Selasa, 24 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putri Rainun Dan Rajo Mudo

Putri Rainun dan Rajo Mudo adalah sepasang kekasih dari tanah Jambi. Pasangan ini memang sangat serasi. Putri Rainum memiliki paras yang cantik jelita dan berbudi luhur. Demikian pula Rajo Mudo yang berwajah tampan dan cerdas. Hanya saja, perbedaan keturunan menjadi halangan di antara mereka. Putri Rainum keturunan bangsawan yang kaya-raya, sedangkan Rajo Mudo berasal dari kalangan rakyat biasa. Suatu ketika, saat Rajo Mudo pergi merantau untuk menambah keilmuannya, datanglah seorang pemuda kaya bernama Biji Kayo untuk melamar Putri Rainun. Apakah Putri Rainun menerima lamaran itu? Lalu, bagaimana dengan Rajo Mudo? Simak kisahnya dalam cerita Putri Rainun dan Rajo Mudo berikut ini.
 
Dahulu, di Jambi ada seorang putri bangsawan bernama Putri Rainun. Ia adalah gadis yang cantik, anggun, dan memiliki perangai yang baik. Kecantikan dan keelokan budinya kerap menjadi buah bibir. Sudah banyak pemuda maupun putra bangsawan yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Rupanya, Putri Rainun telah memiliki kekasih bernama Rajo Mudo, seorang pemuda tampan dari kalangan orang biasa. Selain tampan, pemuda dambaan hati sang putri itu juga memiliki sifat yang baik, alim, dan berilmu.
Suatu waktu, Rajo Mudo berniat pergi merantau untuk menambah ilmu pengetahuannya. Niat itu pun ia sampaikan kepada kekasihnya, Putri Rainun.
“Wahai Dinda, permata hati Kanda. Kanda ingin ke negeri seberang untuk menimba ilmu,” kata Rajo Mudo, “Jika Dinda mengizinkan, Kanda akan berlayar dengan kapal yang akan berangkat besok pagi.”
“Iya, Kanda. Dinda merestui kepergian Kanda. Tapi, jangan lupa cepat kembali, Dinda tidak ingin berlama-lama berpisah dengan Kanda,” ujar Putri Rainun.
“Baiklah, Dinda. Kanda akan segera kembali. Jika kita memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali,” kata Rajo Mudo.
Keesokan harinya, Rajo Mudo pun berlayar menuju ke negeri seberang. Putri Rainun, tak kuasa menahan air mata melepas kepergian kekasih hatinya. Putri cantik itu pun baru meninggalkan pelabuhan setelah kapal yang ditumpangi Rajo Mudo hilang dari pandangannya.
Berita tentang kepergian Rajo Mudo pun tersebar. Tentu saja berita tersebut membuat banyak pemuda merasa gembira karena mendapat kesempatan untuk mendapatkan Putri Rainun. Mereka pun berlomba-lomba merayu untuk mengambil hati sang Putri. Namun karena keteguhan sang Putri mempertahankan cintanya kepada Rajo Mudo, semua rayuan para pemuda itu ditampiknya.
Waktu terus berjalan. Sudah berbulan-bulan Rajo Mudo berada di perantauan, namun tak ada kabar apapun tentang dirinya. Putri Rainun pun mulai cemas. Hatinya selalu gelisah menanti kedatangan kekasihnya. Sebagai obat pelipur lara, sang putri mengisi hari-harinya dengan mengayak padi.
Suatu hari, seorang pemuda melintasi rumah Putri Rainun. Pemuda yang bernama Biji Kayo itu terpikat ketika melihat kecantikan sang Putri. Biji Kayo adalah anak orang kaya raya, tetapi memiliki tabiat yang buruk. Ia dikenal sebagai lelaki hidung belang yang suka mengganggu gadis-gadis. Memang, ia amat pandai membujuk dan mengambil hati orang lain.
