuk mengambil lumbung padi. Setibanya di sana, Bantaili memilih lumbung padi yang paling besar dan berisi penuh dengan padi. Dengan kesaktiannya, ia segera memanggul lumbung padi itu seorang diri dan membawanya pergi ke Desa Bulili. Sementara Makeku mengawalnya dari belakang.
Melihat kejadian itu, Raja Sigi tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira sebelumnya kalau Bantaili mampu memanggul lumbung padi itu dengan mudah. Biasanya, lumbung padi kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang pengawalnya. Dengan panik, Raja Sigi segera memerintahkan seluruh pengawalnya untuk mengejar dan menangkap kedua tadulako Bulili tersebut.
“Pengawal! Kejar kedua tadulako itu! Mereka telah membawa lari lumbung padi kita!” seru Raja Bulili.
Para pengawal pun segera mengejar tadulako Bantaili dan Makeku. Mengetahui para pengawal raja mengejarnya, kedua tadulako itu semakin mempercepat langkahnya. Tidak berapa lama kemudian, sampailah mereka di tepi sungai. Sungai tersebut terbentang sangat lebar dan dalam. Dengan kesaktiannya, mereka dapat melompati sungai tanpa sebutir padi pun yang tercecer dari lumbung itu. Sementara pengawal Raja Sigi tidak berani menyeberangi sungai yang sangat dalam dan deras itu. Mereka akhirnya kembali ke Sigi tanpa membawa hasil. Betapa kecewanya Raja Sigi, karena kehilangan lumbung padinya yang paling besar. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia mempunyai cara untuk menghancurkan rakyat Bulili dan menangkap ketiga tadulako Bulili tersebut.
Pada suatu hari, Raja Sigi mengundang tadulako Makeku, Bantaili, dan Molove dalam sebuah pesta yang dilaksanakan di sebuah tempat yang cukup jauh dari Desa Bulili. Tempat itu bernama Marima. Tanpa curiga sedikit pun, ketiga tadulako Bulili tersebut datang menghadiri undangan Raja Sigi. Sesampainya di tempat perjamuan, mereka disambut oleh Raja Sigi dan diajak duduk berdampingan.
Tak berapa lama kemudian, pesta perjamuan dimulai. Raja Sigi mempersilahkan kepada ketiga tadulako Bulili tersebut untuk menyantap berbagai jenis hidangan makanan yang telah disediakan.
“Silahkan, Tuan-Tuan!” pinta Raja Sigi.
“Terima kasih, Baginda!” jawab ketiga tadulako Bulili tersebut serentak.
Bantaili dan Molove pun segera menyantap makanan tersebut dengan lahapnya. Sedangkan Makeku belum berbuat apa-apa. Sepertinya ia mencium bau hangus yang menyengat hidungnya.
“Hai, Makeku! Ada apa denganmu? Kenapa kamu diam saja?” tanya Bantaili dengan suara pelan.
“Sepertinya aku mempunyai firasat buruk. Aku mencium bau hangus. Ayo kita tinggalkan tempat ini! Kita telah ditipu oleh Raja Sigi,” bisik Makeku.
“Apa maksdumu, Makeku?” tanya Bantaili.
“Coba lihat! Di pahaku ada abu pakaian kebesaran Bulili. Hal ini pertanda Desa Bulili sedang dalam bahaya,” jawab Makeku.
Tanpa berpikir panjang, ketiga tadulako Bulili itu pun segera meninggalkan pesta itu tanpa berpamitan kepada Raja Sigi. Mereka berlari dengan sangat cepat menuju Desa Bulili. Setibanya di sana, seluruh rumah penduduk sudah hangus terbakar dan tak seorang pun penduduk Bulili yang tersisa.
“Kamu benar, Makeku! Raja Sigi telah memperdayai kita. Aku yakin, balatentara Raja Sigi telah menggiring seluruh penduduk Bulili ke negeri Sigi,” kata Bantaili.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Molove.
“Kita harus mengejar mereka dan membawa pulang semua penduduk,” jawab Bantaili.
Ketiga tadulako Bulili itu pun segera mengejar balatentara Raja Sigi. Dengan kesaktiannya, mereka berhasil mengalahkan bala tentara Raja Sigi dan berhasil membawa pulang seluruh penduduk ke Desa Bulili dengan selamat. Sejak itu, Raja Sigi tidak pernah lagi mengusik penduduk Desa Bulili.
* * *
Demikian cerita Tadulako Bulili dari daerah Sulawesi Tengah. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral dan dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dijadikan pelajaran dalam cerita di atas, yaitu pentingnya menjadi pemimpin yang bertanggungjawab, dan akibat buruk dari sifat suka memandang remeh orang lain.
Pertama, pentingnya menjadi pemimpin yang bertanggungjawab. Bagi orang Melayu, pemimpin yang bertanggungjawab adalah pemimpin yang mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun masyarakatnya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat kepemimpinan tersebut tercermin pada sifat dan perilaku ketiga tadulako Bulili dalam cerita di atas. Mereka telah bertanggungjawab melindungi, menjaga dan membebaskan penduduk Bulili yang ditawan oleh prajurit Raja Sigi.
Kedua, akibat buruk dari sifat suka memandang remeh orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Raja Sigi yang telah memandang remeh kemampuan tadulako Bantaili dan Makeku. Dengan angkuhnya, ia berani menyuruh tadulako Bantaili dan Makeku untuk mengangkat lumbung padinya, karena merasa tidak mungkin mereka berdua mampu mengangkatnya. Namun tanpa ia duga, ternyata Bantaili mampu memanggul lumbung padinya yang paling besar seorang diri dan membawanya ke Desa Bulili. Akibatnya, Raja Sigi pun kehilangan lumbung padi. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kalau suka merendahkan orang lain,
alamat badan dimakan parang


EmoticonEmoticon