Tampilkan postingan dengan label Maluku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maluku. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Batu Berdaun

Batu berdaun yang dimaksud dalam cerita ini adalah sebuah batu besar berbentuk daun yang terletak di atas sebuah bukit di Maluku. Menurut cerita, batu tersebut memiliki mulut yang bisa terbuka dan mengatup kembali serta dapat menelan siapa saja. Suatu ketika, batu berdaun itu menelan seorang nenek. Apa yang terjadi selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Batu Berdaun berikut ini.
Alkisah, di daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang masih kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih berumur 5 tahun. Kedua anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah meninggal dunia ketika mencari ikan di laut. Kini, kedua anak itu berada dalam asuhan sang nenek.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga sering berbaik hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama kedua cucunya.
Suatu hari, air laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya menjadi pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si nenek pun mengajak kedua cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.
“Cucuku, mari kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.
Alangkah senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat kegirangan.   
“Horeee... horeee... !” riang si bungsu.
Setiba di pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu (alat untuk menangkap kepiting) di sejumlah tempat. Selang beberapa lama kemudian, sebuah bubu yang dipasang nenek memperoleh seekor kepiting besar yang terperangkap di dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua cucunya untuk pulang terlebih dahulu.
“Cucuku, kalian pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita nanti,” ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”
“Baik, Nek,” jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi segera direbus. Setelah masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus. Mereka makan dengan lahap sekali. Sesuai perintah sang nenek, kedua anak itu menyisakan capit kepiting.
Usai makan, kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si bungsu yang baru sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.
“Aku lapar lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.
“Jangan, capit kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.
Meskipun sang kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena iba, sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu akhirnya berhenti merengek. Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit kepiting yang satunya. Si kakak pun memberikannya.
Tak berapa lama kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput itu tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke dapur ingin menyantap capit kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia saat melihat lemari makannya kosong.
“Cucuku., cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.
“Iya, Nek,” jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“Mana capit kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.
“Ma... maaf..., Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu. Aku sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit kepiting itu.”
Betapa kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena kedua cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia lalu mendekati sebuah batu besar yang bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu berdaun. Di hadapan batu itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.
“Wahai, batu. Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Kedua cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”
Batu berdaun itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk ketiga kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si nenek tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal di dalam perut batu itu dan tidak pernah keluar lagi.
Sementara itu, kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit itu, mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara batu berdaun itu.
“Nenek, jangan tinggalkan kami!” tangis si sulung.
“Maafkan aku, Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan sangat menyesal.
Si sulung kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.
“Wahai, batu berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.
Meskipun kedua anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan harinya, keduanya terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada saat itu, kebetulan ada seorang tetangga mereka yang melintas di tempat itu.
“Hai, kenapa kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.
Si sulung pun menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu tidak akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke rumahnya dan kemudian merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal atas perlakuannya terhadap nenek mereka. Namun, hal itu mereka jadikan sebagai pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur.
* * *
Demikian cerita Batu Berdaun dari Maluku. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang tidak mau menuruti nasehat orangtua seperti kedua cucu nenek itu pada akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Gara-gara tidak mau mendengar nasehat, mereka akhirnya ditinggal pergi oleh sang nenek. Pelajaran lainnya adalah bahwa sebuah kesalahan dapat menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk menata hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.

Selasa, 06 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Petualangan Empat Kapiten Dari Maluku

Empat Kapiten Maluku adalah empat bersaudara yang merupakan pemimpin Negeri Nusa Ina di Pulau Seram, Maluku. Keempat kapiten tersebut memiliki kegemaran berpetualang ke daerah-daerah pelosok untuk membuka daerah baru. Suatu hari, mereka berpetualang menyusuri Sungai Tala yang kaya akan sumber alamnya. Namun, petualangan mereka kali ini amat berat dan membutuhkan perjuangan keras karena Sungai Tala terkenal ganas. Airnya sangat deras dan terdapat banyak batu besar di sepanjang alirannya. Bagaimana perjuangan mereka? Simak kisahnya dalam cerita Petualangan Empat Kapiten dari Maluku berikut ini.