Keesokan harinya, Biji Kayo mendatangi rumah Putri Rainun. Namun, ia tidak langsung menyampaikan lamarannya kepada sang Putri. Ia tahu bahwa sang Putri sudah punya kekasih, yakni Rajo Mudo. Untuk itu, ia mendekati ibunda Putri Rainun. Dengan bujuk rayuannya,  ia pun berhasil menghasut ibunda sang Putri.
“Baiklah, Biji Kayo. Aku akan mencoba membujuk putriku agar mau menerima lamaranmu,” ujar ibu Putri Rainun.
Mendapat jawaban itu, Biji Kayo tersenyum lalu berpamitan pulang ke rumahnya. Pada malam harinya, sang ibunda mulai membujuk putrinya.     
“Ketahuilah, Putriku! Pemuda yang bernama Biji Kayo itu anak orang kaya. Ibu pikir, ia sangat cocok menjadi pendamping hidupmu daripada Rajo Mudo,” ujar sang ibu, “Ia seorang pemuda yang serba berkecukupan, sedangkan Rajo Mudo hanya seorang rakyat biasa yang serba kekurangan. Lagi pula, Rajo Mudo tidak ada kabar beritanya hingga saat ini. Atau jangan-jangan, dia telah menikah dengan gadis lain di negeri seberang sana.”
“Bu, tolong jangan banding-bandingkan Biji Kayo dengan Rajo Mudo,” ujar Putri Rainun, “Meskipun Rajo Mudo tak memiliki harta yang melimpah, ia pemuda yang baik hati. Saya amat mencintainya, Bu.”
Demikian seterusnya, Putri Rainun selalu menolak lamaran Biji Kayo. Namun, ia terus dibujuk dan dirayu oleh ibunya. Demi membahagiakan ibunya, maka terpaksalah ia menerima lamaran tersebut. Seminggu kemudian, pernikahan mereka pun dilangsungkan dengan meriah. Di atas pelaminan, Biji Kayo terlihat tersenyum bahagia, sementara Putri Rainun tampak sedih. Ia merasa amat bersalah sekali karena telah mengkhianati cinta Rajo Mudo.
Usai menikah, pasangan pengantin baru itu tinggal di sebuah rumah mewah. Namun, Putri Rainun tak mau bertegur sapa dengan Biji Kayo. Bahkan, ia tidak mau tidur satu kamar dengan lelaki yang telah menjadi suaminya itu.
Sementara itu, Rajo Mudo telah kembali dari perantauan. Hatinya pun hancur berkeping-keping saat mengetahui kekasihnya telah menikah dengan lelaki lain. Ia pun mengundang Putri Rainun untuk bertemu di suatu tempat. Namun, hanya seorang dayang sang Putri yang datang menemuinya.
“Hai, Dayang. Mana Putri Rainun?” tanya Rajo Mudo.
“Maaf, Tuan. Tuan Putri malu bertemu dengan Tuan. Makanya, beliau mengutus saya,” jawab dayang itu, “Kalau boleh tahu, kenapa Tuan ingin bertemu Tuan Putri?”
Rajo Mudo menghela nafas sejenak. Ia lalu menjawab pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Dayang. Sampaikan saja salamku kepada Putri,” jawab Rajo Mudo, “Oh iya, tolong berikan cincin ini kepada Tuan Putri.”
“Baik, Tuan,” jawab dayang itu seraya berpamitan.
Setiba di rumah tuannya, sang dayang langsung menyerahkan cincin itu kepada Putri Rainun. Betapa sedihnya sang Putri saat menerima cincin itu. Ia berpikir bahwa Rajo Mudo merasa kecewa karena dikhianati cintanya. Padahal, dirinya menikah Biji Kayo karena terpaksa.
“Maafkan Dinda. Dinda tidak bermaksud mengkhianati Kanda. Dinda melakukan ini karena terpaksa,” kata Putri Rainum dalam hati.
Merasa telah mengecewakan Rajo Mudo, Putri Rainun pun bunuh diri. Sang ibunda menjerit histeris ketika mengetahui putrinya telah mati. Namun, ia tampak terkejut ketika melihat ada cincin pemberian Rajo Mudo melingkar di jari manis anaknya. Sang ibu pun sadar bahwa ternyata putrinya menikah terpaksa dengan Biji Kayo. Ia merasa amat menyesal atas pernikahan putrinya tersebut.
