Tampilkan postingan dengan label Cerita anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita anak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pak Jalmo

pak jalmo sombong setelah menjadi orang kaya
Pak Jalmo Sombong Setelah Kaya
Di salah satu pulau yang terletak jauh di sebelah timur Pulau Madura pernah hidup seorang petani sederhana, Pak Jalmo namanya. Ia hidup dengan seorang istri dan dua orang anaknya. Pak Jalmo adalah orang yang sabar, rendah hati, serta suka membantu tetangganya.

Pada suatu ketika, berkunjunglah seorang sahabat Pak Jalmo. Pak Jalmo pun menceritakan kepada sahabatnya itu bahwa hasil panen yang ia dapatkan selalu tidak cukup dimakan selama satu tahun. 

Sahabat yang baik itu merasa kasihan kepada Pak Jalmo. Kemudian, ia berkata, "Hutan di sebelah selatan pekaranganmu ini sebenarnya bisa dibuka untuk pertanian. Tanahnya cukup bagus untuk dijadikan ladang jagung." 

"Tetapi, saya tidak punya biaya untuk membuka hutan," jawab Pak Jalmo. 

"Kalau engkau minta tolong kepada para tetangga, aku kira mereka siap membantumu," kata sahabatnya. 

"Tetapi saya malu minta tolong kepada para tetangga," jawab Pak Jalmo. 

"Kalau engkau malu, biarlah aku akan berbicara dengan mereka. Aku yakin mereka akan sangat senang membantumu." 

Beberapa hari kemudian, orang-orang desa berkumpul di halaman rumah Pak Jalmo. Mereka bekerja menebang pohon-pohon di hutan yang terletak di sebelah selatan rumah Pak Jalmo. Mereka bekerja sambil bernyanyi dengan gembira. Mereka membantu Pak Jalmo dengan hati ikhlas tanpa mengharap imbalan. 

Dua minggu lamanya mereka bekerja menebang hutan, akhirnya terbentanglah tanah ladang seluas empat hektar, Pak Jalmo dan istrinya sangat gembira mempunyai ladang seluas itu. 

"Kini kita menunggu datangnya musim hujan," kata Pak Jalmo kepada istrinya

"Kalau hujan turun, ladang kita itu hendak kau tanam apa?" tanya istrinya. 

"Jagung, ketela, kacang, dan sayur-sayuran," jawab Pak Jalmo. 

Suami istri itu berharap hujan segera turun. Mereka ingin segera mengolah tanah ladangnya menjadi sumber rezeki. Akhirnya, musim hujan pun datang. Pak Jalmo dan istrinya menyambut turunnya hujan dengan hati gembira. Ladang baru itu pun mulai dikerjakan. Karena Pak Jalmo tidak punya sapi untuk membajak, sebagian tetangga membantu membajakkan sawahnya. Demikian pula halnya bibit yang hendak ditanam, karena Pak Jalmo tidak punya persediaan, para tetangga menyumbang bibit padi untuk ditanam. 

Apa pun yang ditanam Pak yang Jalmo di ladangnya, ternyata bisa tumbuh dengan baik, meskipun tidak terlalu subur. Pak Jalmo bersama istrinya tidak bosan-bosannya menyiangi rumput-rumput liar yang dirasa menganggu tanaman. 

Musim panen pun tiba. Hasil panen yang diperoleh Pak Jalmo cukup menggembirakan. 

"Apakah tidak sebaiknya sebagian hasil panen kita itu dijual?" kata istrinya. 

"Untuk apa?" tanya Pak Jalmo

"Untuk dibelikan seekor anak sapi" 

"Usul yang baik," jawab Pak Jalmo sambil tersenyum. 

"Tahun depan, kalau panen baik, kita beli seekor sapi lagi," kata istrinya. "Tiga atau empat tahun lagi setelah anak sapi itu besar, kalau kita hendak membajak tanah tidak perlu pinjam atau minta bantuan tetangga lagi. 

"Terima kasih atas usulmu itu," jawab Pak Jalmo dengan gembira. 

Keesokan harinya, sebagian hasil panen Pak Jalmo dijual. Dari hasil penjualan itu, Pak Jalmo membeli seekor anak sapi. Ia sangat sayang pada sapinya itu. Ia selalu mencarikan rumput yang bagus untuk sapi itu. Tahun berikutnya, hasil panen Pak Jalmo semakin bagus, ia pun membeli seekor anak sapi yang sebaya dengan anak sapi sebelumnya. 

Dua tahun kemudian, Pak Jalmo sudah bisa membajak ladang tanpa bantuan para tetangga. Ia semakin tekun bertani. Kotoran dua ekor sapinya dibakar dengan daun dan rumput, kemudian dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanah. Oleh sebab itu, panen yang diperolehnya semakin melimpah. Kini Pak Jalmo telah menjadi orang berkecukupan menurut ukuran orang di pulau itu. 