Dahulu, Negeri Nunusaku atau lebih dikenal Negeri Nusa Ina merupakan pusat kegiatan penduduk yang mendiami Pulau Seram, Maluku. Negeri itu dipimpin oleh empat kapiten yaitu Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury, Kapitan Nanlohy, dan Kapitan Talakua. Keempat kapiten tersebut mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing sehingga penduduk mereka tersebar di berbagai daerah di pulau tersebut. Meskipun demikian, mereka senantiasa saling membantu dan bekerjasama dalam berbagai hal. Mereka juga suka berpetualang hingga ke daerah pelosok secara bersama-sama.
Suatu hari, kempat kapiten tersebut bermaksud mengadakan petualangan yaitu menyusuri Sungai Tala. Segala keperluan seperti bekal makanan dan minuman segera mereka siapkan. Setelah itu, berangkatlah mereka ke daerah Watui yang terletak di tepi sungai. Di sana, mereka membuat gusepa (rakit) yang terbuat dari batang dan bilah-bilah bambu. Gusepa itulah yang akan mereka gunakan untuk mengarungi Sungai Tala menuju ke hilir.
Sebelum berangkat, keempat kapiten tersebut berbagi tugas. Kapitan Wattimena ditunjuk sebagai pemimpin, Kapitan Wattimury bertugas sebagai pengemudi, Kapitan Nanlohy ditunjuk sebagai penjaga harta milik mereka dan duduk di tengah gusepa, sedangkan Kapitan Talakua duduk bagian belakang sebelah kanan. Menurut adat, Kapitan Nanlohy adalah seorang Kepala Dati yang berhak menentukan pembagian harta milik pribadi maupun milik bersama. Itulah sebabnya, semua harta dan perbekalan diletakkan di dekatnya. Dalam petualangan kali ini, Kapitan Wattimena juga membawa burung nuri kesayangannya dan sebuah pinang putih yang disimpan dalam tempat sirih pinang.
Setelah persiapan selesai, gusepa pun siap meluncur. Perlahan-lahan, Kapitan Wattimury mengarahkan gusepa ke tengah sungai dengan menggunakan galah dari bambu panjang. Begitu tiba di tengah sungai, gusepa itu pun meluncur dengan cepat terbawa arus sungai yang sangat deras. Ketika keempat kapiten tersebut tiba di sebuah tempat bernama Batu Pamali, gusepa yang mereka tumpangi kandas dan hampir terbalik. Mereka pun panik. Kapitan Wattimena yang terkejut kemudian berteriak dan menyerukan kepada Kapitan Talakua yang berada di belakang.
Talakuang!” serunya. Kata tersebut artinya “tikam dan tahan gusepa!”  Konon, Kapitan Talakua yang mendapat perintah itu kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Maluku dengan memakai mata rumah atau marga Talakua di Negeri Portho. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Kapitan Wattimena segera membuka tempat sirih pinangnya. Namun, tempat sirih pinang itu tiba-tiba terjatuh dan burung nurinya pun terbang entah ke mana. Kejadian itu benar-benar membuat hati Kapitan Wattimena kecewa dan mengucapkan sumpah.
“Aku bersumpah, seluruh keturunan marga Wattimena dan para menantu tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang!” ucap Kapitan Wattimena.
Setelah itu, keempat kapiten tersebut melanjutkan perjalanan menuju daerah Tala. Setiba di sana, mereka kemudian membuat batu perjanjian yang dinamakan Manuhurui. Mereka berikrar bahwa jika suatu saat nanti mereka berpisah atau tercerai-berai, hubungan persaudaraan harus tetap berbina. Mereka harus tolong-menolong dalam segala hal dan selalu saling mengunjungi satu sama lain.
Keempat Kapiten tersebut tampaknya sudah mulai kelelahan sehingga mereka pun memutuskan untuk beristirahat beberapa hari. Suatu ketika, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury sedang istirahat di darat, sedangkan Kapitan Nanholy dan Kapitan Talakua berisitirahat di atas gusepa. Tanpa disadari, gusepa itu hanyut terbawa arus. Keduanya pun panik dan berteriak meminta tolong.
“Tolong… Tolong…!” seru Kapitan Nanlohy meneriaki kedua saudaranya yang sedang tidur di darat. Mendengar teriakan itu, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury terbangun. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat kedua saudara mereka hanyut terbawa arus. Mereka hendak menolong, namun kedua saudara mereka sudah jauh terbawa arus hingga ke tengah laut. Kapitan Nanholy berusaha berenang ke daratan dan terdampar ke sebuah tempat. Tempat itu kemudian diberi nama Nanuhulu yang berarti “berenang dan terdampar di hulu”. Sejak itu, Kapitan Nanholy menetap di daerah tersebut. Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut hingga melewati Tanjung Uneputty dan terdampar di Teluk Pulau Saparua. Di situ, ia membangun negeri yang diberi nama Portho.
Sementara itu di tempat lain, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury tetap mendiami daerah Manuhurui di Kampung Sanuhu. Keduanya pun hidup saling tolong-menolong dan menyayangi. Suatu ketika, mereka mendengar kabar bahwa kampung mereka akan diserang musuh yang datang dari kampung sebelah.
“Apa yang harus kita lakukan, Wattimena?” tanya Kapitan Wattimury bingung.
“Kita harus segera meninggalkan kampung ini dan mencari tempat persembunyian yang aman,” kata Kapitan Wattimena,
Kapitan Wattimury pun menyetujui keputusan itu. Akhirnya, kedua orang bersaudara itu bersembunyi di suatu tempat yang aman dari kejaran musuh. Namun sayang, tempat gersang dan tandus sehingga air sulit didapatkan. Kapitan Wattimury kembali dilanda kebingungan.
“Bagaimana kita bisa hidup di tempat ini? Air untuk diminum saja susah,” keluh Kapitan Wattimury.
Kapitan Wattimena tidak menjawab. Ia langsung mengambil sebuah tombak lalu ditancapkan ke tanah. Seketika, air pun menyembur keluar dengan sangat deras. Akhirnya, keduanya pun dapat minum air sampai kenyang. Tempat itu kemudian mereka beri nama Hule yang berarti kekenyangan. Mereka pun menetap di daerah itu, namun tidak beberapa lama. Mereka bersepakat untuk membuka daerah baru di tempat lain.
Kedua kapiten itu kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri daerah Seram Selatan hingga ke bagian timur daerah Boboth. Namun, hingga malam hari, mereka belum juga menemukan tempat yang cocok. Pada malam yang gelap gulita itu, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, Kapiten Wattimena mengentikan langkahnya.
“Hai, kenapa berhenti, Wattimena?” tanya Kapiten Wattimury heran.
“Kita beristirahat sejenak di sini,” ujar Kapitan Wattimena, “Sudah jauh kita berjalan tapi tidak ada tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menetap.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kapitan Wattimury bingung.
“Sebaiknya kita buat lobe (obor). Tempat di mana obor ini nanti padam, maka di situlah kita menetap,” ujar Kapitan Wattimena.
Setelah menyalakan obor, keduanya pun melanjutkan perjalanan. Ketika obor itu padam, keduanya pun berhenti dan menjadi tempat itu sebagai tempat tinggal mereka. Tempat itu kemudian mereka beri nama Japisuru atau Api Lobe dan kini nama tempat itu telah berganti menjadi Mahariki.
Selang beberapa waktu tinggal di daerah itu, Kapiten Wattimury bermaksud untuk pindah ke daerah lain.
“Saudaraku, perkenankanlah aku untuk mencari daerah lain untuk membangun negeri sendiri,” pinta Kapiten Wattimury.
“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, jangan lupa dengan ikrar yang pernah kita ucapkan dulu bahwa kita akan saling mengunjungi,” ujar Kapitan Wattimena.
“Tentu, Wattimena,” jawab Kapitan Wattimena.
Akhirnya, Kapitan Wattimury menuju ke sebuah tempat yang jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari dari Mahariki. Ia pun menamai tempat itu dengan nama Amahai. Kini, nama tempat itu telah berubah menjadi Ruta.
* * *
Demikian cerita Petualangan Empat Kapiten dari Maluku, Provinsi Maluku. Cerita di atas merupakan cerita legenda yang menceritakan beberapa nama tempat yang ada di daerah Maluku seperti Mahariki, Amahai, Hule, Luhu, Portho, dan sebagainya. Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hubungan tali persaudaraan haruslah senantiasa dijaga kapan dan di mana pun kita berada.

