Tampilkan postingan dengan label Kepulauan Riau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kepulauan Riau. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kelingking Sakti (Kep. Riau)

Setiap orang memiliki perangai yang berbeda-beda. Ada yang baik, ada pula yang buruk. Di daerah Kepulauan Riau, Indonesia, hiduplah sebuah keluarga yang miskin. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ayah, ibu dan tiga orang anak. Ketiga anak tersebut memiliki perangai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perangai anak yang tua (sulung) dan yang tengah, sangat berbeda dengan anak yang bungsu. Si Bungsu sangat rajin bekerja, sehingga ia menjadi anak kesayangan ayah mereka. Melihat hal itu, anak yang sulung dan yang tengah merasa iri hati dan benci terhadap si Bungsu. Oleh karena itu, mereka berniat untuk mencelakakannya. Apa yang akan dilakukan anak yang sulung dan yang tengah terhadap si Bungsu? Berhasilkah mereka mencelakakan si Bungsu? Bagaimana nasib si Bungsu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Kelingking Sakti berikut ini.



Alkisah, pada zaman dahulu kala, di sebuah desa di Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menjaring ikan di sungai dan menanam ubi di ladang. Mereka mempunyai tiga orang anak, semuanya laki-laki. Anak pertama bernama Salimbo, yang kedua bernama Ngah, dan yang ketiga bernama Kelingking. 

Sejak bayi, si Bungsu sudah menampakkan keanehan. Tubuhnya kecil dan kerdil, sehingga ia diberi nama Kelingking. Keanehan lain yang ada pada diri Kelingking adalah ia menyusu dengan sangat kuat. Setiap kali menyusui Kelingking, ibunya merasa kesakitan. Karena tidak kuat menahan rasa sakit, akhirnya ibunya meninggal dunia saat Kelingking masih berumur lima bulan. Sejak saat itu, kedua abangnya itu membeci Kelingking. Mereka menganggap Kelingkinglah yang menyebabkan ibu mereka meninggal dunia.

Sepeninggal ibu mereka, Kelingking dan kedua saudaranya kemudian hidup dalam asuhan ayahnya. Setiap hari mereka membantu ayahnya mencari ikan di sungai dan menanam ubi di ladang. Terkadang pula mereka mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Di antara ketiga bersaudara, Kelingkinglah yang paling rajin bekerja, sehingga ia menjadi anak kesayangan ayahnya. Melihat hal itu, bertambah bencilah kedua saudaranya kepada Kelingking. Karena merasa iri terhadap Kelingking, kedua saudaranya berniat jahat kepadanya. 

Pada suatu hari, Salimbo dan Ngah hendak melaksanakan niatnya. Mereka kemudian mengajak Kelingking mencari kayu di hutan tanpa sepengetahuan ayahnya. Mereka memang sengaja ingin mencelakakan Kelingking dengan membawanya ke dalam hutan di mana terdapat banyak binatang buas. Tanpa rasa curiga sedikit pun, dengan senang hati Kelingking menerima ajakan kedua saudaranya itu.

Sesampai di hutan, mereka masing-masing sibuk mencari kayu. Karena tubuhnya kecil, Kelingking hanya mengumpulkan ranting-ranting kecil. Menjelang siang hari, mereka sudah merasa kelelahan. Pada saat mereka beristirahat di bawah sebatang pohon, tiba-tiba seekor kancil melintas tak jauh dari tempat mereka duduk. “Kelingking! Kejar kancil itu!” perintah Salimbo kepada Kelingking. “Jangan sampai lolos, Adikku!” tambah Ngah menyemangati. Kelingking pun mengejar kancil itu hingga jauh masuk ke dalam hutan. Pada saat itulah, mereka berdua menggunakan kesempatan meninggalkan Kelingking di dalam hutan sendirian. 

Dengan tergopoh-gopoh, Salimbo dan Ngah pulang menemui ayahnya. “Ayah, maafkan kami. Kami tidak dapat menjaga Kelingking. Dia diterkam harimau di tengah hutan,” kata Salimbo berbohong sambil berpura-pura menangis. “Benar, Ayah. Kami sudah berusaha sekuat tenaga menolongnya. Tapi, kami tidak dapat menyelamatkannya. Harimau itu terlalu ganas,” sambung Ngah ikut berbohong. “Benarkah yang kalian katakan itu?” tanya sang Ayah seakan tak percaya dengan berita itu. “Benar, Ayah!” jawab Salimbo dan Ngah serentak. Mendengar jawaban yang meyakinkan itu, sang Ayah pun percaya begitu saja. Ia sangat bersedih kehilangan Kelingking yang sangat disayanginya itu. 

Sementara itu, Kelingking terus mengejar kancil itu hingga tertangkap. Ia senang sekali. “Jika kancil ini aku bawa pulang, ayah dan kedua abangku pasti sangat senang,” gumam Kelingking sambil mengikat kaki kancil itu dengan akar kayu. Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba Kelingking dikejutkan oleh bunyi suara yang sedang berbicara kepadanya. “Hai, Orang Muda! Tolong lepaskan aku. Aku adalah raja kancil di hutan ini. Jika kamu mau melepaskanku, kamu akan kuajari cara menangkap kancil,” bujuk sang Kancil. Kelingking seakan tak percaya, jika kancil yang ditangkapnya itu bisa berbicara seperti manusia. “Baiklah, Kancil! Aku akan melepaskanmu, tapi aku diajari cara menangkap kancil seperti yang kau janjikan,” kata Kelingking sambil melepaskan ikatan pada kaki-kaki kancil itu.

Kancil itu kemudian mengajari Kelingking cara menangkap dan menjebak kancil. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Kelingking, Kancil pun berpesan, “Orang Muda! Dengan ilmu yang aku ajarkan, kamu dapat menangkap kancil sebanyak-banyaknya. Tapi, kamu hanya boleh menangkap kancil yang nakal-nakal saja.” Usai berpesan, kancil itu kemudian kembali ke tempat asalnya. 

Sementara itu, Kelingking mencoba kemampuan ilmunya menangkap kancil yang baru saja diterimanya itu. Dalam sekejap, Kelingking mampu menangkap dua ekor kancil. Kemudian diikatnya kedua kancil itu erat-erat, lalu ia bawa pulang ke rumah. Akhirnya, ia pun selamat sampai di rumah, tanpa ada gangguan binatang buas.

Sesampai di depan pintu rumahnya, Kelingking berseru memanggil ayah dan kedua abangnya. “Ayah...! Abang... ! Aku pulang....! Mendengar suara teriakan dari luar rumah, ayahnya segera membukakan pintu. Ayahnya sangat senang sekali, karena anak kesayangannya ternyata masih hidup. “Ya, syukurlah anakku! Kamu selamat dari terkaman harimau,” kata ayahnya sambil memeluk Kelingking. 

Sementara itu, kedua abangnya yang telah meninggalkannya di tengah hutan, terheran-heran melihat Kelingking. “Bagaimana mungkin Kelingking bisa selamat dari binatang buas yang ada di dalam hutan itu?” tanya Salimbo dalam hati. Demikian pula Ngah, dalam hatinya bertanya-tanya, “Bagaimana Kelingking bisa menangkap kancil dua ekor sekalian, padahal yang dikejarnya tadi hanya satu?” Kelingking kemudian memberikan kedua ekor kancil tersebut kepada kedua abangnya untuk dimasak dan kemudian disantap bersama-sama.

Pada suatu hari. Salimbo dan Ngah kembali berniat jahat kepada Kelingking. Mereka mengajak Kelingking ke laut yang banyak dihuni ikan jerung. Dengan sebuah perahu kecil, berangkatlah mereka ke laut mencari ikan. Setibanya di tempat yang dikira-kira banyak ikan jerung, Salimbo dan Ngah pura-pura menebar jala untuk menangkap ikan. Mereka kemudian mengatakan jala itu tersangkut di batu karang, dan menyuruh Kelingking terjun ke laut untuk melepaskan jala mereka. Mereka berharap Kelingking dimakan ikan jerung yang ganas itu. 