Kehidupan Pak Jalmo sekeluarga memang sudah berubah. Akan tetapi, perubahan itu bukan hanya dari miskin menjadi kaya. Dulu, ia dikenal sebagai orang yang rendah hati serta suka membantu tetangga, sekarang ia menjadi orang yang kurang senang bergaul. Ia hanya sibuk mengurus pertaniannya sendiri sehingga tidak sempat membantu para tetangga yang memerlukan bantuannya.

Pada suatu hari, dua orang tetangganya bercakap-cakap di sebuah kebun. Salah seorang berkata," Ketika Pak Jalmo belum punya sapi, setiap hendak membajak ladangnya selalu pinjam sapiku. Sekarang, setelah menjadi petani agak kaya, ketika aku mau pinjam sapinya untuk membajak sawahku, ia tak mau membantu. Katanya, sapinya akan dipakai untuk membajak ladangnya sendiri. Setelah aku selidiki, ternyata hari itu ia tidak membajak."

"Yang aku herankan," jawab yang lain," sebelum ia kaya seperti sekarang, ia sering datang ke rumahku. Ia bersahabat akrab denganku. Tetapi setelah berkecukupan, ia tak pernah datang ke rumahku. Aku mencoba mengalah, aku sendiri yang mendatangi rumahnya pada hari raya yang lalu. Ternyata, ia menyambutku dengan dingin, tidak segembira ketika aku bersilaturahmi ke rumahnya lima atau enam tahun yang lalu."

Itulah antara lain kesan-kesan sebagian tetangga Pak Jalmo. Akan tetapi, tidak ada satu orang pun berani mengingatkannya. Tahun pun terus berjalan. Pak Jalmo semakin kaya.

Pada tahun kesepuluh sejak ladang baru itu dibuka, panen Pak Jalmo sungguh diluar dugaan. Jagung, ketela, labu, kacang panjang, kacang hijau, dan lain-lain melimpah memenuhi lumbungnya. Pak Jalmo benar-benar menjadi orang kaya di kampung itu.

Sikap Jalmo yang semakin angkuh dengan kekayaannya itu membuat guru mengajinya sewaktu kecil perlu menjumpainya.

Jalmo, kata guru mengaji itu, "apakah engkau masih mengakui aku sebagai gurumu?"

"Ya, Pak, dulu saya memang pernah berguru kepada Bapak," jawab Pak Jalmo.

"Nah, sebagai guru, aku merasa berkewajiban memberi nasihat padamu. Dulu engkau miskin, sekarang engkau telah kaya. Ketika engkau kaya, perbanyaklah engkau memberi kepada fakir miskin supaya kalau engkau jatuh miskin, engkau tetap diperhatikan orang."

"Apakah saya yang mempunyai harta sebanyak ini masih bisa miskin lagi?" tanya Pak Jalmo.

"Bisa saja kalau Allah menghendaki," jawab pak guru tua itu.

"Tidak bisa, Pak Guru," ujar Pak Jalmo dengan angkuh, "tak ada jalan kemiskinan untuk masuk ke pekarangan rumah saya."

Mendengar jawaban bekas muridnya itu, guru mengaji yang bertongkat itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak menyangka nasihatnya akan ditolak mentah-mentah. Dengan kesal ia segera meninggalkan rumah Pak Jalmo.

Di pulau itu, setiap tahun diadakan selamatan desa. Semua orang berkumpul di sebuah tanah lapang sambil berdoa dan diakhiri dengan makan bersama. Pada saat selamatan desa itu. Pak Jalmo mengadakan pesta sendiri di rumahnya. Ia tidak mau bergabung dengan orang desa yang miskin.

Pak Jalmo tidak banyak mengundang orang, hanya beberapa kuli yang selalu membantunya bekerja di ladang. Meskipun orang yang hadir hanya sedikit, Pak Jalmo yakin orang-orang akan berdatangan ke rumahnya karena ia telah menyiapkan ribuan petasan besar dan kecil untuk menarik perhatian.

"Aku sengaja memesan mercon yang tidak pernah dibakar orang di pulau ini," kata Pak Jalmo sambil menggantung rentengan petasan besar-besar di dahan jambu di halaman rumahnya. Sebagian mercon yang lain diletakkannya di atas tikar di halaman.

Setelah makan sampai kenyang, di mulailah acara pembakaran petasan. Semua orang kagum pada petasan yang besar-besar itu. Seseorang bertanya kepada temannya,"Berapa harga petasan sebesar botol itu?" temannya hanya bisa menggeleng.