Kamis, 11 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Tanifal Di Pulau Buru

Tanifal dalam bahasa Maluku berarti sebidang daratan berpasir putih halus. Menurut cerita masyarakat setempat, Tanifal yang terletak di sekitar Pantai Tifu atau Pulau Buru tersebut merupakan penjelmaan sepasang burung garuda raksasa. Apa yang menyebabkan sepasang burung garuda raksasa tersebut menjelma menjadi Tanifal? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Tanifal di Palau Buru berikut ini.



Alkisah, di Pulau Buru, Maluku, tersebutlah sebuah negeri bernama Tifu. Tidak jauh dari negeri ini terdapat sebuah gunung bernama Gunung Garuda. Bila dipandang dari pantai Tifu, gunung itu tampak berwarna kemerah-merahan. Di lereng gunung itu terdapat dua buah liang batu yang letaknya agak berjauhan. Kedua liang batu tersebut masing-masing dihuni oleh seekor burung elang jantan dan seekor elang betina. Kedua burung elang tersebut merupakan burung elang terbesar di Pulau Buru. Jika burung elang raksasa ini sedang mengembangkan sayapnya di angkasa, hampir sebagian Negeri Tifu menjadi gelap akibat tertutupi bayangannya.
Burung elang rakasa tersebut termasuk burung paling ganas di antara burung pemangsa lainnya. Kukunya sangat runcing untuk menerkam dan mencengkram mangsa, serta memiliki keterampilan dan kecepatan yang tinggi dalam melumpuhkan mangsa. Burung elang rakasa itu juga memiliki bulu yang rapat dan tungkai yang bersisik tebal untuk melindungi tubuhnya dari sengatan binatang yang dimangsanya. Keistimewaan lain yang dimiliki burung ini adalah kepala dan matanya besar serta daya penglihatannya sangat tajam untuk memburu mangsa dari jarak jauh sehingga tak satu pun mangsa yang bisa lolos dari pengamatannya. Burung elang rakasa itu juga memiliki kecepatan untuk terbang melayang tinggi ke angkasa. Ia juga mempunyai sistem pernafasan yang baik dan mampu membekali dirinya dengan oksigen yang banyak sehingga dapat terbang sepanjang hari di angkasa.
Sepasang burung elang tersebut biasanya terbang mencari mangsa pada siang hari, sedangkan pada malam hari mereka beristirahat di sarangnya masing-masing Burung elang betina lebih giat mencari mangsa dibandingkan dengan burung elang jantan. Jenis binatang yang biasa menjadi sasarannya adalah hewan mamalia kecil seperti tikus, tupai, dan ayam. Terkadang pula ikan dan udang menjadi mangsanya. Jika mereka tidak mendapat mangsa binatang atau hewan, manusia pun bisa menjadi sasarannya. Meski demikian, mereka tidak mau memangsa manusia yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka selalu terbang jauh untuk mencari mangsa.
Kedua burung elang rakasa tersebut, terutama si elang betina, sering mengincar penumpang kapal yang melintas di perairan sekitar Pulau Buru. Jika melihat ada kapal yang melintas, elang betina dengan cepat terbang menuju ke kapal tersebut untuk menangkap para penumpangnya dan membawa mereka ke sarangnya. Sebagian mangsa tersebut langsung disantap dan sebagian yang lain disimpan selama beberapa hari sambil menunggu kedatangan kapal berikutnya. Manusia yang sering menjadi korbannya adalah pelaut-pelaut Cina yang melintas di daerah itu.
Berita tentang keganasan burung elang itu pun tersebar ke seluruh penjuru Negeri Cina. Sekelompok nelayan yang mendengar berita tersebut bermaksud untuk menumpas keganasan kedua burung elang raksasa tersebut. Mereka akan menghadapi kedua elang itu dengan besi runcing atau tombak besi sepanjang tiga meter. Saat berada di perairan Tifu, mereka akan memanaskan ujung besi runcing itu hingga merah membara sebelum menusukkannya ke tubuh burung elang tersebut.
Setelah semuanya siap, berangkatlah rombongan nelayan Cina itu ke perairan Tifu dengan menggunakan kapal. Setelah berhari-hari berlayar, akhirnya mereka pun tiba di perairan Buru Selatan. Nahkoda kapal segera memerintahkan seluruh awak kapal yang jumlahnya puluhan lebih untuk bersiaga.
“Pasukan, siapkan senjata kalian!” seru sang nahkoda kapal, “Sebentar lagi burung elang raksasa itu datang untuk menangkap kita.”
“Baik, Tuan,” jawab seluruh awak kapal serentak.
Para awak kapal segera mengambil senjata masing-masing lalu berkumpul di geladak kapal sambil memanaskan ujung tombak besi mereka. Tak berapa lama kemudian, ujung tombak besi itu berubah menjadi merah membara dan siap untuk digunakan. Bersamaan dengan itu, kedua burung elang rakasa itu pun datang untuk memangsa mereka. Namun, sebelum keduanya mencengkramkan cakar-cakarnya yang tajam ke tubuh mereka, para awak kapal segera menancapkan tombak besinya ke tubuh kedua burung elang tersebut. Tak ayal, sepasang burung elang raksasa itu langsung mengerang kesakitan.
“Koaaak… Koaaak… Koaaak…!!!”
Meskipun terluka parah dengan tombak besi menancap hampir di seluruh tubuhnya, kedua burung elang raksasa itu berusaha terbang ke sarangnya dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Namun belum sampai di sarangnya, mereka telah kehabisan darah hingga akhirnya jatuh dan tewas di pantai Tifa. Setelah memastikan keduanya telah mati, rombongan pelaut Cina tersebut segera meninggalkan itu dan kembali ke negerinya.
Sementara itu, bangkai kedua burung elang raksasa itu dibiarkan tergeletak di pantai Tifu. Lama-kelamaan bangkai itu kemudian berubah menjadi Tanifal, yaitu sebidang daratan berpasir putih dan halus. Tanifal itu dikelilingi oleh air laut dan hanya tampak ketika air laut sedang surut.
Menurut cerita masyarakat setempat, kedua bola dari salah satu dari burung elang itu terlepas dan kemudian berubah menjadi dua buah batu besar. Lama-kelamaan, kedua batu besar yang ditumbuhi rerumputan itu membentuk dua pulau kecil yang indah.
Hingga saat ini masyarakat setempat juga mempercayai bahwa di daerah tersebut masih terdapat burung goheba atau burung elang yang dianggap sebagai keturunan dari kedua burung elang raksasa itu. Bahkan, burung goheba itu menjadi salah satu tanda bagi para nelayan untuk mengetahui tempat berkumpulnya kawanan ikan di suatu tempat. Jika goheba itu beterbangan dan mondar-mandir mengelilingi Negeri Tifu atau Pulau Buru sambil berbunyi “Koaaak… Koaaak…” maka hal itu merupakan pertanda bahwa di tempat itu terdapat kawanan ikan yang sedang berkumpul.

