Jumat, 18 November 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Kakek dan Kucing

cerita dongeng, kisah kakek dan kucing

Hujan turun dengan deras. Kakek Bun meringkuk rapat-rapat di balik tumpukan kardus di sudut sebuah jalan. Ia mendesah keras, merasa dirinya amat malang. Terlunta-lunta sendirian di jalan saat hujan angin menerpa kota.

Di dalam hati, ia kesal pada penduduk kota yang tidak membantunya. Kakek Bun rupanya tak sadar, kalau selama ini penduduk kota sering membantunya. Hanya, Kakek Bun saja yang tidak berterima kasih, Jika ada warga yang membantunya, Kakek Bun tak pernah mengucapkan terima kasih, apalagi tersenyum.
Tiba-tiba,....
"Meooo... meoooo ....," terdengar suara eongan kucing yang begitu lemah sampai tak bisa mengeong sampai selesai.
Kakek Bun memejamkan mata tanpa peduli. Ia merapatkan mantel penuh tambalannya. 
"Meoooo ... meeee...," suara si kucing terdengar semakin lemah.
"Astagaaa! Menganggu orang tidur saja!" gerutu Kakek Bun. Dari dulu Kakek Bun benci hewan, apalagi kucing! kucing itu makhluk manja yang bisa mendesis garang dan mencakar. Hih! Kakek Bun bergidik. Andai ia belum terlanjur nyaman meringkuk di balik kardus. Pastilah kucing itu akan ditendangnya jauh-jauh.

"Meee ... meeee,..." si kucing mengeong lagi.
Kakek Bun mengeratkan genggamannya pada sebotol susu miliknya di balik mantel.
"Jangan sampai kucing itu mencium bau susuku. Bisa disambar!" Kakek Bun bergumam sendiri. Sebotol susu itu rencananya akan ia minum untuk sarapan besok.

Beberapa waktu berlalu. Hujan turun semakin deras. Angin bertiup semakin kencang. Kucing itu tidak bersuara lagi. Kakek Bun jadi penasaran. Ia mengintip dari balik kardus.
Kucing itu tergeletak tak berdaya di tepi jalan. Muka si kucing menghadap ke Kakek Bun. Matanya terpejam.
Tubuhnya bergetar kedinginan. Tiba-tiba kucing itu membuka matanya dengan lemah. Ternyata kucing itu memiliki warna mata yang berbeda. Mata kanan berwarna biru, mata kiri berwarna hijau.Aneh sekali. Dan sepasang mata aneh itu menatap Kakek Bun seperti meminta tolong.
Kakek Bun membuang muka dan merapatkan jaketnya. Berusaha melupakan tatapan kucing itu. Ia memejamkan mata. Namun, perasaannya tidak enak. Kakek Bun tak bisa menjelaskan, apa yang membuatnya tidak enak. Akhirnya, beberapa saat kemudian, ia berdiri dan menghampiri si kucing sambil mengomel.
"Enak saja kau menganggu istirahatku! Aku ini orang tua yang malang! kenapa kamu minta tolong padaku, kucing nakal!" omel Kakek Bun.

Tangannya mengangkat si kucing. Dibawanya ke pojoknya yang hangat di balik kardus.
"Hiiih... Kau basah pula! Membuat kardusku basah!" gerutu Kakek Bun lagi, tetapi sambil melepaskan jaket luarnya. Ia menggunakan jaketnya untuk mengeringkan tubuh si kucing.

"Meee....," kucing itu mengeong lemah. Nafasnya kembang kempis.
"Nah, sekarang kau pasti minta makan!" marah Kakek Bun."Padahal ini susu sarapanku besok! Enak saja meminta-minta!" Kakek Bun terus mengomel, tetapi tangannya membuka botol susu dan menuangkan isinya ke dalam tutup panci.

Susu itu terasa hangat karena sedari tadi digenggam erat oleh Kakek Bun. Kucing itu menjulurkan lidahnya dan mulai melahap susu milik Kakek Bun.

Mulanya, Kakek Bun hanya menuang setengah botol susu, tetapi setengah botol itu habis dengan cepat. Setelahnya si kucing menatap setengah botol susu sisanya dengan tatapan lapar. Akhirnya, Kakek Bun menuang seluruh isi botol.
"Betul-betul hewan cilik yang nakal! menghabiskan seluruh susuku! Bagaimana aku besok pagi?" tuntut Kakek Bun.

Usai minum susu, kucing kecil itu mendorong kepalanya ke perut Kakek Bun. Aneh, bulu kucing sudah kering. Cepat sekali, pikir Kakek Bun bingung. Tetapi, dia senang juga karena terasa kucing itu kini memberi kehangatan. Ragu-ragu, dibelainya bulu si kucing yang kini tampak menggayut manja kepadanya.

Kakek Bun mengerutkan dahinya, ada sesuatu yang kini berbeda. Hujan tetap turun, Ia tetap miskin dan terlunta-lunta, bahkan tidak punya susu untuk sarapan besok. Namun, hatinya terasa hangat.

Kakek Bun meraba-raba wajahnya. Ada yang berbeda di situ. Ya, Kakek Bun kini tersenyum. Semakin ia membelai si kucing, dan semakin kucing itu menggosok-gosokkan kepalanya dengan manja ke tangan Kakek Bun, Kakek Bun merasa semakin  hangat dan semakin lebar senyumnya, Malam itu, Kakek Bun tertidur sambil memeluk si kucing.

Keesokan paginya, penduduk kota menemukan Kakek Bun meninggal dalam tidur. Wajahnya tampak damai dan penuh senyuman. Sama sekali berbeda dari Kakek Bun yang diingat penduduk kota. Ia tidak tampak seperti pengemis bermuka masam, tak tahu terima kasih, dan suka menendang hewan.

Ya, pada malam sebelum meninggal, Tuhan memberinya kesempatan untuk meninggalkan dunia dengan hati hangat. Anehnya penduduk kota tak pernah melihat kucing bermata aneh yang ditolong Kakek Bun malam itu.

Oleh Pradikha Bestari 
Sumber Majalah Bobo


EmoticonEmoticon