Pak Jalmo pun memantik korek api. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi letusan memekakkan telinga. Mereka terkejut. Ada yang mundur jauh-jauh, ada juga yang menutup telinga.

Tiba-tiba sebuah petasan terbang dan jatuh tepat di atas tumpukan petasan di atas tikar. Satu per satu petasan itu meledak. Ada yang terbang ke atas atap. Pak Jalmo panik. Hadirin kebingungan. Beberapa saat kemudian, atap rumah Pak Jalmo sudah di makan api. Orang orang yang hadir semakin takut. mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.

" Tolong, toloooong!' teriak Pak Jalmo sekeluarga. Api telah menjalar ke rumah sebelah, ke lumbung, dan akhirnya ke kandang.

Pak Jalmo, Bu Jalmo, dan anak anaknya hanya bisa berteriak sambil menangis. Karena bingung dengan letusan petasan yang berloncatan kesana kemari, mereka tidak bisa berbuat apa apa untuk menyelamatkan harta mereka. Beberapa saat kemudian, seluruh tempat tinggal Pak Jalmo telah menjadi lautan Api. Asap hitam mengepul ke udara, seolah olah memberitahukan kepada seluruh dunia bahwa ada orang kaya yang jatuh miskin.

Tidak lama kemudian , rumah Pak Jalmo roboh diikuti lumbung dan dapur nya. Pak Jalmo, Bu Jalmo, dan anak anaknya duduk bersimpuh di sudut pekarangan sambil menangis tersedu sedu.

Kesimpulan
Cerita ini mengandung pelajaran bahwa orang yang miskin kemudian menjadi kaya harus tetap ingat akan asalnya. Selain itu, orang kaya tidak boleh menyombongkan kekayaannya. Tuhan Yang Mahakuasa mempunyai banyak bara untuk mencabut kekayaan seseorang. 
 
Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo

Senin, 24 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kartini Bagi Lili

Kartini bagi Lili
Siang itu di sebuah rumah singgah di Jakarta, tampak beberapa anak kurang mampu sedang bermain main.
" Siapa yang mau pinjam buku?" tiba tiba seorang anak perempuan berpakaian bagus datang ke rumah singgah.

" Aku mau pinjam, Kak," ujar Dito salah seorang anak di rumah singgah.

" Akh, kamu Dito! Anak-anak di sini kan pada tidak sekolah.  Tidak bisa baca,"ujar Lili, seorang anak tuna netra di rumah singgah. Sesungguhnya, Lili iri. Pasti dalam buku itu banyak cerita menarik. Sayangnya, Lili tak bisa melihat, apalagi membacanya.

" Ya sudah, kalau belum pada bisa membaca, aku bacakan, ya", kata Arin, si anak permpuan berpakaian bagus itu. Arin memang dari keluarga berada. Ia bersimpati pada anak anak di rumah singgah.

" Di sebuah istana tinggallah seorang putri..."

" Yang cantik,baik hati dan penolong," potong Lili." Bosan, ah dengar cerita itu," omel Lili.

" Tapi cerita ini lain, lho. Ini kisah putri yang pemberani dan tangguh,yang berjuang mewujudkan mimpi."

Namun, Lili menukas." Mimpi? Kalau aku bilang, aku ingin melihat dunia, apa itu akan terjadi?"

Arin diam sebentar lalu berkata," Aku bisa membantu. Aku akan membacakan buku setiap hari untukmu. Dari buku kamu bisa melihat dunia," ujar Arin.

Lili akhirnya tersenyum. Tawaran Arin sangat menarik. 

Besok siangnya, Arin kembali untuk membacakan buku untuk Lili, Setelah membaca buku, Arin dan Lili berbincang.

" Kalau besar nanti, aku mau jadi guru," kata Lili sehabis Arin membacakan cerita tentang Ibu Kartini yang mendirikan sekolah untuk para perempuan. " Tapi... mana ada guru yang buta?"

" Tentu saja ada. Kamu, Li," sergah Arin." Aku punya sesuatu buatmu."Arin meletakkan sebuah buku di pangkuan Lili. Lili meraba buku itu. Ada titik - titik membentuk pola dalam lembaran- lembaran buku." Apa ini?" tanya Lili.

" Namanya hruf Braille. Huruf khusus untuk tunanetra. Supaya kamu juga bisa baca buku," Jelas Arin.

" Bagaimana cara membacanya?"

" Sini, aku ajari," ujar Arin membimbing tangan Lili." Yang ini haruf A, lalu B,C..."
Mulut Lili komat kamit menghapal huruf-huruf Braille itu.
" Dari mana kamu tahu huruf ini?" Tanya Lili penasaran.

"Tanteku. Seorang guru yang mengajar anak-anak tuna netra. Kelak, kamu bisa seperti dia," kata Arin. 