Benar kata Salimbo dan Ngah. Begitu Kelingking terjun ke laut, ikan-ikan jerung yang ganas tersebut langsung menyerangnya. Pada saat Kelingking timbul-tenggelam bergulat dengan ikan jerung tersebut, Salimbo dan Ngah bergegas mengayuh perahunya pulang. Sesampainya di rumah, mereka kemudian menyampaikan berita kematian Kelingking kepada ayah mereka. Mendengar berita itu, ayah mereka sangat sedih. Pada malam hari, tengah sang Ayah meratapi nasib malang Kelingking, tiba-tiba Kelingking muncul di depan pintu, “Ayah, Aku pulang!" Mendengar suara Kelingking, ayahnya segera beranjak dari tempatnya lalu memeluk Kelingking dengan erat. “Kelingking, Anakku! Ayah mengira kamu sudah meninggal dilahap oleh ikan-ikan jerung itu!” kata sang Ayah kepada anaknya. “Dengan ajaib, Kelingking berhasil mengalahkan ikan-ikan jerung yang ganas itu. Lihat, Ayah! Kelingking membawa ikan jerung besar untuk makan malam kita,” jelas Kelingking kepada ayahnya sambil menunjukkan dua ekor ikan jerung yang dijinjingnya. Kemudian kedua ikan jerung tersebut diserahkannya kepada abangnya untuk dimasak dan dimakan bersama. 

Waktu terus berlalu. Kini Kelingking sudah dewasa. Ia berniat pergi merantau untuk mengubah nasib dirinya dan keluarganya yang selama ini hidup dalam kemiskinan. “Kini saatnya aku mengubah nasib keluargaku. Aku harus pergi merantau. Lagipula ayah tidak tinggal sendirian di rumah. Ada Abang Salimbo dan Abang Ngah yang menemaninya. Pasti ayah akan mengizinkanku,” kata Kelingking dalam hati memantapkan niatnya. 

Pada suatu malam, Kelingking mengutarakan niatnya itu kepada ayahnya. “Ayah, sekarang Kelingking sudah dewasa. Izinkanlah Kelingking pergi merantau. Kelingking ingin memperbaiki kehidupan keluarga kita,” ia meminta kepada ayahnya. Meskipun berat hati, sang Ayah pun mengizinkan anak kesayangannya itu pergi merantau. “Ayah mengerti perasaanmu, Anakku! Ayah merestui dan mendoakan semoga kamu dapat mencapai cita-citamu,” jawab ayahnya mengizinkan. “Terima kasih, Ayah! Jika sudah berhasil di perantauan, Kelingking segera kembali menjemput Ayah, Abang Salimbo dan Abang Ngah,” kata Kelingking dengan perasaan gembira.

Keesokan harinya, dengan berbekal tujuh buah ketupat, berangkatlah Kelingking merantau. Sudah berbulan-bulan Kelingking mengembara. Namun, ketupatnya masih utuh, tak ada satu pun yang dimakannya. Selama dalam pengembaraan, ia hanya makan buah dan daun-daunan yang ditemuinya di hutan. 

Suatu siang, sampailah Kelingking di hutan lebat. Kemudian Kelingking duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Karena kelelahan, ia pun tertidur. Dalam tidurnya, terdengar sebuah suara yang berseru kepadanya, “Hai, Orang Muda! Jika kamu ingin menjadi menantu raja, ikatlah ketupatmu dengan akar tuba dan masukkanlah ke dalam sungai yang mengalir di hutan ini. Apabila air sungai itu sudah berbuih, berarti ikan besar di dalamnya sudah mati. Selamilah sungai itu dan ambil ikannya.”Belum sempat berkata apa-apa, Kelingking pun terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, Kelingking pun segera bangkit mencari akar tuba. Setelah mendapat beberapa akar tuba, ia pun menyusuri hutan itu untuk mencari sungai yang dimaksud dalam mimpinya.
“Ah, inilah sungai dalam mimpiku,” gumam Kelingking. Ia pun segera mengikat ketujuh ketupatnya dengan akar tuba dan memasukkannya ke dalam sungai. Tak berapa lama kemudian, air sungai pun berbuih dan diselaminya sungai itu. Setelah beberapa lama menyelam, Kelingking mendapatkan seekor ikan besar. Ikan itu kemudian dibakar dan dimakannya hingga hanya kepalanya yang tersisa. Setelah melaksanakan semua perintah dalam mimpinya, Kelingking mulai bingung. “Aku harus berbuat apa lagi? Semua perintah sudah aku laksanakan, tapi tidak ada tanda-tanda akan kedatangan seorang putri. Di sini tidak ada seorang pun selain aku,” gumam Kelingking dengan perasaan kesal. Merasa apa yang dilakukannya sia-sia, ia pun menendang kepala ikan itu hingga terbang melambung tinggi ke angkasa. Ia sudah tidak mempedulikan lagi di mana kepala ikan itu jatuh. Ia kemudian melanjutkan pengembaraannya tanpa tentu arah. 

Suatu hari, sampailah Kelingking di sebuah kampung. Seluruh penduduk kampung itu membicarakan tentang kepala seekor ikan yang jatuh secara tiba-tiba di depan istana. Ternyata kepala ikan yang dimaksud itu adalah kepala ikan yang ditendang oleh Kelingking beberapa hari yang lalu. Kepala ikan itu seakan-akan menempel di tanah, sehingga tak seorang pun yang dapat memindahkannya. Padahal kepala ikan yang besar itu mengganggu keindahan istana. Putri raja yang merasa terganggu pandangannya meminta kepada ayahnya agar kepala ikan itu disingkirkan dari depan istana. “Ayah, kepala ikan yang di depan istana itu sangat mengganggu pemandangan. Dapatkah kepala ikan itu disingkirkan dari tempat itu?” pinta sang Putri kepada ayahnya. 

Raja kemudian mengerahkan seluruh panglima dan pengawal istana untuk memindahkan kepala ikan itu. Satu per satu panglima dan pengawal mencoba mengangkat kepala ikan itu secara bergantian. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang mampu menggerakkannya. Kemudian mereka beramai-ramai mengangkatnya, tapi usaha mereka tetap sia-sia. Jangankan kepala ikan itu bergeser, bergerak sedikit pun tidak. 

Melihat keadaan itu, Raja pun mengadakan sayembara, “Wahai seluruh penduduk negeri, barangsiapa yang dapat memindahkan kepala ikan dari depan istana, jika laki-laki akan kunikahkan dengan putriku, dan jika perempuan akan kuangkat sebagai anak,” seru Raja kepada rakyatnya. 

Sesaat sebelum sayembara itu dimulai, seluruh penduduk telah berkumpul di depan istana. Tidak ketinggalan pula Kelingking ikut dalam sayembara itu. Saat ia melihat kepala ikan itu, Kelingking tersentak kaget, “Sepertinya aku mengenal kepala ikan itu?” gumam Kelingking. Ternyata, ia baru tersadar jika kepala ikan itulah yang pernah ia tendang beberapa hari yang lalu. 

Tak lama kemudian, sayembara pun dimulai. Para peserta sayembara maju satu per satu untuk memindahkan kepala ikan itu. Namun, tidak seorang pun yang mampu menggerakkannya. Tibalah giliran Kelingking. Melihat badannya yang kecil, orang-orang mencemooh dan menertawakkannya. Tetapi Kelingking tidak peduli. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, dikelilinginya kepala ikan itu tujuh kali. Kemudian dicungkilnya kepala ikan itu dengan jari kelingkingnya. Sungguh ajaib. Seakan tidak mengeluarkan tenaga, dengan mudahnya Kelingking mengangkat kepala ikan itu dan menguburnya di belakang istana. Maka, Kelingkinglah yang dinyatakan sebagai pemenang dalam sayembara itu. Ia berhak untuk menikah dengan putri raja sebagaimana janji raja.

“Orang Muda! Meskipun tubuhmu kecil, tapi kamu mampu memindahkan kepala ikan itu. Sesuai dengan janjiku, pekan ini juga kamu akan kunikahkan dengan putriku,” kata sang Raja dengan kagum. Sepekan kemudian, pesta pernikahan Kelingking dengan putri raja dilaksanakan dengan ramainya. Dalam pesta tersebut, ditampilkan berbagai macam nyanyian dan tari-tarian istana. Seluruh keluarga istana dan penduduk negeri turut berbahagia atas pernikahan tersebut.