Saat upacara pemakaman Putri Rainun berlangsung, Rajo Mudo pun hadir. Ia sangat terpukul atas kejadian yang menimpa kekasihnya. Usai upacara pemakaman, ketika seluruh pelayat sudah meninggalkan areal makam, Rajo Mudo masih duduk termenung di samping kuburan sang Putri. Ia merasa bahwa suatu hari nanti kekasihnya akan hidup kembali.
Suatu hari, Rajo Mudo kembali menjenguk makam Putri Rainun. Tiba-tiba muncul setangkai bunga ilalang dari makam sang Putri. Bunga ilalang itu kemudian diterbangkan angin sehingga melayang-layang di udara.
“Aku yakin, bunga ilalang itu pastilah penjelmaan Putri Rainun,” gumam Rajo Mudo.
Rajo Mudo pun segera mengejar bunga ilalang itu hendak menangkapnya. Namun, seorang pelayan setia Putri Rainun tiba-tiba muncul dan mendahuluinya menangkap bunga ilalang itu.
“Sebaiknya bunga ilalang ini kita bawa ke Nenek Rubiah yang sakti itu,” ujar si dayang.
Akhirnya, Rajo Mudo dan si dayang membawa bunga ilalang itu ke rumah Nenek Rubiah. Setiba di sana, mereka pun menceritakan semua peristiwa yang terjadi di makam Putri Rainun. Setelah itu, Rajo Mudo meminta kepada Nenek Rubiah agar mengubah bunga ilalang menjadi Putri Rainun.
“Nek, tolong ubah bunga ilalang ini! Aku yakin bunga ini penjelmaan Putri Rainun,” pinta Rajo Mudo.
Nenek Rubiah pun segera memanterai bunga ilalang itu. Sungguh ajaib, dari kelopak bunga itu ilalang itu muncullah Putri Rainun. Alangkah senangnya hati Rajo Mudo. Ia pun langsung memeluk kekasihnya itu. Akhinya, kedua pasangan kekasih tersebut menikah dan mereka pun hidup berbahagia selamanya.
* * *
Demikian cerita Putri Rainun dan Rajo Mudo dari Jambi. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa cinta tidak boleh dipaksakan karena akan mengakibatkan kehidupan yang tidak bahagia seperti yang terjadi pada Putri Rainun. Akibatnya, sang putri pun mengakhiri hidupnya. Untung, ia masih bisa dihidupkan kembali dan menikah dengan orang dicintainya.

Senin, 23 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Batu Berdaun

Batu berdaun yang dimaksud dalam cerita ini adalah sebuah batu besar berbentuk daun yang terletak di atas sebuah bukit di Maluku. Menurut cerita, batu tersebut memiliki mulut yang bisa terbuka dan mengatup kembali serta dapat menelan siapa saja. Suatu ketika, batu berdaun itu menelan seorang nenek. Apa yang terjadi selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Batu Berdaun berikut ini.
Alkisah, di daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang masih kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih berumur 5 tahun. Kedua anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah meninggal dunia ketika mencari ikan di laut. Kini, kedua anak itu berada dalam asuhan sang nenek.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga sering berbaik hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama kedua cucunya.
Suatu hari, air laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya menjadi pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si nenek pun mengajak kedua cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.
“Cucuku, mari kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.
Alangkah senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat kegirangan.   
“Horeee... horeee... !” riang si bungsu.
Setiba di pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu (alat untuk menangkap kepiting) di sejumlah tempat. Selang beberapa lama kemudian, sebuah bubu yang dipasang nenek memperoleh seekor kepiting besar yang terperangkap di dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua cucunya untuk pulang terlebih dahulu.