Hati Lili berdebar senang. Ia kini punya harapan untuk bisa membaca buku. Tiba-tiba Lili ingat cerita yang dibaca Arin tadi. 

"Arin, kamu adalah Kartini bagiku," ujar Lili. "Berkat kamu, aku yakin bisa menjadi guru kelak." 

Arin tersenyum senang. Hatinya bahagia. 

Hikmah Cerita
Meskipun kau punya kekurangan , tetapi jangan berputus asa. Selalu ada jalan bagi mereka yang ingin maju. Tanggal 21 April diperingati di Tanah Air sebagai Hari Kartini yang memperjuangkan kemajuan wanita dan perbaikan kondisi masyarakat Indonesia. 

Sumber : Kompas Minggu 19 April 2015 
Nusantara Bertutur 
Penulis : Fita Chakra
Ilustrasi : Regina Primalita 
 

Senin, 10 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sumpit Kertas Membekas

sumpit kertas membekas
Perang tidak saja terjadi di Irak, tapi juga di kelas Sonya. Bahkan, lebih seru karena setiap anak perempuan berteriak-teriak saat pipinya terkena sumpit kertas, plop!. 

Bagaimana cara membuat senjata ini?
Gampang saja, ambil sedotan bekas teh botol sebagai sumpit, kemudian kertas basah yang dibulatkan kecil sebagai pelurunya. Yang lebih menjijikkan lagi, mungkin juga karena malas ambil air hanya untuk membasahi kertas, anak-anak biasa mengulum dulu kertas ini sebelum dipakai. 

Siapa sih pencetus permainan ini? 
Tidak ada yang tahu. Permainan ini telah ada turun temurun. Bahkan orang kita dulu pernah melakukannya. 

Sonya juga suka melakukan permainan ini. Tentu saja, saat tidak ada guru di kelas. Ane, Jean dan Martha lebih berani lagi. Mereka melakukan kapan saja mereka mau. Dengan sasaran siapa saja. Yang lebih berani lagi, Ane menyiapkan peluru berwarna. Sekali tembak langsung membekas. 

"Hari ini pelajaran kosong!" kata Ane bersemangat sekembali dari ruang guru. 

"Hore! Ayo kita main sumpit!" teriak Jean tak kalah semangat. 

Murid-murid tak perlu menunggu waktu lama, kata-kata Jean belum habis, tiba-tiba, plop, sebuah peluru kertas mendarat tepat di pipinya. 

"Au, ulah siapa ini?" katanya sambil meloto. 

Plop, satu lagi peluru mendarat di jidat Jean. Anak-anak tertawa. 

Jean langsung ngumpet di balik meja. Ia menyiapkan peluru berwarna. Dengan bergerak merangkak seperti seorang prajurit, Jean mendekati sasaran, kemudian menyerang tiba-tiba. Plop, plop, plop, bertubi-tubi Jean meniup sumpitnya. Sonya yang tepat berdiri di depannya tidak bisa menghindar. Wajahnya penuh totol merah akibat serangan Jean. 

"Au, aku menyerah!" kata Sonya kelabakan. 
Tapi Jean makin bersemangat. Teman-teman yang lain jadi ikut-ikutan menyerang. Sonya makin kewalahan. 

"Awas ya kalian semua, aku masih punya senjata rahasia!" kata Sonya sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. 

Hoho, Sonya menyiapkan mantera sihir!

"Ini dia sumpit mata seribu!" teriak Sonya sambil memulai serangan. 

Sonya meraup beberapa sedotan sekaligus, kemudian menembak. Keadaan kini terbalik, teman-temannya mulai kewalahan.

Mendadak Pak Kepsek masuk sambil mengeluarkan suara halilintar. 

"Tenang semua!" 

Hihihi, dalam sekejab semua seolah jadi patung. 

"Aku tidak mau dengar ada keributan lagi. Kalian semua bersihkan peluru-peluru kertas ini. Cepat lakukan, atau aku akan menghukum kalian semua berdiri di lapangan!" 

Murid-murid segera melakukan perintah. Pak Kepsek tersenyum puas. Tiba-tiba, plop, sebuah peluru mengenai hidungnya. 
"Maaf, Pak, tidak sengaja. Saya pikir sedotan saya sudah nggak ada pelurunya...." kata Jean terbata-bata. 

Untunglah Pak Kepsek tidak marah. Murid-murid jadi lega. Mereka cekikikan melihat wajah Jean yang pucat pasi. 

Tanpa di duga-duga, plop, sebuah tembakan tepat mendarat di puncak hidung Jean. Siapa yang berani melakukan? 

Hoho, Sonya sempat melihat ujung sedotan di saku Pak Kepsek. 