Beberapa hari setelah menikah, Kelingking menjemput ayah dan kedua abangnya untuk tinggal bersamanya di istana. Kelingking pun hidup berbahagia bersama sang Putri dan keluarganya.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan. Adapun nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita di atas di antaranya sifat tidak pendendam, selalu menepati janji dan suka berdusta atau berbohong kepada orang tua. Sifat tidak pendendam tercermin pada sifat Kelingking. Meskipun kedua abangnya beberapa kali berusaha untuk mencelakakan dirinya, Kelingking tidak pernah merasa dendam terhadap kedua abangnya. Sifat selalu menepati janji tercermin pada sifat Kelingking dan sang Raja. Kelingking telah menepati janjinya dengan menjemput ayah dan kedua abangnya setelah ia berhasil yaitu menjadi menantu raja. Demikian pula sang Raja, ia telah menepati janjinya untuk menikahkan putrinya kepada siapa saja yang memenangi sayembara itu. Sementara sifat suka berdusta atau berbohong kepada kedua orang tercermin pada sifat Salimbo dan Ngah. Mereka telah dua kali berbohong kepada ayahnya dengan menyampaikan berita bohong, bahwa Kelingking telah meninggal dunia diterkam harimau di hutan dan dimakan ikan jerung di laut. 

Dua sifat yang pertama, yaitu tidak pendendam dan suka menepati janji, patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Melayu, sifat tidak pendendam atau pemaaf amat dimuliakan. Orang-orang tua mengatakan, bahwa sifat ini mencerminkan kesetiakawanan sosial yang tinggi, menggambarkan sifat rendah hati, bertenggang rasa dan berbudi luhur. Dalam ungkapan adat dikatakan, “siapa taat memeluk agama Islam, dendam kesumat ia haramkan,” atau “siapa setiap memegang adat, dendam kesumat ia pantangkan.” Tenas Effendy juga mengungkapkan hal yang sama dalam untaian syair seperti berikut ini:

wahai ananda peganglah amanah,
jalani hidup di jalan Allah
lapangkan dada serta pemurah
hapuslah dendam jauhkan fitnah

Sementara sifat suka berdusta atau berbohong adalah sifat tercela yang harus dihindari. Sifat ini sangat dipantangkan oleh orang Melayu. Bagi mereka, sifat ini menyangkut harkat, martabat dan marwah mereka. Bagi yang melanggarnya, dianggap sebagai penghinaan terhadap mereka. Tenas Effendy dalam bukunya “Ejekan” terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau, banyak mengungkapkan tentang sifat berdusta atau berbohong dalam bentuk ungkapan seperti berikut:

apa tanda orang yang nista,
bercakap bohong berkata dusta 
kalau suka bercakap bohong, 
alamat badan akan terkurung 
kalau suka berkata dusta,
alamat hidup beroleh nista

Senin, 25 Februari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Pulau Senua

Pulau Senua terletak di ujung Tanjung Senubing Bunguran Timur, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Kata senua dalam bahasa setempat berarti satu tubuh berbadan dua. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai sarang burung layang-layang putih ini merupakan penjelmaan dari seorang perempuan yang sedang berbadan dua (hamil) bernama Mai Lamah. Mengapa Mai Lamah menjelma menjadi pulau? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Pulau Senua berikut ini.



Alkisah, di sebuah daerah di Natuna, Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama kerang dan siput. 

Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, ia pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat perhiasan.

Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengan rumah Mak Semah, seorang bidan kampung yang miskin, tapi baik hati.

“Jika suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti akan datang,” pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu.
“Terim kasih, Mak!” ucap Mai Lamah dengan senang hati.

Begitu pula warga Bunguran lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat. 

“Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri,” kata Mai Lamah kepada suaminya.

“Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang,” pungkas Baitusen.
Waktu terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput. Ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur. 

Pada suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat ribuan ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak menemukan lubuk teripang, ia tidak pernah lagi mencari kerang dan siput. Ia berharap bahwa dengan mencari teripang hidupnya akan menjadi lebih baik, karena harga teripang kering di bandar Singapura dan di pasar Kwan Tong di Negeri Cina sangatlah mahal. Ia pun membawa pulang teripang-teripang untuk dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan Cina. 

Akhirnya, hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya. Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan pun berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang hasil tangkapan Baitusen dengan menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur.

Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar yang sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan Nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal-usulnya. Ia lupa kalau dirinya dulu hanyalah istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya serba kekurangan. 

Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah berubah. Kini, ia selalu memakai gincu, bedak, dan wangi-wangian. Bukan hanya penampilannya saja yang berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. Ia berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik bergaul dengan para tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam atau ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu, ia juga menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).

Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya. Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yang ia peroleh dari Mai Lamah, melainkan cibiran.

“Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk menentukan luas tanah ladang/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu akan membayar hutangmu?” Mai Lamah mencemooh Mak Semah.

Mendengar cemoohan itu, Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mai Lamah yang juga hadir di tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya.
“Istriku, penuhilah permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yang baik hati. Dulu dia telah banyak membantu kita.”
“Ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang!” seru Mai Lamah dengan ketus.

Begitulah sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan enggan untuk bergaul dengannya. 

Suatu ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan pertolongan tetanggannya. Ia hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau seberang belum juga datang. Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan Mak Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun yang bersedia menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai Lamah. 

“Ah, buat apa menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari pada harta benda,” cetus Mak Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah.

Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan.
“Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!” ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke perahu.
“Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!” seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit.
“Baiklah, Istriku!” jawab Baitusen.

Setelah mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya untuk mengambil peti emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau seberang. Dengan susah payah, saudagar kaya itu mengayuh perahunya melawan arus gelombang laut. Semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Percikan air laut pun semakin banyak yang masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke dasar laut. 

Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bungurun Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya. Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu terap yang cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai Bunguran Timur bersama suaminya. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang kedekut itu, bumi Bunguran tidak mau lagi menerimanya. Saat itu, angin pun bertiup kencang disertai hujan deras. Petir menyambar-nyambar disusul suara guntur yang menggelegar. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma menjadi batu besar dalam keadaan berbadan dua. Lama-kelamaan batu besar itu berubah menjadi sebuah pulau. Oleh masyarakat setempat, pulau tersebut dinamakan “Sanua” yang berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung layang-layang putih atau lebih kenal dengan burung walet. Hingga kini, Pulau Bunguran terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu.
* * *
Demikian cerita Legenda Pulau Senua dari daerah Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan modal yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk dari sifat kedekut (pelit), dan tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. 

Pertama, akibat buruk dari sifat kedekut (pelit). Sifat ini ditunjukkan oleh sikap Mai Lamah yang tidak mau membantu para tetanggannya yang membutuhkan pertolongan. Akibatnya, para warga pun menjauhinya dan ketika ia membutuhkan pertolongan, para warga pun enggan untuk menolongnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau hidup dengan kedekut,
bila mati bangkai bersemut
kalau hidup terlalu pelit,
alamat hidup akan tersepit
orang kedekut, mati hanyut
orang kedekut, matinya sempot
orang kedekut, mati mengerekot
orang kedekut, mati takut,

Kedua, akibat buruk dari sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap Mai Lamah yang senantiasa membangga-banggakan harta kekayaannya. Akibatnya, ia pun tersisih dari pergaulan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa yang tak mau mensyukuri nikmat,
harta yang dapat takkan berkat
apa tanda batang kemiri
buahnya keras dibuat rempah
apa tanda orang tak tahu diri
beroleh karunia hatinya pongah
wahai ananda hendaklah ingat,
siapa tak mau mensyukuri nikmat
hidupnya hina mati pun sesat
sepanjang masa dalam melarat

Minggu, 24 Februari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Selat Nasi Di Pulau Subi

Selat Nasi adalah sebuah selat yang memanjang lurus dari timur ke barat membelah Pulau Subi Kecil (di sebelah utara) dan Pulau Subi Besar (di sebelah selatan), yang terletak di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Menurut cerita, keberadaan Selat Nasi ini disebabkan oleh ulah Datuk Kaya yang menghamburkan nasi basi di Pulau Subi. Mengapa Datuk Kaya menghamburkan nasi basi sehingga menyebabkan hamburan nasi itu menjelma menjadi selat? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Selat Nasi Di Pulau Subi berikut inI.



Alkisah, di daerah Natuna, Kepulauan Riau, terdapat sebuah pulau bernama Pulau Subi yang dikuasai oleh seorang Datuk Kaya. Sang Datuk Kaya mempunyai seorang istri bernama Cik Wan dan seorang putri yang cantik nan rupawan bernama Nilam Sari. Ia seorang gadis yang rajin, berbudi pekerti luhur, dan tidak angkuh. Setiap hari ia duduk menekat (membordir), menyulam, dan merenda benang sutra. Ia juga pandai memasak dan membuat kueh-mueh. Dalam pergaulan sehari-hari, ia juga tidak membedakan antara si kaya dan si miskin untuk dijadikan sebagai teman. Tak heran jika orang-orang di sekitarnya sangat kagum dan memuji perangainya. Kapan dan di manapun orang berkumpul, pasti mereka membicarakan dirinya. 

