Kampung Payol atau yang kini dikenal Kampung Sipayol adalah sebuah kampung yang terletak di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah, Indonesia. Menurut masyarakat setempat, kampung ini memiliki legenda yang cukup menarik. Dulu, kampung ini tidak mempunyai nama. Namun tersebab oleh sebuah peristiwa, kampung ini kemudian diberi nama Kampung Payol. Peristiwa apakah yang terjadi di daerah tersebut sehingga dinamakan Kampung Payol? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Ikan Payol berikut ini.
Alkisah, di daerah pesisir Kabupetan Toli-Toli, Sulawesi Tengah, terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Dondo. Di antara penduduk kampung itu ada sebuah keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri bersama seorang anak mereka. Sang suami bernama Pak Daesala, sang istri bernama Daesumandi, sedangkan sang anak bernama Daemaji.
Suatu hari, keluarga kecil itu pergi ke sebuah pulau karang bernama Pulau Napo yang terletak di tengah laut. Mereka pergi ke pulau itu untuk mencari kina dengan menggunakan perahu. Setiba di pulau itu, Pak Daesala meninggalkan perahunya di bibir pantai tanpa ditambatkan. Saat mereka masuk ke pulau itu, tiba-tiba air laut pasang sehingga perahunya hanyut terbawa gelombang laut.
Ketika hari mulai senja, mereka bermaksud pulang ke perkampungan. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat perahu mereka sudah tidak ada lagi di pantai.
“Ayah, ke mana perahu kita?” tanya Daemaji kepada ayahnya dengan kaget.
Pak Daesala tidak menjawab. Ia hanya tertegun memandangi gelombang laut yang terhempas di bibir pantai. Ia sangat menyesal karena tidak menambatkan perahunya sebelum masuk ke dalam pulau itu.
“Maafkan Ayah, nak! Ayah lupa menambatkan perahu kita sehingga terbawa gelombang air laut pasang,” jawab Pak Daesala dengan penuh penyesalan.
“Lalu, bagaimana caranya kita pulang Yah?” tanya istrinya bingung.
“Entahlah, Bu! Ayah juga tidak tahu harus berbuat apa,” jawab Pak Daesala.
Keluarga kecil itu akhirnya terdampar di pulau itu. Agar tidak terendam air laut yang semakin naik, mereka mengumpulkan batu dan kemudian menyusunnya sampai tinggi. Setelah itu, mereka berdoa agar Tuhan Yang Mahakuasa segera menolong mereka. Doa mereka pun terkabulkan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seekor ikan yang disebut ikan payol mendekati mereka.
“Wahai, ikan payol! Jika kamu hendak menolong kami, merapatlah ke tumpukan batu ini!” pinta Pak Daesala.
Ika payol itu pun meliuk-liukkan ekor pertanda bersedia menolong mereka. Ia kemudian merapatkan tubuhnya pada tumpukan batu itu. Begitu ia merapat, Pak Daesala bersama istri dan anaknya segera naik ke atas punggungnya. Namun, ikan payol itu tidak mengantar mereka pulang ke perkampungan, melainkan membawa mereka mengarungi laut selama tujuh hari malam. Ajaibnya, ketiga orang tersebut tidak pernah merasa haus dan lapar.
Pada hari berikutnya, ikan payol itu berhenti di suatu tempat dan menurunkan mereka. Tanpa mereka duga, ternyata ikan payol itu bisa berbicara layaknya manusia.
“Cukup sampai di sini saya mengantarkan kalian. Pergilah ke hulu dan tinggallah di sana!” ujar ikan payol.
Sebelum pergi meninggalkan ketiga orang tersebut, ikan payol berpesan agar mereka memberi nama tempat itu dengan nama ‘Payol’. Sementara itu, Pak Daesala dan keluarganya semakin bingung harus berbuat apa karena tempat itu sangat sepi seperti tak berpenghuni. Mereka pun mulai merasa lapar.
“Ayah, aku lapar,” kata Daemaji.
Setelah melihat ke sekeliling, Pak Daesala tidak menemukan sesuatu yang dapat dimakan. Oleh karena itu, ia pun mengajak istri dan anaknya untuk beristirahat sejenak. Ia akan mencari makanan setelah beristirahat. Baru saja merebahkan tubuh di bawah sebuah pohon yang rindang, tiba-tiba mereka mencium bau asap. Pak Daesala pun segera terperanjat dari tempat istirahatnya.
“Hai, apakah kalian mencium bau asap?” tanya Pak Daesala kepada istri dan anaknya.
“Benar, Yah. Aku pun mencium bau asap itu,” sahut istrinya.
“Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada orang yang menyalakannya,” pikir sang Ayah, “Tidak salah lagi, tempat ini pasti ada penghuninya. Ayo kita cari sumber asap itu!”
Ketiga orang itu segera mencari sumber asap tersebut. Baru beberapa langkah berjalan, mereka pun menemukan sebuah perapian yang baru saja dinyalakan. Semakin yakinlah mereka bahwa ada orang selain mereka di sekitar tempat itu. Setelah melihat ke selilingnya, tak seorang manusia yang mereka lihat.