"Hus, jangan bilang-bilang kalau aku yang nembak ya," kata Pak Kepsek berbisik pada Sonya. "Aku jadi ingat waktu aku sekolah dulu, hihihi." 

"Ah, kenangan lama memang selalu membekas," kata Sonya dalam hati. 

Sumber: Majalah Bobo Edisi 02 tahun III, 27 Mei - 3 Juni 2003
Penulis : Sony 
Ilustrasi : Sabariman Rubianto


Minggu, 02 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Gobe dan Nenek Bici

Gobe dan Nenek Bici
Gobe termenung di kursi reot di depan rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar seruan yang memanggil namanya, "Gobe!". Gobe terkejut. Dari balik semak muncul seorang nenek. Wajahnya sungguh menakutkan. Gobe gemetar memandangi nenek itu. 

"Hehehe.... kau terkejut ya? Namaku Nenek Bici. Kita sekarang tinggal bersebelahan. Aku tetangga barumu yang tinggal di rumah bercat kuning itu," si nenek menunjuk rumah di sebelah rumah Gobe. "Kemarin aku berkenalan dengan Nona Jessy yang tinggal di depan rumahku. Ia sempat bercerita sedikit tentangmu. Katanya kamu pandai membuat kue." 

"Ah, Nona Jessy suka melebih-lebihkan," Jawab Gobe merendah. 

"Gobe,ini kuberikan sekeranjang telur untukmu sebagai tanda persahabatan kita. Telur-telur ini dari peternakanku sendiri," kata Nenek Bici. 

"Wah, terima kasih, Nek," ujar Gobe terkejut dan gembira. 

Gobe kini sibuk di dapurnya menyiapkan bahan untuk membuat kue cokelat stroberi. Gobe tidak lagi takut pada Nenek Bici. Walaupun buruk rupa, Nenek Bici ternyata baik hati. Ia mempunyai peternakan ayam petelur di pinggir kota. Setiap pagi Nenek Bici pergi ke peternakannya, dan sore hari baru kembali ke rumah. Ia tinggal seorang diri di rumah barunya. 

Nenek Bici selalu sibuk di peternakannya. Ia tak punya waktu untuk membuat roti atau kue yang akan dibawanya ke peternakan untuk para pekerjanya. Gobe senang setiap kali mendapat pesanan dari Nenek yang baik hati itu. 

Suatu hari Gobe melihat Nenek Bici berjalan gontai di depan rumahnya. Wajahnya tampak sedih. Gobe segera menghampirinya. 

"Sore ini Nenek tampak lesu. Nenek sakit?" tanya Gobe." 

Nenek Bici memandang lemah ke arah Gobe. "Tidak. Aku hanya sedih." 

"Mengapa?" tanya Gobe lagi. 

"Sudah sebulan ini telur-telur dari peternakanku kurang laku di pasar. Banyak peternak baru yang juga menjual telur di pasar tempat aku menjual telur-telurku."

"Berarti telur-telur itu kini menumpuk di peternakan?" 

"Ya. Aku bingung harus bagaimana. Aku khawatir bila terlalu lama, telur-telur itu akan membusuk." 

Gobe mencari akal untuk membantu Nenek Bici. 

"Nenek Bici, aku akan membantumu menjual telur-telur itu," kata Gobe dengan wajah cerah. 

"Ah, semua pasar di kota ini sudah kudatangi. Hasilnya sama saja!" seru Nenek Bici dengan nada putus asa. 

"Tenang saja, Nek. Aku punya cara sendiri. Yang penting besok aku tunggu telur-telur di rumah. Tapi Nenek baru boleh meminta hasil penjualan itu sebulan kemudian," kata Gobe bersemangat. 

Nenek Bici percaya pada Gobe. Karena itu, ia menuruti saran Gobe. Keesokan harinya empat peti telur telah berada di rumah Gobe. Ia segera membawanya ke dapur. Gobe mengolahnya dengan gembira. Gone membuat banyak sekali kue cokelat stroberi. Siang itu ia mengirimkan semua kue buatannya ke toko-toko kue dan roti di kota itu. Sepulang mengantarkan kue, Gobe membuat kue lagi sampai malam. Esok paginya ia mengantarkan ke toko-toko yang sama. 

Setelah hampir sebulan, telur-telur Nenek Bici mulai habis. Gobe pun menghitung hasil penjualan kuenya. Lumayan juga hasilnya. Aku akan menemui Nenek Bici malam ini, pikir Gobe. 

Nenek Bici sedang merajut pakaian hangat ketika Gobe datang. Saat itu udara sangat dingin. Nenek Bici menyuguhkan secangkir teh hangat. 
"Nek, telur-telur itu sudah habis. Sekarang saya membawa uang Nenek." 

