Tampilkan postingan dengan label Nusa Tenggara Timur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nusa Tenggara Timur. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Raja Laku Leik Yang Bengis

Laku Leik adalah seorang raja yang bengis dan serakah dari sebuah kerajaan di daerah Belu, Nusa Tenggara Timur. Karena keserakahannya, ia ingin menjadi raja seumur hidup. Untuk itulah, ia tidak mau memiliki anak laki-laki. Namun, Tuhan berkehendak lain, permaisurinya ternyata melahirkan seorang anak laki-laki. Bagaimana nasib anak itu selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Raja Laku Leik yang Bengis berikut ini.
Dahulu, di daerah Belu, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Laku Leik. Ia adalah raja yang bengis dan kejam. Ia tidak segan-segan menganiaya, bahkan menghabisi nyawa orang lain demi memenuhi semua kemauannya. Ia juga gemar berjudi dan memiliki sifat serakah. Ia ingin menjadi raja untuk selama-lamanya dan tidak mau mempunyai anak laki-laki.
Suatu hari, Raja Laku Leik hendak mengadakan perjalanan jauh bersama para pengawalnya. Mereka akan pergi berburu ke hutan yang berada di wilayah kerajaannya. Perjalanan itu tentu saja akan memakan waktu yang cukup lama. Sebelum berangka, raja berpesan kepada permaisurinya, bernama Naifeto, yang sedang hamil tua.
“Hai, permaisuriku! Aku akan meninggalkan istana ini dalam beberapa hari. Jika kelak kamu melahirkan seorang anak perempuan, rawatlah ia baik-baik. Tapi, jika bayi itu laki-laki, maka habisilah nyawanya dan kuburkan mayatnya di bawah tangga istana ini,” titah Raja Laku Leik.
“Baik, Kanda,” jawab Naifeto.
Sebenarnya, Naifeto tidak setuju dengan permintaan suaminya itu, tentu ia tidak akan sampai hati menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Namun karena takut kepada suaminya yang kejam itu, ia terpaksa mengiyakan pesan tersebut.
Tidak lama setelah Raja pergi, Naifeto melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat. Bayi itu dinamainya Onu Muti. Betapa senang hatinya memiliki anak itu. Ia ingin sekali merawat dan membesarkankannya. Namun, di sisi lain ia harus melaksanakan pesan suaminya. Dalam keadaan bimbang, ia pun berdoa meminta petunjuk kepada Tuhan.
“Ya Tuhan, berikanlah hamba petunjuk-Mu atas permasalahan ini,” pinta Naifeto.
Naifeto kemudian termenung sejenak. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan jalan keluar.
“Hmmm... aku tahu caranya. Sebaiknya, putraku kuganti dengan seekor anjing yang akan kukubur di bawah tangga," pikirnya.
Naifeto pun segera menangkap seekor anjing, lalu menguburnya di bawah tangga istana. Sementara Onu Muti ia serahkan kepada adik Raja Laku Leik yang bernama Feto Ikun untuk diasuh.
“Tolong rawatlah Onu Muti, tapi jangan sampai Raja mengetahui rahasia ini! Jika Raja tahu masalah ini, maka nyawa Onu Muti akan terancam,” ujar Naifeto.
“Baiklah. Aku berjanji akan menjaga rahasia ini,” ucap Feto Ikun.
Sejak itulah, Onu Muti tinggal di rumah bibinya. Beberapa minggu kemudian, Raja Laku Leik telah kembali dari berburu. Karena tahu bahwa sang permaisuri telah melahirkan, ia pun langsung menanyakannya.
“Di mana anak kita, Permaisuriku?” tanya sang Raja.
“Maaf, Kanda. Anak kita laki-laki,” jawab Naifeto, “Sesuai dengan pesan Kanda, anak itu sudah Dinda kuburkan di bawah tangga.”
Mendengar keterangan itu, cepat-cepatlah sang Raja pergi memeriksa ke bawah tangga. Tampaklah olehnya sebuah tumpukan tanah yang ditandai dengan sebuah nisan di atasnya. Raja itu pun percaya jika nisan itu adalah makam putranya. Demikian rahasia itu terus tersimpan hingga Onu Muti beranjak remaja.
Suatu hari, Onu Muti bersama temannya, One Mea, sedang bermain gasing di dekat istana. Tanpa disengaja, gasing Onu Muti terlempar jauh dan mengenai kepala seorang nenek yang sedang menjemur kacang hijau. Nenek itu pun menjadi marah.
“Dasar kau anak terbuang!” hardik nenek itu seraya pergi.
Nenek itu ternyata pergi ke istana untuk mengadu kepada sang Raja. Setiba di istana, ia pun membuka rahasia tentang kebohongan Naifeto selama ini.
“Ampun, Baginda Raja,” hormat nenek itu.
“Ada apa gerangan?” tanya Raja Laku Leik.
“Sebenarnya, Baginda telah dibohongi oleh Permaisuri,” lapor nenek itu.
“Apa maksud, Nenek?” Raja Laku Leik kembali bertanya dengan bingung.
Nenek itu pun menceritakan keberadaan Onu Muti kepada sang Raja. Mendengar cerita itu, sang Raja pun menjadi murka. Namun, ia tidak berani langsung bertindak karena segan terhadap adiknya, Feto Ikun. Maka itu, ia mengadakan sidang tertutup dengan beberapa pengawal setianya untuk membuat siasat. Dalam sidang itu disepakati bahwa mereka merencanakan suatu perburuan dengan mengajak Onu Muti dan One Mea.