Pada suatu hari, sekelompok pedagang dari Palembang singgah di Pulau Subi. Secara tidak sengaja mereka mendengar percakapan orang-orang kampung di pulau itu tentang kecantikan dan keelokan perangai Nilam Sari. Kemudian dari mulut ke mulut, cerita itu pun tersebar di kalangan masyarakat Palembang, dan akhirnya sampai pula ke telinga Permaisuri Raja Palembang. 

Mendengar cerita itu, Permaisuri pun bercita-cita ingin menjadikan Nilam Sari sebagai anak menantunya. Pada suatu malam, Permaisuri pun menyampaikan niat tersebut kepada putranya, Pangeran Demang Aji Jaya, dengan ungkapan berikut:

“Demang Aji, anakku semata wayang
kini dirimu telah besar panjang
umpama burung telah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat telah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
 
selesai menuntut ilmu ke sana kemari
ke Malaka sudah, ke Jawa pun sudah
ke Negeri Cina telah menamatkan pelajaran bersilat tembung,
ke negeri Hay Lam belajar kontao
ke Pathani Negeri Siam selesai mengaji
menikah saja yang belum”

Mendengar ungkapan sang Bunda, Pangeran Demang Aji Jaya terdiam sejenak. Ia berusaha untuk memahami maksud dari ungkapan Bundanya, tapi ia tetap tidak mengerti.

“Maafkan Nanda, Bunda! Nanda tidak benar-benar mengerti maksud Bunda,” ucap Pangeran Demang Aji Jaya.

Sambil tersenyum, Permaisuri kembali bertutur untuk menyampaikan harapannya kepada putranya dengan ungkapan yang lebih jelas seperti berikut ini:

“niat Bunda tersemat sudah di hati
di Negeri Palembang sedia ada kumbang jati
di Pulau Subi sedang mekar sekuntum bunga bersari wangi
setinggi Mahameru harapan Bunda hendak mengantar tepak puan (tepak sirih)
berikut pula emas-perak intan-berlian ke Pulau Subi
mengirim utusan menjunjung titah dan salam
nahkoda perpengalaman di laut dalam
penumpangnya segala cerdik pandai
ahli waris yang menyampaikan hajat hati
sirih-pinangan diunjukkan kepada Nilam Sari”

“Baiklah, Bunda! Sekarang Nanda dapat mengerti maksud dan keinginan Bunda. Jika itu sudah menjadi keinginan Bunda, Nanda bersedia untuk menikah dengan Putri Nilam Sari,” kata Pangeran Demang Aji Jaya.

Alangkah senang hati sang Bunda mendengar pernyataan putranya. Ia pun segera menyampaikan kabar gembira itu kepada sang Raja. Sang Raja pun setuju dan segera menyebarkan berita tentang pernikahan putranya dengan Nilam Sari kepada seluruh keluarga istana dan rakyat Negeri Palembang. 

Keesokan harinya, seluruh keluarga istana sibuk mempersiapkan segala hantaran dan hadiah-hadiah, seperti tepak sirih, emas-perak, dan intan berlian untuk diserahkan kepada keluarga Nilam Sari. Sang Raja kemudian menunjuk beberapa orang cerdik pandai untuk menyampaikan hajat hati (lamaran) dan beberapa orang nahkoda perpengalaman untuk menahkodai kapal menuju Pulau Subi. 

Setelah semuanya siap, para utusan Raja Palembang berangkat menuju ke Pulau Subi untuk menyampaikan lamaran Pangeran Demang Aji Jaya kepada Putri Nilam Sari. Sesampainya di Pulau Subi, utusan Raja Palembang yang diwakili seorang juru cakap mengungkapkan maksud kedatangan mereka dengan untaian pantun berikut ini:
Cantik memanjat pohon ara
Nampaknya cantik berseri laman
Besar hajat kami tidak terkira
Hendak memetik bunga di taman
Rumah besar alangnya besar
Rumah Datuk Perdana Menteri
Kalau tidak hajat yang besar
Kami tidak sampai datang kemari
Dari paya turun ke lembah
Petik pinang dipilih-pilih
Saya sudah mohonkan sembah
Adat meminang bertepak sirih

Untaian pantun yang berisi lamaran tersebut kemudian dibalas oleh keluarga Datuk Kaya Pulau Subi dengan untaian pantun pula:
Yang datang berulang-alik
Yang pergi terbayang-bayang
Yang bulat datang menggolek
Yang pipih datang melayang
Kalau bukit gunakan galah
Cepat tuan tiba ke pantai
Kalau sudah kehendak Allah
Niat terkabul hajat pun sampai

Pinangan Putra Raja Palembang, Pangeran Demang Aji Jaya, diterima oleh pihak keluarga Datuk Kaya Pulau Subi. Juru cakap Raja Palembang pun segera melantunkan pantun untuk mengungkapkan rasa suka cita dan ungkapan terima kasih atas diterimanya pinangan mereka sambil menengadahkan kedua tangannya sebagai penghormatan.
Berkokok ayam di pagi hari
Putus kali dari tambatan
Datuk sudah menerima tadi
Kecil tapak tangan saya tadahkan

Setelah peminangan selesai, kedua belah pihak kemudian menentukan hari perkawinan kedua calon mempelai pengantin. Melalui musyawarah mufakat, mereka pun memutuskan hari perkawinan sekaligus naik ke pelaminan jatuh pada hari kesepuluh bulan Syafar. 

Sebelum kembali ke negerinya, para utusan Raja Palembang dipersilahkan untuk menikmati berbagai jamuan makanan yang telah dihidangkan. Kemudian pihak keluarga Datuk Kaya memberikan hadiah kepada mereka untuk dibawa pulang ke Negeri Palembang. Setelah itu, para utusan pun mohon diri kepada keluarga Datuk Kaya Pulau Subi.

“Izinkanlah kami untuk memohon diri. Segala kata dan tingkah yang tidak berkenan mohon dimaafkan. Kami berjanji, pada hari sepuluh bulan Syafar, arak-arakan pengantin dari Palembang akan tiba di Pulau Subi ini,” janji para utusan Raja Palembang. 

“Baiklah. Kami tunggu kedatangan kalian. Kami harap tidak akan ada selisih hari dan bulan,” sahut Datuk Kaya Pulau Subi seraya berjabat tangan sebagai tanda berteguh janji.

Setelah itu, para utusan Raja Palembang kembali ke negeri mereka untuk menyampaikan berita gembira tersebut kepada raja mereka. Sang Raja Palembang dan permaisuri pun menyambutnya dengan penuh kebahagiaan.

Waktu berjalan begitu cepat. Sepekan lagi hari kesepuluh bulan Syafar akan tiba. Para penduduk Pulau Subi mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan penyambutan rombongan mempelai laki-laki dari Negeri Palembang. Ada yang sibuk membelah kayu api, dan ada pula yang menegakkan selasar (rumah sambung). Pada hari ketujuh bulan Syafar, berpuluh-puluh ekor lembu dan kambing, serta beratus-ratus ekor ayam dan itik disembelih. Pada hari kedelapan dan kesembilan bulan Syafar, kaum perempuan, tua dan muda sibuk memasak dan mengukus kue, serta menggulai dan merendang daging untuk lauk-pauk. Pemangku adat Pulau Subi pun sibuk memasang tabir dan menggantung tirai seri balai pelaminan.
 
Memasuki hari kesepuluh bulan Syafar, segala keperluan penyambutan rombongan pengantin laki-laki telah siap. Nasi berdandang-dandang dan lauk-pauk berdulang-dulang sudah terhidang. Nilam Sari pun telah dirias dengan busana yang sangat indah dan menawan. Ia mengenakan baju kurung bertepih sutra bercorak lintang tenunan Siantang, bertudung manto (tudung kepala pengantin perempuan) kain mastuli Daik-Lingga. Ikatan pending (hiasan emas tali pinggang perempuan) melilit di pingggang. Dukuh tiga rengkat terkalung di leher Nilam Sari hingga menutup dadanya, layaknya putri datuk-datuk bermahar maskawin (nilai adat) seratus dua puluh real. 

