Senin, 13 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

13. Di Mana pun Jantungnya Berada, di Sanalah Tempatku

Tags

13. Di Mana pun Jantungnya Berada, di Sanalah Tempatku


Apakah kau akan tetap duduk di sana dan melihat hatiku hancur, 
sementara kau tak berbuat apa-apa? 
Kesabaranku telah habis; 
akal sehatku pun demikian. 
Jika kau tak membantuku, aku akan mati!

Hari itu seperti hari biasanya, Majnun dan Nowfal sedang duduk bersama, bersantai dan bersenang-senang, percakapan ringan terlontar dari bibir mereka. Tiba-tiba, senyum Majnun mendadak pudar dan wajahnya tertutup awan hitam. Airmata membasahi matanya dan ia mulai mendendangkan sajaknya:

Kesedihan di hatiku tak membuatmu tergerak; Kau tak merasakan sakitku saat ku menangis. Begitu banyak janji yang kau buat, Tak satu pun yang kau tepati. Kau bersumpah akan memuaskan hasratku, Sedari awal kau keras kepala; Berkeinginan untuk memadamkan nyala api cinta yang membara, Dan dengan kata-kata kosong kau mengoyak hatiku.

Nowfal duduk dalam diam dan sedih, bertanya-tanya bagaimana mungkin rasa pahit itu tak terdeteksi dalam cangkir persahabatan mereka. Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana ia bisa menanggapinya? Ia tak menyiapkan senjata apapun untuk serangan ini, tak ada kata yang pantas untuk dapat memukul mundur serangan tiba-tiba ini. Yang dapat ia lakukan hanyalah menurunkan pandangannya untuk menutupi kesedihan yang dirasakannya.

Sangatlah jelas bahwa segala sesuatu yang terjadi selama beberapa bulan itu tidak dapat memadamkan hasrat Majnun kepada Layla; api itu justru menyala semakin besar. Majnun tidak peduli seberapa beratnya tugas itu: apapun risiko ataupun bahaya yang harus dihadapi, Nowfal telah berjanji dan kini ia terikat oleh janji itu. Ia harus memenuhi janjinya.

Dengan getir, Majnun melanjutkan ucapannya, “Betapa mudahnya kau membuat janji-janji itu, dan kini kau bungkam! Apakah kau akan tetap duduk di sana dan melihat hatiku hancur, sementara kau tak berbuat apa-apa? Kesabaranku telah habis; akal sehatku pun demikian. Jika kau tak membantuku, aku akan mati! Atau mungkin aku harus meminta pertolongan dari teman-teman yang lebih baik? Aku dulu lemah, tanpa teman, hancur dan haus akan air kehidupan, dan kau berjanji akan mengubah segalanya. Namun demikian, kau tak berbuat apapun kecuali melanggar janjimu. Pria macam apa kau ini? Apakah

Allah tidak meminta umatnya untuk memberikan makanan kepada mereka-mereka yang sedang kelaparan, untuk memberikan minuman kepada mereka-mereka yang sekarat karena dahaga? Penuhi janjimu, jika tidak pria gila ini akan kembali ke gurun tempat kau menemukannya. Persatukan aku dengan Layla atau aku akan mengakhiri hidupku yang hancur ini!”

Jantung kekasihku berdetak untuk pihak musuh, dan di mana pun jantungnya berada, maka di sanalah tempatku. Aku ingin mati demi dirinya…

Kata-kata Majnun bagaikan panah berapi dan hati Nowfal bagaikan lilin. Nowfal menyadari bahwa ia harus segera beraksi. Segera saja ia mengganti jubahnya dengan pakaian perang, dan tak lupa membawa pedangnya, ia mulai berangkat tanpa penundaan lagi. Dalam waktu satu jam, seratus orang berkuda yang seluruhnya telah dibekali oleh keahlian bertarung dikumpulkan di bawah bendera Nowfal.

Nowfal menunggang kudanya di depan, rambutnya tergerai dan dikibaskan oleh angin bagaikan surai singa, dan Majnun berada di sisinya. Setelah beberapa saat, mereka tiba di daerah pinggiran perkemahan suku Layla. Nowfal memerintahkan anak buahnya untuk turun dari kuda mereka dan menyiapkan perkemahan. Lalu ia mengirimkan bentara kepada kepala suku Layla dengan pesan sebagai berikut:

“Aku, Nowfal, dengan ini menyatakan keinginanku untuk berperang denganmu. Pasukanku telah berkumpul dan kami telah siap untuk melawanmu hingga tetes terakhir, sampai kemenangan berhasil kami raih.

Hanya ada satu jalan keluar bagimu, yaitu kau harus membawa Layla kepadaku; dan jika kau menolak untuk menurutinya, maka pedangkulah yang akan memutuskannya untuk kita. Kutetapkan bahwa aku akan menyerahkan Layla kepada seorang pria yang sangat mencintainya, satu-satunya pria yang pantas untuknya. Itulah permintaanku.”

