Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Barat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

I Tui-Tuing

I Tui-Tuing adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. I Tui-Tuing dalam bahasa Mandar terdiri dari dua kata, yaitu i yang berarti si (dia lelaki ataupun perempuan), dan tui-tuing yang berarti ikan terbang. Jadi, I Tui-Tuing berarti si laki-laki ikan terbang atau manusia ikan. Menurut cerita, I Tui-Tuing pernah melamar keenam putri seorang juragan. Dari keenam putri juragan tersebut, hanya putri ketiga bernama Siti Rukiah yang bersedia menerima lamarannya. Mengapa lima orang putri juragan lainnya tidak sudi menerima lamaran I Tui-Tuing? Lalu, mengapa pula Siti Rukiah bersedia menikah dengan I Tui-Tuing? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita I Tui-Tuing berikut ini. 



Alkisah, di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, ada sepasang suami-istri miskin yang senantiasa hidup rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan mereka belum terasa lengkap, karena belum memiliki anak. Untuk itu, hampir setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikarunai seorang anak.
“Ya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karuniakanlah kepada kami seorang anak laki-laki, walaupun bentuknya menyerupai tui-tuing!” doa sepasang suami-istri itu.
Sebulan kemudian, sang Istri ternyata hamil. Alangkah bahagianya sang Suami saat mengetahui hal itu. Tidak lama lagi mereka akan memiliki seorang anak yang akan menjadi penghibur di saat-saat mereka sedang kesepian. Sejak mendengar kabar gembira itu, sang Suami pun semakin rajin melakukan pekerjaan sehari-harinya, yakni motangnga di sekitar Teluk Mandar untuk dijual. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli segala keperluan bayinya. Setiap malam ia selalu berdoa kepada Tuhan agar kelak istrinya melahirkan dengan selamat. Demikian pula sang Istri, ia senantiasa menjaga dan merawat bayi di dalam kandungannya agar tetap dalam keadaan sehat.
Tidak terasa, usia kandungan sang Istri sudah menginjak tujuh bulan lebih. Seperti halnya masyarakat Mandar lainnya, mereka pun mengadakan acara tujuh bulanan yang disebut dengan niuri secara sederhana. Mereka pun menyiapkan beberapa jenis kue yang bentuknya bulat, seperti onde-onde, gogos, dan semacamnya, dengan harapan kelak sang Istri melahirkan anak laki-laki. Berbeda halnya jika mereka mengharapkan anak perempuan, mereka harus menyiapkan kue-kue yang berbentuk gepeng, seperti pupu, lapisi, katiri mandi, dan semacamnya.
Setelah acara nipande mangidang (makan kue bersama), mereka kemudian melantunkan lagu-lagu Mandar yang berisi doa, seperti berikut:

Alai sipa`uwaimmu
Pidei sipa` apimmu
Tallammo`o liwang
Muammung pura beremu


Artinya :

Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau
Membawa takdirmu


Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene`mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu.


Artinya :

Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir
Murahlah rezekimu dan dingin seperti air

