Senin, 13 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

12. Terbang Bersama Angin - Layla Majnun

Tags

12. Terbang Bersama Angin (Lanjutan Kisah Layla Majnun)

Novel Layla Majnun
Setiap awan melintas, 
ia berpikir bahwa awan itu membawa pesan dari kekasihnya; 
setiap angin berhembus, 
ia membayangkan angin itu membawa aroma wangi kekasihnya. 
Karena itulah ia menyanyikan lagu-lagu cinta, 
berharap bahwa angin dan awan akan membawa ucapannya kepada kekasihnya.

Lembah yang dipilih Majnun sebagai tempat tinggalnya terletak di sebuah wilayah yang dipimpin oleh seorang pangeran Bedouin, Nowfal. Keberanian serta ketabahannya di medan pertempuran telah membuatnya mendapat julukan ‘Penghancur Pasukan’, meskipun ia menampakkan hati bagaikan singa di hadapan musuhnya, namun di hadapan teman-temannya, ia adalah orang yang sangat mudah iba.

Suatu hari, Nowfal sedang pergi berburu dengan beberapa orang pelayannya. Kali ini mereka berkelana terlampau jauh, melewati gurun, karena merasa terpikat oleh kemungkinan akan menangkap antelop- antelop yang telah mereka kejar dari oase ke oase. Begitu makhluk-makhluk itu berusaha untuk melarikan diri menuju persembunyian mereka di pegunungan, Nowfal dan anak buahnya mulai berhati-hati terhadap angin yang berhembus kencang dan mulai mengikuti sekawanan hewan tersebut. Ketika mereka hampir merasa putus asa karena takkan bisa menangkap buruan, salah seorang pemburu melihat sekawanan antelop itu memasuki sebuah gua yang terletak di atas mereka. Nowfal memerintahkan dua orang pelayannya untuk turun dari kuda dan dengan bersenjatakan busur, panah, dan belati. Ketiga orang itu mulai berjalan menaiki bebatuan.

Perlahan-lahan mereka berjalan berjingkat-jingkat menuju gua tersebut, merasa yakin bahwa dalam beberapa menit saja, antelop-antelop yang terperangkap itu akan menjadi milik mereka. Namun ketika tiba di jalan masuk menuju gua itu, sebuah pemandangan aneh menghentikan langkah mereka. Sekawanan antelop itu memang berada di dalam gua; mereka semua berkerumun di dalam gua yang tak terlalu gelap, mata- mata mereka terbuka lebar karena ketakutan dan panggul mereka gemetaran. Tapi sekawanan antelop ini tidak sendirian, ada sesosok makhluk yang meringkuk di belakang mereka. Nowfal belum pernah melihat sosok seperti itu sebelumnya.

Sosok itu tak mengenakan pakaian, pada tubuhnya yang kurus terdapat begitu banyak luka sobekan karena terkena duri, rambutnya kotor dan kusut terurai hingga bahunya. Apakah sosok ini hewan ataukah manusia? Apakah ia iblis dari dunia bawah yang datang untuk  menghantui dunia ini, ataukah ia sesosok jin yang menyamar menjadi manusia? Nowfal baru saja akan meraih belatinya ketika ia mendengar sosok itu mulai terisak-isak. Nowfal menoleh ke arah teman-temannya dan berbisik, “Apakah kalian tahu siapa makhluk malang ini?”

“Saya pernah mendengar tentangnya,” kata salah seorang pelayan. Ia melangkah maju dan melanjutkan ucapannya, “Ia adalah seorang pria muda yang telah dibuat gila oleh cinta. Ia telah meninggalkan kehidupannya dan kini hidup di gurun ini. Sepanjang siang dan malam yang dilakukannya hanyalah menciptakan soneta dan ode untuk kekasihnya. Setiap awan melintas, ia berpikir bahwa awan itu membawa pesan dari kekasihnya; setiap angin berhembus, ia membayangkan angin itu membawa aroma wangi kekasihnya. Karena itulah ia menyanyikan lagu-lagu cinta, berharap bahwa angin dan awan akan membawa ucapannya kepada kekasihnya.”

