Cerpen Horor: Bertemu Olivia Marianne Raffles
Nisan-nisan yang ada di Museum Prasasti memang cantik, berhias patung-patung malaikat yang dipahat dengan apik. Hani Stifa berdiri mengkhusyukkan diri mengagumi salah satu patung malaikat. Lama dia memandang hingga tak terasa teman-temannya telah berjalan meninggalkannya mengikuti rombongan. Keasyikannya itu buyar tatkala suara tawa teman-teman sekelasnya pecah.
Mendengar suara tawa itu, Hani Stifa menunduk sedih. Dia merasa teman-temannya sengaja melakukannya. Mereka berpindah mengamati nisan yang lain tanpa mengajaknya. Memang Hani Stifa murid baru di sekolahnya. Namun, dia sudah pindah sejak enam bulan lalu. Hingga kini, Hani Stifa merasa masih belum memiliki teman, seorang pun.
Tawa Teti terdengar renyah di antara teman-temannya, membuat Hani Stifa semakin sedih. Sama seperti Stifa, Teti juga murid pindahan. Namun, baru sebulan pindah ke sekolahnya, dia sudah bisa menemukan teman dan lekas akrab dengan mereka. Padahal, dalam kacamata Stifa, Teti cuma anak biasa dari orang tua yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan Teti, ayah Hani Stifa seorang pejabat penting yang kerap bertugas ke luar negeri.
Hani Stifa menghela napas. Bukannya menyusul ke tempat teman-temannya berada, Stifa justru merasa memiliki kesempatan untuk menjauhkan diri. Dia berjalan pelan menyusuri deretan nisan yang lain. Dia mencoba menikmati patung-patung malaikat. Walaupun dalam hati kecilnya, Hani Stifa tetap berharap teman-temannya akan memanggil dan mengajaknya bergabung.
“Perhatikan langkahmu, gadis kecil!” Hani Stifa tersentak. Karena sibuk melamunkan hal-hal tadi, Hani Stifa nyaris menabrak seorang wanita bule cantik bergaun putih.
“Oh, maafkan aku,” sahut Hani Stifa, kemudian melanjutkan langkahnya.
Namun, baru beberapa langkah, wanita bule itu mengatakan sesuatu—seolah bisa membaca apa yang dipikirkan Hani Stifa. “Kalau wajahnya terlihat muram begitu, teman-temanmu tidak akan memanggil dan mengajakmu bergabung.”
Hani Stifa menghentikan langkahnya. Bagaimana wanita bule itu tahu apa yang sedang dipikirkannya?
Wanita bule itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Namaku, Olivia Marianne.” Dengan sedikit ragu, Hani Stifa menyambut uluran tangan Olivia sambil menyebutkan namanya.
“Seperti yang bisa kamu lihat, aku ini orang asing di Indonesia. Aku di sini menemani suamiku bertugas. Awal-awal aku tinggal di sini, aku kesepian sekali. Semua hanya bersikap sopan kepadaku, tetapi tidak akrab. Ternyata itu karena aku sendiri yang menjaga jarak dari mereka. Mereka mengira aku sombong dan tidak mau bergaul dengan mereka!”
Olivia berhenti sebentar untuk menarik napas. “Untung itu tidak bertahan lama. Aku sering mengadakan pesta di rumahku dan mengundang ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kami. Semua, tanpa kecuali. Mau kaya, mau miskin, mau cantik, jelek, aku sapa mereka semua satu per satu, dan mengajak mereka mengobrol. Lama-lama, aku jadi kenal mereka semua, dan mereka semua mengenalku. Saat aku jalan-jalan keluar rumah, mereka menyapaku dengan ramah. Aku senang sekali!”
Hani Stifa terdiam mendengar cerita itu. Dalam hati ia bergumam, ‘Apa jangan-jangan… ia tidak punya teman karena ia menjaga jarak dari mereka? Tapi masa iya sih?’
“Kadang-kadang kita tidak sadar kalau kita menjaga jarak dan tidak ramah. Itu sikap yang wajar saat kita berada di tempat yang baru. Nah, kita sendiri yang harus ingat untuk selalu ramah dan terbuka pada orang-orang di tempat baru,” pesan Olivia sambil menepuk bahu Hani Stifa dengan ramah.
Kemudian, Olivia membalikkan tubuhnya dan menghilang di balik rerimbunan pohon. Hani Stifa merasa bimbang. Dia menengok ke arah teman-temannya yang masih asyik bercanda di antara mereka sambil mengamati sebuah makam.
Dengan ragu Hani Stifa melangkahkan kaki ke tempat mereka. “Emmm… kalian… lagi lihat apa, sih?” tanya Hani Stifa pelan.
“Hei, Stifa! Lihat, ada makamnya istri Sir Raffles. Itu, lho, yang gubernur jenderal Hindia Belanda yang membikin jalan Anyer-Panarukan,” jawab Teti sambil menarik tangan Hani Stifa dengan ramah mendekati makam itu.
“Katanya, Raffles sayang banget sama istrinya ini. Di Bogor dibuatkan monumennya, lho!” sahut Rani.
“Aku pernah baca di internet, kalau istrinya Raffles ini dekat dengan orang-orang Pribumi. Dia tidak sombong dan ramah. Suka mengadakan pesta di rumahnya dan mengundang orang-orang dari kalangan mana saja. Padahal, jarang sekali istri pejabat Belanda yang seperti itu,” sambar Teti lagi.
“Udah, yuk, nanti kita ketinggalan rombongan,” kata Rani.
Hani Stifa sekali lagi terdiam. Tampak jelas di makam itu terukir nama Olivia Marriane Raffles. Rani dan Teti segera beranjak dari depan nisan istri Raffes. Ketika, Hani Stifa ingin membalikkan tubuhnya, dia melihat Olivia di kejauhan. Wajahnya tersenyum. Deg, otak Stifa segera bekerja kalau Olivia yang ditemuinya adalah sosok yang biasa diceritakan di dalam cerpen. Stifa, buru-buru menyusul Rani dan Teti.
Baca kumpulan cerpen bahasa Indonesia lainnya.[]
Nisan-nisan yang ada di Museum Prasasti memang cantik, berhias patung-patung malaikat yang dipahat dengan apik. Hani Stifa berdiri mengkhusyukkan diri mengagumi salah satu patung malaikat. Lama dia memandang hingga tak terasa teman-temannya telah berjalan meninggalkannya mengikuti rombongan. Keasyikannya itu buyar tatkala suara tawa teman-teman sekelasnya pecah.
Mendengar suara tawa itu, Hani Stifa menunduk sedih. Dia merasa teman-temannya sengaja melakukannya. Mereka berpindah mengamati nisan yang lain tanpa mengajaknya. Memang Hani Stifa murid baru di sekolahnya. Namun, dia sudah pindah sejak enam bulan lalu. Hingga kini, Hani Stifa merasa masih belum memiliki teman, seorang pun.
Tawa Teti terdengar renyah di antara teman-temannya, membuat Hani Stifa semakin sedih. Sama seperti Stifa, Teti juga murid pindahan. Namun, baru sebulan pindah ke sekolahnya, dia sudah bisa menemukan teman dan lekas akrab dengan mereka. Padahal, dalam kacamata Stifa, Teti cuma anak biasa dari orang tua yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan Teti, ayah Hani Stifa seorang pejabat penting yang kerap bertugas ke luar negeri.
Hani Stifa menghela napas. Bukannya menyusul ke tempat teman-temannya berada, Stifa justru merasa memiliki kesempatan untuk menjauhkan diri. Dia berjalan pelan menyusuri deretan nisan yang lain. Dia mencoba menikmati patung-patung malaikat. Walaupun dalam hati kecilnya, Hani Stifa tetap berharap teman-temannya akan memanggil dan mengajaknya bergabung.
“Perhatikan langkahmu, gadis kecil!” Hani Stifa tersentak. Karena sibuk melamunkan hal-hal tadi, Hani Stifa nyaris menabrak seorang wanita bule cantik bergaun putih.
“Oh, maafkan aku,” sahut Hani Stifa, kemudian melanjutkan langkahnya.