Dengan mengenakan busana itu, Putri Nilam Sari tampak semakin cantik dan anggun. Ia tidak sabar lagi menanti kedatangan sang Pangeran tampan dari Negeri Palembang. Demikian pula keluarga Datuk Kaya serta para tamu undangan yang sudah memenuhi ruang selasar. Namun, hingga hari menjelang siang, rombongan pengantin laki-laki belum juga datang. Datuk Kaya pun mulai gelisah. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah mulai memutih. Sementara istrinya, Cik Wan, berusaha menenangkan hatinya.

“Tenanglah, Bang! Sebentar lagi juga mereka datang,” bujuk Cik Wan.
Datuk Kaya pun berusaha untuk bersabar dan bersikap tenang. Hingga hari menjelang malam, rombongan pengantin dari Negeri Palembang tidak juga kunjung datang. Datuk Kaya semakin gelisah dan kesabarannya pun mulai goyah. 

“Mereka benar-benar keterlaluan! Mereka telah mengingkari janji,” ucap Datuk Kaya dengan nada kesal.
“Sabar, Bang! Barangkali mereka sedang mengalami halangan di perjalanan,” Cik Wan kembali menenangkan hati suaminya. 

Datuk Kaya dan seluruh penduduk Pulau Subi terus menunggu hingga hari kesebelas dan keduabelas. Namun, rombongan pengantin dari Negeri Palembang bulan juga tiba. Barulah pada hari ketigabelas bulan Syafar arak-arakan pengantin laki-laki Negeri Palembang tiba di Pulau Subi. Tanpa menunggu lagi, kedua mempelai segera dinikahkan dan didudukan bersanding di atas pelaminan. Melihat tamu rombongan yang datang, istri Datuk Kaya mulai bingung bagaimana menjamu mereka. Nasi yang berdandang-dandang dan lauk-pauk berdulang-dulang semuanya sudah basi. 

“Bang! Semua persediaan jamuan makanan sudah basi dan tidak layak lagi untuk dihidangkan kepada tamu kita. Apakah sebaiknya kita mengganti hidangan yang yang sudah basi itu dengan nasi dan lauk pauk yang baru?” usul Cik Wan kepada suaminya.
‘Tidak, Istriku! Biar orang Palembang itu tahu diri. Mereka telah ingkar janji. Ikrar kita pada hari kesepuluh bulan Syafar tidak mereka tepati. Pantas kalau kita hidangkan nasi dan lauk pauk basi kepada mereka,” pungkas Datuk Kaya.
“Tapi, Bang! Apa sebaiknya kita tanyakan dahulu, barangkali mereka terserang badai di perjalanan,” pinta Cik Wan.

Ternyata memang benar, rombongan pengantin laki-laki dari Negeri Palembang tersebut dilanda badai di tengah laut, sehingga mereka harus singgah di teluk Pulau Kiabu untuk berlindung dari amukan badai yang sangat dahsyat. Hal ini dikatakan oleh Pangeran Demang Aji Jaya kepada Nilam Sari di saat mereka sedang duduk bersanding di atas pelaminan. Namun, kabar itu tidak sempat terdengar oleh Datuk Kaya. Lagi pula, Datuk Kaya memang tidak mau tahu masalah itu. 

Melihat sikap suaminya itu, Cik Wan terus membujuknya agar hidangan jamuan makan untuk para tamu dari Negeri Palembang tersebut diganti dengan makanan yang baru. 

“Bang! Sebaiknya hidangan kita ganti dengan yang baru. Kita akan malu jika kita menghindangkan makanan basi buat mereka. Jika Abang tidak mengindahkan permintaan Adik, gugurkan Adik ke talak satu!” pinta Cik Wan.
Datuk Kaya tetap tidak mengindahkan permintaan Cik Wan. Bahkan, ia segera mempersilahkan kepada para tamu dari Negeri Palembang untuk mencicipi makanan basi tersebut.

“Cicipilah apa adanya yang tersedia!” seru Datuk Kaya kepada para tamunya.
Cik Wan pun semakin kesal dengan sikap suaminya itu.
“Bang! Berarti gugur talak satu buat Adik!” teriak Cik Wan.
“Hai, Cik Wan! Bukan hanya talak satu yang gugur, tapi talak tiga kujatuhkan kepadamu!” teriak Datuk Kaya sambil menghambur-hamburkan nasi basi tersebut sehingga membentuk garis memanjang seakan membelah Pulau Subi menjadi dua bagian.
“Kita bercerai berbatas nasi basi ini, Cik Wan!” pungkas Datuk Kaya.

Beberapa saat setelah Datuk Kaya menghamburkan nasi basi tersebut, tiba-tiba kilat menyambar-nyambar disertai angin kencang dan hujan deras. Air laut pun bergulung-gulung setinggi gunung menghantam Pulau Subi. Pulau Subi pun terbelah menjadi dua bagian, satu di sebelah utara dan satu lagi di bagian selatan. Pulau Subi Kecil (di sebelah utara) milik Cik Wan, sedangkan Pulau Subi Besar (di sebelah selatan) menjadi milik Datuk Kaya. Pulau Subi itu terbelah oleh sebuah selat yang memanjang lurus dari timur ke barat.  Oleh masyarakat setempat, selat itu diberi nama Selat Nasi, karena keberadaannya disebabkan oleh hamburan nasi Datuk Kaya Pulau Subi.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Selat Nasi Di Pulau Subi dari daerah Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Cerita di atas termasuk cerita legenda yang mengandung pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral penting yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat kurang dewasa dalam menghadapi permasalahan. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan tindakan Datuk Kaya Pulau Subi yang tidak melalui usul-periksa tentang penyebab keterlambatan rombongan Pangeran Demang Aji Jaya tiba di Pulau Subi.

Sabtu, 23 Februari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putri Pandan Berduri, Asal Mula Persekutuan Di Pulau Bintan

Pulau Bintan merupakan pulau yang terbesar di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Di Pulau ini terdapat Kota Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini dihuni oleh berbagai macam suku-bangsa seperti Melayu, Tionghoa, Minang, Batak, Jawa dan lain-lain. Dahulu, di Pulau Bintan juga pernah berdiam sekelompok suku-bangsa yang terkenal dengan nama Suku Sampan atau Suku Laut. Terkait dengan hal ini, ada sebuah cerita rakyat yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Kepulauan Riau, khususnya masyarakat Bintan. Cerita ini berkisah tentang Batin Lagoi, pemimpin Suku Laut atau Suku Sampan di Pulau Bintan, yang menemukan seorang bayi perempuan di semak-semak pandan di tepi laut. Batin Lagoi kemudian mengangkat bayi itu sebagai anak dan diberinya nama Putri Pandan Berduri. 



Batin Lagoi mengasuh Putri Pandan Berduri seperti layaknya seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi mengajarinya budi pekerti luhur, sehingga ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi bahasa lembut. Kecantikan dan keelokan budi Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum para pemuda kampung di Bintan. Namun, tak seorang pun yang berani meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang anak raja atau megat. Akankah tercapai cita-cita Batin Lagoi tersebut? Lalu, anak raja atau anak megat dari manakah yang akan beruntung menjadi suami Putri Pandan Berduri? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Putri Pandan Berduri berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Pulau Bintan berdiam sekumpulan orang Sampan atau orang Suku Laut. Mereka dipimpin oleh seorang Batin yang gagah perkasa. Batin Lagoi namanya. Untuk masuk ke kawasan Batin Lagoi itu, harus melalui sebuah betung yang ditumbuhi semak belukar yang rimbun.

Pada suatu hari, Batin Lagoi menyusuri pantai. Tengah berjalan santai, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan. Dengan perasaan takut, ia menerobos semak pandan itu dengan hati-hati. Tak berapa lama, didapatinya seorang bayi perempuan tergeletak beralaskan daun di antara semak pandan itu. “Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang tuanya ke mana?” Batin Lagoi bertanya dalam hati. 

Setelah menengok ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang di sekitarnya. Karena ia tidak mempunyai anak, timbullah keinginan untuk mengangkat bayi itu sebagai anak. Dengan hati-hati, diambilnya bayi itu dan dibawanya pulang. Bayi itu kemudian ia beri nama Putri Pandan Berduri. Ia memelihara Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih-sayang seperti memelihara seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi juga memberinya pelajaran budi pekerti yang luhur. 