Pada hari yang telah ditentukan, Onu Muti dan One Mea pun datang ke istana dengan membawa peralatan berburu. Kedua anak itu juga masing-masing membawa seekor ayam jantan. Setiba di istana, keduanya pun berbaur dengan rombongan sang Raja menuju ke hutan. Setiba di hutan, mereka mulai berburu hingga sore hari. Hasil yang mereka peroleh lumayan banyak.
Saat hari mulai gelap, sang Raja menyuruh Onu Muti untuk beristirahat di dalam sebuah pondok kecil yang telah disiapkan oleh pengawal raja. Sementara itu, One Mea serta raja dan rombongannya tidur di luar. Ketika semua sudah terlelap, Raja Laku Leik perlahan-lahan merangkak masuk ke dalam pondok, lalu memenggal kepala Onu Muti. Kepala anak yang tidak berdosa itu pun terpisah dari tubuhnya.
Keesokan harinya, semua orang panik, terutama One Mea. Ia berteriak histeris begitu melihat kepala temannya terpenggal. Setelah mayat Onu Muti dimakamkan,  rombongan sang Raja kembali melanjutkan perburuan. Sementara itu, One Mea secara diam-diam mengikat ayam jantan milik Onu Muti di misan makam itu lalu cepat-cepat pulang untuk melapor kepada ibu angkat Onu Muti, Feto Ikun.
“Bibi..., Bibi... Bibi Feto!” teriaknya dengan tergopoh-gopoh, “Onu Muti telah mati!”
Alangkah terkejutnya Feto Ikun mendengan berita duka itu. Ia tahu bahwa pastilah Raja Laku Leik pelakunya.
“Lalu, di mana mayatnya sekarang?” tanya Feto Ikun.
“Mayatnya sudah dimakamkan di dalam hutan,” ungkap One Mea, “Saya telah mengikatkan seekor ayam pada nisan makam itu sebelum pulang ke sini, namun saya lupa di mana tepatnya.”
Mendengar keterangan itu, Feto Ikun segera berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk mengenai keberadaan makam itu. Berkat doanya yang khusyuk, petunjuk itu pun datang melalui mimpi pada malam harinya. Maka, pada keesokan harinya, Feto Ikun mengajak saudara-saudaranya untuk mencari makam Onu Muti di hutan. Setelah menemukan makam itu, mereka kemudian berdoa kepada Tuhan agar mayat Onu Muti dibangkitkan kembali.
Setelah mereka 4 kali berdoa, Onu Muti hidup kembali. Semua itu bisa terjadi berkat kuasa Tuhan. Feto Ikun pun merawat pangeran kecil itu dengan sangat hati-hati agar tidak ketahuan sang Raja. Hingga beberapa tahun kemudian, Onu Muti pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah.
Sementara itu, Raja Laku Leik yang kian tua semakin lupa daratan. Kelakuannya semakin menjadi-jadi. Kebiasaan berjudi dengan menyabung ayam tak pernah berhenti. Ia selalu menantang lawan-lawannya dengan taruhan yang tinggi.
Suatu hari, datanglah Onu Muti ke istana membawa ayam jagonya untuk menantang sang Raja. Ia menyamar sebagai pangeran yang kaya-raya dari negeri seberang. Raja Laku Leik pun menerima tantangan itu.
“Hai, Pangeran Muda. Berapa banyak harta yang engkau miliki? Berani-beraninya kau menantangku!” tanya Raja Laku Leik dengan nada meremehkan.
“Ampun, Baginda. Harta yang hamba miliki saat ini sebanyak harta yang akan Baginda pertaruhkan,” jawab Onu Muti.
Betapa terkejutnya Raja Laku Leik mendengar jawaban anak muda itu. Tidak mau dipermalukan di hadapan rakyatnya, ia pun menerima tantangan itu. Sang Raja segera memerintahkan prajuritnya untuk menyiapkan ayam jagonya untuk diadu dengan ayam jago milik Onu Muti. Seluruh rakyat negeri itu pun berbondong-bondong memadati halaman istana untuk menyaksikan pertandingan tersebut.
Setelah semuanya siap, pertandingan sabung ayam pun dimulai. Kedua ayam jago segera dilepas di tengah arena. Tak berapa lama kemudian, keduanya saling menyerang. Namun, baru saja pertarungan itu berlangsung, ayam jago milik Raja Laku Leik sudah kalah. Tak mau dipermalukan, Raja Laku Leik kembali menatang dengan taruhan yang lebih besar lagi. Akan tetapi, selalu saja kalah. Demikian seterusnya, selama pertarungan itu, kemenangan selalu ada di pihak Onu Muti.
Raja yang bengis itu pun bangkrut, hidupnya melarat, dan akhinya mati. Seluruh wilayah kerajaan, termasuk istananya sudah habis dipertaruhkan. Sebaliknya, Onu Muti menjadi kaya-raya. Kerjaaan itu pun sudah menjadi miliknya. Seluruh rakyat negeri itu menyambut gembira atas kemenangan itu. Mereka pun menobatkan Onu Muti menjadi raja untuk menggantikan ayahnya yang bengis. Berbeda dengan ayahnya, Onu Muti memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup makmur dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Raja Laku Leik yang Bengis dari Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa raja yang zalim seperti Laku Leik pada akhirnya mendapat kesengsaraan. Pepatah mengatakan, raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah.