Demikian cerita Legenda Tanifal di Pulau Buru dari daerah Provinsi Maluku. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita legenda di atas adalah bahwa dengan usaha dan kerja sama yang baik, maka segala rintangan dan gangguan dapat diatasi dengan mudah, sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok nelayan dari Negeri Cina. Berkat usaha dan kerja sama yang baik, mereka berhasil menumpas keganasan kedua burung elang raksasa tersebut sehingga para nelayan dapat lalu-lalang di perairan Tifu tanpa dihantui oleh perasaan takut.

Rabu, 10 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Bulu Pamali

Bulu Pamali adalah istilah masyarakat Maluku, khususnya yang tinggal di Dusun Waimahu, Desa Latulahat, untuk menyebut pohon bulu (bambu) yang tumbuh di lembah gunung di daerah tersebut. Oleh penduduk setempat, pohon bulu itu disebut Bulu Pamali lantaran sebuah peritiwa ajaib yang terjadi daerah itu. Peristiwa ajaib apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Bulu Pamali berikut ini.



Alkisah, di sebuah daerah di Maluku, ada seorang anak laki-laki yatim piatu bernama Yongker. Sebenarnya, anak sebatang kara itu berasal dari daerah Manipa. Namun, sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, ia kemudian pindah dan menetap di Benteng. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, setiap hari Yongker mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar atau ditukar dengan barang lain yang ia perlukan.
Suatu pagi yang cerah, Yongker mendayung perahunya menuju Pantai Latulahat untuk mencari kayu bakar di gunung yang ada di sekitar pantai itu. Gunung itu dihampari oleh hutan belantara. Tidak lupa ia membawa bekal makanan secukupnya karena daerah itu cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Setiba di Tanjung Latulahat, Dusun Waimahu, Yongker menambatkan perahunya di akar sebuah pohon yang tumbuh di pinggir pantai. Sambil membawa bekalnya, ia berjalan mendaki gunung itu. Setiba di puncak, Yongker mulai bekerja. Ia tidak hanya mengumpulkan ranting kayu kering, tetapi juga memotong dahan-dahan kayu yang masih melekat di pohon. Dahan kayu yang masih basah itu tetap dibiarkan di tempat itu hingga beberapa hari dan baru dibawa pulang setelah kering. Lama-kelamaan, pepohonan di hutan itu menjadi tidak rindang karena semua dahannya telah habis dipangkasnya.
Saat hari menjelang siang, Yongker beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah sambil menyantap bekal makanan yang dibawanya. Setelah matahari terbenam, ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Yongker segera membereskan kayu-kayu bakar yang telah dikumpulkannya untuk bergegas pulang. Namun, baru saja ia menuruni lembah gunung itu, waktu sudah keburu malam.
“Ah, sebaiknya aku menginap di sini saja,” gumam Yongker seraya mencari tempat yang aman untuk beristirahat.
Untung malam itu bulan purnama sedang memancarkan cahayanya yang terang sehingga Yongker dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan cukup jelas. Tak berapa lama kemudian, ia menemukan sebuah tanah lapang yang bersih. Tanah lapang itu ditumbuhi oleh rerumputan yang hijau. Dengan perasaan senang, Yongker pun segera merebahkan tubuhnya di atas rerumputan itu. Tubuhnya terasa amat lelah dan mengantuk, namun hingga larut malam, ia sulit memejamkan mata karena banyak nyamuk yang mengganggunya.
Ketika Yongker sedang sibuk mengusir binatang-binatang pengisap darah yang hinggap di kakinya itu, seekor ular raksasa datang menelannya, dan memuntahkannya kembali sesaat kemudian. Tak ayal, ia pun terpelanting ke tanah hingga tak sadarkan diri. Begitu sadar, tiba-tiba ia mendengar suara bergemuruh seolah-olah bumi terbelah. Yongker menjadi ketakutan dan bulu romanya merinding. Pada saat yang bersamaan, seorang laki-laki tua yang bertubuh tinggi dan besar telah berdiri di depannya.
“Hai, anak muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?” tanya lelaki tua itu.
“Sa... saya Yongker dari Manipa, tapi tinggal di Benteng,” jawab Yongker dengan gugup.
“Mengapa kamu masuk ke tempatku dan merusak hutan yang ada di daerahku?” lelaki tua itu kembali bertanya.
Yongker semakin ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar seraya bersujud memohon ampun kepada lelaki tua itu.
“Ampunilah saya, Kek! Saya ini anak sebatang kara. Saya tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Untuk bisa tertahan hidup, saya hanya mencari kayu bakar untuk saya jual ke pasar,” ungkap Yongker mengiba.
Lelaki tua itu pun terketuk hatinya setelah mendengar pengakuan Yongker.
“Wahai, anak muda. Apapun yang kamu minta dariku, pasti kukabulkan,” ujar lelaki tua itu.
“Maaf, Kek. Saya tidak akan meminta apa-apa kepada Kakek. Tapi, apapun yang Kakek berikan akan saya terima dengan senang hati,” jawab Yongker.
“Baiklah, kalau begitu. Sekarang pejamkanlah matamu!” seru sang kakek seraya mengambil sepotong bulu yang secara tiba-tiba tumbuh tidak jauh di belakang Yongker.
Dengan kesaktiannya, kakek itu menusukkan bulu itu di kepala Yongker hingga tembus ke kaki dan segera mencabutnya kembali. Ajaibnya, anak yatim piatu itu tidak merasakan sakit sedikit pun di tubuhnya. Setelah bulu itu tercabut dari tubuhnya, kakek itu menyuruhnya untuk kembali membuka mata. 