Ketika Pak Daesala hendak mengambil satu batang kayu api yang masih membara untuk dibawa ke tempat mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar suara orang sedang batuk-batuk. Rupanya, suara batuk itu berasal dari tengah-tengah sebuah kebun jagung yang berada di tidak jauh dari perapian itu. Tak berapa lama kemudian, seorang kakek tiba-tiba muncul dari balik rimbunan pohon jagung. Orang itu ternyata orang Taijo, penduduk pertama di tempat itu.
“Hai, kalian siapa dan kenapa bisa berada di tempat ini?” tanya orang Taijo itu.
Pak Daesala pun memperkenalkan diri dan keluarganya. Kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga mereka bisa sampai di tempat itu. Ia menyampaikan pesan dari si ikan payol agar tempat itu diberi nama Kampung Payol. Orang Taijo itu pun setuju. Sejak itulah, tempat itu bernama Kampung Payol.
Selanjutnya, orang Taijo itu memperkenalkan diri bahwa ia tinggal di kampung itu dengan ditemani oleh istrinya.
“Hanya kami berdua yang tinggal di tempat ini. Tinggallah bersama kami di sini!” ajak orang Taijo itu
Keluarga Pak Daesala pun setuju karena mereka juga tidak dapat kembali ke tempat asal mereka. Mereka juga diberi kebun yang terletak di kaki sebuah gunung sehingga dapat hidup tanpa kekurangan makanan. Setelah beberapa tinggal di kampung itu, istri Pak Daesala mulai merasa jenuh karena suasananya sangat sepi. Tidak seperti di tempat asalnya di Kampung Dondo, ia dapat bergaul bersama para tetangga-tetangganya.
“Yah, sudah lama kita berada di kampung ini dengan hidup berkecukupan. Tapi, apalah artinya semua ini kalau kita selalu kesepian begini?” keluh istri Pak Daesala, “Berusahalah mencari jalan keluar agar kita dapat terlepas dari suasana sepi seperti ini!”
Mendengar permintaan istrinya, Pak Daesala segera pergi ke sebuah gunung yang tertinggi di daerah itu. Setiba di puncak gunung, ia memanjat pohon yang paling tinggi lalu melihat ke sekelilingnya. Dari atas pohon itulah ia melihat sebuah perkampungan yang terletak di sebelah barat. Setelah diamati, maka yakinlah ia bahwa kampung itu adalah kampung asalnya, Kampung Dondo.
“Wah, itu pasti Kampung Dondo,” gumamnya.
Setelah itu, Pak Daesala segera turun dari pohon itu lalu pergi menemui istri dan anaknya. Ia kemudian mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu menuju ke kampung asal mereka. Sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu berpamitan kepada orang Taijo.
“Maaf, Pak. Izinkanlah kami untuk pulang ke kampung asal kami! Suatu saat, kami akan kembali ke kampung ini untuk menetap,” kata Pak Daesala kepada orang Taijo itu.
Sebelum pergi meninggalkan kampung itu, Pak Daesala mengajukan sebuah permintaan kepada orang Taijo bahwa ia akan mengajak beberapa keluarga dan tetangganya untuk tinggal di Kampung Payol.
“Dengan senang hati. Saya pun berharap demikian agar Kampung Payol ini menjadi ramai. Lagi pula masih banyak tanah kosong yang dapat dijadikan lahan perkebunan dan untuk tempat tinggal,’ ujar orang Taijo.
Alangkah senang hati keluarga Pak Daesala mendengar permintaan mereka diterima oleh orang Taijo itu. Setelah berpamitan, berangkatlah mereka menuju ke Kampung Dondo. Setiba di sana, mereka pun bisa bertemu kembali dengan keluarga dan para tetangga mereka. Pak Daesala kemudian menceritakan semua pengalaman yang baru saja mereka alami kepada seluruh warga. Selanjutnya, ia mengajak tujuh belas rumah tangga yang terdiri dari keluarga dan tetangganya untuk pindah ke Kampung Payol. Mereka pun akhirnya menetap dan berkebun di kampung itu.
Hingga saat ini, keturunan Pak Daesala tidak diperkenankan makan ikan payol. Bahkan, mereka tidak diperbolehkan menyentuh ikan yang pernah menolong Pak Daesala itu. Sementara itu, nama Kampung Payol diubah oleh penjajah Belanda menjadi Kampung Sipayol.
* * *
Demikian cerita Legenda Kampung Payol dari daerah Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sikap sembrono atau kurang berhati-hati dapat mengakibatkan malapetaka bagi seseorang dan juga kepada orang lain. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku Pak Daesala yang secara sembrono meninggalkan perahunya di pantai tanpa ditambatkan. Akibatnya, ia dan keluarganya terdampar di Pulau Napo. Untung Tuhan Yang Mahakuasa segera menolong mereka melalui seekor ikan payol.
EmoticonEmoticon