Waktu terus berjalan. Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur bahasa dan sopan-santunnya mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan dan keelokan perangai Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum para pemuda di Pulau Bintan. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang anak raja atau anak megat. 

Sementara itu, di Pulau Galang, tersebutlah seorang Megat yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa. Sejak mereka kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar saling membantu dan saling menghormati. 

Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela sebagai batin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong. Ia sudah tidak peduli dengan adiknya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah.

Dari hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan memusuhi adiknya tanpa sebab. Pada suatu hari, Julela berkata kepada adiknya, “Hei, Jenang bodoh!” Kelak aku menjadi batin di kampung ini, maka kamu harus mematuhi segala perintahku. Jika tidak, kamu akan aku usir dari kampung ini.” 

Jenang Perkasa sangat sedih mendengar ucapan abangnya itu. Ia merasa tidak lagi dianggap sebagai saudara. Hal ini menyebabkan Jenang Perkasa merasa semakin terasing dari keluarga. Oleh karena itu, timbullah keinginannya untuk meninggalkan Pulau Galang.

Keesokan harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar tak tentu arah. Setelah berhari-hari mengarungi lautan luas, sampailah ia di Pulau Bintan. Di sana, ia tidak mengaku sebagai anak seorang megat. Ia selalu bertutur kata lembut kepada setiap orang yang diajaknya berbicara. Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu telah menarik perhatian Batin Lagoi. 

Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan lainnya. Tak ketinggalan pula Jenang Perkasa diundang dalam perjamuan itu. Jenang Perkasa pun pergi memenuhi undangan itu. Saat jamuan makan akan dimulai, ia memilih tempat yang agak jauh dari kawan-kawannya, agar air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang ia makan. Tanpa disadarinya, ternyata sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.

Usai perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa. “Wahai, Jenang Perkasa! Aku sangat terkesan dan kagum dengan keelokan budi pekertimu. Bersediakah engkau aku nikahkan dengan putriku, Pandan Berduri?” tanya Batin Lagoi. “Dengan segala kerendahan hati, saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya,” jawab Jenang Perkasa dengan sopannya. 

Rupanya, Batin Lagoi sudah lupa dengan cita-citanya untuk menikahkan putrinya dengan anak raja atau megat. Meskipun sebenarnya Jenang Perkasa adalah anak seorang megat, tetapi Batin Lagoi tidak mengetahui tentang hal itu. Ia sungguh-sungguh tertarik dengan perangai Jenang Perkasa yang baik itu.  

Seminggu kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan mereka dilangsungkan sangat meriah. Aneka minuman dan makanan dihidangkan. Tari-tarian juga dipergelarkan menghibur para pengantin dan para undangan. Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.

Tak berapa lama kemudian, Batin Lagoi mengangkat Jenang Perkasa sebagai Batin di Bintan untuk menggantikan dirinya. Jenang Perkasa memimpin rakyat Bintan dengan bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan.

Kepemimpinan Jenang Perkasa yang bijaksana itu terdengar oleh masyarakat Galang. Hingga suatu hari, datanglah sekumpulan orang dari Galang ke Pulau Bintan. “Wahai, Jenang Perkasa! Kami sudah mengetahui tentang kepemimpinanmu di Pulau Bintan ini. Maksud kedatangan kami ke sini untuk mengajak engkau kembali ke Galang mengggantikan abang Engkau yang sombong itu sebagai Batin,” kata salah seorang dari mereka. Namun, Jenang Perkasa menolaknya. Ia lebih memilih menjadi Batin di Pulau Batin. Sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan hampa.

Sementara Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang tengah Batin Mapoi, dan yang bungsu Batin Kelong. 

Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya dengan baik, agar mereka tidak menjadi orang yang sombong. Ia berharap kelak mereka akan menjadi pemimpin suku yang bertanggung jawab. Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan. 

Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.   

Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral yang dapat diambil pelajaran dalam cerita di atas adalah keutamaan perangai yang baik dan pantangan bersikap sombong. Sifat berperangai baik tercermin pada sikap dan perilaku Putri Pandan Berduri dan Jenang Perkasa. Mereka selalu bertutur kata yang lembut, sopan dan santun, sehingga mereka banyak disenangi orang. Sikap dan perilaku mereka tersebut patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. 

Sementara sifat sombong tercermin pada sifat Julela yang selalu merendahkan adiknya, Jenang Perkasa. Kesombongannya pun semakin menjadi setelah diangkat menjadi Batin Galang. Oleh karena sifatnya tersebut, ia dijauhi oleh masyarakat. Bahkan adiknya sendiri pergi meninggalkannya. Besarnya akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat sombong, sehingga sifat ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang Melayu. Bagi mereka, orang yang sombong dan angkuh akan terkucilkan dalam masyarakat. Banyak petuah amanah yang menyebutkan tentang akibat buruk dari sifat sombong dan angkuh ini, di antaranya:
kalau suka membesarkan diri,
saudara menjauh, sahabat pun lari

kalau suka berlaku angkuh,
orang benci, sahabat menjauh

Jumat, 22 Februari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Murid Durhaka


Daik Lingga merupakan Ibu Kota Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Kabupetan termuda di Indonesia yang dijuluki “Si Bungsu” ini juga disebut sebagai “Bunda Tanah Melayu.” Selain itu, Daik Lingga juga merupakan salah satu kota bersejarah di Indonesia. Dahulu, Daik pernah menjadi pusat kerajaan Riau-Lingga hampir seratus tahun lamanya. Selama periode itu, tercatat sejumlah raja yang pernah memerintah di kerajaan itu. Menurut catatan sejarah, raja-raja yang pernah memerintah di antaranya, Sultan Ambdurrahman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Muhammad Muzafar Syah (1841-1867), Sultan Badrul Alam Syah II (1857-1883), dan Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1883-1911). 

Menurut cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Daik Lingga bahwa kerajaan Daik Lingga masyhur pada saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Sultan Abdurraham Muazzam Syah. Pada masa itu, daerah taklukannya amat luas. Rakyatnya hidup aman, tenteram, rajin bekerja, patu dan taat kepada rajanya. Jika terdengar beduk berbunyi, seluruh rakyat berbondong-bondong menuju istana untuk menerima perintah sang Raja untuk membangun negeri. Mereka sangat rajin bergotong-royong dan saling membantu dalam setiap pekerjaan, sehingga kota Daik tampak ramai dan maju dengan pesatnya. 


Konon, tidak jauh dari pusat kerajaan terdapat sebuah dusun yang bernama Panggak Darat. Di dusun ini tinggal seorang guru pencak silat bersama seorang muridnya. Sang Guru bernama Apek Huang Tai, sedangkan sang Murid bernama Mahmud. Mahmud adalah murid yang cerdas dan patuh kepada gurunya, sehingga gurunya, Apek Huang Tai, sangat sayang kepadanya. Tidak ada satu pun rahasia silat yang dimilikinya yang tidak diajarkan kepada Mahmud. Setelah habis semua ilmu silat itu diajarkan kepada Mahmud, Apek Huang Tai kemudian berpesan kepada murid kesayangannya itu, agar ilmu yang telah diterimanya itu tidak digunakan untuk melakukan perbuatan tidak baik. Mahmud harus lebih bersabar, tidak boleh menganiaya orang yang tidak berdaya. Sebagai pemilik kesaktian, tentu banyak godaan untuk melanggar yang akan dihadapi Mahmud. Mampukah si Mahmud menjaga amanah gurunya itu? Apa akibatnya jika Mahmud melanggar pesan sang Guru? Ingin tahu kisah selengkapnya? Ikuti cerita rakyat Murid Durhaka berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Daik Lingga berdiri sebuah kerajaan yang bernama Daik-Lingga. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang sultan yang sangat arif dan bijaksana, Sultan Abdurrahman namanya. Seluruh rakyatnya hidup aman, tenteram, dan patuh kepadanya. Jika beduk berbunyi, seluruh rakyatnya berbondong-bondong ke istana untuk memenuhi panggilan sang Raja. 