“Cucuku, kalian pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita nanti,” ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”
“Baik, Nek,” jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi segera direbus. Setelah masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus. Mereka makan dengan lahap sekali. Sesuai perintah sang nenek, kedua anak itu menyisakan capit kepiting.
Usai makan, kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si bungsu yang baru sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.
“Aku lapar lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.
“Jangan, capit kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.
Meskipun sang kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena iba, sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu akhirnya berhenti merengek. Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit kepiting yang satunya. Si kakak pun memberikannya.
Tak berapa lama kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput itu tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke dapur ingin menyantap capit kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia saat melihat lemari makannya kosong.
“Cucuku., cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.
“Iya, Nek,” jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“Mana capit kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.
“Ma... maaf..., Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu. Aku sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit kepiting itu.”
Betapa kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena kedua cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia lalu mendekati sebuah batu besar yang bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu berdaun. Di hadapan batu itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.
“Wahai, batu. Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Kedua cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”
Batu berdaun itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk ketiga kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si nenek tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal di dalam perut batu itu dan tidak pernah keluar lagi.
Sementara itu, kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit itu, mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara batu berdaun itu.
“Nenek, jangan tinggalkan kami!” tangis si sulung.
“Maafkan aku, Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan sangat menyesal.
Si sulung kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.
“Wahai, batu berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.
Meskipun kedua anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan harinya, keduanya terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada saat itu, kebetulan ada seorang tetangga mereka yang melintas di tempat itu.
“Hai, kenapa kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.
Si sulung pun menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu tidak akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke rumahnya dan kemudian merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal atas perlakuannya terhadap nenek mereka. Namun, hal itu mereka jadikan sebagai pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur.
* * *
Demikian cerita Batu Berdaun dari Maluku. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang tidak mau menuruti nasehat orangtua seperti kedua cucu nenek itu pada akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Gara-gara tidak mau mendengar nasehat, mereka akhirnya ditinggal pergi oleh sang nenek. Pelajaran lainnya adalah bahwa sebuah kesalahan dapat menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk menata hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.

Minggu, 22 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Buaya Ajaib Sungai Tami

Buaya ajaib yang dimaksud dalam cerita ini adalah seekor buaya yang pernah tinggal di Sungai Tami, Jayapura, Papua. Hingga sekarang, seluruh keturunan buaya ini masih dilindungi oleh masyarakat setempat. Jasa apakah yang pernah diperbuat oleh buaya ajab ini kepada masyarakat Jayapura sehingga ia begitu dihormati? Berikut kisahnya dalam cerita Buaya Ajaib Sungai Tami.


Dahulu, di Kampung Sawjatami yang terletak di tepi Sungai Tami, Jayapura, Papua, hiduplah seorang laki-laki bernama Towjatuwa. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah honai (rumah adat orang Papua). Saat itu, sang istri sedang hamil tua, waktu kelahirannya tinggal menunggu beberapa hari lagi.
Pada hari yang telah diperkirakan, sang istri pun telah memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan. Ia tiba-tiba menggigil tanpa sebab yang jelas, sebagai tanda awal kelahiran, dan mulai mengalami pendarahan. Namun, sudah berjam-jam darah terus keluar, sang bayi di dalam rahimnya tak kunjung keluar. Towjatuwa menjadi panik dan bingung mesti berbuat apa. Maka, pergilah ia ke rumah seorang dukun di kampung itu.
“Nek, tolong istri saya,” pinta Towjatuwa, “Ia akan melahirkan.”
“Baiklah, kau pulanglah dulu, aku segera menyusulmu,” kata nenek sang dukun bayi itu.
Towjatuwa pun bergegas kembali ke rumahnya. Sementara itu, sang dukun menyiapkan alat persalinannya, lalu kemudian berangkat ke rumah Towjatuwa. Setiba di sana, ia mendapati istri Towjatuwa menjerit-jerit kesakitan.
“Nek, tolong aku. Perutku sakit sekali,” rintih istri Towjatuwa.
“Tenang, Cucuku,” kata sang dukun.