“Bukalah matamu pelan-pelan, Cucuku!” ujar si kakek.
Begitu matanya terbuka, Yongker merasa tubuhnya mendapat tambahan tenaga yang luar biasa.
“Apa yang terjadi dengan tubuhku, Kek? Kenapa tubuhku terasa jadi ringan dan penuh tenaga?” tanya anak yatim piatu itu dengan heran.
Kakek itu hanya tersenyum, lalu menceritakan apa yang baru saja dilakukannya terhadap tubuh Yongker.
“Ketahuilah, Cucuku! Aku telah memberimu ilmu kekebalan tubuh. Ilmu itu tidak hanya membuat tubuhmu kebal terhadap segala macam senjata tajam, benda tumpul, atau pun tangan kosong, tetapi juga memiliki kekuatan yang mahadahsyat untuk membela diri,” ujar kakek itu.
Kakek itu lantas berpesan kepada Yongker agar tetap menggunakan ilmu itu untuk kebaikan.
“Gunakanlah ilmu itu untuk menjaga diri dari binatang buas dan orang-orang jahat! Tapi, ingatlah, jangan sekali-kali kau menggunakannya untuk kejahatan!”
“Baik Kek, terima kasih,” ucap Yongker, “Saya berjanji akan selalu memegang teguh pesan Kakek.”
Setelah berkata demikian, Yongker menoleh ke pohon bulu di belakangnya. Ia melihat bulu itu masih terlihat berdiri dengan tegak. Pada saat itu pula,  ia melihat tujuh helai daun bulu itu terlepas dari tangkainya. Ketujuh helai daun bulu itu kemudian berterbangan ditiup angin hingga jatuh ke tengah-tengah laut. Alangkah terkejutnya Yongker ketika tiba-tiba melihat ada tujuh pulau kecil yang muncul di tempat daun itu terjatuh. Kini, pulau-pulau tersebut disebut dengan Pulau Tujuh.
Setelah menyaksikan peristiwa ajaib itu, Yongker kembali menoleh ke pohon bulu itu. Anak itu pun terheran-heran karena pohon bulu itu sudah tidak ada di tempatnya. Belum hilang keheranannya, kakek yang telah menolongnya juga pun hilang bersamaan dengan menghilangnya pohon bulu tersebut.
Pada esok hari, cepat-cepat Yongker kembali ke perkampungan dan menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Sejak itulah, anak yatim piatu itu terkenal dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya. Sesuai pesan kakek, Yongker senantiasa menggunakan ilmunya untuk menjaga diri dan menolong orang lain dari gangguan orang-orang jahat. Oleh penduduk Dusun Waimahu, Latulahat, tempat Yongker beristirahat yang hingga kini masih terlihat bersih itu dianggap sebagai tempat keramat. Sementara itu, pohon bulu yang dilihat Yongker disebut dengan nama Bulu Pamali karena tumbuh dan hilang secara misterius. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pohon bulu itu sewaktu-waktu muncul, namun hanya orang-orang yang mempunyai petuanan di daerah tersebut yang bisa melihatnya.
* * *
Demikian cerita Bulu Pamali dari daerah Provinsi Maluku. Nilai budaya yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa penduduk Dusun Waimahu senantiasa menjaga dan melestarikan hutan dan lingkungan sekitar agar tetap asri dan bersih. Pandangan ini muncul setelah melihat tempat Yongker bersitirahat yang selalu terlihat bersih. Selain itu, mereka juga senantiasa melestarikan pohon bulu karena dapat memberikan manfaat yang banyak bagi mereka, seperti dapat dijadikan sebagai alat penangkap ikan dan alat musik tradisional, bambu yang masih muda dapat dijadikan tali alami, dan tunas bambu (rebung) dapat dibuat sayur. 