“Dan ia tinggal di gua ini sendirian?” tanya Nowfal dengan keheranan.

“Kadangkala ada yang datang mengunjunginya,” sahut sang pelayan. “Bahkan, ada beberapa orang yang rela datang dari kejauhan dan menderita hanya demi bertemu dengannya. Mereka membawakannya makanan dan minuman; kadang mereka juga memberinya anggur. Meskipun begitu, ia tak banyak makan dan minum hanya cukup untuk membuatnya tetap hidup. Dan jika para tamunya memaksanya untuk meminum anggur, ia hanya melakukannya untuk menghormati kekasihnya.

Apapun yang ia lakukan dan katakan hanyalah untuk kekasihnya.”
Nowfal mendengarkan dengan penuh perhatian, rasa simpatinya untuk Majnun bertambah hanya dalam hitungan menit. Keinginannya untuk berburu hilang sudah. “Pria malang yang bingung ini membutuhkan pertolongan,” bisik Nowfal, “dan kupikir akan menjadi hal yang baik dan terhormat jika aku membantunya untuk meraih hasrat hatinya.” Nowfal menyuruh pelayannya untuk mengangkat Majnun dan membawanya ke tempat para anak buahnya menantinya. Di sana, ia memerintahkan anak buahnya untuk membangun perkemahan dan menyiapkan makanan yang diambil dari oase terdekat. Sudah saatnya untuk makan malam dan Majnun adalah tamunya.

Pangeran Nowfal memang pria yang baik dan ramah, namun kali ini usahanya tampak sia-sia saja. Betapa pun usahanya untuk membuat sang tamu ceria dan makan, sang pertapa yang malang itu bahkan tak mau melihat makanan yang telah disediakan untuknya, apalagi memakannya. Nowfal tertawa dan melontarkan lelucon-lelucon, namun semakin ceria dirinya, semakin bingung Majnun dengan keberadaan dirinya, di mana ia dan untuk apa ia berada di sana? Nowfal berusaha sekuat tenaga untuk menghiburnya dengan gurauan-gurauan, namun Majnun tak menyahut. Dengan setiap ucapan yang bernada penuh kecemasan dari Nowfal, Majnun justru semakin jauh bersembunyi dalam tempurungnya. Merasa lelah karena tak mendapatkan reaksi apapun dari Majnun, Nowfal memutuskan untuk mengucapkan satu kata yang sebelumnya telah diungkapkan oleh salah seorang pelayannya, satu kata yang ia tahu akan memengaruhi  Majnun…….yaitu kata ‘Layla’.

Ketika mendengar nama kekasihnya disebutkan, mata Majnun membeliak dan sebuah senyuman menghiasi wajahnya. “Layla!” gumamnya dengan penuh kasih. “Kekasihku, Layla!” Lalu, dengan terhuyung- huyung ia mengambil sepotong daging untuk dimakan dan meminum seteguk anggur.

Nowfal telah memecahkan teka-teki itu: yang harus dilakukannya hanyalah berbicara mengenai Layla, memuji kecantikan, sifat serta kebaikannya, dan pastilah Majnun akan menanggapinya. Dan memang benar demikianlah yang terjadi. Sementara sang pangeran Bedouin merangkai karangan bunga mawar dengan kata-kata pujiannya, Majnun menambahkan dengan sajaknya yang ibarat gemerlap mutiara. Dan walaupun sajaknya diciptakan tanpa adanya persiapan, tetap saja sajak itu terdengar semanis madu dan berkilauan bagaikan emas. Nowfal mendengarkan dengan takjub dan kagum. Tamunya memang seorang pria liar, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia adalah seorang penyair hebat, ahli berkata- kata yang tak ada tandingannya.