Tak lama kemudian, sang bentara itu kembali dengan membawa balasan sebagai berikut:
“Kami sudah menerima pesan kalian sebagaimana seharusnya. Tanggapan kami tentang permasalahannya adalah sebagai berikut: Layla bukanlah mainan yang harus dimiliki secara paksa oleh siapapun yang menginginkannya. Seberapa pun indahnya sang rembulan, tetap saja ia tak dapat dimiliki oleh siapapun yang jatuh cinta kepadanya. Apakah kau akan mencuri apa yang bukan menjadi hakmu? Apakah kau akan berperang demi sesuatu yang tak sepatutnya kau miliki? Apakah kau berani meminta sesuatu yang tak mungkin, lalu mengancam kami dengan kematian saat kami tak bersedia menyerahkannya kepadamu?

Kau iblis dari neraka! Maka lawanlah kami, jika memang itu kehendakmu, dan hadapkan kami ke pedangmu jika memang kau mampu!”

Kemarahan Nowfal memuncak, ia lalu mengirimkan pesan kedua:
“Kalian manusia-manusia menyedihkan yang bodoh! Apakah kau buta? Tidakkah kau lihat betapa kuatnya kami dan betapa tajamnya pedang-pedang kami? Apakah kalian berpikir bahwa kalian benar-benar mampu melawan kami? Dapatkah beberapa orang dengan peralatan usang melawan sepasukan orang bersenjatakan besi yang disulut oleh kemarahan? Ayolah, gunakan akal sehatmu selagi bisa! Lakukan apa yang kami minta dan selamatkan diri kalian, jika tidak, maka bencana akan membanjiri kalian!”

Namun lagi-lagi sang bentara kembali dengan surat penolakan yang berisikan cacian dan cemooh. Kemarahan Nowfal sudah tak tertahankan lagi. Sambil menarik pedang dari sarungnya, ia memberikan pertanda kepada pasukannya untuk bergerak maju. Dengan pedang-pedang yang berkilauan di bawah sinar mentari dan genggaman tangan yang terkepal di udara, pasukan Nowfal melaju menuju perkemahan Layla bagaikan sekawanan burung hering yang kelaparan.

Terdengar bunyi dentingan baja dengan baja, ringkikan kuda, jeritan, teriakan serta tangisan mereka-mereka yang terluka. Terlihat tikaman pedang ke dada, tombak ke paha, dan kapak ke kepala. Terdengar isak tangis para wanita dan anak-anak yang berkumpul di dalam tenda. Tubuh-tubuh yang terluka, dari kepala yang terlepas dari tubuh, serpihan- serpihan daging yang berjatuhan di kaki. Darah-darah yang mengalir bagaikan sungai, membuat tanah berubah warna menjadi merah, ungu dan hitam. Dan di mana-mana terlihat kematian yang mengenaskan………

Hanya Majnunlah satu-satunya orang yang tak ikut berperang. Bukankah pembunuhan besar-besaran ini terjadi karena dirinya? Meskipun begitu, ia hanya berdiri di satu sisi, pedangnya masih berada di dalam sarung, dan melihat kejadian itu tanpa daya. Ketidakmampuannya berbuat apa- apa bukanlah karena ia seorang pengecut yang ketakutan, tapi jauh lebih buruk dari itu. Ia tak dapat bergerak karena ia berada di tengah-tengah perkemahan: ia merasakan penderitaan kedua belah pihak. Setiap hunusan pedang, setiap tusukan belati, entah dari teman ataupun lawan bagaikan menamparnya. Dengan meninggalkan senjatanya, ia melemparkan dirinya ke tengah medan pertempuran, berdoa kepada Allah dan memohon dengan sangat agar para pejuang itu meletakkan senjata-senjata mereka dan mengibarkan bendera perdamaian. Namun hanya ada beberapa orang yang dapat mendengarnya, dan mereka-mereka yang memang mendengar- nya tak mau mendengarkan. 

Adalah sebuah keajaiban bahwa ia tidak terbunuh saat itu.
Majnun tahu bahwa seharusnya ia bersama Nowfal; ia tahu betul bahwa Nowfal bertempur demi dirinya. Oleh karena itu ia harus mendoakan kemenangan sahabatnya yang dermawan itu. Namun semakin seru pertempuran itu, pikirannya pun semakin kacau. Bukankah ia telah seringkali mengatakan bahwa ia bersedia mati untuk Layla? Meskipun begitu, para anggota suku Layla mati terbunuh di hadapannya demi dirinya. Oleh siapa lagi jika bukan Nowfal dan anak buahnya teman-teman Majnun sendiri!

Rasa malu memasuki pikirannya. Apakah Nowfal dan para anak buahnya benar-benar teman-temannya? Tapi bukankah mereka juga musuh dari temannya? Sementara pertempuran terjadi di sekitarnya, pertempuran lainnya sedang berlangsung di dalam jiwanya, sama kejamnya dengan yang berlangsung di hadapannya. Andai saja rasa malunya tidak melumpuhkannya, maka ia pasti telah mengangkat pedangnya untuk membela kaumnya dan melawan pasukan Nowfal. Namun hal itu pasti akan membuat citranya menjadi buruk di mata suku Layla. Ia dapat membayangkan tawa serta ejekan dari para musuhnya, merasa mendapatkan hiburan saat melihat Majnun menyerang pasukan yang berniat membantunya dari belakang. 