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya kita tidak memasuki wilayah orang lain tanpa izin pemiliknya, apalagi merusaknya sebagaimana yang dilakukan oleh Yongker. Untung kakek si pemilik wilayah hutan itu baik hati sehingga Yongker bebas dari hukuman. Bahkan, kakek itu memberinya ilmu kekebalan karena iba terhadap Yongker yang sebatang kara.

Selasa, 09 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Nenek Luhu

Nenek Luhu adalah seorang tokoh yang dikisahkan hilang secara misterius dalam legenda masyarakat Ambon, Maluku, Indonesia. Namun, tokoh ini sering muncul ketika hujan turun dengan lebat dan disertai cuaca panas. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika terjadi keadaan demikian mereka tidak berani keluar rumah karena Nenek Luhu akan mengambil siapa saja yang ditemuinya, terutama anak-anak. Siapa sebenarnya Nenek Luhu itu? Berikut kisahnya.


Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang bernama Luhu. Negeri itu terletak di Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah negeri yang kaya dengan hasil cengkeh. Negeri yang jumlah warganya tidak terlalu banyak itu diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban atau yang lebih dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri bernama Puar Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita. Ta Ina Luhu berarti anak perempuan dari Luhu atau Putri Negeri Luhu atau Putri Luhu. Ia adalah anak sulung sang raja yang memiliki perangai baik, penurut, berbudi pekerti luhur, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada seluruh keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu mempunyai dua orang putra, yaitu Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.
Suatu ketika, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram terdengar oleh penjajah Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mereka pun berniat untuk menguasai pulau itu. Dengan persenjataan lengkap, mereka menyerang Negeri Luhu. Raja Luhu dan pasukannya pun berusaha melakukan perlawanan sehingga pertempuran sengit pun terjadi. Perang itu dikenal dengan nama Perang Pongi, dan ada juga yang menyebutnya Perang Huamual. Dalam pertempuran itu, penjajah Belanda berhasil menguasai Negeri Luhu. Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh rakyatnya tewas. Satu-satunya orang yang selamat ketika itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu. Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon untuk dijadikan istri panglima perang Belanda.
Setibanya di Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu menolak untuk dijadikan istri oleh panglima perang Belanda. Akibatnya, ia pun diperkosa oleh sang panglima. Putri cantik yang malang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, karena tidak ingin terus-terusan diperlakukan tidak senonoh oleh panglima itu, sang putrid selalu berpikir keras untuk mencari cara agar dapat keluar dari Kota Ambon.
Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil mengelabui tentara Belanda sehingga ia dapat melarikan diri dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke sebuah negeri yang bernama Soya. Di negeri itu, ia disambut baik oleh Raja Soya. Bahkan, ia kemudian dianggap sebagai keluarga istana Soya. Ia diberi kamar tidur yang bagus dan indah. Atas sambutan tersebut, Ta Ina Luhu sangat terharu karena teringat ketika dulu dirinya menjadi putri raja. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya. Wajah kedua orangtua dan adik-adiknya kembali terbayang di hadapannya. Ia sangat merindukan mereka.
“Ayah, Ibu! Adikku, Sabadin dan Kasim! Beta sangat merindukan kalian. Beta hanya bisa berdoa semoga kalian hidup tenang di alam sana!”  
Setelah beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui hamil. Keadaan demikian membuatnya semakin merasa berat tinggal di istana karena tentu akan semakin merepotkan keluarga Raja Soya. Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan istana tersebut.
“O, Tuhan! Beta tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini. Tapi, kehadiran Beta di tempat ini hanya akan merepotkan keluarga Raja Soya. Beta harus pergi dari istana ini. Berilah Beta petunjuk-Mu, Tuhan!” pinta Ta Ina Luhu.
Pada suatu malam, saat suasana di dalam istana sudah sepi, Ta Ina Luhu mengendap-endap berjalan menuju ke pintu belakang istana sambil mengawasi keadaan sekelilingnya. Rupanya, ia benar-benar ingin pergi dari istana secara diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan kepergiannya kepada keluarga Raja Soya karena sudah tentu mereka tidak akan mengizinkannya. Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat ada seekor kuda sedang ditambatkan di bawah sebuah pohon. Kuda itu adalah milik Raja Soya yang biasa dipakai ketika akan menghadap Gubernur Ambon. Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik di atas punggung kuda itu. Sebelum meninggalkan negeri itu, sang putri berbisik dalam hati.
“Maafkan Beta, Baginda! Maafkan Beta, wahai seluruh keluarga istana! Kalian sungguh baik hati kepada Beta. Tapi, Beta terpaksa harus pergi karena tidak ingin merepotkan kalian. Relakanlah Beta pergi dan kalian jangan mencari Beta lagi!”
Setelah itu, Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu segera pergi sebelum ada warga istana yang melihatnya. Ia menyusuri hutan belantara yang sepi dan mencekam. Meskipun suasana malam terasa sangat dingin, Putri Raja Luhu itu terus memacu kuda yang ditungganginya menuju ke puncak gunung. Setibanya di sana, sang putri pun berhenti. Ia sangat takjub melihat pemandangan Teluk Ambon yang sungguh mempesona. Pemandangan itu sejenak mengobati luka-lara sang putri.
“Oh, Negeriku! Keindahanmu sungguh mempesona,” ucap Ta Ina Luhu dengan kagum.
Usai berucap demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh dari kudanya hingga tak sadarkan diri. Rupanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa lelah yang begitu berat setelah menempuh perjalanan jauh. Tak berapa lama kemudian, ia kembali sadar. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, perlahan-lahan sang putri berusaha bangkit dan berdiri di samping kudanya. Dalam keadaan setengah sadar, ia menarik kudanya menuju ke sebuah pohon jambu yang rindang dan berbuah lebat. 

Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon jambu itu, sang putri segera membaringkan tubuhnya. Dalam sekejap, ia pun langsung tertidur pulas dan baru terbangun pada keesokan harinya saat matahari mulai beranjak tinggi. Begitu ia terbangun, perutnya terasa kosong. Dengan kondisi tubuh yang masih lemas, ia berusaha meraih buah jambu yang sudah matang. Setelah memakan beberapa buah jambu tersebut, tenaganya pun berangsur-angsur pulih.
Sementara itu, di istana Soya, sang raja menjadi panik ketika mengetahui Ta Ina Luhu tidak ada di kamarnya. Seluruh keluarga istana telah mencarinya ke seluruh ruangan istana namun belum juga menemukannya. Para pengawal istana yang mencarinya di jalan-jalan Kota Soya juga tidak menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan, tiba-tiba seorang pengawal datang menghadap kepada Raja Soya.
“Ampun, Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu,” lapor pengawal itu.
“Hai, apakah kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia sekarang?” tanya Raja Soya dengan penasaran.
“Ampun, Baginda Raja! Hamba hanya ingin melaporkan bahwa kuda milik Baginda yang ditambatkan di belakang istana juga hilang. Jadi, hamba berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi dengan menunggang kuda milik Baginda,” jelas pengawal itu.
Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan keadaan Putri Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera membunyikan tifa (gendang kecil) sebanyak empat kali untuk memanggil marinyo (seorang petugas tifa), dan kemudian kembali memukulnya sebanyak enam kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat raja). Tak berapa lama kemudian, kedua pejabat istana tersebut datang menghadap kepadanya.
“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami?” tanya kedua pejabat itu serentak.
“Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga empat puluh tahun. Setelah itu, perintahkan mereka untuk pergi mencari dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu dalam keadaan selamat!” titah Raja Soya.
“Titah Baginda kami laksanakan,” jawab keduanya seraya memberi hormat.
Setelah orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok. Kemudian, mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi oleh sang putri.
Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang tersebut pastilah para pengawal Raja Soya yang datang mencarinya. Oleh karena itu, ia segera meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama setelah kepergiannya, sebagian rombongan pengawal Raja Soya yang tiba di tempat itu tidak menemukan sang putri kecuali kulit jambu bekas sisi-sisa makanan sang putri. Konon, rombongan itu kemudian menamakan tempat itu “Gunung Nona”.
Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung menuju pantai Amahusu. Karena begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan angin. Menurut cerita, ketika sang putrid hendak berhenti mengambilnya, topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu kemudian diberi nama “Batu Capeu”.
Ta Ina Luhu terus menelusuri pantai Amahusu hingga akhirnya sampai ke Ambon. Tumbuh sang putri tampak begitu lemah karena lapar dan haus. Demikian pula dengan kuda tunggangannya. Setelah beberapa jauh berjalan mencari air minum, akhirnya ia menemukan sebuah mata air. Ta Ina dan Luhu segera meminum air dari mata air tersebut dengan sepuasnya. Konon, mata air itu dinamakan “Air Putri”.
Setelah sejenak beristirahat di tempat itu, Ta Ina Luhu berniat untuk kembali ke puncak Gunung Nona dengan melalui jalan yang berbeda agar tidak bertemu dengan para pengawal Raja Soya. Namun, ketika hendak beranjak dari tempat itu, ia kembali mendengar suara orang-orang memanggilnya.
“Putri…, Putri…, Putri Ta Ina Luhu…! Kembalilah… Baginda Raja Soya sedang menunggumu!”
Ta Ina Luhu pun segera naik ke atas kudanya hendak melarikan diri. Namun, begitu ia akan memacu kudanya, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang menghadangnya. Dalam keadaan terdesak, Ta Ina Luhu segera turun dari kudanya seraya berlutut memohon kepada Tuhan agar rombongan itu tidak membawanya pulang ke istana Soya.
“Oh, Tuhan! Tolonglah Beta ini! Beta tidak mau kembali ke istana Soya. Beta tidak mau merepotkan orang lain. Biarkanlah Beta hidup sendirian!” pinta Ta Ina Luhu.
Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara gaib. Rombongan pengawal tersebut tersentak kaget. Mereka hanya terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu.
Sejak peristiwa itu, penduduk Ambon sering diganggu oleh sesosok makhluk halus. Jika hujan turun bersamaan dengan cuaca panas, seringkali ada warga—terutama anak-anak—yang hilang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makhluk halus yang suka mengambil anak-anak tersebut adalah penjelmaan dari Ta Ina Luhu. Sejak itu pula, Ta Ina Luhu dipanggil dengan sebutan Nenek Luhu. Hanya saja, hingga saat ini tak seorang pun yang tahu mengapa Nenek Luhu suka mengganggu penduduk Ambon, terutama anak-anak.
* * *
Demikian cerita legenda Nenek Luhu dari daerah Ambon, Maluku. Legenda di atas mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu nilai pantang menyerah dan nilai kemandirian. Kedua nilai tersebut terlihat pada sikap dan prilaku Ta Ina Luhu. Nilai pantang menyerah terlihat ketika ia tidak pernah berputus asa dalam berusaha mencari cara untuk bisa lolos dari sergapan penjajah belanda karena tidak tahan lagi terus diperlakukan tidak senonoh. Sementara itu, nilai kemandirian Ta Ina Luhu terlihat pada sikapnya yang tidak ingin merepotkan orang lain. Itulah sebabnya, ia pergi dari istana Soya tanpa memberi tahu Raja Soya. 

Selain itu, cerita di atas juga mengandung nilai kesehatan. Terlepas dari benar atau salah, keyakinan tentang Nenek Luhu yang sering muncul pada saat hujan bersamaan dengan cuaca panas merupakan mitos yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak keluar rumah karena keadaan cuaca demikian dapat mendatangkan penyakit seperti pilek, batuk, dan demam.