Malam hari itu, Nowfal telah mengambil keputusan: ia akan memulihkan hati remuk pria malang itu, serpihan demi serpihan, berapa pun lamanya waktu yang dibutuhkannya.

Kepada tamunya ia berkata, “Temanku, engkau bagaikan ngengat yang berterbangan di malam hari, berharap menemukan cahaya lilin: tapi janganlah kau menjadi lilin itu, yang mengeluarkan airmata hangat sementara tubuhnya habis dimakan kesedihan. Mengapa kau menyerah? Mengapa kau memutuskan semua harapan? Aku memiliki kekayaan dan juga kekuatan. Percayalah padaku dan aku akan membantumu mendapatkan apa yang telah digariskan oleh takdir untukmu: Layla akan menjadi milikmu. Aku berjanji dengan sepenuh hati. Bahkan jika ia menjadi seekor burung dan terbang ke angkasa raya tanpa batas, atau menjadi percikan api di dalam batu yang terletak di dalam perut bumi, aku tetap akan mencarinya dan membawanya kepadamu. Aku takkan beristirahat hingga aku dapat menyatukan kalian dalam ikatan pernikahan.”

Majnun menjatuhkan dirinya di kaki Nowfal dan mengucapkan rasa syukurnya kepada Allah karena telah mengirimkan seorang dermawan yang berhati mulia. Namun ada sedikit keraguan dalam benaknya ketika ia berkata, “Ucapan Anda menggetarkan hati saya dan memberikan saya harapan, tapi bagaimana saya tahu kalau semua itu bukan hanya sekedar ucapan belaka? Bagaimana saya bisa merasa yakin bahwa Anda akan melakukan apa yang telah Anda ucapkan, atau bahwa Anda memang berniat melakukan apa yang telah Anda ucapkan? Harus saya sampaikan kepada Anda bahwa orangtua Layla takkan membiarkan putrinya menikah dengan pria seperti saya, dengan seseorang yang kesehatan jiwanya dipertanyakan. ‘Apa Anda serius dengan ucapan Anda?’ pasti begitu kata mereka. ‘Apakah kita harus melepaskan bunga indah yang rapuh ini dan membiarkannya dibawa terbang oleh angin puyuh? Apakah kita akan membiarkan seorang gila bermain-main dengan cahaya rembulan? Apakah kita akan menyerahkan putri kita kepada iblis? Tidak akan pernah!’ Ya, itulah yang akan mereka katakan; Anda tidak mengenal mereka sebaik saya. Telah banyak orang yang mencoba membantu saya di masa lampau, namun semuanya sia-sia saja. Seberapa kerasnya pun usaha mereka, tetap saja mereka tak dapat membuat takdirku yang gelap menjadi terang kembali. Takkan ada yang dapat menggoyahkan ayah serta ibunya, bahkan emas dan perak yang berlimpah, kebun dan hewan ternak yang banyak sekalipun takkan dapat mengubah pikiran mereka. Sekarang Anda mengerti bahwa sudah tidak ada harapan lagi. Hanya keajaiban saja yang dapat membantu saya; katakan pada saya, apakah Anda sang pembuat keajaiban? Sepertinya bukan. Lagipula, menurut saya, tak lama lagi Anda akan merasa lelah dengan usaha Anda dan akan menghentikan semuanya di tengah jalan.

“Tapi saya berharap tidak demikian. Saya berdoa agar usaha Anda berhasil. Dan jika memang Anda berhasil, semoga Allah memberikan rahmatnya kepada Anda. Tapi jika janji yang Anda buat hanyalah ucapan semata, dan apabila yang Anda tawarkan kepada saya hanyalah khayalan belaka, maka sebaiknya Anda mengatakan sejujurnya sekarang juga.”

Ucapan jujur sang pria muda itu membuat kekaguman Nowfal kepadanya semakin meningkat.
“Apakah kau benar-benar meragukan ucapanku?” tanya Nowfal. “Kalau begitu, marilah kita membuat perjanjian. Atas nama Allah swt. dan Rasulnya Muhammad saw., aku bersumpah bahwa aku akan bertarung bagaikan singa untukmu dan kebaikanmu, bahkan jika aku harus mengorbankan nyawaku sekalipun.