Jumat, 06 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Ile Mauraja

Ile Mauraja adalah nama sebuah gunung yang terletak di daerah Nusa Tenggara Timur. Ile dalam bahasa setempat berarti “gunung”. Keberadaan gunung ini disebabkan oleh sebuah peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Ile Mauraja.
Dahulu, di sebuah kampung di Nusa Tenggara Timur, ada seorang bocah laki-laki yang tampan bernama Raja. Namun, ia memiliki sifat yang amat keras kepala. Semua kiinginannya harus dipenuhi. Sifat Raja itu terkadang membuat kedua orang tuanya pusing kepala. Suatu ketika, ibunya sedang memintal benang. Karena penasaran terhadap apa yang dikerjakan ibunya, Raja pun bertanya.
“Ibu sedang membuat apa?” tanya Raja.
“Ibu sedang membuat sehelai kain untukmu, Nak,” jawab ibunya.
Betapa senangnya hati Raja. Dikiranya sarung itu akan selesai dibuat dalam waktu sehari. Maka, ia pun selalu bertanya kepada ibunya.
“Bu, kapan sarung itu selesai?” tanya Raja, “Aku tidak sabar lagi ingin memakainya.”
“Sabarlah, Nak. Ibu akan segera menyelesaikannya,” jawab ibunya.
Begitulah setiap hari Raja tidak bosan-bosannya bertanya dan menagih janji ibunya. Sang Ibu pun bingung karena ia tidak mau berbohong. Padahal, ia sering menasehati anaknya agar selalu menepati janji dan tidak boleh berbohong. Ketika, Raja kembali bertanya, sang Ibu diam saja.
“Kenapa ibu diam saja?” tanya Raja, “Wah, tidak menepati janji.”
Merasa malu dituduh oleh anaknya, sang Ibu pun menjelaskan bahwa membuat sehelai sarung membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Anakku, Raja. Ibu bukannya ingkar janji. Tapi, perlu kamu ketahui bahwa membuat sehelai sarung itu tidak bisa sebentar,” ujar ibunya.
Mendengar penjelasan itu, Raja pun merasa menyesal karena telah menuduh ibunya yang bukan-bukan. Sejak itulah, ia mulai sadar terhadap sikapnya yang suka kasar kepada ibunya. Pikiran itu pun terbawa ke dalam mimpinya. Malam itu, ia bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengenakan pakaian putih-putih.
“Hai, anak muda. Apa yang terjadi dengan dirimu? Kenapa kamu wajahmu pucat seperti itu?” tanya kakek itu dalam mimpi Raja.
Raja pun menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan ibunya.
“Iya, Kek. Saya merasa berdosa kepada ibu saya. Selama ini saya selalu memaksakan kehendak kepada ibu. Bahkan, saya telah menuduhnya telah mengingkari janjinya,” cerita Raja dalam mimpi itu yang membuat sang kakek menjadi iba.
“Baiklah, cucuku. Jika kamu memang benar-benar merasa menyesal, maka kamu harus menebus kesalahan itu,” ujar Kakek itu.
“Apa maksud, Kakek?” tanya Raja bingung.
“Besok, bangunlah sebelum ayam jantan berkokok yang ketiga kalinya. Pergilah ke arah matahari terbit dan berjalanlah sampai kamu menemukan sebuah gua,” kata kakek itu, “Tapi ingat, kamu harus diam selama perjalanan,” tambahnya.
“Baik, Kek,” jawab Raja.
Kakek misterius itu kemudian lenyap. Saat itu pula, Raja terbangun. Ketika ayam jantan berkokok yang kedua kalinya, ia segera melaksanakan nasehat kakek dalam mimpinya itu. Dalam suasana yang agak gelap, Raja berjalan ke arah timur dengan menyusuri hutan belantara hingga akhirnya menemukan sebuah gua.
“Hai, gua inikah yang dimaksud Kakek itu?” gumamnya.
Raja dengan melangkah perlahan-lahan mendekati gua itu. Ketika ia berada di depan mulut gua, tiba-tiba ia mendengar suara menyapanya.
“Cucuku, tidak usah takut. Masuklah ke dalam gua ini,” kata suara itu.
Suara itu tidak asing lagi di telinga Raja, seperti suara Kakek yang ada di mimpinya semalam. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera masuk ke dalam gua. Ternyata dugaannya benar. Tampak seorang Kakek yang pernah ia temui di dalam mimpi sedang duduk di atas lempengan batu besar. Raja pun kemudian duduk di samping kakek itu.
“Cucuku, tanamlah biji kapas ini di kebun ibumu di belakang rumah,” perintah kakek itu seraya memberikan segenggam biji kapas dalam sebuah tempurung kelapa kepada Raja.
“Terima kasih, Kek!” ucap Raja seraya berpamitan.
Namun, sebelum ia meninggalkan gua, Kakek itu berpesan kepadanya.
“Sesampainya kamu di rumah, minta maaflah kepada ibumu atas sikapmu yang buruk. Hormatilah orang tuamu,” kata kakek itu.
Begitu selesai berpesan, Kakek itu tiba-tiba menghilang. Bersamaan dengan kejadian itu, tiba-tiba muncul seekor ular raksasa di hadapan Raja. Karena ketakutan, maka cepat-cepatlah Raja meninggalkan gua itu.
Setiba di rumahnya, Raja langsung menanam biji kapas pemberian sang Kakek. Sungguh ajaib, biji kapas itu tumbuh dengan cepat sekali. Hanya dalam waktu seminggu, tanaman kapasnya sudah berbuah. Buahnya pun unik karena berbentuk gulungan kain seperti yang biasa dipakai ibu Raja. Dengan kejadian itu, sikap Raja mulai berubah. Kini, ia menjadi anak yang halus dan lemah lembut tutur sapanya, penurut, dan rajin membantu kedua orangnya.