Baginya, jika memang takdir menetapkan demikian, maka dengan senang hati ia akan menembakkan anak panahnya ke arah mereka-mereka yang menyerang suku Layla. Hatinya berpihak kepada pasukan dari suku kekasihnya; dan saat itupun ia berdoa untuk kemenangan suku Layla.

Akhirnya perasaan itu menjadi terlalu kuat untuk dapat ditahannya. Setiap kali musuh yang berkuda melangkah semakin maju, atau melemparkan anak buah Nowfal dari sadel kuda, ia akan bersorak; setiap anak buah Nowfal berhasil melumpuhkan musuh, ia akan meraung dengan cemas. Pada akhirnya, salah seorang anak buah Nowfal melihat bagaimana anehnya tingkah laku Majnun, menoleh kepadanya dan bertanya, “Apa yang sedang terjadi kepada Anda, Tuan? Mengapa Anda hanya bisa menikmati berlangsungnya pertempuran ini dari kejauhan? Dan mengapa Anda justru merasa gembira saat pasukan musuh bergerak semakin mendekat? Apakah Anda lupa bahwa kami semua berada di sini karena Anda? Apakah Anda tidak menyadari bahwa kami semua mempertaruhkan nyawa kami demi Anda?”

“Jika mereka memang benar-benar musuhku,” sahut Majnun,
“maka aku pasti dapat melawan mereka, tapi kenyataannya mereka bukan musuhku. Orang-orang itu adalah temanku. Sejujurnya kukatakan, tempatku bukan di sini. Jantung kekasihku berdetak untuk pihak musuh, dan di manapun jantungnya berada, maka di sanalah tempatku. Aku ingin mati demi dirinya; bukanlah kehendakku untuk membunuh orang lain. Bagaimana mungkin aku bisa membela pihakmu jika telah kuberikan jiwaku kepadanya?”

Sementara itu, Nowfal hampir memenangkan pertempuran. Bak orang gila yang baru terlepas dari ikatan rantai, ia menyerang musuh dengan membabi buta, menebaskan pedangnya ke setiap pria yang dilaluinya. Ia dimabukkan oleh aroma kemenangan. Namun hingga matahari terbenam, pertempuran itu masih tetap seperti adanya, belum dapat ditentukan pihak mana yang akan memenangkannya. Saat malam mulai menutupkan selubung hitamnya dan kegelapan mulai menelan sisa-sisa cahaya, para pejuang tak dapat saling melihat satu sama lainnya di atas medan pertempuran. Nowfal mengumumkan bahwa pertempuran berakhir  untuk saat itu dan disepakati akan dilanjutkan keesokan harinya saat matahari terbit.

Begitu banyak pria gagah berani yang tewas, dan jumlah yang terluka pun jauh lebih besar daripada yang tewas. Meskipun demikian, Nowfal merasa yakin bahwa ia akan dapat memenangkan pertempuran itu keesokan harinya. Ketika matahari mulai terbit, saat Nowfal mulai mengumpulkan pasukannya dan membawa mereka menuju medan pertempuran, salah seorang pengintainya datang ke perkemahan dengan berita bahwa pihak musuh telah diperkuat oleh pasukan dari suku-suku lainnya.

Nowfal memang keras kepala, tapi ia bukanlah pria bodoh. Setelah berkonsultasi dengan pasukannya, ia mengambil keputusan. Mereka akan mengambil satu-satunya jalan keluar yang tersisa untuk mereka.

Ia lalu mengutus sang bentara untuk menyampaikan pesan ke perkemahan musuh. “Cukup! Cukup sudah pertumpahan darah yang tak masuk akal ini,” kata pesan itu. “Sudah saatnya kita saling berdamai. Apa yang kuinginkan darimu, dan masih tetap kuinginkan, adalah Layla. Hanya dialah yang dapat mematahkan mantera ini dan melepaskan rantai khayalan dari jiwa Majnun. Sebagai balasannya, aku bersedia membayar banyak harta yang akan diangkut oleh sejumlah unta. Pikirkanlah tawaranku. Meskipun kau menolaknya, kami bersedia menyerah dan berdamai. Hanya itulah satu-satunya cara.”

Tak ada yang berharap bahwa suku Layla akan menerima permohonan Nowfal, dan ketika sang bentara kembali dengan surat penolakan dari suku Layla, tak ada seorang pun dari mereka yang terkejut.

Meskipun begitu, salam perdamaian mereka diterima. Tak perlu terjadi pertumpahan darah lagi. Layla dalam keadaan selamat bersama dengan kaumnya, dan Nowfal beserta anak buahnya kembali ke tempat asal mereka.

Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun


EmoticonEmoticon