Nenek dukun itu pun segera memeriksa kondisi istri Towjatuwa. Towjatuwa terlihat semakin resah, ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya.
“Bagaimana keadaannya, Nek? Kenapa istriku belum juga melahirkan?” tanya Towjatuwa.
“Maaf, Towjatuwa. Sepertinya istrimu mendapat masalah. Bayi di dalam kandungan istrimu terlalu besar sehingga susah untuk keluar,” kata dukun itu.
“Lalu, bagaimana cara menolongnya, Nek?” tanya Towjatuwa.
“Aku membutuhkan rumput air dari Sungai Tami,” jawab nenek dukun.
Towjatuwa segera berlari menuju Sungai Tami. Setiba di sana, ia pun langsung mencari rumput air yang dimaksud oleh nenek dukun. Ia sudah mencari ke sana ke mari, namun rumput air itu belum juga ditemukannya. Ketika ia hendak melanjutkan pencarian, tiba-tiba terdengar suara mengerang dari arah belakangnya.
“Hai, suara apa itu!” serunya dengan kaget.
Begitu Towjatuwa menoleh ke belakang, tampaklah seekor buaya besar di belakangnya. Anehnya, punggung buaya itu ditumbuhi bulu-bulu burung kasuari. Buaya itu tampak sangat menyeramkan. Towjatuwa yang ketakutan hendak melarikan diri sebelum dirinya dimangsa oleh buaya itu. Namun, ketika ia mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara teguran.
“Tunggu dulu, Towjatuwa!” seru suara itu.
Towjatuwa pun menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah buaya itu.
“Apakah kamu yang memanggilku?” tanya Towjatuwa heran.
“Benar, Towjatuwa. Akulah yang memanggilmu,” jawab buaya itu, “Namaku Watuwe, penguasa di Sungai Tami ini.”
Alangkah terkejutnya Towjatuwa mendengar jawaban dari buaya itu. Ia seolah-olah tidak percaya bahwa ternyata buaya itu dapat berbicara seperti manusia. Buaya itu tiba-tiba mengerang kesakitan. Ternyata, ekor buaya itu terjepit batu besar. Towjatuwa yang iba melihat penderitaan buaya itu segera menolong dengan memindahkan batu besar yang menjepit ekor Watuwe.
Setelah itu, Towjatuwa berniat pergi untuk melanjutkan pencarian rumput air. Namun, Watuwe kembali menghentikan langkahnya.
“Sebentar, Towjatuwa! Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kamu cari di tempat ini?” tanya Watuwe.
“Aku sedang mencari rumput air untuk membantu kelahiran istriku. Tapi, aku belum menemukannya,” jawab Towjatuwa.
“Jangan khawatir, Towjatuwa,” ujar Watuwe, “Karena engkau telah menolongku, maka aku pun akan menolongmu. Tunggu aku di rumahmu nanti malam.” 
“Terima kasih sebelumnya, Watuwe,” ucap Towjatuwa dengan perasaan senang.
Hari sudah sore. Towjatuwa pun bergegas pulang ke rumahnya. Malam harinya, buaya Watuwe datang ke rumah Towjatuwa. Istri Towjatuwa masih tampak kesakitan di atas pembaringan. Perlahan-lahan, buaya yang sakti itu mendekat untuk mengobatinya. Alhasil, dengan kekuatan ajaibnya, istri Towjatuwa pun melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Bayi itu diberi nama Narrowra.
“Terima kasih, Watuwe,” ucap Towjatuwa dan istrinya.
“Sama-sama, Towjatuwa. Aku pun berterima kasih karena engkau telah menolongku,” kata Watuwe seraya berpamitan.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Watuwe mengatakan sesuatu kepada Towjatuwa tentang anaknya.
“Ketahuilah, Towjatuwa. Kelak anak kalian akan tumbuh menjadi pemburu yang handal,” ungkap Watuwe, “Namun, aku berpesan kepada kalian, tolong jangan pernah membunuh dan memakanku. Jika suatu saat aku mati, ambillah kantung air seniku, lalu bawalah kantung itu ke Gunung Sankria. Di sana, manusia langit telah menanti kalian dan akan memberi petunjuk mengenai apa yang harus kalian lakukan.”