Minggu, 07 Juli 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Buaya Tembaga

Pulau Ambon adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat lautan yang mem­biru dipenuhi ikan yang ber­aneka ragam. Ada pula ikan yang dapat terbang mencecah laut. Taman lautnya yang pe­nuh dengan berbagai jenis hewan laut, membuatnya semakin indah di­pandang mata.



Dikisahkan pada zaman dahulu, kota Ambon yang terletak pada jazirah Lei Ti­mur dan jazirah Lei Hitu itu dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Gen­ting Baguala. Di tempat ini hidup seekor buaya yang sangat besar. Panjang badannya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya ku­ning. Oleh sebab itu, penduduk di sana mem­berinya nama Bu­aya Tembaga. Keadaan alam di Baguala yang begitu indah dan nya­­man, membuat Buaya Tembaga itu me­­­rasa betah tinggal di sana. Apalagi pen­duduknya sangat memu­ja buaya tersebut.
Tak jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru, hiduplah se­ekor ular besar yang bertengger di atas se­batang pohon Mintaggor. Pohon itu tum­­buh di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut. Ular tersebut selalu meng­gang­gu ketenteraman hidup semua penghuni tempat itu. Hampir semua ikan ditelannya, buaya-buaya pun turut di­mang­sa­nya juga. Oleh karena itu, ikan-ikan, bu­­­a­ya, dan binatang lain ber­kumpul untuk mengadakan musya­­wa­rah dengan tujuan untuk meng­­atasi serta membasmi ular rak­sasa itu. Akhir­nya, mereka sepakat bahwa yang da­pat menandingi ular ter­sebut adalah Bu­aya Tembaga.
Setelah selesai bermusyawarah me­reka mengirim utusan untuk menemui Bu­aya Tembaga. Tujuannya yaitu meminta ban­­­tuan agar dapat menghancurkan ular pe­mang­sa itu. Mereka kemudian men­­­jem­put Buaya Tembaga dari Teluk Baguala, se­­men­ta­ra ikan-ikan dan buaya yang lain sibuk mempersiapkan upacara pe­­nyam­butan bagi Buaya Tembaga.
Setibanya mereka di Teluk Baguala, Buaya Tem­baga mengabulkan permohon­an me­­re­ka­ dan bersedia untuk berangkat ber­sama dengan para utusan itu menu­ju pantai selatan Pulau Buru. Setibanya di Pulau Buru, Bua­ya Tem­ba­ga disambut de­ngan hangat da­­lam su­atu upacara yang meriah. Upacara pun dihadiri oleh para peng­huni laut seperti keong laut, berjenis ikan, para bu­aya, aneka ma­cam burung laut. Mereka beramah-tamah dan bersuka-ria dengan Buaya Tembaga sela­ma dua hari.
Pada hari yang ketiga, berangkatlah Buaya Tembaga melaksanakan tugasnya. Ia mulai berjalan, berenang ke sana-kemari mengintai musuhnya dan mendekati po­hon mintanggor tempat ular raksasa itu berada. Ketika buaya melewati pohon itu, ia berpapasan dengan sang ular. Seketika itu ular langsung melilitkan ekornya pada batang pohon mintanggor dan menjulurkan badannya ke laut seraya memagut Buaya Tembaga.
Pagutan ular itu segera ditangkis Bu­a­ya Tembaga dengan mengibaskan ekor­­­­nya yang keras dan tajam. Perang tan­ding pun terjadi antara keduanya dan peris­tiwa ini di­saksikan oleh semua penghuni laut yang berada di sekitar tem­pat itu. Pertarungan tersebut terjadi selama lebih dari sehari.
Ketika pertarungan itu sudah ber­lang­sung selama dua hari, terjadilah saat-saat yang menentukan. Sang ular, seperti biasa, melilitkan ekornya kuat-kuat pada batang pohon min­tang­gor dan memagut mata sang buaya. Buaya pun dengan sigap segera mengelak dari serangan ular dan membalas dengan pu­kulan yang keras dan cepat. Lalu ia ­­­hempas­­kan ekor tajamnya ke arah ke­pa­la ular raksasa itu. Hal ini terjadi ber­ulang kali. Akibatnya, sang ular pun babak belur ter­kena sambaran ekor Buaya Tem­baga. Kepala­nya remuk, lilitan ekornya ter­­lepas dari batang pohon mintanggor dan ter­hempas ke laut. Maka berakhirlah su­dah riwayat ular raksasa tersebut.

Para penghuni laut yang menyak­­­si­­kan­­nya serentak bersorak-sorai. De­ngan demikian, mereka telah bebas dari ancam­an sang ular yang selama ini meng­­hantui mereka. Setelah kejadian itu, Buaya Tem­baga dianugerahi gelar “Yang Di­pertuan di daerah Teluk Baguala”. Hadiah itu di­­­per­sembahkan pada sebuat tagala dan diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang, make, papere, dan salma­ne­­ti. Se­lanjutnya, Buaya Tembaga pun kembali ke tempat asalnya de­ngan membawa hadiah tersebut. Sejak saat itu, ikan-ikan tersebut ber­kem­bang-biak dengan baik di Teluk Baguala. Hingga kini, ikan je­nis itu sangat banyak terdapat di teluk ter­se­but. Bahkan banyak penduduk yang per­caya, terutama yang tinggal di sekitar Te­luk Baguala bahwa bila Buaya Tembaga itu mun­cul pertanda akan datang banyak ikan. Sehingga masyarakat bersiap-siap untuk menangkap ikan dan menjualnya. Kemunculan Bua­ya Tembaga membawa keberuntungan bagi penduduk Baguala.