Ketika memasuki awal bulan kesepuluh, sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki sebagaimana yang mereka harapkan. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bayi mungil yang baru saja lahir menyerupai tui-tuing. Seluruh wajah dan tubuhnya diselimuti oleh sisik ikan terbang. Oleh karenanya, ia diberi nama I Tui-Tuing, yang berarti si Ikan Terbang.
Pada mulanya, kedua orangtua sang Bayi tidak percaya dan enggan menerima kenyataan itu. Dalam hati mereka berkata “tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor ikan”. Namun, setelah menyadari bahwa keberadaan bayi yang bersisik ikan itu adalah pemintaan mereka sendiri, akhirnya mereka pun menerima kenyataan tersebut. Mereka menjaga dan merawat I Tui-Tuing dengan penuh kasih sayang.
Waktu terus berjalan. Beberapa tahun kemudian, I Tui-Tuing pun tumbuh dewasa. Ia sering ikut bersama ayahnya motangnga di sekitar Teluk Mandar. Ia juga rajin membantu ibunya memasak di dapur sepulangnya dari motangnga. Tidak heran jika kedua orang tuanya semakin sayang kepadanya. Apa pun permintaannya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya.
Pada suatu hari, I Tui-Tuing memohon kepada kedua orangtuanya, agar mencarikannya seorang pendamping hidup. Baginya, tidak perlu cantik, asalkan gadis itu bersedia menikah dan hidup bersamanya. Permintaan I Tui-Tuing itu sangatlah berat bagi kedua orangtuanya. Mereka merasa tidak mungkin ada orang yang sudi menerima lamarannya, karena kondisi anaknya yang cacat. Tapi, karena saking sayangnya kepada I Tui-Tuing, mereka pun mencoba untuk melamar beberapa gadis yang ada di kampung itu. Setelah menaiki beberapa rumah (rumah panggung), bukannya penghargaan ataupun penyambutan yang mereka terima, melainkan penghinaan. Di antara para gadis tersebut ada yang menghinanya dengan mengatakan:
“Siapa yang sudi menikah dengan anak kalian yang menyerupai ikan tui-tuing itu!”
Dengan perasaan sedih, kedua orangtua itu pulang ke rumahnya. Mereka pun menyampaikan berita buruk itu kepada I Tui-Tuing.
“Apakah Ayah dan Ibu sudah melamar semua gadis di kampung ini?” tanya I Tui-Tuing ingin tahu.
“Belum, Anakku! Masih ada satu rumah yang belum kami datangi, yaitu rumah si Juragan Kaya di kampung ini,” jawab ayahnya.
“Kenapa Ayah? Bukankah dia mempunyai enam orang gadis?” tanya I Tui-Tuing.
“Benar Anakku! Tapi, tidak mungkin kami berani melamar ke sana. Mereka adalah orang kaya raya, sementara kita orang miskin,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Sebaiknya Ayah dan Ibu mencoba dulu melamar anak juragan itu. Nanda yakin, pasti salah satu dari mereka ada yang sudi menikah denganku,” desak I Tui-Tuing.
Oleh karena didesak terus, akhirnya kedua orangtua I Tui-Tuing bersedia untuk pergi melamar salah seorang anak juragan kaya itu.
Sementara itu, di rumah sang Juragan, keenam putri juragan tampak rukun dan bahagia, kecuali satu orang yang bernama Siti Rukiah. Siti Rukiah adalah anak ketiga dan dialah yang paling cantik di antara saudari-saudarinya. Rupanya, hal itulah yang membuat saudari-saudarinya iri hati kepadanya. Oleh karenanya, kelima saudarinya tersebut membiarkan Siti Rukiah tinggal sendirian di kamar paling belakang dekat dapur. Bahkan, mereka membedakinya dengan arang, agar wajahnya yang cantik itu tidak terlihat oleh para pemuda yang datang ke rumah mereka.
Pada suatu hari, kedua orantua I Tui-Tuing memberanikan diri datang ke rumah sang Juragan untuk melamar salah seorang putrinya. Sesampainya di rumah itu, mereka pun disambut baik oleh sang Juragan.
“Maaf jika kedatangan kami mengganggu ketenangan keluarga Juragan!” kata Ayah Tui-Tuing.
“Tidak apa-apa, Pak! Kalau boleh tahu, ada apakah gerangan maksud kedatangan kalian kemari?” tanya sang Juragan.
“Maaf Juragan, jika kami terlalu lancang terhadap keluarga Juragan. Kami bermaksud untuk menyampaikan pinangan anak kami I Tui-Tuing kepada salah seorang putri Juragan,” ungkap Ayah Tui-Tuing.
“Oh begitu...! Baiklah, aku akan menanyakan hal ini kepada putri-putriku, siapa di antara mereka yang bersedia menikah dengan I Tui-Tuing,” jawab sang Juragan seraya mengumpulkan semua putrinya, kecuali Siti Rukiah yang tetap dikurung dalam kamar.
Setelah sang Juragan menanyai satu-satu persatu kelima putrinya, tak seorang pun di antara mereka yang suka kepada I Tui-Tuing. Malah justru mereka menghina kedua orangtua Tui-Tuing.
“Hei, orangtua! Kalian harus berkaca dulu. Kalian itu siapa dan hendak melamar siapa? Kalian itu orang miskin, sedangkan kami orang kaya,” hardik putri sulung sang Juragan.
“Lagipula siapa yang sudi menikah dengan putra kalian yang buruk rupa itu!” tambah putri juragan yang paling bungsu dengan menghardik pula.
Mendengar jawaban para putri juragan itu, kedua telinga orangtua Tui-Tuing bagaikan disambar petir. Dengan perasaan sedih dan kecewa, mereka pun berpamitan kepada sang Juragan untuk pulang ke rumahnya menyampaikan berita buruk itu kepada anaknya. Namun, ketika mereka akan beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba terdengar suara dari ruang paling belakang.
“Jika tidak seorang pun saudariku yang sudi menikah dengan I Tui-Tuing, biarlah aku yang mendampingi hidupnya,” kata suara perempuan yang lembut itu.
Semua yang hadir di rumah itu tiba-tiba tersentak kaget. Sang Juragan pun segera beranjak dan berjalan menuju ke kamar paling belakang. Tidak berapa lama, ia pun kembali sambil menuntun putrinya.
“Maafkan kami, Pak! Aku lupa, ternyata aku masih mempunyai seorang putri lagi, namanya Siti Rukiah. Tapi lihatlah, wajahnya sangat buruk, karena setiap hari pakai bedak arang. Apakah kalian bersedia menerimanya?” sang Juragan balik menawarkan putrinya kepada kedua orangtua I Tui-Tuing.
“Dengan senang hati, Tuan! Wajah cantik tidaklah terlalu penting bagi anak kami. Tapi, yang penting putri Juragan bersedia untuk hidup bersama dengan anak kami,” jawab ibu I Tui-Tuing.
Mendengar jawaban itu, Siti Rukiah pun menyatakan kesungguhan hatinya untuk hidup bersama dengan I Tui-Tuing sepanjang hidupnya. Pernyataan Siti Rukiah itu pun disambut baik oleh kedua orangtua Tui-Tuing. Demikian pula kelima saudarinya. Mereka sangat senang, karena Siti Rukiah akhirnya akan menikah dengan orang yang buruk rupa. Dengan demikian, tentu para pemuda tampan di kampung itu akan melirik mereka.
Seminggu kemudian, pernikahan I Tui-Tuing dengan Siti Rukiah dilangsungkan secara sederhana. Acara tersebut hanya dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai. Sejak resmi menjadi suami-istri, mereka pun meminta kepada kedua orangtua mereka untuk hidup mandiri. Akhirnya, mereka pun dibuatkan sebuah rumah panggung yang cukup sederhana di atas tanah milik orang tua Siti Rukiah yang berada di kampung sebelah. Sejak itu, I Tui-Tuing bersama istri tercintanya tinggal di rumah itu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari I Tui-Tuing pergi metongnga di sekitar Teluk Mandar.
Pada suatu pagi, usai sarapan, I Tui-Tuing berpamitan kepada istrinya hendak pergi metongnga. Setelah suaminya berangkat, Siti Rukiah memasak nasi dan membersihkan rumah. Setelah semua pekerjaannya selesai, ia pun membersihkan seluruh badannya, terutama wajahnya yang masih dipenuhi dengan bedak arang. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya. Siti Rukiah pun segera membuka pintu. Saat pintu terbuka, tampak seorang lelaki gagah dan tampan berdiri di hadapannya.
“Maaf Tuan, Anda siapa?” tanya Rukiah.
“Aku adalah I Tui-Tuing hendak mencari istriku yang bernama Siti Rukiah” jawab si lelaki gagah itu.
“Maaf, Tuan jangan mengaku-ngaku! Bukankah seluruh tubuh dan wajah I Tui-Tuing dipenuhi dengan sisik ikan?” tanya Rukiah dengan sanksi.
“Benar yang kamu katakan itu. Selama ini kulitku memang dipenuhi dengan sisik ikan, sehingga aku menyerupai ikan terbang. Itu semua terjadi karena permintaan kedua orangtuaku sebelum aku lahir. Tapi, kini aku sudah kembali normal seperti manusia lainnya, karena aku sudah beristri,” jelas lelaki tampan itu.
Pada mulanya, Siti Rukiah tidak percaya dengan penjelasan orang yang tidak dikenalnya itu. Tetapi, setelah mendengar suara dan mencium bau lelaki itu persis sama dengan suara dan bau Tui-Tuing, akhirnya ia pun percaya bahwa lekaki gagah dan tampan yang berdiri di hadapannya itu adalah suaminya. Setelah yakin dengan hal itu, kini giliran Siti Rukiah memperkenalkan dirinya kepada suaminya.
“Bang! Aku ini istrimu, Siti Rukiah,” ungkap Siti Rukiah kepada suaminya.
“Bukankah istriku itu wajahnya hitam pekat?” I Tui-Tuing balik bertanya dengan sanksi.
“Benar, Bang! Wajahku menjadi hitam pekat, karena perbuatan saudari-saudariku. Mereka iri terhadap kecantikanku. Makanya, mereka membedakiku dengan arang, agar para pemuda tampan tidak tertarik melihat kecantikanku. Ketika Abang berangkat ke laut, aku membersihkan semua sisa-sisa arang yang masih menempel di wajahku. Kini, wajahku kembali bersih seperti semula,” jelas Siti Rukiah.
Awalnya, I Tui-Tuing tidak percaya dengan pernyataan perempua cantik itu. Namun, setelah mendengar suara dan mencium bau perempuan itu tidak ada bedanya dengan suara maupun bau Siti Rukiah, akhirnya I Tui-Tuing pun yakin bahwa perempuan cantik itu adalah istrinya. Setelah keduanya saling mengenal, mereka pun langsung berpelukan.
Keesokan harinya, mereka pergi mengunjungi orangtua mereka dengan wajah yang baru. I Tui-Tuing tidak lagi menyerupai ikan terbang, tapi sudah berwujud manusia. Begitupula Siti Rukiah, ia tampak jauh lebih cantik dan memesona, karena bedak arang yang menempel di wajahnya benar-benar sudah hilang. Kini wajahnya tampak bersinar dan pipinya terlihat kemerah-merahan bagaikan buah delima.
Pertama-tama mereka mengunjungi rumah orangtua I Tui-Tuing. Alangkah terkejutnya kedua orangtua I Tui-Tuing ketika mengetahui bahwa lelaki gagah dan tampan itu adalah anaknya, dan gadis cantik itu adalah menantunya. Demikian pula ketika mereka sampai di rumah orangtua Siti Rukiah. Keluarga Siti Rukiah seakan-akan tidak percaya pada kenyataan itu, terutama kelima saudarinya. Mereka pun sangat menyesal, karena dulu menolak pinangan I Tui-Tuing. Namun, semuanya hanya tinggal penyesalan. Entah sampai kapan kelima gadis itu terus menunggu jodoh mereka datang. Sementara, Siti Rukiah hidup rukun dan bahagia bersama suami tercintanya, I Tui-Tuing.
* * *
Demikian cerita I Tui-Tuing dari daerah Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat iri dan dengki. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku kelima putri juragan terhadap kecantikan saudarinya yang bernama Siti Rukiah. Mereka memberinya bedak arang dan mengurungnya di kamar paling belakang, agar kecantikannya tidak dilihat oleh para pemuda tampan. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat iri dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang mengarah kepada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain, bahkan terhadap saudara sendiri.
Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa orang-orang yang teraniaya selalu dilindungi oleh Tuhan yang Mahakuasa. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dialami oleh Siti Rukiah. Walaupun kelima saudarinya selalu berusaha menghalang-halanginya agar tidak menikah dengan pemuda tampan, namun dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, Siti Rukiah menikah dengan pemuda gagah dan tampan, yakni I Tui-Tuing. Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:

kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci

Senin, 17 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Hawadiyah

Hawadiyah adalah seorang gadis miskin dan yatim yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat. Pada suatu waktu, seorang Mara`dia (Raja) Jawa datang meminangnya dan mengajaknya untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Jawa. Namun, niat baik Mara`dia Jawa itu dihalang-halangi oleh seorang gadis bernama Bekkandari. Mengapa Bekkandari menghalang-halangi pernikahan Hawadiyah dengan Mara`dia Jawa? Lalu, apa yang dilakukan Bekkandari untuk menghalangi pernikahan mereka? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Hawadiyah berikut ini. 



Konon, pada zaman dahulu kala, ada dua orang gadis yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar. Gadis yang pertama bernama Bekkandari, sedangkan gadis yang kedua bernama Hawadiyah. Kedua gadis tersebut memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terutama dari segi banyaknya harta. Bekkandari berasal dari keluarga yang sangat kaya. Ayahnya memiliki perkebunan kelapa yang luas dan usaha pembuatan minyak goreng. Sementara Hawadiyah seorang gadis yatim yang berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk reyot di ujung kampung. Untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari, Hawadiyah bersama ibunya membantu usaha keluarga Bekkandari.  
Pada suatu hari, Bekkandari bersama ayahnya sedang panen kelapa di kebunnya. Hawadiyah dan ibunya pun turut membantu mengumpulkan buah kelapa yang baru dipetik dari pohonnya. Setelah setengah hari bekerja, mereka pun selesai mengumpulkan ratusan butir kelapa. Sebelum Hawadiyah dan ibunya pulang, ayah Bekkandari memberi mereka lima butir kelapa sebagai upah.  
Sesampai di rumah, ibu Hawadiyah memarut dan memasak kelima butir kelapa tersebut untuk diambil minyaknya. Rencananya, ia akan menitipkan minyak kelapa itu kepada ayah Bekkandari untuk dijual ke Pulau Jawa.
Pada suatu hari, terdengarlah kabar bahwa ayah Bekkandari akan segera berangkat ke Pulau Jawa. Mendengar kabar itu, beramai-ramailah penduduk menitipkan minyak kelapanya kepada juragan minyak itu untuk dijual kepada Mara`dia Jawa. Tidak ketinggalan pula ibu Hawadiyah, ia menitipkan minyak kelapanya yang disimpan dalam sebuah wadah bambu. Sebelum mengantar minyak kelapanya kepada ayah Bekkandari, terlebih dahulu ia membaca sebaris mantra lalu meniupkannya ke dalam bambu, dengan harapan Mara`dia Jawa akan tertarik dan jatuh hati kepada anaknya ketika melihat dan mencium bau minyak tersebut.
Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ayah Bekkandari bersama beberapa orang pekerjanya menuju ke Pulau Jawa dengan menaiki kapal pribadinya. Sudah lima hari lima malam mereka terombang ambing di tengah laut, namun tak kunjung sampai ke tujuan. Padahal, perjalanan dari Teluk Mandar menuju Pulau Jawa biasanya hanya ditempuh selama tiga hari tiga malam. Hal itulah yang membuat juragan minyak kelapa itu menjadi panik dan bingung.
”Hei Nahkoda! Kenapa kita belum juga sampai di Pulau Jawa? Bukankah kita sudah lima hari lima malam di tengah lautan?” tanya ayah Bekkandari dengan perasaan cemas.
“Maaf, Tuan! Saya juga tidak tahu apa gerangan penyebabnya. Padahal kecepatan kapal ini berada di atas rata-rata,” jawab nahkoda kapal itu.
Mendengar jawaban itu, ayah Bekkandari terdiam sejenak. Ia bingung memikirkan penyebab keterlambatan kapalnya tiba di Pulau Jawa. Beberapa saat kemudian, ia pun teringat dengan sesuatu hal. Rupanya, ia lupa membawa minyak titipan ibu Hawadiyah.
”Mmm... jangan-jangan inilah penyebab keterlambatan perjalananku ke Pulau Jawa,” pikirnya dalam hati.
Setelah benar-benar yakin bahwa hal itulah yang menjadi penyebabnya, ia segera memerintahkan kepada nahkodanya agar memutar haluan arah kapal.
”Nahkoda! Putar haluan arah kapal ini. Kita harus kembali ke Tana Mandar,” ujar si juragan kaya itu.
”Kenapa begitu, Tuan? Bukankah sebentar lagi kita akan sampai Pulau Jawa?” tanya nahkoda kapal bingung.
”Tidak mungkin! Kita tidak mungkin sampai di  Pulau Jawa sebelum mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah,” jawab juragan minyak itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Dengan diselimuti tanda tanya, si nahkoda kapal pun segera memutar balik haluan kapal menuju Teluk Mandar. Setelah menempuh perjalanan selama lima hari lima malam, akhirnya mereka pun tiba di Teluk Mandar. Ayah Bekkandari segera mengambil minyak titipan ibu Hawadiyah yang tertinggal di rumahnya, lalu kembali berlayar menuju ke Pulau Jawa. Alangkah terkejutnya juragan kaya itu beserta anak buahnya, karena hanya dalam waktu dua hari dua malam, mereka sudah sampai di Pulau Jawa.
Setibanya di Pulau Jawa, ayah Bekkandari langsung membawa semua minyak kelapanya ke kediaman Mara`dia Jawa. Alangkah senang hati Mara`dia Jawa, karena ayah Bekkandari membawakannya banyak minyak kelapa untuk ia jual kembali kepada padagang dari luar negeri. Begitu pula ayah Bekkandari, ia merasa senang sekali, karena semua minyak kelapanya habis terjual. Setelah membeli segala kebutuhannya, ia bersama rombongannya segera kembali ke Tana Mandar.
Di tengah perjalanan, ayah Bekkandari kembali dikejutkan oleh kejadian aneh. Sudah empat hari empat malam mereka menempuh perjalanan, namun kapal yang mereka tumpangi belum juga sampai di Teluk Mandar.
Melihat keadaan itu, ayah Bekkandari langsung teringat pada minyak kelapa milik ibu Hawadiyah. Ia pun segera memeriksa ruangan tempat penyimpanan barang di kapalnya. Alangkah terkejut ketika ia melihat minyak kelapa itu masih ada di tempatnya. Rupanya, ia lupa menjualnya kepada Mara`dia Jawa. Akhirnya, ia pun segera memerintahkan nahkodanya untuk kembali ke Pulau Jawa. Setelah menjual minyak kelapa tersebut, hanya dalam waktu dua hari dua malam, ia bersama rombongannya sudah tiba di Tana Mandar, Sulawesi Barat.
Sementara itu, Mara`dia Jawa sedang asyik mengamati sebuah wadah bambu berisi minyak kelapa yang diberikan terakhir oleh ayah Bekkandari. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa itu setelah membuka tutup wadah minyak kelapa itu. Tiba-tiba ia melihat wajah seorang gadis cantik yang memantul dari permukaan minyak. Wajah cantik itu tidak lain adalah wajah si gadis miskin, Hawadiyah.
”Hei... bukankah gadis ini yang sering hadir dalam mimpiku?” tanya Mara`dia Jawa dalam hati.
Kali ini, Mara`adia Jawa benar-benar yakin dengan keberadaan gadis yang sering hadir di dalam mimpinya itu. Ia pun berniat untuk pergi mencarinya ke Tana Mandar. Dua minggu kemudian, ketika ayah Bekkandari datang mengantarkan minyak kelapa kepadanya, ia pun ikut serta bersama ayah Bekkandari yang akan pulang ke Tana Mandar. Selama dalam perjalanan, ia selalu berharap agar dapat menemukan gadis impiannya itu.
Setibanya di Mandar, Mara`dia Jawa tinggal di rumah keluarga Bekkandari untuk beberapa hari lamanya. Sejak pertama datang, penguasa tanah Jawa itu senantiasa mendapat jamuan istimewa dari keluarga Bekkandari. Berbagai macam makanan dan minuman khas Mandar dihidangkan. Rupanya, putri si juragan minyak yang bernama Bekkandari, diam-diam jatuh hati kepadanya. Ia seringkali mencari-cari perhatian, agar Mara`dia Jawa itu suka kepadanya. Mara`dia Jawa pun sebenarnya tahu maksud gelagat Bekkandari, akan tetapi ia merasa bahwa bukan dialah gadis yang ia inginkan.
Pada suatu pagi, ketika Mara`dia Jawa bersama ayah Bekkandari sedang duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati kopi panas dan pisang goreng hangat, tiba-tiba seorang gadis lewat di depan rumah itu. Ia pun langsung terperangah melihat gadis itu.
”Hei, siapa gadis itu? Sepertinya aku pernah melihatnya,” tanya Mara`dia Jawa kepada ayah Bekkandari.
”Maksud Tuan gadis yang baru lewat itu?” ayah Bekkandari balik bertanya.
”Iya, Pak!” jawab Mara`dia Jawa singkat.
”Gadis itu bernama Hawadiyah. Ia seorang yatim dan miskin. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah panggung yang hampir roboh di ujung kampung ini,” jelas ayah Bekkandari.
”Mereka adalah buruh di kebun kelapaku,” tambah ayah Bekkandari dengan nada sombong.
Mara`dia Jawa hanya tersenyum mendengar penjelasan juragan minyak kelapa itu. Ketika hari menjelang siang, Mara`dia itu hendak menemui gadis itu. Saat ia berada di ujung kampung, tampaklah sebuah rumah panggung yang sudah tua. Atapnya yang terbuat dari daun rumbia sudah bocor. Dindingnya yang terbuat dari gedek pun banyak yang berlubang-lubang. Dengan perasaan ragu-ragu, ia pun mengetuk pintu rumah itu. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis cantik membuka pintu. Ia seakan-akan tidak percaya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya sama persis dengan gadis yang selalu hadir di dalam mimpinya.
”Tidak salah lagi, inilah gadis yang sering menemuiku di dalam mimpi,” kata Mara`dia Jawa dalam hati dengan perasaan senang, karena telah menemukan gadis impiannya.
Pada saat itu pula Mara`dia Jawa pun langsung meminang Hawadiyah dan berniat untuk membawanya pulang ke Pulau Jawa. Ia berencana akan melangsungkan pesta pernikahannya di Pulau Jawa dengan penuh kemeriahan.
Mendengar kabar itu, Bekkandari menjadi iri hati dan dendam kepada Hawadiyah. Ia pun segera mencari cara untuk menggagalkan pernikahan mereka. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menemukan caranya, yakni mencelakai Hawadiyah.
”Maaf, Tuan! Bolehkah hamba ikut bersama kalian ke Pulau Jawa? Hamba ingin menyaksikan pesta pernikahan kalian,” pinta Bekkandari kepada Mara`dia Jawa.
”Dengan senang hati,” jawab Mara`dia Jawa sambil mengangguk-anggukan kepala.
Keesokan harinya, berangkatlah mereka menuju ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal milik ayah Bekkandari. Di tengah perjalanan, Bekkandari menyuruh beberapa orang anak buah ayahnya untuk menculik Hawadiyah. Setelah menyekap gadis miskin itu di sebuah ruang tersembunyi, Bekkandari segera mengambil tadzu dan menyiramkannya ke wajah Hawadiyah. Sungguh malang nasib gadis miskin itu. Wajahnya yang semula halus dan lembut tiba-tiba berubah menjadi kasar dan keras.
Setelah itu, Bekkandari melepaskan Hawadiyah untuk menemui calon suaminya. Hawadiyah pun tidak berani menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya, karena Bekkandari mengancam akan membunuhnya. Alangkah terkejutnya Mara`dia Jawa ketika melihat wajah calon permaisurinya.
”Hei... apa yang terjadi denganmu? Kenapa wajahmu rusak begitu?” tanya Mara`dia Jawa penasaran.
”Maafkan Dinda, Kanda! Dinda terlalu ceroboh. Ketika berkeliling-keliling di kapal ini, tiba-tiba Dinda ketumpahan tadzu,” jawab Hawadiyah yang harus berbohong kepada calon suaminya.
Mendengar jawaban itu, Mara`dia Jawa tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima kenyataan pahit itu. Namun ketika mereka sampai di Pulau Jawa, rupanya ibu Mara`dia Jawa tidak sudi menerima Hawadiyah sebagai menantunya. Akhirnya, Hawadiyah pun diasingkan ke sebuah tempat untuk dijadikan penjaga sawah Mara`dia Jawa. Sementara, Bekkandari dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa.
Pada suatu hari, beberapa orang pengawal Mara`adia Jawa mengantarkan makanan untuk Hawadiyah. Alangkah terkejutnya para pengawal itu ketika ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk di rumah-rumah sawah.
”Hei, kamu siapa? Ke mana si gadis buruk rupa itu?” tanya salah seorang pengawal.
”Maaf, Tuan! Akulah Hawadiyah, si gadis buruk rupa itu,” jawab Hawadiyah sambil tersenyum.
Mendengar jawaban itu, para pengawal Mara`dia Jawa tersebut tersentak kaget. Mereka seakan-akan tidak percaya jika gadis yang di hadapan mereka adalah Hawadiyah.
”Bagaimana kamu bisa berubah menjadi cantik seperti itu?” seorang pengawal kembali bertanya kepada Hawadiyah.
Hawadiyah pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, bahwa dia bisa kembali menjadi cantik setelah berkali-kali mandi di sungai atas perintah seekor burung kakaktua. Kemudian ia juga menceritakan semua peristiwa yang menyebabkan wajahnya menjadi jelek. Maka sejak itu, perilaku buruk Bekkandari terbongkar.
Setelah mendengar cerita Hawadiyah, para pengawal tersebut segera melapor kepada Mara`dia Jawa. Semula, Mara`dia Jawa tidak percaya dengan laporan para pengawalnya itu. Namun, karena penasaran, akhirnya ia pun bergegas menuju ke sawah. Sesampainya di sawah, ia tersentak kaget ketika melihat wajah Hawadiyah kembali menjadi cantik seperti semula. Ia pun langsung memeluk gadis yang dicintainya itu dengan erat.
”Maafkan Kanda, Dinda! Kanda sudah mengetahui semuanya. Ternyata selama ini Kanda dibohongi oleh Bekkandari,” ucap Mara`dia Jawa.
Akhirnya, Mara`dia Jawa mengajak Hawadiyah kembali ke istana untuk melangsungkan pernikahan mereka. Sesampai di istana, ia pun langsung mengusir Bekkandari kembali ke kampung halamannya, di Tana Mandar. Sejak itu pula, Mara`dia Jawa memutuskan hubungan dagang dengan ayah Bekkandari.
Pesta pernikahan Mara`dia Jawa dengan Hawadiyah dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam acara tersebut. Undangan yang datang dari berbagai negeri turut berbahagia menyaksikan kedua mempelai. Sejak itu, Hawadiyah hidup bahagia bersama suaminya dan seluruh keluarga istana Kerajaan Jawa.
* * *
Demikian cerita Mara`dia Jawa dari daerah Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sifat dengki dan iri hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Bekkandari yang telah menyiramkan tadzu ke wajah Hawadiyah, agar dialah yang akan dipilih menjadi permaisuri Mara`dia Jawa. Akibatnya, ia pun diusir dari istana Kerajaan Jawa setelah semua perbuatannya diketahui oleh Mara`dia Jawa. Dikatakan dalam tunjuk Ajar Melayu:

kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat dengki dan iri hati dapat membutakan hati seseorang. Jika hati sudah buta, seseorang dapat melakukan penganiayaan kepada orang lain.

Minggu, 16 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Samba' Paria

Samba` Paria adalah seorang gadis cantik jelita yang tinggal bersama adiknya di sebuah rumah panggung di tengah hutan di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Pada suatu hari, Raja Mandar bersama beberapa orang pengawalnya menculik Samba` Paria. Mengapa Raja Mandar menculiknya? Lalu bagaimana nasib Samba` Paria selanjutnya? Temukan jawabannya dalam cerita Samba` Paria berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Mandar, Sulawesi Barat, hidup seorang gadis cantik jelita bersama seorang adiknya yang masih berumur sepuluh tahun. Kedua kakak beradik itu adalah yatim piatu. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung peninggalan orang tua mereka yang berada di tengah hutan belantara, jauh dari permukiman penduduk. Dari kejauhan, rumah mereka hampir tidak kelihatan, karena selain tertutupi pepohonan rindang di sekitarnya, juga diselubungi oleh tanaman paria (pare) yang menjalar mulai dari tiang, tangga, dinding, hingga ke atap rumahnya. Itulah sebabnya, gadis cantik itu dipanggil “Samba` Paria”, yang berarti perempuan yang rumahnya diselubungi tanaman paria.

 
Pada suatu hari, Samba` Paria bersama adiknya sedang asyik menyantap makanan jepa di dalam rumah. Tanpa disengaja, ketika sang Adik akan memasukkan jepa ke dalam mulutnya, tiba-tiba terlepas dari tangannya dan langsung jatuh ke tanah. Mereka membiarkan jepa itu di tanah, karena kotor dan tidak layak lagi untuk dimakan.
Pada waktu yang hampir bersamaan, rombongan maraqdia (raja) dari daerah pesisir Tanah Mandar sedang berburu binatang di hutan itu. Mereka datang dengan menunggangi kuda dan membawa serta beberapa ekor anjing pemburu yang sudah terlatih. Saat berada di tengah hutan, tidak jauh dari rumah Samba` Paria, mereka melepaskan tali anjing-anjing pemburu tersebut dan membiarkannya pergi mencari mangsa. Pada saat anjing-anjing tersebut terlepas, terdengarlah suara gonggongan anjing memecah kesunyian hutan.
Tidak berapa lama kemudian, seekor anjing kesayangan sang Raja telah kembali sambil menggigit sesuatu di mulutnya.
“Pengawal! Cepat ambil benda itu dan bawa kemari!” titah sang Raja yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon.
“Hamba laksanakan, Tuan,” jawab seorang pengawal lalu menghampiri anjing itu.
Setelah mengambil benda itu, si pengawal segera menyerahkannya kepada sang Raja.
“Ampun, Tuan! Benda ini ternyata sepotong jepa yang masih hangat,” lapor pengawal itu sambil menyerahkan jepa itu kepada raja.
“Apa katamu? Jepa hangat? Dari mana anjing itu mendapat jepa hangat di tengah hutan belantara seperti ini?” tanya sang Raja penuh keheranan.
Sang Raja yakin bahwa orang yang membuat jepa itu pasti berada di sekitar hutan tersebut. Oleh karena penasaran, ia pun memberikan isyarat kepada anjingnya agar mengantarnya ke tempat di mana ia memperoleh jepa hangat itu. Akhirnya, anjing yang sudah mengerti maskud tuannya itu segera berlari sambil menggonggong menuju ke sebuah tempat. Sang Raja pun mengikutinya dari belakang dengan menunggangi kuda putih kesayangannya. Kemudian disusul oleh beberapa orang pengawal raja.  
Tidak berapa lama, sampailah mereka di depan rumah Samba` Paria yang diselubungi tanaman pare. Sang Raja hampir tidak percaya melihat sebuah rumah di tengah hutan belantara itu. Oleh karena sudah tidak sabar ingin mengetahui penghuni rumah itu, ia pun segera menaiki beberapa anak tangga.
“Permisi... apakah ada orang di dalam?” tanya sang Raja sambil mengetuk pintu.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah itu terbuka pelan-pelan. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di hadapannya.
“Aduhai... cantiknya gadis ini,” ucap sang Raja dalam hati dengan takjub.
Saat itu pula, hati sang Raja tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia menaruh hati kepada gadis itu. Hati Samba` Paria pun bergetar tidak karuan. Tetapi bukan karena jatuh hati, melainkan karena ia tahu bahwa orang yang sedang berdiri di depannya adalah seorang raja. Ia mengetahui hal itu, karena melihat pakaian yang dikenakannya dipenuhi perhiasan emas yang berkilauan. Samba` Paria pun bertambah yakin ketika melihat kuda yang ditunggangi orang itu berwarna putih. Di daerah Mandar pada masa itu, kuda berwarna putih merupakan kuda yang sangat istimewa yang hanya ditunggangi oleh raja dan kalangan ningrat kerajaan.
“Silahkan masuk, Tuan!” Samba` Paria mempersilahkan sang Raja sambil memberi hormat.
”Terima kasih, gadis cantik! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu dan kamu tinggal bersama siapa di rumah ini?” tanya sang Raja.
“Ampun, Tuan! Hamba Samba` Paria. Hamba tinggal di rumah ini bersama adik hamba yang masih berumur sepuluh tahun,” jawab Samba` Paria.
“Aku adalah raja negeri ini. Aku bersama beberapa orang pengawalku sedang berburu binatang di hutan ini,” kata sang Raja memperkenalkan dirinya.
“O, iya. Aku sangat haus, bolehkah aku minta air minum?” pinta sang Raja.
Samba` Paria pun segera menyuruh adiknya untuk mengambilkan air untuk sang Raja. Setelah adiknya masuk ke dapur, ternyata persediaan air minum mereka telah habis.
`Ampun, Tuan! Kebetulan persediaan air minum hamba telah habis. Tapi, jika Tuan berkenan menunggu, hamba akan menyuruh adik hamba untuk mengambil air minum di sungai yang terletak di balik gunung,” kata Samba` Paria.
“Dengan senang hati, aku akan menunggu di sini. Apalagi ada gadis cantik menemaniku,” ucap sang Raja mulai merayu.
Saat itu, tiba-tiba muncul niat buruk sang Raja ingin menculik Samba` Paria untuk dijadikan Permaisurinya. Sebelum adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja melubangi tempat air yang biasa digunakan Samba` Paria. Sang Raja melakukan hal itu, agar anak kecil itu berlama-lama di sungai. Sebab, tidak mungkin anak itu dapat mengisi wadah air yang berlubang.
Beberapa saat setelah adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera memerintahkan beberapa pengawalnya yang menunggu di depan rumah agar membawa gadis cantik itu ke istana.
“Ampun, Tuan! Jangan bawa hamba ke istana! Kasihan adik hamba jika ditinggal sendirian di sini,” kata Samba` Paria mengiba kepada sang Raja.
“Ah, biarkan dia sendirian di sini dimakan binatang buas,” ucap sang Raja dengan nada ketus.
“Pengawal! Bawa segera calon permaisuriku ini!” titah sang Raja.
“Baik, Tuan!” jawab para pengawal serentak dan segera melaksanakan perintah.
Samba` Paria pun mulai bingung, karena adiknya belum juga pulang dari sungai. Sang Adik pasti akan mencarinya jika para pengawal itu membawanya ke istana. Ia pun segera mencari cara agar dapat meninggalkan jejak, sehingga adiknya dapat mengetahui ke mana arah perginya.
”Ampun, Tuan! Sebelum Tuan membawa hamba, bolehkah hamba mengajukan satu permintaan?” pinta Samba` Paria.
“Apakah itu? Katakanlah!” seru sang Raja.
“Bolehkah hamba membawa beberapa lembar daun paria? Hamba sangat senang makan sayur daun paria,” ungkap Samba` Paria.
Sang Raja pun memenuhi permintaan Samba` Paria. Setelah memetik puluhan lembar daun paria, Samba` Paria pun dibawa ke istana dengan menggunakan kuda. Dalam perjalanan menuju ke istana raja, Samba` Paria merobek-merobek daun paria itu lalu membuangnya di sepanjang jalan yang dilaluinya agar adiknya dapat mengetahui jejaknya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, Samba` Paria bersama rombongan raja tiba di istana raja.
Sementara itu adik Samba` Paria baru saja kembali dari sungai tanpa membawa air minum sedikit pun. Sesampai di depan rumahnya, ia melihat pintu rumahnya tertutup rapat.
“Kenapa sepi begini? Apakah rombongan raja itu sudah pergi?” tanyanya dalam hati.
Dengan pelan-pelan, anak itu menaiki anak tangga rumahnya satu per satu. Setelah berada di depan pintu, ia pun berteriak memanggil kakaknya.
“Kak... ! Kak Samba`... ! Adik pulang...!”
Berkali-kali ia berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari kakaknya. Akhirnya ia pun langsung membuka pintu. Alangkah terkejutnya anak itu setelah mengetahui kakaknya tidak ada di dalam rumah. Ia kemudian mencarinya di sekitar rumah, namun tidak juga menemukan kakaknya.
“Ka.... kak..., kamu di mana?” anak itu menangis tersedu-sedu sambil duduk di depan rumahnya.
Beberapa saat kemudian, pandangan anak itu tertuju pada sobekan daun paria yang berserakan di sepanjang jalan di depan rumahnya. Akhirnya, ia pun mengerti bahwa kakaknya dibawa pergi oleh rombongan raja tersebut.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun mengikuti sobekan daun paria itu untuk mencari kakaknya. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, akhirnya sampailah ia di rumah raja. Sebuah rumah panggung yang sangat megah.
“Kak...! Kak Samba`...!” teriak anak itu di samping rumah raja.
Setelah berteriak berkali-kali dan tidak mendapat jawaban, akhirnya anak itu berkata:
“Jika Kakak tidak sudi menemui Adik, perlihatkanlah separuh wajah Kakak di jendela!” pintanya.
Namun, dari atas rumah itu, sang Raja justru memperlihatkan padanya wajah kucing. Sementara Samba` Paria dikurung dalam kamar agar tidak keluar menemui adiknya. beberapa saat kemudian, anak itu berkata lagi.
“Jika Adik tidak boleh melihat wajah Kakak, perlihatkanlah tangan Kakak!”
Hati anak itu hancur, karena sang Raja memperlihatkan kaki depan kucing kepadanya. Lalu ia berkata lagi.
“Jika Kakak masih menyayangi Adik, tunjukkanlah kaki Kakak!”
Benar-benar malang nasib anak itu. Sang Raja kembali memperlihatkan kaki belakang kucing kepadanya. Oleh karena mengira sang Kakak tidak sudi lagi menemuinya, akhirnya anak kecil itu berpesan.
“Baiklah, jika Kakak tidak sudi menemui Adik, Adik akan pulang ke rumah. Adik akan menanam sebatang pohon kelor di sini. Jika batang kelor ini layu berarti Adik sedang sakit keras. Dan, jika batang kelor ini mati, berarti Adik juga sudah mati,” kata anak itu lalu bergegas pergi dengan perasaan sedih dan kecewa.
Samba` Paria hanya bisa menangis mendengar semua pesan terakhir adiknya dari dalam rumah itu. Ia selalu mengkhawatirkan nasib adiknya yang tinggal sendiri di tengah hutan. Untuk mengetahui keadaan adiknya, setiap hari ia mengintip batang kelor itu melalui jendela rumah. Semakin hari batang kelor itu semakin layu. Hal itu menunjukkan bahwa adik Samba` Paria sedang sakit keras. Mengetahui kondisi itu, Samba` Paria mulai panik. Ia pun segera mencari cara agar bisa melarikan diri dari istana raja.
Pada suatu hari, saat sang Raja pergi berburu, Samba` Paria memasak nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, karena ia berniat untuk melarikan diri. Setelah semua makanan sudah matang, ia lalu mengajak dayang-dayang istana pergi mandi di sungai yang berada tidak jauh dari istana. Ketika sedang asyik mandi, Samba` Paria sengaja membuang cincin pemberian sang Raja kepadanya ke dalam air.
“Tolong... tolong... cincinku jatuh ke dalam air!” teriak Samba` Paria.
Mendengar teriakan tuannya itu, dayang-dayang tersebut segera melompat ke dalam sungai. Mereka harus menemukan cincin itu. Jika tidak, mereka pasti akan dihukum oleh sang Raja. Pada saat dayang-dayang tersebut menyelam di dalam air, Samba` Paria segera mengenakan pakaiannya dan mengambil bungkusan makanannya, lalu menunggang kuda hendak menemui adiknya yang dikiranya sudah meninggal.
Sesampai di rumahnya, ia mendapati adiknya sedang sekarat. Dengan panik, ia pun segera membuka bungkusan makanan yang dibawanya lalu menyuapi adiknya. Meskipun dengan pelan-pelan, adiknya masih bisa mengunyah dan menelan makanan itu. Akhirnya, sang Adik pun perlahan-lahan pulih dan sudah bisa diajak berbicara. Namun hal itu belum membuat hati Samba` Paria menjadi tenang, karena Raja Mandar pasti akan menyusul dan membawanya kembali ke istana.
Samba` Paria pun segera menghaluskan biji cabe rawit, merica, dan daun kelor sebanyak-banyaknya. Setelah itu, ia mencampurnya dengan abu dapur, lalu memberinya air sehingga bentuknya seperti adonan kue.
Tidak lama kemudian, Raja Mandar benar-benar datang mencarinya. Sang Raja langsung naik ke rumah dan mengetuk pintu.
“Hei, Samba` Paria, buka pintunya! Kalau tidak, aku dobrak pintu ini!” seru sang Raja yang sudah berdiri di depan pintu dengan geram.
Samba` Paria pun segera membuka pintu rumahnya sambil membawa wadah dari tempurung kelapa yang berisi adonan cabe rawit, abu, daun kelor dan merica. Saat pintu terbuka, ia langsung menyiramkan adonan tersebut kepada kedua mata sang Raja. Raja itu pun langsung menjerit menahan rasa perih sambil mengusap-usap kedua matanya. Tanpa disadari, tiba-tiba kakinya terpeleset dan akhirnya jatuh terjungkal-jungkal ke tanah. Raja itu pun tewas seketika, karena tulang lehernya patah terpental di tangga rumah Samba` Paria. Sejak itu, Samba` Paria pun kembali hidup damai, rukun, dan tenang bersama adiknya.  
* * *
Demikian cerita Samba` Paria dari daerah Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu: keutamaan sifat saling menyayangi dan akibat buruk dari sifat kasar langgar (kurang ajar).
Pertama, keutamaan sifat saling menyayangi. Sifat ini tercermin pada perilaku Samba` Paria dan adiknya. Mereka senantiasa saling menyayangi dan menjaga antara satu dengan yang lain. Hal ini tampak pada usaha Samba` Paria yang mencari-cari agar bisa melarikan dari istana raja untuk menemui adiknya yang sedang sakit keras. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa kekuatan kasih dan sayang dapat menimbulkan ide-ide yang dapat menyelamatkan seseorang dari kezaliman orang lain. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat kasih sayang ini sangat diutamakan, karena dapat membina kerukunan dan menghindari perselisihan antar sesama. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