Towjatuwa dan istrinya amat berterima kasih kepada Watuwe karena telah menolong kelahiran anak mereka.
“Istriku, walaupun Watuwe berwujud binatang, ia sangat baik dan penyayang. Entah apa yang dapat kita perbuat untuk membalas budi baiknya kepada kita,” kata Towjatuwa kepada istrinya.
“Satu-satu cara yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikannya adalah mengingat dan melaksanakan semua pesannya,” ujar sang istri.
“Kamu, benar istriku,” kata  Towjatuwa.
Sejak itulah, Towjatuwa dan keturunannya selalu melindungi buaya ajaib itu serta buaya-buaya lainnya yang berada di Sungai Tami.
Demikian cerita Buaya Ajaib Sungai Tami dari Jayapura, Papua. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hidup saling tolong-menolong antarsesama makhluk seperti Towjatuwa dengan si buaya ajaib, Watuwe, akan mendatangkan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan di muka bumi.

Sabtu, 21 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Raja Laku Leik Yang Bengis

Laku Leik adalah seorang raja yang bengis dan serakah dari sebuah kerajaan di daerah Belu, Nusa Tenggara Timur. Karena keserakahannya, ia ingin menjadi raja seumur hidup. Untuk itulah, ia tidak mau memiliki anak laki-laki. Namun, Tuhan berkehendak lain, permaisurinya ternyata melahirkan seorang anak laki-laki. Bagaimana nasib anak itu selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Raja Laku Leik yang Bengis berikut ini.
Dahulu, di daerah Belu, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Laku Leik. Ia adalah raja yang bengis dan kejam. Ia tidak segan-segan menganiaya, bahkan menghabisi nyawa orang lain demi memenuhi semua kemauannya. Ia juga gemar berjudi dan memiliki sifat serakah. Ia ingin menjadi raja untuk selama-lamanya dan tidak mau mempunyai anak laki-laki.
Suatu hari, Raja Laku Leik hendak mengadakan perjalanan jauh bersama para pengawalnya. Mereka akan pergi berburu ke hutan yang berada di wilayah kerajaannya. Perjalanan itu tentu saja akan memakan waktu yang cukup lama. Sebelum berangka, raja berpesan kepada permaisurinya, bernama Naifeto, yang sedang hamil tua.
“Hai, permaisuriku! Aku akan meninggalkan istana ini dalam beberapa hari. Jika kelak kamu melahirkan seorang anak perempuan, rawatlah ia baik-baik. Tapi, jika bayi itu laki-laki, maka habisilah nyawanya dan kuburkan mayatnya di bawah tangga istana ini,” titah Raja Laku Leik.
“Baik, Kanda,” jawab Naifeto.
Sebenarnya, Naifeto tidak setuju dengan permintaan suaminya itu, tentu ia tidak akan sampai hati menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Namun karena takut kepada suaminya yang kejam itu, ia terpaksa mengiyakan pesan tersebut.
Tidak lama setelah Raja pergi, Naifeto melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat. Bayi itu dinamainya Onu Muti. Betapa senang hatinya memiliki anak itu. Ia ingin sekali merawat dan membesarkankannya. Namun, di sisi lain ia harus melaksanakan pesan suaminya. Dalam keadaan bimbang, ia pun berdoa meminta petunjuk kepada Tuhan.
“Ya Tuhan, berikanlah hamba petunjuk-Mu atas permasalahan ini,” pinta Naifeto.
Naifeto kemudian termenung sejenak. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan jalan keluar.
“Hmmm... aku tahu caranya. Sebaiknya, putraku kuganti dengan seekor anjing yang akan kukubur di bawah tangga," pikirnya.
Naifeto pun segera menangkap seekor anjing, lalu menguburnya di bawah tangga istana. Sementara Onu Muti ia serahkan kepada adik Raja Laku Leik yang bernama Feto Ikun untuk diasuh.