"Kemana kau jual telur-telur itu Gobe?" tanya Nenek Bici gembira. 

"Telur-telur itu tidak saya jual, Nek. Saya gunakan untuk membuat kue cokelat stroberi. Lalu saya jual di toko-toko kue dan toko roti. Ternyata kue buatan  saya disukai orang." 

"Oh, syukurlah Gobe. Nenek senang mendengarnya." 

"Sekarang saya akan selalu memesan telur kepada Nenek untuk bahan kue. Jadi Nenek Bici tidak perlu lagi bersusah payah menjual ke pasar." 

"Oh, terima kasih Gobe. Kau sungguh baik," sambut Nenek Bici terharu. 

Sejak itu Nenek Bici selalu mengirimkan telur-telur dari peternakannya ke rumah Gobe. Gobe pun semakin rajin membuat dan menciptakan kue-kue baru. Dan berkat usahanya, Gobe akhirnya mampu membuka sebuah toko kue yang diberi nama "TOKO KUE GOBE."

Sumber : Majalah Bobo Terbit Tanggal 19 Juni 2003. 
Penulis : Ita D. Novita.

Sabtu, 01 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Sutina

kisah sutina
Sutina adalah seorang gadis yang tinggal di sebuah desa terpencil dan jauh dari keramaian. Bila senja tiba, warga desa tidak ada satupun yang keluar rumah. Seolah tidak ada kehidupan di sana. Walaupun demikian, warga desa hidup dengan damai tentram dan sejahtera. 

Sutina anak sulung dari empat bersaudara. Jika tidak sedang membantu orang tuanya di sawah, Sutina mengerjakan pekerjaan rumah karena adiknya masih kecil-kecil. Meskipun demikian Sutina tak pernah mengeluh meski sekolah pun tak tamat. 

Suatu ketika datanglah Pak Jaya, orang kaya di desa. "Begini, maksud kedatangan saya adalah ingin mengajak Sutina ke kota. Di sana nanti ia bisa belajar menyanyi dengan serius dan melanjutkan sekolahnya lagi." 

"Tapi Pak Jaya, apa Sutina punya kemampuan seperti itu?" 

"Semalam saat Sutina menyanyi pada hajatan anak saya, saya yakin dia punya bakat. Kalau diasah pasti akan bagus." 

"Saya tidak yakin, Pak," kata Ayah Sutina. 

"Percayalah pada saya, Pak. Saya hanya kasihan pada Sutina yang memiliki bakat bagus, tapi tak bisa dikembangkan. Kalau di desa terus kapan bisa maju?" 

"Saya bicarakan dengan istri saya dulu. Saya juga harus tanya Sutina." 

Pak Jaya memberikan waktu tiga hari untuk berpikir. Sutina sempat menolak karena tak bisa hidup jauh dari keluarganya. Namun orang tua Sutina menyadari, jika Sutina hanya terus hidup seperti ini juga kasihan. 

Akhirnya orang tua Sutina menyetujui saran Pak Jaya. Maka dua hari kemudian, berangkatlah Sutina diiringi isak tangis ibu dan adik-adiknya. 

Sutina tinggal bersama adik Pak Jaya yang memiliki stuidio rekaman. Sutina diajarkan teknik menyanyi, mengatur napas hingga Sutina benar-benar menguasai. 

Sampai enam bulan, Sutina masih rajin memberi kabar. Namun setahun kemudian, dandanan, pakaian, gaya hidup Sutina telah berubah total. Apalagi ia mulai menjadi penyanyi terkenal. Hingga akhirnya ia Sutina melupakan orang tua, adik-adik, dan juga kampung halamannya. 

Sutina pun telah merubah namanya menjadi Inas. Dan setiap kali ditanya asalnya, Sutina tak pernah mau mengatakan, bahkan Sutina mengaku sebagai anak tunggal dan sudah tak memiliki orang tua lagi. Meski orang tua dan adik-adiknya sakit hati, mereka tidak ingin menuntut. Orangtuanya menyadari bahwa Sutina malu berasal dari keluarga miskin dan mereka yakin suatu saat Sutina akan sadar akan kekeliruannya. 

Sumber : Majalah Bobo Edisi 02 Thn III 
Terbitan : 27 Mei - 3 Juni 2003.

Senin, 13 Maret 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Hikmah Ulang Tahun

cerita anak / hikmah ulang tahun
Di sebuah rumah di Jakarta, seorang anak kelas 6 SD bernama Evi malam itu sedang melamun di ruang keluarga. Besok lusa hari ulang tahunnya. Evi lalu tersenyum-senyum sendiri.

"Kenapa tersenyum-senyum sendiri, Evi ?" tanya Papanya heran. Mamanya juga ikut memperhatikan sikap Evi.

Evi tak langsung menjawab. Ia lalu mengambil tasnya. "Lihat, Pa, Ma, tas Evi talinya hampir putus. Ulang tahun ini Evi dibelikan tas saja, ya? Saat hari ulang tahun Evi ingin ke sekolah pakai tas baru." pinta Evi penuh harap.

"Tentu saja boleh, sayang," jawab Papa.

"Horee, terima kasih, Pa, Ma," Evi pun girang.

"Ya sudah, Papa-Mama kan sedang sibuk, jadi biar Evi sendiri saja besok yang beli tas barunya, ya?" kata Papanya kemudian sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas pada Evi. Evi pun melonjak kegirangan.

Esok paginya, Evi pun menjemput Ruri teman sekelasnya untuk berangkat Sekolah. Ruri tinggal bersama ibunya yang sehari-harinya berjualan kue. Ayah Ruri sudah lama meninggal dunia. Ruri muncul dengan wajah kusut seperti belum mandi.

"Lho, jam segini belum siap, Ruri?" Evi terheran-heran.

"Aku tidak bisa sekolah hari ini," ujar Ruri dengan wajah sedih.

"Kenapa? Kamu sakit?" tanya Evi heran.

"Ibu yang sakit. Demam tinggi," lirih Ruri," Aku nitip surat izin untuk Pak Guru, ya?"

Evi pun mengangguk . Saat ia berjalan ke sekolahnya, ia memikirkan Ruri yang seorang diri menunggui ibunya yang sakit. Dari mana pula uang untuk biaya berobat?

Usai sekolah. Evi yang sebelumnya berencana ingin membeli tas baru di supermarket, ternyata langsung pulang. Diam-diam ia lalu sibuk mengerjakan sesuatu di kamarnya. Ilmu Prakarya yang diajarkan Bu Guru Tika di kelas diterapkannya.

Esok paginya, saat hari ulang tahun Evi tiba, Papa dan Mamanya kaget melihat Evi ternyata tak mengenakan tas baru saat akan berangkat sekolah.

"Lho, Evi, katanya ulang tahun mau pakai tas baru ke sekolah?' tanya Papanya. Evi memang masih memakai tas lama, tapi talinya yang hampir putus tampak sudah dijahit.

"Maafkan Evi, Pa, Ma. Uang dari Papa kemarin tidak Evi belikan tas.

"Terus?" Mamanya kali ini yang bertanya.

"Uang itu Evi berikan Ruri kemarin sore," jawab Evi.

"Kenapa?" tanya Papanya.

"Ibunya Ruri sakit, perlu uang untuk berobat." Evi lalu menceritakan kondisi Ibunya Ruri. "Tidak masalah, Evi masih pakai tas yang lama. Ternyata bisa Evi jahit lagi dan masih layak pakai."

Papa dan Mamanya terharu dan bangga. Putri mereka ternyata mau peduli menolong sahabatnya yang sedang kesulitan.

Hikmah Cerita
Berbuat baik dan suka menolong terhadap sesama yang kesulitan adalah perbuatan yang mulia. 

Sumber : Kompas Minggu, 8 Maret 2015. 
Penulis : Suhamdani 
Ilustrasi : Regina Primalita

Kamis, 02 Maret 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Misteri Pohon Rambutan

Misteri Pohon Rambutan
Untuk kesekian kalinya, Edi merasa heran bercampur jengkel ketika melihat halaman depan rumah yang akan disapunya. Kulit, biji, dan sisa sisa buah rambutan bertebaran. Sudah hampir seminggu ini, setiap hari selalu ada sampah buah rambutan di tempat yang sama, di bawah pohon sawo duren yang tumbuh di halaman depan.

SEKARANG memang musim rambutan. Pohon rambutan di belakang rumah Edi berbuah lebat dan sebagian sudah berwarna merah siap dipetik. Siapa yang mengambil rambutan dan membuang sampahnya disini.? Edi merasa gemas dan ingin tahun siapa yang melakukan ini. 
"Aku harus menyelidiki hal ini," pikir Edi. 

Setelah naik ke kelas empat atau sekitar tiga bulan lalu, Edi mendapat tugas dari Ayah, menyapu halaman depan sebelum berangkat ke sekolah. Edi senang mengerjakan tugas itu. Setelah menyapu, Edi mandi dan sarapan, kemudian berangkat ke sekolah diantar Ayah naik motor. 

Pagi itu, saat sarapan bersama Ayah dan Ibu, Edi menyampaikan keinginannya. "Ayah, aku ingin menyelidiki siapa yang mengambil rambutan di pohon kita dan membuang sampahnya di halaman depan. Rambutan itu pasti diambil malam hari ketika kita tidur karena pada sore hari saat aku pulang mengaji, sampah itu belum ada." 