Suatu hari, kambing peliharaan orangtua Raja hilang. Raja pun turut membantu mencari kambing tersebut. Ia berjalan menyusuri hutan belantara. Tanpa disadari, langkahnya ternyata sampai di depan gua yang dulu pernah ia masuki. Mulanya, Raja ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara beberapa gadis dari dalam gua.
“Hai, siapa gadis-gadis yang ada di dalam gua itu?” gumam Raja.
Raja penasaran. Ia pun memberanikan diri masuk ke dalam gua itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat tujuh gadis cantik sedang mandi di sungai di dalam gua itu.
“Aduhai… cantiknya gadis-gadis itu!” gumam Raja dengan perasaan kagum.
Melihat kecantikan para gadis tersebut, muncullah niatnya ingin memperistri salah dari mereka. Maka, ia dengan diam-diam mengambil salah satu pakaian dari gadis itu yang diletakkan di tepi sungai. Pakaian itu kemudian ia sembunyikan di sebuah lubang pohon. Selang beberapa saat kemudian, para gadis itu telah selesai mandi. Ketika hendak mengenakan pakaian masing-masing, salah seorang dari mereka tampak kebingungan.
“Kakak, apakah kalian melihat pakaian saya?” tanya gadis itu.
“Tidak, Bungsu. Kami tidak melihatnya,” jawab gadis yang paling sulung.
Rupanya, gadis yang kehilangan pakaiannya adalah si Bungsu. Putri Bungsu itu pun menangis tersedu-sedu karena belum juga menemukan pakaiannya. Melihat keadaan itu, Raja pun keluar dari persembunyiannya lalu menghampiri gadis-gadis tersebut.
“Hai, apa yang sedang terjadi dengan gadis cantik ini?” tanya Raja dengan berpura-pura tidak mengetahui permasalahan.
“Adik kami kehilangan pakaiannya. Jika Tuan dapat menemukannya, tentu kami akan membalas jasa Tuan,” sahut Putri Sulung.
“Baiklah, saya akan coba mencarikannya,” jawab Raj.
Raja pun berpura-pura mencari ke sana kemari hingga ke bagian luar gua. Saat para gadis tersebut tidak melihatnya, cepat-cepatlah ia mengambil pakaian itu dari dalam lubang pohon lalu kembali masuk ke dalam gua.
“Maaf, apakah pakaian ini yang kalian maksud?” tanya Raja.
“Benar Tuan. Terima kasih karena Tuan telah menemukan pakaian adik kami yang hilang,” sahut Putri Sulung seraya menceritakan asal usul mereka.
“Maaf Tuan, sebenarnya kami ini adalah putri-putri ular.”
Mendengar cerita itu, Raja langsung teringat pada si Kakek yang waktu itu menghilang dan berubah menjadi seekor ular.
“Apakah kalian mengenal Kakek yang pernah kutemui di gua ini?” tanya Raja.
“Iya, ia adalah kakek kami,” jawab Putri Sulung, “Di gua inilah kami tinggal.”
Mendengar cerita itu, Raja pun mulai tersadar bahwa ternyata kakek yang yang pernah menolongnya itu adalah penjelmaan ular. Raja pun kemudian diajak oleh para gadis itu untuk ke rumah mereka dan bertemu dengan sang Kakek.
“Terima kasih, cucuku. Engkau telah menolong Putri Bungsu menemukan pakaiannya,” ucap si Kakek, “Sebagai tanda terima kasih kami, Kakek merestuimu menikah dengan cucuku itu. Tapi, dengan satu syarat.”
“Apakah syarat itu, Kek?” tanya Raja.
“Sebelum pesta pernikahan kalian dilangsungkan, Kakek minta agar si Bungsu dibuatkan sebuah rumah peristirahatan,” ujar si Kakek.
Raja pun menyetujui persyaratan itu, meskipun ia tahu bahwa hal itu menyalahi adat di kampungnya. Setelah mereka menikah, Raja dan si Bungsu pun tinggal di rumah baru tersebut. Sementara itu, salah seorang warga yang merasa curiga mengintip ke dalam rumah itu. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Raja ditemani oleh seekor ular yang tak lain adalah Putri Bungsu. Warga itu pun segera melapor kepada seluruh warga kampung. Takut dengan keberadaan ular tersebut, warga pun beramai-ramai membakar rumah itu.
Raja dan Putri Bungsu yang berada di dalamnya tidak bisa berbuat apa-apa karena peristiwa itu berlangsung sangat cepat. Mereka pun tewas terbakar. Mendengar kabar itu, keluarga Putri Bungsu amat marah dan murka. Dengan dibantu oleh seekor kepiting raksasa, keluarga Putri Bungsu yang telah berubah menjadi sekumpulan ular mendorong perut bumi. Kampung pun bergetar bagaikan terkena gempa bumi dahsyat. Dalam sekejap, perkampungan itu hancur dan porak-poranda.
Selang beberapa saat setelah kejadian itu, tiba-tiba sebuah gundukan tanah muncul dari balik perkampungan. Semakin lama, gundukan tanah itu semakin tinggi hingga menjadi sebuah gunung. Untuk mengenang peristiwa itu, masyarakat setempat menamakan gunung itu Ile Mauraja atau Gunung Mauraja. 
* * *
Demikian cerita Legenda Ile Mauraja dari Nusa Tenggara Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa segala sesuatu yang didapatkan dengan cara yang mudah dan tidak benar akan lenyap dengan mudah pula. Hal ini terlihat pada perilaku si Raja yang hanya karena menyembunyikan selendang Putri Bungsu ia bisa memperistrinya dengan sangat mudah. Pesan moral yang kedua adalah bahwa hendaknya kita tidak menyalahi adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat karena hal itu akan mendatangkan musibah seperti halnya yang terjadi pada si Raja.

Sabtu, 06 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Suri Ikun Dan Dua Burung

Suri Ikun seorang anak lelaki berbadan kurus yang tinggal bersama kedua orangtua dan tiga belas orang saudaranya di sebuah kampung di daerah Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pada suatu hari, Suri Ikun ditangkap oleh hantu dan disekap dalam sebuah gua. Bagaimana nasib Suri Ikun selanjutnya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Suri Ikun dan Dua Burung berikut ini.



Alkisah, di sebuah kampung di daerah Nusa Tenggara Timur, Indonesia, ada sebuah keluarga petani yang mempunyai empat belas orang anak. Tujuh orang lelaki dan tujuh orang perempuan. Anak lelakinya yang paling muda bernama Suri Ikun. Ia seorang pemberani dan suka menolong. Berbeda dengan keenam kakak lelakinya, selain pendengki mereka juga penakut. Mendengar dengusan babi hutan saja mereka lari tungganglanggang.
Untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan keempat belas anaknya, sang Suami sebagai kepala keluarga menanam umbi-umbian dan sayur-sayuran di kebunnya. Meskipun kebunnya cukup luas, hasilnya terkadang tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, karena tanamannya sering dirusak oleh kawanan babi hutan.
Pada suatu malam, sang Suami mengajak istri dan ketujuh anak lelakinya bermusyawarah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
“Wahai, Anak-anakku! Tentu kalian semua tahu bahwa kita hidup dari hasil berkebun. Untuk itu kita harus menjaga semua tanaman yang ada di kebun,” ungkap sang Ayah.
“Apa yang harus kami lakukan, Ayah?” tanya si Sulung.
“Begini, Anakku! Ayah akan menugaskan kalian secara bergiliran meronda di kebun untuk mengusir babi hutan,” kata sang Ayah.
Mendengar perkataan itu, ketujuh orang lelaki bersaudara tersebut terkejut.
“Aduh, adakah cara lain yang dapat kami lakukan selain meronda, Ayah?” keluh si Sulung.
“Apa maksudmu, Anakku!” tanya sang Ayah.
“Maaf, Ayah! Saya sangat takut pada babi hutan,” jawab si Sulung.
“Iya, Ayah! Kami juga takut,” sambung lima orang anaknya yang lain serentak.
Sang Ayah menjadi bingung mendengar keluhan keenam anaknya tersebut. Sejenak, ia berpikir untuk mencari cara lain untuk mengusir babi hutan dari kebunnya. Suasana musyawarah keluarga pun menjadi hening. Dalam suasana hening itu, tiba-tiba Suri Ikun angkat bicara.
“Maaf, Ayah! Jika Ayah mengizinkan, biarlah saya sendiri yang meronda di kebun,” pinta Suri Ikun.
“Benarkah kamu sanggup meronda seorang diri, Anakku?” tanya sang Ayah.
“Benar, Ayah! Saya akan menangkap babi-babi hutan itu dengan panahku,” jawab Suri Ikun dengan penuh semangat.
Alangkah senangnya hati keenam kakak lelaki Suri Ikun, karena mereka terbebas dari sebuah tugas yang sangat berat.
Keesokan harinya, setelah mempersiapkan busur dan anak panahnya, berangkatlah Suri Ikun ke kebun seorang diri untuk meronda. Sesampainya di kebun, ia langsung berkeliling melihat keadaan kalau-kalau ada kawanan babi hutan yang sedang merusak tanamannya. Setelah beberapa saat berkeliling dan tidak menemukan seekor babi hutan pun, Suri Ikun beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Ketika sedang asyik duduk bersandar sambil menikmati tiupan angin sepoi-sepoi, tiba-tiba tiga ekor babi hutan sedang melintas tidak jauh dari depannya. Ia pun segera bersembunyi di balik pohon tempatnya bersandar seraya menyiapkan anak panahnya. Pada saat ketiga kawanan babi hutan itu akan memakan tanamannya, ia pun segera menarik anak panahnya dari busurnya dan melepaskannya ke arah babi yang paling besar.
“Siuuut.... deg...!!!”
Anak panahnya tepat mengenai lambung kanan babi itu dan langsung terkapar di tanah. Sementara dua babi hutan lainnya langsung melarikan diri ke balik semak belukar. Suri Ikun segera menghampiri babi hutan yang sudah tidak bergerak itu.
“Wah besar sekali babi hutan ini. Pasti dagingnya sangat lezat,” gumam Suri Ikun.
Dengan perasaan senang dan gembira, Suri Ikun pun segera membawa pulang babi hutan itu ke rumahnya. Oleh karena babi hutan itu sangat berat, sampai-sampai ia harus beberapa kali berhenti beristirahat dalam perjalanan. Sesampainya di rumah, ia pun disambut gembira oleh kedua orangtua dan saudara-saudaranya yang sudah lama menunggu.
“Wah, kamu hebat sekali, Suri Ikun!” ucap si Sulung memuji.
Kemudian mereka pun segera memotong-motong dan memasak daging babi hutan itu. Setelah matang, si Sulung bertugas membagi-bagikan daging babi tersebut kepada saudara-saudaranya. Oleh karena sifatnya yang dengki, ia hanya memberi Suri Ikun bagian kepala babi itu, yang sudah tentu tidak banyak dagingnya. Begitulah seterusnya, setiap kali membawa seekor babi hutan hasil buruannya, Suri Ikun selalu saja mendapat bagian kepala. Meski demikian, Suri Ikun tetap merasa senang, karena hasil keringatnya dapat dinikmati oleh seluruh keluarganya.
Pada suatu sore, ayah mereka baru saja pulang dari mencari kayu bakar di sebuah hutan lebat yang letaknya cukup jauh.
“Anak-anakku! Maukah kalian membantu, Ayah!”
“Apa yang dapat kami bantu, Ayah?” tanya si Sulung penasaran.
Gerinda Ayah tertinggal di tengah hutan. Maukah kalian pergi mengambilnya?” pinta sang Ayah.
Akhirnya, si Sulung pun mengajak keenam saudara lelakinya pergi ke hutan lebat itu. Pada saat sampai di hutan, hari sudah mulai gelap. Menurut cerita, hutan tersebut dihuni oleh para hantu rimba yang terkenal jahat. Suri Ikun berjalan mengikuti kakaknya menyusuri hutan lebat itu sambil menggendong busur dan anak panahnya. Oleh karena gelapnya malam, Suri Ikun tidak menyadari jika keenam saudaranya mengambil jalan lain yang menuju ke rumah. Sementara ia terus berjalan menyusuri hutan. Semakin lama ia pun semakin jauh masuk ke tengah hutan. Setelah menyadari ia ditinggal sendirian, ia pun berteriak-teriak memanggil keenam kakaknya.
“Kakak... di mana kalian?”
Berkali-kali Suri Ikun memanggil nama keenam kakaknya, tetapi tetap tidak mendapat jawaban. Namun, beberapa saat berselang, tiba-tiba terdengar suara aneh menegurnya.
“Hei, Anak Manusia! Kini kamu tinggal sendirian. Tidak seorang pun yang bisa menolongmu, karena saudara-saudaramu telah meninggalkanmu.”
“Kamu siapa? Tampakkanlah wujudmu!” seru Suri Ikun sambil menyiapkan anak panah dan busurnya.
“Ha... ha... ha...!!! terdengar suara itu tertawa berbahak-bahak.
“Ketahuilah, Anak Manusia! Kami adalah hantu rimba penghuni hutan ini,” ujar suara itu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba beberapa sosok bertubuh besar dan berwajah seram berdiri di sekelilingnya. Baru saja Suri Ikun hendak menarik anak panahnya, para hantu tersebut segera menangkapnya. Namun, mereka tidak langsung memakannya, karena ia masih terlalu kurus.
“Sebaiknya kita kurung dulu anak manusia ini,” ujar pemimpin hantu rimba itu.
Akrhinya Suri Ikun dikurung di dalam sebuah gua. Setiap hari ia diberi makan secara teratur agar menjadi gemuk. Untungnya ada celah sehingga sinar matahari dapat memancar masuk ke dalam gua. Dari celah itu ia bisa melihat keluar.
Pada suatu hari, Suri Ikun melihat dua ekor anak burung di celah gua yang kepalaran. Oleh karena merasa iba, ia pun memberIkun sebagian makanannya kepada kedua anak burung itu.
“Waaah, kasihan sekali anak burung ini ditinggal induknya,” iba Suri Ikun seraya menyuapi kedua anak burung itu.
Begitulah seterusnya, setiap melihat kedua anak burung itu kelaparan, Suri Ikun senantiasa membagikan makanan kepada mereka. Beberapa bulan kemudian, kedua burung itu pun tumbuh menjadi besar dan kuat. Ajaibnya, kedua burung itu dapat berbicara seperti manusia.
“Terima kasih Tuan karena telah menolong kami,” ucap seekor burung.
“Ampun, Tuan! Jika kami boleh tahu, Tuan siapa dan kenapa dikurung dalam gua ini?” tanya seekor burung yang satunya lagi.
“Saya Suri Ikun, Sobat!” jawab Suri Ikun.
Setelah itu, Suri Ikun pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai ia bisa berada di dalam gua itu.
“Baiklah, Tuan! Kami akan membebaskan Tuan dari gua ini,” kata seekor burung.

Alangkah senangnya hati Suri Ikun mendengar perkataan burung itu. Namun, hatinya masih diselimuti oleh rasa bimbang.
“Wahai, Sobat! Bukankah hantu rimba itu berjumlah banyak dan sangat kuat? Bagaimana cara kalian menolongku?” tanya Suri Ikun ingin tahu.
“Tenang, Tuan! Kami pasti bisa mengalahkan mereka,” ujar seekor burung.
“Begini, Tuan! Kami akan menyerang dan mencakar-cakar seluruh tubuh hantu-hantu itu,” jelas seekor burung yang satunya.
Mendengar penjelasan itu, Suri Ikun terdiam sejenak. Ia pun berpikir mencari cara agar bisa membantu kedua burung itu mengalahkan hantu-hantu tersebut.
“Baiklah kalau begitu! Aku akan membantu kalian dengan senjataku ini,” kata Suri Ikun sambil menunjukkan panahnya.
Keesokan harinya, hantu-hantu tersebut datang mengantarkan makanan untuk Suri Ikun. Pada saat mereka membuka pintu gua, dengan secepat kilat kedua burung itu langsung menyerang dan mencakar-cakar seluruh tubuh mereka. Suri Ikun pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera meluncurkan anak panahnya ke arah hantu-hantu tersebut. Maka tak ayal lagi, para hantu itu pun terluka dan langsung kabur melarikan diri.
Setelah itu, kedua burung tersebut segera membawa terbang Suri Ikun menuju ke puncak sebuah bukit yang tinggi. Sesampainya di sana, dengan kekuatan gaibnya, kedua burung tersebut menciptakan sebuah istana megah untuk Suri Ikun lengkap dengan pengawal dan dayang-dayangnya. Di sanalah untuk selanjutnya Suri Ikun tinggal dan hidup berbahagia.
Sementara itu, nun jauh di kampung, keluarga Suri Ikun hidup menderita. Sejak kepergian Suri Ikun seluruh tanaman ayahnya habis dimakan dan dirusak kawanan babi hutan. Sebab, tidak seorang pun saudara lelakinya yang berani mengusir kawanan babi hutan tersebut dari kebun mereka.
* * *
Demikian cerita Suri Ikun dari daerah Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadIkun pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik, yaitu keutamaan sifat saling tolong-menolong terhadap sesama makhluk dan akibat buruk dari sikap penakut.
Pertama, keutamaan sifat saling tolong-menolong. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Suri Ikun dan dua ekor burung. Suri Ikun menolong kedua ekor burung tersebut dengan memberinya makan, sedangkan kedua ekor burung tersebut menyelamatkan Suri Ikun dari ancaman para hantu rimba. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat ini sangatlah dianjurkan, karena dapat menimbulkan rasa saling menghormati dan mengasihi serta saling menyayangi antara sesama makhluk, sehingga terbina kehidupan yang aman, damai, sejahtera dan harmonis. Dikatakan dalam untaian syair Melayu:

wahai ananda dengarlah manat,
tulus dan ikhlas jadIkun azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat

Kedua, akibat buruk dari sifat penakut. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku keenam saudara lelaki Suri Ikun yang tidak berani meronda di kebun ayahnya, karena takut kepada babi hutan. Akibatnya, mereka pun hidup melarat, karena seluruh tanaman di kebun ayahnya dirusak dan dimakan babi hutan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu: 

takut ke laut, mati hanyut,
takut ke hutan, mati tak makan
 
siapa penakut, makan kentut
siapa pengecut, besarlah burut.

Jumat, 05 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kua Siga Wunga

Kua Siga Wunga adalah seorang pemuda tampan dan sakti mandraguna penjelmaan seekor burung rajawali merah. Suatu malam, ia masuk ke dalam mimpi seorang putri cantik bernama Bue Gae. Ajaibnya, hanya putri cantik yang memimpikannya itu menjadi hamil. Peristiwa itu kemudian menyebabkan sang putri harus diusir dari kampungnya karena dianggap telah melakukan perbuatan laa sala (melanggar hukum). Bagaimana nasib Bue Gae dan bayi dalam kandungannya selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Kua Siga Wunga berikut ini.


Alkisah, di Kampung Ngada Kepulauan Flores, ada seorang gadis cantik keturunan bangsawan bernama Bue Gae. Ia seorang putri yang cantik nan rupawan, sederhana, dan baik hati. Suatu malam, sang putri terjaga dari tidurnya dan sulit untuk memejamkan matanya kembali. Ia baru saja bermimpi bertemu dengan seorang pemuda perkasa dan tampan saat ia hendak mengambil air di pancuran bambu di dekat rumahnya. Pemuda yang murah senyum itu kemudian mengambilkannya air di pancuran bambu tersebut. Kemurahan hati pemuda itu benar-benar memikat hati sang putri.
“Siapa pemuda itu? Kenapa aku sulit melupakannya?” gumam Putri Bue Gae.
Hati sang putri sangat gelisah karena senyum menawan pemuda itu selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya.
“Ah, ini hanya mimpi. Aku harus melupakan pemuda itu,” sang putri kembali bergumam.
Dua bulan kemudian, Putri Bue Gae mengetahui dirinya sedang hamil. Ia sendiri heran karena dirinya selama ini tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun. Sang putri bermaksud merahasiakan hal itu kepada kedua orang tuanya, namun rahasia tersebut tak dapat ia simpan lama karena perutnya semakin hari semakin membesar sehingga menimbulkan kecurigaan bagi kedua orang tuanya.
“Hai, Putriku? Kenapa perutmu besar begitu?” tanya sang ayah curiga, “Wah, jangan-jangan kamu hamil.”
Putri Bue Gae dengan malu-malu mengaku bahwa dirinya memang sedang hamil. Mendengar jawaban itu, sang ayah pun menduga bahwa putrinya telah melanggar hukum adat.
“Putriku, siapakah ayah dari anak yang kamu kandung itu? Katakanlah!” desak sang ayah.
Putri Bue Gae hanya terdiam sambil menunduk. Setelah beberapa saat merenung, ia kemudian menjawab bahwa dirinya tidak pernah sama sekali berhubungan dengan seorang laki-laki.
“Tapi bagaimana mungkin kamu bisa hamil jika tidak pernah berhubungan dengan seorang laki-laki?” sanggah sang ayah
“Maafkan Putri, Ayah! Putri juga heran dengan kejadian ini. Putri hanya pernah bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah perkasa dua bulan yang lalu. Tapi, Putri tidak tahu siapa dia dan berasal dari mana,” ungkap sang putri sambil meneteskan air mata.
Melihat putri semata wayangnya menangis, sang ibu pun ikut meneteskan air mata dan segera memeluknya. Suasana haru pun menyelimuti hati keluarga itu.
“Putriku, Ayah dan Ibumu mungkin bisa mengerti dan percaya pada perkataanmu itu. Tapi bagaimana dengan penduduk di sini? Apakah mereka juga akan mengerti dan mempercayaimu?” kata sang ayah.
“Lalu, bagaimana caranya kita meyakinkan mereka?” sahut sang ibu.
“Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah putri kita harus menyatakan kebenaran yang ia yakini di hadapan seluruh warga. Namun, saya tidak yakin kalau cara ini dapat berhasil. Oleh karena itu, putri kita harus bersiap-siap untuk meninggalkan kampung ini,” ujar sang ayah.
Keesokan hari, sidang adat pun dilaksanakan di Balai Desa untuk mengadili Putri Bue Gae. Dalam persidangan itu, sang putri menyampaikan pembelaannya dengan bersumpah secara adat. 

Aku yang sejati
Seperti hitamnya jelaga para-para
Aku yang sejati
Ibarat keringnya serpihan bulu-bulu pegunungan
Aku yang berada di sini
Pada kandang kebenaran
Aku yang berada di sini
Pada rumah kebaikan
Aku bersumpah
Dari kedalaman hati yang bening
Tak siapa yang mendekatiku
Tak siapa yang memegangku
Aku yang sejati seperti hitamnya jelaga para-para
Aku yang sejati ibarat keringnya serpihan bulu pegunungan
Berawal dari petuah Leluhurku
Bermula dari teladan Leluhurku
Lantaran kehendak Dewata di langit tinggi
Yang melindungi
Segala makhluk berperasaan
Di atas alam raya

Meskipun Putri Bue Gae telah menyampaikan sumpahnya, namun sidang adat tetap memutuskan bahwa kebenaran masalah tersebut akan diserahkan pada hukum alam. Berdasarkan keputusan tersebut, maka sang putri pun harus diusir dari  kampung itu.
Pada esok harinya, Putri Bue Gae diarak sampai ke ujung kampung menuju arah matahari terbenam. Selanjutnya, putri cantik yang malang itu berjalan menyusuri hutan belantara bersama anjing kesayangannya yang bernama Dala Kuwe. Setelah sampai di tempat pengasingan di tengah hutan, sang putri tinggal bersama anjingnya di dalam sebuah gua yang cukup luas dan nyaman untuk didiami.
Beberapa bulan kemudian, Putri Bue Gae pun melahirkan seorang bayi laki-laki. Bersamaan dengan lahirnya bayi tersebut muncul seberkas cahaya yang disertai dengan bunyi suara seperti berikut.