“Tolong rawatlah Onu Muti, tapi jangan sampai Raja mengetahui rahasia ini! Jika Raja tahu masalah ini, maka nyawa Onu Muti akan terancam,” ujar Naifeto.
“Baiklah. Aku berjanji akan menjaga rahasia ini,” ucap Feto Ikun.
Sejak itulah, Onu Muti tinggal di rumah bibinya. Beberapa minggu kemudian, Raja Laku Leik telah kembali dari berburu. Karena tahu bahwa sang permaisuri telah melahirkan, ia pun langsung menanyakannya.
“Di mana anak kita, Permaisuriku?” tanya sang Raja.
“Maaf, Kanda. Anak kita laki-laki,” jawab Naifeto, “Sesuai dengan pesan Kanda, anak itu sudah Dinda kuburkan di bawah tangga.”
Mendengar keterangan itu, cepat-cepatlah sang Raja pergi memeriksa ke bawah tangga. Tampaklah olehnya sebuah tumpukan tanah yang ditandai dengan sebuah nisan di atasnya. Raja itu pun percaya jika nisan itu adalah makam putranya. Demikian rahasia itu terus tersimpan hingga Onu Muti beranjak remaja.
Suatu hari, Onu Muti bersama temannya, One Mea, sedang bermain gasing di dekat istana. Tanpa disengaja, gasing Onu Muti terlempar jauh dan mengenai kepala seorang nenek yang sedang menjemur kacang hijau. Nenek itu pun menjadi marah.
“Dasar kau anak terbuang!” hardik nenek itu seraya pergi.
Nenek itu ternyata pergi ke istana untuk mengadu kepada sang Raja. Setiba di istana, ia pun membuka rahasia tentang kebohongan Naifeto selama ini.
“Ampun, Baginda Raja,” hormat nenek itu.
“Ada apa gerangan?” tanya Raja Laku Leik.
“Sebenarnya, Baginda telah dibohongi oleh Permaisuri,” lapor nenek itu.
“Apa maksud, Nenek?” Raja Laku Leik kembali bertanya dengan bingung.
Nenek itu pun menceritakan keberadaan Onu Muti kepada sang Raja. Mendengar cerita itu, sang Raja pun menjadi murka. Namun, ia tidak berani langsung bertindak karena segan terhadap adiknya, Feto Ikun. Maka itu, ia mengadakan sidang tertutup dengan beberapa pengawal setianya untuk membuat siasat. Dalam sidang itu disepakati bahwa mereka merencanakan suatu perburuan dengan mengajak Onu Muti dan One Mea.
Pada hari yang telah ditentukan, Onu Muti dan One Mea pun datang ke istana dengan membawa peralatan berburu. Kedua anak itu juga masing-masing membawa seekor ayam jantan. Setiba di istana, keduanya pun berbaur dengan rombongan sang Raja menuju ke hutan. Setiba di hutan, mereka mulai berburu hingga sore hari. Hasil yang mereka peroleh lumayan banyak.
Saat hari mulai gelap, sang Raja menyuruh Onu Muti untuk beristirahat di dalam sebuah pondok kecil yang telah disiapkan oleh pengawal raja. Sementara itu, One Mea serta raja dan rombongannya tidur di luar. Ketika semua sudah terlelap, Raja Laku Leik perlahan-lahan merangkak masuk ke dalam pondok, lalu memenggal kepala Onu Muti. Kepala anak yang tidak berdosa itu pun terpisah dari tubuhnya.
Keesokan harinya, semua orang panik, terutama One Mea. Ia berteriak histeris begitu melihat kepala temannya terpenggal. Setelah mayat Onu Muti dimakamkan,  rombongan sang Raja kembali melanjutkan perburuan. Sementara itu, One Mea secara diam-diam mengikat ayam jantan milik Onu Muti di misan makam itu lalu cepat-cepat pulang untuk melapor kepada ibu angkat Onu Muti, Feto Ikun.