Pada masa itu, tidak jauh dari pusat kerajaaan, ada sebuah dusun yang bernama Panggak Darat. Di dusun itu terdapat sebuah daerah perkebunan yang terletak di atas bukit yang bernama Bukit Tunggul Angus. Di bukit ini tinggallah seorang apel yang bergelar Apek Huang Tai, yang berarti angin besar. Ia diberi gelar demikian karena kemahirannya dalam bermain pencak silat. Apek Huang Tai tidak hidup sendirian, ia ditemani oleh seorang muridnya yang bernama Mahmud. Mahmud adalah anak yang sangat cerdas, patuh dan taat kepada gurunya. Oleh karena itu, Apek Huang Tai sangat sayang kepadanya sama seperti kepada anak kandungnya sendiri. Walaupun dianggap seperti anak kandungnya sendiri oleh Apek, Mahmud tetap memanggil “Apek” kepadanya. 

Setelah beberapa lama berguru pada Apek Huang Tai, tamatlah pelajaran silat si Mahmud. Kini, Mahmud telah menjadi seorang pemuda yang perkasa. Semua rahasia silat yang dimiliki gurunya ia warisi. Tak satu pun rahasia jurus-jurus yang tidak diajarkan oleh Apek Huang Tai kepadanya. Sang Guru pun merasa senang karena semua rahasia ilmu silatnya ada yang meneruskan. Namun, sebelum Mahmud meninggalkannya, Apek Huang Tai berpesan kepada Mahmud murid kesayangannya itu:

“Anakku, semua rahasia silat yang kumiliki telah kuajarkan kepadamu. Namun, perlu aku ingatkan bahwa ilmu yang kamu miliki saat ini janganlah kamu gunakan untuk hal-hal buruk. Janganlah kamu memukul atau menganiaya orang-orang yang sudah tidak berdaya. Tapi sebaliknya, hendaknya ilmu itu kamu gunakan untuk menolong yang lemah. Apabila ada orang yang berniat jahat ingin mencelakakanmu, maka bolehlah kamu gunakan ilmu silatmu. Aku rasa hanya itu pesanku kepadamu. Percayalah, Anakku! Jika kamu selalu mengingat pesanku ini, kamu akan selamat ke manapun kamu pergi. Akan tetapi, apabila kamu melanggar, maka kamu bisa celaka,” kata Apek Huang Tai kepada Mahmud.    

“Iya, Pek! Mahmud akan mengikuti semua pesan-pesan Apek,” jawab Mahmud sambil memberi hormat kepada gurunya itu. “Pek, saya sangat berterima kasih kepada Apek, karena telah mengajari saya ilmu silat. Saya tidak bisa membalas budi baik Apek. Namun, hanya sekedar membalas budi baik Apek, saya mempunyai sebidang dusun durian peninggalan orang tua saya. Separuh dari dusun ini saya berikan kepada Apek untuk hidup sehari-hari. Apek kan sudah tua, jadi tidak perlu kerja keras lagi. Semoga Apek mau menerima pemberian ini sebagai ucapan terima kasih saya kepada Apek,” tambah Mahmud.

Suasana perpisahan pun semakin haru. Dengan air mata berlinang, sang Guru menjawab dengan suara serak, “Baiklah, Anakku! Pemberianmu aku terima”. Mendengar jawaban itu, Mahmud segera menyalami gurunya. Oleh karena tidak bisa menahan rasa haru, Mahmud pun meneteskan air mata. Kemudian, ia segera merangkul gurunya yang sangat dicintainya itu.

Setelah berpamitan, Mahmud meninggalkan gurunya seorang diri di Bukit Tunggul Angus untuk melanjutkan pekerjaannya berdagang. Sebagai seorang peraih (pedagang), ia berdagang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan sampan. Akhirnya, sampailah ia di Palembang. 

Pada masa itu, di Kerajaan Palembang ada seorang panglima yang sangat masyhur karena keperkasaannya, bergelar Ayam Berkokok. Ia diberi gelar demikian, karena setiap hari ia berkokok seperti ayam jantan yang sedang mencari lawannya. Konon, belum ada seorang pun yang mampu menandingi keperkasaannya, baik di negeri Palembang itu sendiri maupun dari negeri-negeri lain di sekitarnya.

Ketika Mahmud sampai di Palembang, terdengarlah bunyi suara orang berkokok. Dengan iseng, Mahmud menjawab suara yang berkokok itu dari atas sampannya. Ia tidak tahu siapa yang berkokok dan apa maksud orang itu berkokok. Tanpa diduga, tiba-tiba seorang pengawal kerajaan mendatanginya. 

“Hei, orang yang di atas sampan! Siapa yang berkokok tadi?” tanya pengawal itu. “Mahmud, Tuan!” jawab kawan Mahmud yang juga ikut berdagang bersama Mahmud.
“Apakah kalian mengerti maksud suara yang berkokok itu?”
“Tidak, Tuan!” jawab Mahmud.
“Perlu kalian ketahui bahwa yang berkokok tadi bukanlah ayam, tapi suara Penglima Kerajaan Palembang yang sedang mencari lawan bertanding. Barang siapa yang menjawab bunyi kokok itu, maka ia harus berani melawan Panglima Kerajaan Palembang sampai mati,” jelas sang pengawal. 

Mendengar penjelasan itu, wajah Mahmud menjadi pucat. Ia merasa takut dan menyesal. Tak lengah lagi, Mahmud pun dibawa menghadap Sultan Palembang. “Hai, Orang Muda! Karena engkau telah menjawab suara Panglimaku yang berkokok itu, maka engkau harus bertanding dengannya sampai titik darah penghabisan,” kata Sultan Palembang. Mahmud pun semakin ketakutan mendengar penjelasan sang Sultan. Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hendak mundur tidak akan lagi. “Sampailah ajalku. Tapi sebelum aku mati, akan aku lawan panglima itu semampuku,” kata Mahmud dalam hati. Saat itu pula, ia terbayang-bayang pada wajah gurunya yang telah mengajarinya ilmu silat. “Barangkali inilah saatnya aku harus menggunakan ilmu silat yang diajarkan Apek,” katanya lagi dalam hati.

Keesokan harinya, pertarungan antara Mahmud dengan Panglima Ayam berkokok pun digelar. Di sekeliling gelanggang pertandingan sudah dipenuhi oleh warga yang ingin menyaksikan pertarungan seru itu. Di tengah gelanggang pertandingan, tampak pula Mahmud berdiri berhadap-hadapan dengan Panglima Ayam Berkokok. Namun sebelum aba-aba dibunyikan, juri pertandingan mengumumkan bahwa barang siapa yang kalah dalam pertandingan ini akan dihukum, dan sebaliknya barang siapa yang menang akan mendapat hadiah yang setimpal dari Sultan Palembang. 

Usai pengumuman itu, aba-aba pun dibunyikan sebagai tanda pertandingan dimulai. Panglima Ayam Berkokok tampak dengan lincahnya mengeluarkan jurus-jurus pembukanya, dan kemudian memasang kuda-kuda dengan kokoh sasa. Sementara Mahmud tampak tenang-tenang saja, meskipun dalam hatinya sangat kesal melihat tingkah Panglima itu. Ia yakin mampu mengalahkan lawannya. “Kalau memang benar gunung Daik bercabang tiga itu bertuah, aku pasti menang dalam pertandingan ini.”

Baru saja Mahmud selesai bergumam, tanpa diduga, tiba-tiba Panglima Ayam Berkokok menyerangnya. Dengan sedikit berkelik, Mahmud terhindar dari pukulan Panglima itu. Berkali-kali Panglima Ayam Berkokok menyerang Mahmud, berkali-kali pula ia memekik geram karena serangannya dapat dipatahkan oleh Mahmud. Setelah pertarungan itu berlangsung beberapa lama, Panglima Ayam Berkokok pun mulai kesal, karena setiap serangannya selalu saja ditepis oleh Mahmud. Ia pun kemudian mengeluarkan jurus pamungkasnya. Melihat hal itu, Mahmud pun mulai berhati-hati. Kali ini Mahmud tidak boleh lengah sedikit pun.  

Sementara itu, Panglima Ayam Berkokok sudah siap untuk menewaskan Mahmud. Dengan geramnya, ia menyerang Mahmud dengan jurus pamungkasnya. Namun, Mahmud dapat menepis jurus itu dengan mudahnya. Kini, Mahmud sudah bisa mengukur ilmu silat yang dimiliki Panglima Ayam Berkokok. Tampaknya Panglima itu sudah kehabisan jurus. Mahmud pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Mahmud lalu berbalik menyerang dengan melepaskan pukulan-pukulan mautnya. Terdengarlah suara pekikan dari Panglima itu, karena terkena pukulan Mahmud. Baru beberapa pukulan, Panglima itu pun jatuh tersungkur mencium tanah. Begitu ia bangun, Mahmud mengirimkan sebuah pukulan lagi yang menyebabkan Panglima itu jatuh roboh hingga tak bergerak lagi. Melihat panglimanya jatuh tak berdaya, Sultan pun menjadi cemas. Sementara rakyat yang menyaksikan peristiwa itu bersorak-sorai menyambut kemenangan Mahmud. 