Ayah tersenyum mendengar ucapan Edi. Ia kemudian menoleh ke penanggalan yang tergantung di dinding rumah dan berkata. 
"Baiklah, besok sabtu malam, kita selidiki pelakunya. Kebetulan bulan sedang purnama, kita tidak membutuhkan senter. Tolong kamu siapkan tikar, baju hangat, bantal dan selimut. Kita akan tunggu si pelaku beraksi. "Ayah memberi ide dengan bersemangat.  

Ibu tak mau tinggal diam. "Ibu akan bantu misi ini dengan menyiapkan makanan kecil dan minuman hangat, serta krim anti nyamuk," katanya sambil mengedipkan mata ke Edi. 

Edi senang karena mendapat dukungan dari Ayah dan Ibu. 

HARI sabtu sepulang sekolah dan makan siang, Ibu meminta Edi tidur siang agar tidak mengantuk saat penyelidikan. 

Kata Ayah, penyelidikan akan dilakukan setelah shalat Isya dan makan malam. 

Tikar digelar di halaman yang kering, menghadap ke pohon rambutan. Bantal, Selimut, makanan dan minuman diletakkan dengan rapi diatas tikar. Ibu membantu mengoleskan krim anti nyamuk ke tangan dan kaki Edi. 

Menunggu malam agak larut, Edidan Ayah duduk sambil bertukar cerita tentang kegiatan-kegiatan di sekolah dan di tempat kerja. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ayah meminta Edi berbaring di atas tikar, tidak berbicara lagi, mengamati pohon rambutan, sambil menikmati keindahan bulan purnama dan bintang-bintang yang bertaburan di langit. 

Setelah 20 menit berbaring. Tiba-tiba dari langit utara terlihat beberapa kelelawar terbang menuju pohon rambutan. Makhluk kecil berwarna hitam dan bersayap lebar itu beterbangan di sekitar pohon, mengeluarkan suara mencicit, dan menimbulkan gemirisik. 

Edi terenyak, matanya tak bisa lepas dari pemandangan yang ada di hadapannya. Cahaya bulan memberikan sinar yang cukup terang sehingga Edi bisa mengamati kesibukan di pohon rambutan itu, 

KELELAWAR mencari buah rambutan yang ranum dan memetiknya dengan mulut, lalu terbang menjauh. Ayah meminta Edi bangkit dan memakai sandalnya. Tanpa suara, Edi mengikuti Ayah menuju halaman depan. Di sisi samping rumah yang gelap, Ayah berhenti dan merapat ke dinding. Ayah berbisik kepada Edi untuk mengamati satu batang pohon sawo yang tinggi, tempat kelelawar berada. Kelelawar-kelelawar tampak bergantungan sambil menikmati buah rambutan. Dengan mulut, mereka mengupas kulit, memakan buah, dan menjatuhkan bijinya di halaman. 

Ada kelelawar yang kurang hati-hati sehingga buah rambutan yang akan dimakan terjatuh. Edi dan Ayah terus mengamati kelelawar-kelelawar itu sampai semua terbang menjauh menuju arah selatan. 

AYAH mengajak Edi kembali duduk di tikar di halaman belakang. Edi berbisik bertanya kepada Ayah. "Mengapa kelelawar memakan buah rambutan di pohon sawo duren dan tidak memakan langsung di pohon rambutan?" 

Ayah menerangkan dengan suara perlahan bahwa terkadang kelelawar memakan buah yang matang langsung di pohonnya. Karena itu, kita sering menemukan buah pepaya atau jambu yang matang di pohon, tetapi sudah tidak utuh lagi. 

Jika ukuran buah tidak terlalu besar, mereka akan membawa buah matang ke pohon lain, mencari tempat bergantung yang nyaman dan aman untuk makan. Pada saat yang sama, kelelawar juga menebarkan biji-biji buah di tempat baru, jauh dari pohon asalnya. 

 Ayah  menunjuk ke langit arah utara, serombongan kelelawar datang lagi ke pohon rambutan di hadapan Edi. Namun, setelah membawa buah di mulutnya, kelelawar tidak terbang ke pohon sawo di halaman depan, tetapi terbang ke tempat lain. 

Edi senang, penyelidikannya berhasil. Kini ia tahu siapa mengambil buah rambutan dan membuang sampahnya di halaman depan. Edi tidak akan kesal lagi dengan sampah buah rambutan yang bertebaran di halaman yang disapunya setiap pagi. 

Sumber : Kompas minggu, 22 Februari 2015
Penulis : Retno Widowati 
Ilustrasi : Lintang Pandu Pratiwi