“Bibi..., Bibi... Bibi Feto!” teriaknya dengan tergopoh-gopoh, “Onu Muti telah mati!”
Alangkah terkejutnya Feto Ikun mendengan berita duka itu. Ia tahu bahwa pastilah Raja Laku Leik pelakunya.
“Lalu, di mana mayatnya sekarang?” tanya Feto Ikun.
“Mayatnya sudah dimakamkan di dalam hutan,” ungkap One Mea, “Saya telah mengikatkan seekor ayam pada nisan makam itu sebelum pulang ke sini, namun saya lupa di mana tepatnya.”
Mendengar keterangan itu, Feto Ikun segera berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk mengenai keberadaan makam itu. Berkat doanya yang khusyuk, petunjuk itu pun datang melalui mimpi pada malam harinya. Maka, pada keesokan harinya, Feto Ikun mengajak saudara-saudaranya untuk mencari makam Onu Muti di hutan. Setelah menemukan makam itu, mereka kemudian berdoa kepada Tuhan agar mayat Onu Muti dibangkitkan kembali.
Setelah mereka 4 kali berdoa, Onu Muti hidup kembali. Semua itu bisa terjadi berkat kuasa Tuhan. Feto Ikun pun merawat pangeran kecil itu dengan sangat hati-hati agar tidak ketahuan sang Raja. Hingga beberapa tahun kemudian, Onu Muti pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah.
Sementara itu, Raja Laku Leik yang kian tua semakin lupa daratan. Kelakuannya semakin menjadi-jadi. Kebiasaan berjudi dengan menyabung ayam tak pernah berhenti. Ia selalu menantang lawan-lawannya dengan taruhan yang tinggi.
Suatu hari, datanglah Onu Muti ke istana membawa ayam jagonya untuk menantang sang Raja. Ia menyamar sebagai pangeran yang kaya-raya dari negeri seberang. Raja Laku Leik pun menerima tantangan itu.
“Hai, Pangeran Muda. Berapa banyak harta yang engkau miliki? Berani-beraninya kau menantangku!” tanya Raja Laku Leik dengan nada meremehkan.
“Ampun, Baginda. Harta yang hamba miliki saat ini sebanyak harta yang akan Baginda pertaruhkan,” jawab Onu Muti.
Betapa terkejutnya Raja Laku Leik mendengar jawaban anak muda itu. Tidak mau dipermalukan di hadapan rakyatnya, ia pun menerima tantangan itu. Sang Raja segera memerintahkan prajuritnya untuk menyiapkan ayam jagonya untuk diadu dengan ayam jago milik Onu Muti. Seluruh rakyat negeri itu pun berbondong-bondong memadati halaman istana untuk menyaksikan pertandingan tersebut.
Setelah semuanya siap, pertandingan sabung ayam pun dimulai. Kedua ayam jago segera dilepas di tengah arena. Tak berapa lama kemudian, keduanya saling menyerang. Namun, baru saja pertarungan itu berlangsung, ayam jago milik Raja Laku Leik sudah kalah. Tak mau dipermalukan, Raja Laku Leik kembali menatang dengan taruhan yang lebih besar lagi. Akan tetapi, selalu saja kalah. Demikian seterusnya, selama pertarungan itu, kemenangan selalu ada di pihak Onu Muti.
Raja yang bengis itu pun bangkrut, hidupnya melarat, dan akhinya mati. Seluruh wilayah kerajaan, termasuk istananya sudah habis dipertaruhkan. Sebaliknya, Onu Muti menjadi kaya-raya. Kerjaaan itu pun sudah menjadi miliknya. Seluruh rakyat negeri itu menyambut gembira atas kemenangan itu. Mereka pun menobatkan Onu Muti menjadi raja untuk menggantikan ayahnya yang bengis. Berbeda dengan ayahnya, Onu Muti memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup makmur dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Raja Laku Leik yang Bengis dari Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa raja yang zalim seperti Laku Leik pada akhirnya mendapat kesengsaraan. Pepatah mengatakan, raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah.