Tampilkan postingan dengan label Jawa Timur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa Timur. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Damarwulan Dan Minak Jingga

Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta sayembara ini adalah seorang pemuda bernama Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan mengalahkan Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan dan Minakjingga berikut ini.


Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali, bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu. Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet. Hingga datanglah seorang pemuda tampan dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa yang sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak, kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia pun kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang berhasil mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih Udara, patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda milik Patih Logender, seorang patih Majapahit yang ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak, “Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku, gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun, akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,” kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?” tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,” janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung. Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada di tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan. Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua orang yang bersaudara itu adalah putra Patih Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu. Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan Layang Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-tiba Damarwulan datang dan segera menyampaikan kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah memenggal kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat menenentukan siapa di antara mereka yang benar. Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas. Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat seru. Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh kekuatan masing-masing demi memenangkan pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah dengan Ratu Ayu Kencana Wungu. 


Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa Timur. Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga ini telah diangkat dalam film layar lebar.

Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita ini antara lain, pertama, sikap suka ingkar janji akan menimbulkan dampak yang buruk, seperti sikap ingkar janji Ratu Ayu Kencana Wungu mengakibatkan pecahnya peperangan antara Majapahit dan Blambangan. Kedua, sifat jahat, yakni suka merampas hak orang lain, terlihat pada perilaku Layang Seta dan Layang Kumitri yang merampas hak Damarwulan sebagai pemenang sayembara. Akibatnya, kedua orang licik itu pun masuk penjara.

Minggu, 18 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Usul Banyuwangi

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.



“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.


Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. ” Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.

“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.

Senin, 12 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Aryo Menak Dan Tujuh Bidadari

Aryo Menak adalah seorang pemuda yang sangat gemar mengembara ke tengah hutan. Pada suatu bulan purnama, ketika dia beristirahat dibawah pohon di dekat sebuah danau, dilihatnya cahaya sangat terang berpendar di pinggir danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati sumber cahaya tadi. Alangkah terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang bidadari sedang mandi dan bersenda gurau disana.



Ia sangat terpesona oleh kecantikan mereka. Timbul keinginannya untuk memiliki seorang diantara mereka. Iapun mengendap-endap, kemudian dengan secepatnya diambil sebuah selendang dari bidadari-bidadari itu.

Tak lama kemudian, para bidadari itu selesai mandi dan bergegas mengambil pakaiannya masing-masing. Merekapun terbang ke istananya di sorga kecuali yang termuda. Bidadari itu tidak dapat terbang tanpa selendangnya. Iapun sedih dan menangis. 

Aryo Menak kemudian mendekatinya. Ia berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ditanyakannya apa yang terjadi pada bidadari itu. Lalu ia mengatakan: “Ini mungkin sudah kehendak para dewa agar bidadari berdiam di bumi untuk sementara waktu. Janganlah bersedih. Saya akan berjanji menemani dan menghiburmu.”

Bidadari itu rupanya percaya dengan omongan Arya Menak. Iapun tidak menolak ketika Arya Menak menawarkan padanya untuk tinggal di rumah Arya Menak. Selanjutnya Arya Menak melamarnya. Bidadari itupun menerimanya.

Dikisahkan, bahwa bidadari itu masih memiliki kekuatan gaib. Ia dapat memasak sepanci nasi hanya dari sebutir beras. Syaratnya adalah Arya Menak tidak boleh menyaksikannya.

Pada suatu hari, Arya Menak menjadi penasaran. Beras di lumbungnya tidak pernah berkurang meskipun bidadari memasaknya setiap hari. Ketika isterinya tidak ada dirumah, ia mengendap ke dapur dan membuka panci tempat isterinya memasak nasi. Tindakan ini membuat kekuatan gaib isterinya sirna.


Bidadari sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia harus memasak beras dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras itupun makin berkurang. Pada suatu hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan. Alangkah terkejutnya bidadari itu ketika dilihatnya tersembul selendangnya yang hilang. Begitu melihat selendang tersebut, timbul keinginannya untuk pulang ke sorga. Pada suatu malam, ia mengenakan kembali semua pakaian sorganya. Tubuhnya menjadi ringan, iapun dapat terbang ke istananya.

Arya Menak menjadi sangat sedih. Karena keingintahuannya, bidadari meninggalkannya. Sejak saat itu ia dan anak keturunannya berpantang untuk memakan nasi

Jumat, 09 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Nama Kota Surabaya

Setidaknya ada tiga keterangan tentang muasal nama Surabaya. Keterangan pertama menyebutkan, nama Surabaya awalnya adalah Churabaya, desa tempat menyeberang di tepian Sungai Brantas. Hal itu tercantum dalam prasasti Trowulan I tahun 1358 Masehi. Nama Surabaya juga tercantum dalam Pujasastra Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca. Dalam tulisan itu Surabaya (Surabhaya) tercantum dalam pujasastra tentang perjalanan pesiar pada tahun 1365 yang dilakukan Hayam Wuruk, Raja Majapahit.



Namun Surabaya sendiri diyakini oleh para ahli telah ada pada tahun-tahun sebelum prasasti-prasasti tersebut dibuat. Seorang peneliti Belanda, GH Von Faber dalam karyanya En Werd Een Stad Geboren (Telah Lahir Sebuah Kota) membuat hipotesis, Surabaya didirikan Raja Kertanegara tahun 1275, sebagai pemukiman baru bagi para prajuritnya yang telah berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M.

Versi berikutnya, nama Surabaya berkait erat dengan cerita tentang perkelahian hidup dan mati antara Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon, setelah mengalahkan tentara Tartar (Mongol), Raden Wijaya yang merupakan raja pertama Majapahit, mendirikan kraton di Ujung Galuh, sekarang kawasan pelabuhan Tanjung Perak, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama Jayengrono makin kuat dan mandiri karena menguasai ilmu Buaya, sehingga mengancam kedaulatan Majapahit.

Untuk menaklukkan Jayengrono, diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung tujuh hari tujuh malam dan berakhir tragis, keduanya meninggal kehabisan tenaga.
Dalam versi lainnya lagi, kata Surabaya muncul dari mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), perlambang perjuangan antara darat dan laut. Penggambaran pertarungan itu terdapat dalam monumen suro dan boyo yang ada dekat kebun binatang di Jalan Setail Surabaya

Versi terakhir, dikeluarkan pada tahun 1975, ketika Walikota Subaya Soeparno menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya. Ini berarti pada tahun 2005 Surabaya sudah berusia 712 tahun. Penetapan itu berdasar kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata sura ing bhaya yang berarti keberanian menghadapi bahaya.

Minggu, 31 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Telaga Pasir

Telaga Pasir atau yang lebih dikenal Telaga Sarangan adalah salah satu obyek wisata air di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga seluas 30 hektar dengan kedalaman 30 meter ini tepatnya berada di kaki Gunung Lawu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan atau sekitar 18 kilometer arah barat Kota Magetan. Menurut cerita, awalnya telaga ini berupa ladang milik seorang petani bernama Kyai Pasir. Suatu ketika, terjadi sebuah peristiwa yang menimpa Kyai Pasir dan istrinya yang mengakibatkan ladang mereka berubah menjadi telaga. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Telaga Pasir berikut ini.



Di suatu tempat di kaki Gunung Lawu, Magetan, hiduplah sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah gubuk di tepi hutan. Meskipun hanya terbuat dari kayu dan beratapkan dedaunan, gubuk mungil itu sudah cukup aman bagi Kyai Pasir dan istri tercintanya dari gangguan binatang liar. Dinding gubuk itu terdiri dari susunan kulit kayu yang diikatkan pada tiang kayu dengan menggunakan rotan. Di antara dinding-dinding kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar dan masuk ke dalam gubuk.

Pekerjaan sehari-hari Kyai Pasir adalah petani ladang. Dari hasil ladang itulah ia dan istrinya dapat bertahan hidup, walaupun hanya pas-pasan. Ladang milik Kyai Pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Suatu hari, lelaki tua yang sudah mulai renta itu berangkat ke ladang dengan membawa kapak. Ia bermaksud membabat hutan untuk membuat ladang baru di dekat ladang miliknya. Ketika hendak menebang salah satu pohon besar, tiba-tiba Kyai Pasir melihat sebutir telur besar berwarna putih tergeletak di bawah pohon itu.
“Hai, telur binatang apa itu?” gumamnya dengan heran.

Kyai Pasir amat penasaran terhadap telur besar itu. Ia pun mengambil telur itu seraya mengamatinya dengan seksama.
“Ah, tidak mungkin ini telur ayam. Mana ada ayam berkeliaran di tempat ini?” Kyai Pasir kembali bergumam, “Lagi pula, telur ini lebih besar dari telur ayam.”

Kyai Pasir tidak mau pusing memikirkan itu telur binatang apa. Baginya, telur itu adalah lauk yang enak jika dimasak. Oleh karena itu, ia hendak membawa pulang telur itu untuk lauk makan siang bersama istrinya di rumah. Ketika hari menjelang siang, ia pun membawa pulang sambil telur itu dan menyerahkannya kepada istrinya.
“Bu, tolong masak telur itu untuk makan siang kita!” ujar Kyai Pasir.
“Wah, besar sekali telur ini. Baru kali ini aku melihat telur sebesar ini,” ujar Nyai Pasir dengan heran saat menerima telur itu, “Dari mana telur ini, Pak?”

Kyai Pasir pun menceritakan bagaimana ia menemukan telur itu. Setelah itu, ia kembali meminta istrinya agar segera memasak telur itu karena sudah kelaparan. Ia juga sudah tidak sabar ingin segera menyantap telur itu. Namun, sang istri masih saja terus bertanya kepadanya mengenai telur itu.
“Ini telur binatang apa, Pak?” tanya Nyai Pasir.
“Sudahlah, Bu. Tidak usah banyak tanya!” ujar Kyai Pasir mulai kesal. “Cepatlah kamu masak telur itu, perutku sudah keroncongan!” 

Nyai Pasir pun cepat-cepat membawa telur itu ke dapur untuk dimasak. Sambil menunggu telur matang, Kyai Pasir merebahkan tubuh sejenak karena kecapaian. Tak berapa lama kemudian, istrinya pun selesai memasak.
“Pak, hidangan makan siang sudah siap. Mari, makan dulu!” ajak Nyai Pasir. 

Kyai Pasir pun beranjak dari tidurnya. Ia bersama istrinya segera menyantap telur itu dengan lahap. Telur rebus tersebut mereka bagi dua sama rata. Usai makan siang, Kyai Pasir kembali ke hutan untuk melanjutkan pekerjaannya. Di tengah perjalanan, ia masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi. Namun, ketika ia sampai di ladang, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit, panas, dan kaku. Matanya pun mulai berkunang-kunang dan sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin. Ia pun merintih kesakitan.
“Aduh, kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku sakit begini,” ratap Kyai Pasir.

Semakin lama, rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Kyai Pasir pun tidak mampu menahan rasa sakit itu sehingga rebah ke tanah dan berguling-guling ke sana kemari. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seluruh tubuhnya berubah menjadi seekor ular naga yang besar. Sungutnya amat tajam dan keras. Wujudnya pun amat mengerikan. Kyai Pasir yang telah menjelma menjadi seekor naga jantan itu terus berguling-guling tanpa henti. 

Pada saat yang bersamaan, Nyai Pasir yang berada di rumah juga mengalami nasib yang sama. Rupanya, telur yang telah mereka tadi adalah telur naga. Nyai Pasir yang merasa sekujur tubuhnya terasa sakit segera berlari ke ladang untuk meminta tolong kepada Kyai Pasir. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di ladang. Ia mendapati suaminya telah berubah menjadi naga yang menakutkan. Ia pun hendak melarikan karena ketakutan. Namun karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, istri Kyai Pasir itu pun rebah dan berguling-guling di tanah. Tak lama kemudian, seluruh tubuhnya ditumbuhi sisik hingga akhirnya berubah menjadi seekor naga betina. 