“Aku bersumpah bahwa aku takkan tidur maupun makan hingga kau mendapatkan apa yang dihasratkan oleh hatimu. Tapi kau juga harus berjanji kepadaku: kau harus berjanji bahwa kau akan bersabar dan dapat menahan nafsumu. Kau harus melepaskan gaya hidupmu, jinakkan hatimu yang liar dan letakkan di tanganmu barang sejenak saja.

“Marilah kita saling sepakat: kau harus memadamkan api yang menyala di hatimu; karena aku akan membuka gerbang besi menuju hartamu yang sangat berharga. Apakah syarat-syarat ini dapat kau terima?”
Majnun menyetujuinya. Dan dengan demikian, sebagai balasan atas bantuan temannya, ia mulai meredakan badai yang telah lama bergemuruh di hatinya. Secara perlahan, untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, kedamaian mulai merasuki jiwanya dan luka yang diakibatkan oleh belati tajam kegilaannya mulai sembuh. Bak bocah kecil tak bersalah, ia menaruh kepercayaan sepenuhnya pada Nowfal; karena ketenangan telah kembali ke dalam jiwanya, sebuah perubahan hadir dalam hidupnya. Tanpa banyak bicara, ia meninggalkan gua persembunyiannya dan mengikuti Nowfal kembali ke perkemahannya di tepi kota.

Di bawah perlindungan sang dermawan, Majnun tak lagi pantas disebut sebagai ‘majnun’. Dalam beberapa hari, kegilaannya telah hilang dan ia telah kembali menjadi Qays, seorang pria terhormat yang kuat dan berwajah tampan. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan ia mandi; lalu dikenakannya sorban dan jubah yang telah disiapkan oleh Nowfal. Selera makannya telah kembali dan ia menikmati makanan dan minuman dengan penuh semangat dengan ditemani teman-temannya, sambil membawakan soneta serta odenya kepada mereka, dan tak lagi kepada awan dan angin. Kedua pipinya mulai kembali berwarna; tubuhnya yang dulu bungkuk kini tampak tinggi dan gagah seperti anak pohon yang kuat. Kelopak bunga yang dulu hancur oleh badai, kini mulai merekah kembali.

Sejak ia kembali ke dunia nyata, pandangan Majnun tentang dunia dan alam pun berubah. Ia tak lagi mengabaikan halaman demi halaman Buku Ciptaan Allah yang dibuka oleh-Nya setiap hari di hadapannya. Keindahan pagi hari memberikan keceriaan baginya, seolah ia baru melihat keajaiban matahari terbit untuk pertama kalinya. Senyumnya yang merekah sesuai dengan tawa jenaka sang matahari di siang hari, dan suaranya berpadu dengan burung-burung saat ia bernyanyi. Semua orang terkejut dan juga senang melihat Majnun telah kembali ke dunia nyata lagi.

Jika Majnun merasa bahagia, Nowfal bahkan merasa lebih bahagia karena ialah yang membuat keajaiban itu. Ia bagaikan mendung di musim semi yang meneteskan percikan air di bumi yang kering. Setiap hari, ia membawakan hadiah untuk temannya yang sedang  berusaha untuk menyembuhkan diri; tak ada hadiah yang terlalu mahal atau berlebihan baginya. Ia menjaga agar Majnun terus berada disisinya setiap waktu, menolak untuk berpisah darinya bahkan hanya untuk satu jam saja. Nowfal ataupun Majnun tak pernah mengenal hubungan persahabatan yang begitu dekat. Namun saat hari berganti minggu, lalu minggu menjadi bulan, awan hitam mulai berkumpul di langit.


Kisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla MajnunKisah Novel Layla Majnun


EmoticonEmoticon