Setelah itu, Sultan pun menepati janjinya. Ia kemudian mengangkat Mahmud sebagai panglima untuk mengantikan Panglima Ayam Berkokok. Mahmud kemudian terkenal dengan keperkasaannya yang tiada tandingnya. Namun, hal itu pula yang membuat Mahmud menjadi sombong, angkuh, takabbur, dan jahat. Ia merasa dirinyalah yang paling gagah dan perkasa, sehingga apapun yang dilakukannya tak seorang pun yang berani menghalanginya, termasuk Sultan Palembang. Semua perempuan, dayang-dayang dan inang-inang yang ada di istana itu dicerobohinya. Sultan pun tidak berani menentang perbuatan Mahmud yang mendurhaka itu. Oleh karena sudah tidak tahan melihat tingkah Mahmud itu, Sultan pun berniat mencari orang yang mampu mengalahkannya. Namun, tak seorang pun yang sanggup. 

Kemudian terdengarlah berita bahwa guru Mahmud yang bergelar Apek Huang Tai masih hidup di Daik Lingga. Maka disuruhlah orang menjemput Apek tersebut datang ke Palembang untuk membujuk dan menyadarkan Mahmud. Sesampainya di Palembang, Apek Huang Tai sangat marah dan menyesal mengajarkan ilmu silat kepada si Mahmud. Kini ia merasa berkewajiban untuk menyadarkan Mahmud. Kalau tidak, maka rusaklah namanya di mata orang Daik. 

Apek Huang Tai sudah mengetahui tingkat kemampuan silat Mahmud. Maka sebelum bertemu dan berkelahi dengan muridnya itu, terlebih dahulu ia membuat perangkap di sebuah titian  yang terbuat dari dua batang kayu di dekat istana. Kedua batang kayu itu dipotongnya separuh di bagian bawahnya, agar ketika Mahmud lewat di situ pastilah ia jatuh ke dalam parit, dan pada saat itulah Apek Huang Tai akan memukulnya sampai roboh.

Setelah semua yang direncanakan selesai, Apek Huang Tai pun segera menemui Mahmud di istananya. Ketika itu, Mahmud sedang asyik duduk bersenang-senang dikelilingi oleh inang-inang. Melihat kedatangan gurunya, Mahmud pun menyapanya, “Hai, Pek! Kapan datang dari Daik? Ada perlu apa Apek kemari? Apek perlu uang? Ini aku kasih uang dan kembalilah ke Daik!” Mendengar ucapan muridnya itu, Apek Huang Tai menjawab, “Anakku, kedatangan Apek kemari ingin bertemu denganmu. Apek sangat merindukanmu, Nak! Marilah kita kembali ke Daik daripada kamu berbuat kotor di istana raja ini. Masih ingatkah kamu nasihat Apek dulu? Apek ingin kamu menjadi orang baik-baik, Anakku.” 

Mendengar jawaban gurunya itu, Mahmud menjadi marah. “Hei, orang tua bangka! Kamu tahu tidak, aku di sini Panglima Kerajaan Palembang. Sekarang aku yang berkuasa di istana ini. Tak seorang pun yang boleh menghalangiku, meskipun kamu adalah guruku. Kalau kamu mau selamat kembalilah ke Daik. Tapi jika tidak mau pulang, sama artinya kamu menghantarkan nyawamu ke sini,” Mahmud mengancam gurunya.

Apek sangat sedih mendengar ucapan muridnya itu. Ia tidak menyangka kalau murid yang sangat disayanginya itu akan berbuat durhaka. “Mud, Anakku! Ayolah kita kembali ke Daik! Apek tidak ingin kamu berbuat durhaka kepada raja. Bukankah dulu Apek pernah mengajarkan kamu agar menjadi orang baik-baik, suka menolong orang lain,” Apek Huang Tai mengingatkan Mahmud.

Merasa dinasehati, kemarahan Mahmud semakin memuncak. “Hei, Pek! Kamu jangan macam-macam di hadapanku. Apakah kamu mau aku hukum di sini?” ancam Mahmud.
Melihat gelagat Mahmud itu, kesabaran Apek Huang Tai pun sudah habis. “Mud, jika kamu tidak mau pulang ke Daik, maka Apek akan memaksamu,” kata Apek Huang Tai. “Cobalah kalau berani!” Mahmud menantang gurunya. 

Begitu Apek mendekat, Mahmud pun berlari ke luar istana. Rupanya ia betul-betul ingin melawan gurunya. Sang Guru pun mengikutinya keluar. Di luar istana terjadilah pertarungan antara guru dan murid. Pertarungan itu disaksikan oleh para warga istana, termasuk Sultan Palembang. Serang-menyerang pun berlangsung seru. Masing-masing memperlihatkan kemahirannya bersilat. Guru dan murid sama-sama mempunyai gerakan dan jurus-jurus pukulan yang serupa. Semua yang menyaksikan pertarungan itu menjadi terpesona. Tak ada suara yang terdengar selain dari bunyi pukulan tinju, tendangan dan dengus-dengusan nafas mengadu kekuatan. Hanya saja, sang Guru agak kepayahan, karena usianya yang sudah tua. Sementara sang Murid yang masih muda, cerdas dan bersemangat itu, tidak menampakkan kepayahan sedikit pun. 

Tak berapa lama kemudian, pukulan-pukulan Apek Huang Tai nampak semakin lemah dan nafasnya pun mulai tersengal-sengal kepayahan. Saat itu pula ia teringat dengan titian yang telah dipersiapkannya. Secara pelan-pelan, ia bergerak mundur sambil bersilat ke arah titian. Sesampainya di titian, Apek Huang Tai dengan segala kekuatannya menyerang Mahmud hingga terdesak dan menginjak titian itu. Akhirnya keduanya saling mengadu kekuatan di atas titian. Oleh karena berat dan ditambah pula dengan gerakan-gerakan yang keras dan hebat, maka titian itu pun patah dan keduanya terjatuh ke dalam parit. Pada saat itulah, Mahmud sempat mengirimkan pukulan maut kepada gurunya, dan pada saat yang bersamaan pula sang Guru dapat mencederai Mahmud sehingga ajalnya tiba. 

Demikianlah akhir dari pertarungan seru antara guru dan murid, keduanya mati bersama-sama di dalam parit itu.
* * *
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral paling penting bagi masyarakat Panggak Darat, Kecamatan Lingga, terutama kepada guru-guru pencak silat, bahwa sebagai seorang guru pencak silat janganlah mengajarkan semua rahasia ilmu silat kepada muridnya, sekalipun kepada orang yang paling disanyangi. Hal itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti yang dialami oleh Apek Huang Tai dalam cerita di atas, yang telah mengajarkan semua rahasia ilmu silatnya kepada muridnya, Mahmud, sehingga menyebabkan Mahmud menjadi sombong, angkuh, congkak dan suka berbuat jahat. Dengan sifat-sifat tersebut pula Mahmud menjadi murid yang durhaka kepada gurunya. Akibatnya, ia meninggal di tangan gurunya sendiri.

Hal tersebut terjadi karena sang Murid sudah tidak mau mendengar nasihat sang Guru. Sekiranya Mahmud mau mendengar nasihat gurunya, tentu ia akan selamat. Dalam petuah orang tua-tua Melayu disebutkan bahwa hendaknya seorang anak ataupun murid senantiasa menjaga petuah dan amanah orang tua atau gurunya kemana ia pergi, seperti dalam ungkapan berikut ini.

peliharalah petuah amanah ini
pahatkan olehmu di dalam hati
kalau jaga dijadikan tongkat
kalau tidur dijadikan selimut
kalau berjalan jadikan pakaian

kalau anak hidup di kampung
utamakan sifat tolong menolong

kalau anak hidup di negeri
utamakan sifat kasih mengasihi

kalau anak hidup berbangsa
utamakan sifat rasa merasa

kalau anak hidup berkaum
utamakan sifat semakan seminum

kalau anak hidup beramai
bertenggang rasa berbaik niat

kalau anak di rantau orang
        fahami betul pantang dan larang