Kedua naga itu berguling-guling sehingga tanah di sekitarnya berserakan dan membentuk cekungan seperti habis digali. Lama-kelamaan, cekungan tanah itu semakin luas dan dalam. Setelah itu, muncullah semburan air yang amat deras dari dasar cekungan tanah itu. Semakin lama semburan air itu semakin deras sehingga cekungan itu dipenuhi air dan berubah menjadi telaga. 

Oleh masyarakat setempat, telaga itu dinamakan Telaga Pasir yaitu diambil dari nama Kyai dan Nyai Pasir. Namun, karena lokasinya berada di Kelurahan Sarangan sehingga telaga ini biasa juga disebut Telaga Sarangan.


Demikian cerita Legenda Telaga Pasir dari daerah Jawa Timur. Hingga saat ini, legenda ini masih digemari oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Magetan. Kini, Telaga Pasir atau Sarangan ini menjadi salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Magetan.

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita legenda di atas adalah bahwa hendaknya kita lebih berhati-hati dan lebih teliti sebelum mengambil sesuatu yang belum kita ketahui asal usulnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sabtu, 30 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Gunung Arjuna

Gunung Arjuna terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat setempat, ketinggian gunung ini dahulu hampir mencapai langit. Namun, karena tersebab oleh sebuah peristiwa, gunung ini terpotong sehingga ketinggiannya hanya sekitar 3.339 meter di atas permukaan laut. Peristiwa apakah yang menyebabkan Gunung Arjuna terpotong? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Gunung Arjuna berikut ini.



Alkisah, dalam cerita pewayangan masyarakat Jawa, dikenal nama Pandawa, yang secara harfiah berarti “anak Pandu”. Jadi, Pandawa adalah putra dari Pandu. Sementara itu, Pandu adalah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Hastinapura. Prabu Pandu memiliki lima putra yang semuanya laki-laki. Mereka adalah Yudistira, Bima, Arjuna, serta si kembar Nakula dan Sadewa. Mereka semua merupakan saudara seayah karena lahir dari dua ibu yang berbeda. Yudistira, Bima, dan Arjuna lahir dari permaisuri pertama Prabu Pandu yang bernama Kunti, sedangkan Nakula dan Sadewa lahir dari permaisuri kedua yang bernama Madri.

Dari kelima Pandawa tersebut, Arjuna dikenal memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Nama Arjuna diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti yang bersinar atau yang bercahaya. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, sang Dewa Perang. Sebagai titisan Dewa Indra, Arjuna memiliki ilmu peperangan yang tinggi. Ia sangat mahir memanah dan sakti mandraguna. Semua kesaktian tersebut merupakan anugerah dari para Dewa karena ketekunannya bertapa. Namun, karena belum puas dengan kesaktian yang telah dimilikinya, Arjuna masih sering melakukan tapa untuk menambah kesaktiannya.

Pada suatu hari, Arjuna pergi bertapa ke sebuah lereng gunung yang terletak di sebelah barat Batu, Malang. Suasana di lereng gunung itu sangat cocok untuk bertapa karena wilayah di sekitarnya merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk dan jauh dari permukiman penduduk. Itulah sebabnya, Arjuna memilih tempat itu agar dapat melaksanakan tapa dengan tenang dan khusyuk. 

Setiba di lereng gunung itu, Arjuna langsung duduk bersila di atas sebuah batu besar seraya memejamkan mata untuk memusatkan segenap pikirannya. Sesaat kemudian, ia pun terlarut dalam semadinya. Siang dan malam ia terus bersemadi dengan penuh khusyuk. Saking khusyuknya, tubuh putra ketiga Prabu Pandu itu memancarkan sinar yang memiliki kekuatan luar biasa. Beberapa saat kemudian, puncak gunung itu tiba-tiba terangkat ke atas. Semakin lama, puncak gunung itu semakin menjulang tinggi hingga menyentuh langit dan mengguncang Negeri Kahyangan.