Berbapakan Angkasa putra Matahari
Alan seperti api matahari
Yang bercahaya menggapai Dewata
Yang menerangi sesama manusia
Yang membuat siang segala yang bernama

Mendengar suara tersebut, Putri Bue Gae pun semakin yakin bahwa anak yang dilahirkan bukanlah anak haram dan anak manusia biasa, tetapi berbapak angkasa dan putra matahari. Anak itu seperti api matahari yang memancarkan cahaya dan kelak akan menerangi semua manusia. Sang putri pun merawat bayinya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi anak yang pemberani. Saat berusia tujuh tahun, anak itu sudah mahir berburu dan mengiris tuak.
Suatu hari, ketika hendak mengiris tuak, anak itu mendapati bambu penyimpanan tuaknya tidak berisi air tuak setetes pun.
“Hai, siapa yang mencuri air tuakku?” gumamnya, “Aku harus menangkap pencuri itu.”
Keesokan hari, anak itu bersama anjingnya pagi-pagi sekali bersembunyi di bawah pohon tuak  itu. Pada saat tengah hari, datanglah seekor burung rajawali merah hinggap di atas pohon itu. Tanpa diduga, burung rajawali itu tiba-tiba diselimuti awan putih, lalu berubah wujud menjadi seorang bayi, kemudian seorang remaja, lalu seorang pemuda dewasa, lantas seorang laki-laki setengah baya yang berwibawa, dan terakhir sebagai seorang kakek yang berjanggut putih. Ketika kakek itu mencelupkan janggutnya ke dalam bambu tuak yang berlubang, kilat bocah lelaki yang pemberani itu dengan secepat kilat menangkap janggut si kakek sehingga terjadilah tarik-menarik di antara mereka.
Walaupun sudah tua, kakek itu ternyata masih memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga tarik menarik tersebut berakhir dengan tercabutnya pohon tuak. Keduanya pun melayang-layang di angkasa. Setelah mereka mengitari matahari hingga tiga kali, sang kakek pun menyerah.
“Hai, bocah perkasa! Kakek mengakui keperkasaanmu. Akulah yang mencuri tuakmu,” aku kakek itu, “Hukumlah aku!”
“Tidak, Kek! Karena Kakek telah jujur, maka saya tidak akan menghukum Kakek. Saya lebih suka perdamaian,” kata anak itu.
“Wah, kamu memang anak yang berhati mulia dan bijaksana. Kakek bangga padamu,” puji kakek itu, “Berbahagialah Ibu yang telah melahirkan dan membesarkanmu.”
“O, ya, Kek! Kalau boleh saya tahu, Kakek siapa dan berasal dari mana?” tanya anak itu.
Kakek tersenyum lebar seraya berkata kepada bocah itu.
“Kalau kamu ingin tahu tentang diri Kakek, tunggulah dua hari lagi. Kakek akan datang menemui ibumu dan pada saat itu juga Kakek akan memberimu hadiah sejenis binatang yang akan muncul dari dalam lubang pohon tuak itu. Binatang itu harus kamu beri nama kaba (kerbau) karena ia muncul pada saat kita kabau (makan makanan persembahan),” ujar kakek itu.
Usai berkata demikian, kakek itu tiba-tiba kembali berubah menjadi burung rajawali merah lalu terbang ke arah matahari terbenam. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia sempat berpesan kepada anak itu.
“Wahai, cucuku. Segeralah kamu tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi matahari akan terbenam,” ujarnya.
Dua hari kemudian, anak itu bersama ibu dan anjing kesayangan mereka menunggu kedatangan sang kakek di loka tua (tempat tuak). Ketika hari beranjak siang, burung rajawali itu pun datang dari arah matahari dan segera hinggap di loka tua. Beberapa saat kemudian, awan putih menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga terjadilah proses penjelmaan. Ketika Putri Bue Gae menyaksikan proses penjelmaan burung rajawali merah itu menjadi seorang pemuda, jantung sang putri langsung berdetak kencang dan darahnya mengalir sangat cepat.
“Pe… pe… Pemuda itu. Pemuda itu yang pernah hadir dalam mimpiku,” ucap Putri Bue Gae dengan gugup.
Usai berkata demikian, sang putri tiba-tiba jatuh pingsan. Melihat hal tersebut, laki-laki penjelmaan rajawali merah yang sebatas sebagai pemuda gagah perkasa itu segera menghampiri dan menyentuh kening sang putri. Sungguh ajaib! Putri Bue Gae langsung siuman dan memeluk pemuda perkasa itu. Ia telah menyadari bahwa pemuda itu adalah ayah dari anaknya.
Keduanya kemudian menjelaskan hubungan mereka kepada anak mereka. Pertanyaan bocah itu tentang siapa ayahnya pun sudah terjawab. Ternyata, ayahnya berasal dari langit perkasa yang bernama Kua Siga Wunga. Untuk merayakan kebahagiaan tersebut, mereka membuat perjamuan sebagai tanda syukur dan perdamaian dengan memotong seekor kerbau.  
Setelah genap masa pembuangannya, Putri Bua Gae bersama suami dan anaknya kembali ke perkampungan. Namun, sebelum diterima sebagai warga kampung yang sah, mereka harus melalui sebuah ujian yakni menapaki laja sue (anak-anak tangga yang terbuat dari pedang yang sangat tajam). Jika mereka berhasil menapaki laja sue itu tanpa terluka sedikit pun, keluarga dan keturunan mereka berhak memperoleh status Gae Meze (bangsawan). Sebaliknya, jika terluka, mereka akan mendapat status Azi Ana (hamba sahaya).
Alhasil, Putri Bua Gae bersama suami dan anaknya berhasil menapaki laja sue tersebut satu per satu tanpa terluka sedikit pun sehingga mereka diterima kembali menjadi warga kampung yang sah dan seluruh keluarganya mendapat status Gae Meze.
* * *
Demikian cerita Kua Siga Wunga dari daerah Flores Tengah, Nusa Tenggara Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat jujur sebagaimana yang ditunjukkan oleh si kakek penjelmaan burung rajawali merah. Karena kejujurannya mengakui kekhilafannya mencuri tuak anak itu, ia terbebas dari hukuman.