berbuah kayu di tengah padang
daunnya rimbun tempat berteduh
bertuah Melayu berkasih sayang
hidup rukun sengketa menjauh

Kedua, akibat buruk sifat kasar langgar (kurang ajar). Sifat ini tercermin pada perilaku Raja Mandar yang telah menculik dan memaksa Samba` Paria untuk dijadikan permaisurinya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

binasa diri kasar langgar,
binasa badan kurang ajar

Sabtu, 15 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Nama Kampung Paummisang

Paummisang adalah nama sebuah kampung yang berada di daerah Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Kata paummisang berasal dari bahasa Mandar yang berarti tumpukan ampas tebu. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat Mandar, nama paummisang ini diambil dari nama seorang kakek yang bernama Kanne Paummisang. Mengapa kakek itu dipanggil Kanne Paummisang? Mengapa pula nama kakek itu diabadikan menjadi sebuah nama kampung? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Asal Mula Nama Kampung Paummisang berikut ini.



Konon, di daerah Tinambung Mandar, Sulawesi Barat, ada seorang kanne (kakek) yang hidup seorang diri di sebuah rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah kebunnya. Meskipun tempat tinggalnya cukup jauh dari permukiman penduduk, ia sering bergaul dengan penduduk yang setiap hari melintas di kebunnya. Pekerjaan sehari-harinya adalah menanam sayur-sayuran, umbi-umbian, jagung, tebu, dan kelapa di kebunnya. Ia seorang petani kebun yang sangat rajin, ulet, dan teliti dalam merawat tanamannya, sehingga hasilnya pun cukup melimpah.
Kakek itu memiliki suatu kebiasaan aneh. Ia senang sekali minum air tebu dengan cara mengigiti batang tebu yang telah dikupas kulitnya. Kemudian ampas tebu tersebut ia kumpulkan di ruang tengah rumahnya. Begitulah yang ia lakukan setiap hari hingga ampas tebu tersebut terus menumpuk. Oleh karenanya, orang kampung memanggilnya Kanne Paummisang, yakni seorang kakek yang suka menumpuk ampas tebu di rumahnya.
Di mata penduduk sekitar, Kanne Paummisang adalah orang yang ramah, baik hati, dan dermawan. Ia senantiasa memberikan hasil perkebunannya kepada penduduk kampung yang membutuhkan. Bahkan ia sering mempersilahkan para tetangga kebunnya untuk mengambil apa aja di kebunnya tanpa perlu minta izin kepadanya terlebih dahulu. Kanne (Nenek) Golla adalah salah seorang tetangga kebunnya yang sering ia persilahkan untuk mengambil apa saja di kebunnya.
Pada suatu hari, Kanne Golla lewat di kebun Kanne Paummisang. Saat berada di tengah-tengah kebun, nenek itu tiba-tiba berhenti. Ia menoleh ke sekelilingnya sambil memerhatikan isi kebun Kanne Paummisang. Rupanya, Nenek Golla tertarik melihat hasil perkebunan Kanne Paummisang yang tumbuh subur dan hijau, terutama tanaman jagungnya. Ia ingin sekali memetik beberapa bongkol jagung itu. Namun, ia tetap merasa sungkan kepada Kanne Paummisang, meskipun sudah diizinkan sebelumnya.
Kanne Golla yang masih berdiri di tengah kebun itu tidak menyadari jika ada sepasang mata yang sedang memerhatikannya. Ia adalah Kakek Paummisang yang sedang duduk sambil menggigit batang tebu di dalam rumahnya. Setelah menghabiskan air tebunya, kakek itu segera turun dari rumahnya dengan menuruni beberapa anak tangga, dan segera menghampiri Kanne Golla. Melihat Kanne Paummisang berjalan ke arahnya, Kanne Golla segera beranjak dari tempatnya berdiri.
“Maaf, Kanne Golla! Adakah yang bisa aku bantu?” tanya Kanne Paummisang kepada Kanne Golla.
“Jika ada sesuatu yang menarik hatimu di kebunku ini, silahkan ambil sesukamu. Tidak perlu sungkan. Aku malah senang sekali jika banyak orang yang menikmatinya,” tambah Kanne Paummisang.
“Iya, sebenarnya aku sangat tertarik melihat tanaman jagungmu. Jika berkenan, bolehkah aku memetiknya dua bongkol?” tanya Kanne Golla dengan malu-malu.
“Tentu saja boleh, saudariku! Kamu boleh mengambil sesuka hatimu dan sekuat kamu membawanya,” jawab Kanne Paummisang sambil tersenyum.
“Terima kasih! Kamu memang orang yang baik hati dan dermawan,” ucap Kanne Golla.
Setelah memetik beberapa bongkol jagung, Kanne Golla pun berpamitan pulang dengan perasaan senang. Demikian pula Kanne Paummisang, ia merasa sangat senang jika hasil perkebunannya bermanfaat untuk orang banyak. Demikian seterusnya, ia senantiasa menawarkan hasil perkebunannya kepada siapa pun yang lewat di kebunnya.
Keesokan harinya, ketika Kanne Paummisang sedang asyik minum air tebu, tiba-tiba seorang penduduk kampung bernama Pak Hardi lewat di kebunnya. Ia pun segera memetik beberapa bongkol jagung lalu memberikannya kepada Hardi.
“Terima kasih, Kanne Paummisang,” ucap Hardi.
“Sama-sama, Pak Hardi!” jawab Kanne Paummisang tersenyum.
“Aku sangat senang jika hasil kebunku ini dinikmati orang banyak. Jika masih ada isi kebunku yang kamu senangi, katakan saja padaku! Aku akan memberikannya kepadamu,” tambah Kanne Paummisang menawarkan.
“Terima kasih, Kanne! Kanne memang orang yang dermawan,” ucap Hardi.
Setelah menyerahkan jagung itu kepada Pak Hardi, Kanne Paummisang kembali meminum air tebunya yang masih tersisa dan membuang ampasnya di ruang tengah rumahnya. Melihat perilaku Kanne Paummisang itu, Pak Hardi yang masih berada di kebun Paummisang langsung menggeleng-gelengkan kepala.
Kanne Paummisang memang orang baik, tapi perilakunya aneh. Untuk apa ia menumpuk ampas tebu itu?” tanya Pak Hardi dalam hati penuh keheranan lalu pergi meninggalkan kebun Kanne Paummisang menuju ke perkampungan.
Begitulah tanggapan setiap penduduk yang melewati kebunnya. Mereka terheran-heran melihat kebiasaan aneh Kanne Paummisang menumpuk ampas tebu di ruang tengah rumahnya.
Semakin hari rumah Kanne Paummisang semakin penuh dengan tumpukan ampas tebu. Anehnya lagi, ia terkadang tertidur di atas tumpukan ampas tebu itu. Para penduduk yang sering melewati kebunnya semakin terheran-heran melihat kelakuan anehnya itu.
Walaupun demikian, semakin hari Kanne Paummisang juga semakin dermawan kepada semua penduduk. Penduduk yang paling sering ia beri hasil perkebunannya adalah Kanne Golla. Karena selain bertetangga kebun, rupanya mereka juga sudah berteman sejak kecil. Akhirnya, hubungan persahabatan mereka pun semakin akrab. Untuk membalas budi baik Kanne Paummisang, Kanne Golla pun sering membawakannya makanan, baik berupa ikan bakar, kue, gula pasir, kopi, dan lain-lain.
Pada suatu hari, Kanne Golla datang mengantarkan makanan untuk Kanne Paummisang. Setibanya di depan rumahnya, ia melihat pintu rumah itu tertutup rapat.
Kanne Paummisang... ! Kanne Paummisang... !” teriak Kanne Golla sambil mengetuk pintu.
Berkali-kali Kanne Golla mengetuk pintu dan berteriak memanggil Kanne Paummisang, namun tidak mendapat jawaban sama sekali. Oleh karena penasaran, ia pun mencoba mendorong pintu rumah Kanne Paummisang. Rupanya, pintu itu tidak terkunci, sehingga ia dapat masuk ke dalam rumah. Alangkah terkejutnya Kanne Golla saat mendapati Kanne Paummisang sudah tidak bernyawa lagi dan terbujur kaku di atas tumpukan ampas tebunya. Akhirnya, Kanne Golla segera memanggil orang-orang kampung untuk menguburkan jenazah Kanne Paummisang di tengah-tengah kebunnya. Untuk mengenang kebaikan dan kedermawanan Kanne Paummisang, para penduduk menamakan kampung mereka “Kampung Paummisang”.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Nama Kampung Paummisang dari daerah Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang patut dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin dan tekun bekerja, dan sifat suka bertanam budi (berbudi).
Pertama, sifat rajin dan tekun bekerja. Sifat ini tercermin pada perilaku Kanne Paummisang yang sangat rajin, tekun dan ulet merawat tanamannya, sehingga hasilnya pun dapat bermanfaat untuk orang banyak. Dalam kehidupan Melayu, sifat rajin, tekun dan ulet bekerja sangatlah diutamakan. Dikatakan dalam untaian syair tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Kedua, sifat suka bertanam budi (berbudi). Sifat ini juga dicerminkan oleh sikap dan perilaku Kanne Paummisang yang senantiasa berbuat kebajikan kepada orang lain dengan cara mendermakan sebagian hasil perkebunannya kepada penduduk sekitar. Oleh karena kederamawannya itu, penduduk sekitar mengabadikan namanya menjadi nama kampung mereka, agar mereka dapat terus mengenangnya. Dikatakan dalam untaian syair tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda intan baiduri,
manfaatkan umurmu untuk berbudi
berbuat kebajikan sebelum mati
semoga hidupmu tiada terkeji