Namun, baru beberapa langkah, wanita bule itu mengatakan sesuatu—seolah bisa membaca apa yang dipikirkan Hani Stifa. “Kalau wajahnya terlihat muram begitu, teman-temanmu tidak akan memanggil dan mengajakmu bergabung.”
Hani Stifa menghentikan langkahnya. Bagaimana wanita bule itu tahu apa yang sedang dipikirkannya?
Wanita bule itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Namaku, Olivia Marianne.” Dengan sedikit ragu, Hani Stifa menyambut uluran tangan Olivia sambil menyebutkan namanya.
“Seperti yang bisa kamu lihat, aku ini orang asing di Indonesia. Aku di sini menemani suamiku bertugas. Awal-awal aku tinggal di sini, aku kesepian sekali. Semua hanya bersikap sopan kepadaku, tetapi tidak akrab. Ternyata itu karena aku sendiri yang menjaga jarak dari mereka. Mereka mengira aku sombong dan tidak mau bergaul dengan mereka!”
Olivia berhenti sebentar untuk menarik napas. “Untung itu tidak bertahan lama. Aku sering mengadakan pesta di rumahku dan mengundang ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kami. Semua, tanpa kecuali. Mau kaya, mau miskin, mau cantik, jelek, aku sapa mereka semua satu per satu, dan mengajak mereka mengobrol. Lama-lama, aku jadi kenal mereka semua, dan mereka semua mengenalku. Saat aku jalan-jalan keluar rumah, mereka menyapaku dengan ramah. Aku senang sekali!”
Hani Stifa terdiam mendengar cerita itu. Dalam hati ia bergumam, ‘Apa jangan-jangan… ia tidak punya teman karena ia menjaga jarak dari mereka? Tapi masa iya sih?’
“Kadang-kadang kita tidak sadar kalau kita menjaga jarak dan tidak ramah. Itu sikap yang wajar saat kita berada di tempat yang baru. Nah, kita sendiri yang harus ingat untuk selalu ramah dan terbuka pada orang-orang di tempat baru,” pesan Olivia sambil menepuk bahu Hani Stifa dengan ramah.
Kemudian, Olivia membalikkan tubuhnya dan menghilang di balik rerimbunan pohon. Hani Stifa merasa bimbang. Dia menengok ke arah teman-temannya yang masih asyik bercanda di antara mereka sambil mengamati sebuah makam.
Dengan ragu Hani Stifa melangkahkan kaki ke tempat mereka. “Emmm… kalian… lagi lihat apa, sih?” tanya Hani Stifa pelan.
“Hei, Stifa! Lihat, ada makamnya istri Sir Raffles. Itu, lho, yang gubernur jenderal Hindia Belanda yang membikin jalan Anyer-Panarukan,” jawab Teti sambil menarik tangan Hani Stifa dengan ramah mendekati makam itu.
“Katanya, Raffles sayang banget sama istrinya ini. Di Bogor dibuatkan monumennya, lho!” sahut Rani.
“Aku pernah baca di internet, kalau istrinya Raffles ini dekat dengan orang-orang Pribumi. Dia tidak sombong dan ramah. Suka mengadakan pesta di rumahnya dan mengundang orang-orang dari kalangan mana saja. Padahal, jarang sekali istri pejabat Belanda yang seperti itu,” sambar Teti lagi.
“Udah, yuk, nanti kita ketinggalan rombongan,” kata Rani.
Hani Stifa sekali lagi terdiam. Tampak jelas di makam itu terukir nama Olivia Marriane Raffles. Rani dan Teti segera beranjak dari depan nisan istri Raffes. Ketika, Hani Stifa ingin membalikkan tubuhnya, dia melihat Olivia di kejauhan. Wajahnya tersenyum. Deg, otak Stifa segera bekerja kalau Olivia yang ditemuinya adalah sosok yang biasa diceritakan di dalam cerpen. Stifa, buru-buru menyusul Rani dan Teti.
Baca kumpulan cerpen bahasa Indonesia lainnya.[]
EmoticonEmoticon