Peristiwa tersebut membuat para Dewa di Kahyangan menjadi khawatir. Jika guncangan itu terus terjadi, maka Negeri Kahyangan akan hancur. Oleh karena itu, mereka segera bertindak dengan mengutus Batara Narada ke bumi untuk mencari tahu penyebab guncangan itu. Setelah terbang berputar-putar di angkasa, ia pun melihat Arjuna sedang bertapa di lereng gunung. Ia pun segera menghampiri dan membujuk Arjuna agar menghentikan tapanya.
“Wahai Arjuna, bangunlah!” ujar Batara Narada, ”Jika kamu tidak segera menghentikan tapamu, gunung ini akan semakin tinggi dan para Dewa di Kahyangan akan celaka.”

Arjuna mendengar sabda Batara Narada itu, namun karena keangkuhannya ia enggan menghentikan tapanya. Ia berpikir, jika ia menghentikan tapa itu tentu para Dewa tidak akan memberinya banyak kesaktian. Sementara itu, Batara Narada yang gagal membujuk Arjuna segera kembali ke Kahyangan untuk melapor kepada para Dewa. Mengetahui hal itu, Batara Guru kemudian memerintahkan tujuh bidadari tercantik di Kahyangan untuk menggonda pemuda tampan itu agar mengakhiri tapanya. 

Sesampai di bumi, para bidadari segera merayu Arjuna dengan berbagai cara. Ada yang merayu dengan suara lembut, ada yang menari-nari di depannya, ada yang tertawa cekikikan, serta ada pula yang mencubit dan menggelitiknya. Namun, semua usaha tersebut tetap saja sia-sia. Akhirnya, mereka kembali ke Kahyangan dengan perasaan kecewa. 

Batara Guru yang mengetahui hal itu segera mengutus para dedemit untuk menakut-nakuti Arjuna. Namun, usaha yang mereka lakukan juga gagal. Berita tetang kegagalan itu segera mereka laporkan kepada Batara Guru.  
“Ampun, Batara Guru! Kami telah berusaha dengan berbagai cara, namun Arjuna justru semakin khusyuk dalam tapanya,” lapor salah satu dedemit.

Mendengar laporan itu, Batara Guru hanya terdiam. Pemimpin para Dewa itu mulai merasa cemas dan putus asa melihat kelakuan Arjuna. Untungnya ia segera teringat kepada Dewa Ismaya yang tak lain adalah Batara Semar, pengasuh Pandawa yang tinggal di Bumi. Ia pun mengutus Batara Narada untuk menemui Semar di Bumi.
“Wahai, Semar! Aku datang untuk meminta bantuanmu,” kata Batara Narada.
“Apa yang bisa saya bantu, Dewa Narada?” tanya Semar.

Batara Narada pun menceritakan bahwa para Dewa di Kahyangan sedang dalam bahaya akibat perbuatan Arjuna. Ia juga menceritakan bahwa sudah berbagai cara yang telah mereka lakukan untuk menghentikan tapa Arjuna, namun semuanya sia-sia belaka.
“Kamulah satu-satunya harapan para Dewa di Kahyangan yang bisa membujuk Arjuna agar segera mengakhiri tapanya,” ungkap Batara Narada.
“Baiklah, kalau begitu. Saya akan berusaha untuk menyadarkan Arjuna,” kata Semar menyanggupi.

Setelah Batara Narada kembali ke Kahyangan, Batara Semar meminta bantuan kepada Batara Togog untuk melaksanakan tugas tersebut. Setibanya di lereng gunung tersebut, keduanya langsung bersemadi untuk menambah kesaktian mereka. Setelah itu, mereka mengubah tubuh mereka menjadi besar dan kemudian berdiri di sisi gunung yang berbeda. Dengan kesektiannya, mereka memotong gunung itu tepat di tengah-tengahnya dan kemudian melemparkan bagian atas gunung itu ke arah tenggara. Begitu bagian atas gunung itu terjatuh ke tanah, terdengarlah suara dentuman yang sangat keras disertai dengan guncangan yang sangat dahsyat.
“Hai, suara apa itu?” gumam Arjuna yang terbangun dari tapanya.

Baru saja Arjuna selesai berguman, tiba-tiba Batara Semar dan Batara Togo datang menghampirinya.
“Kami telah memotong dan melemparkan puncak gunung ini, Raden,” kata Batara Semar.
“Kenapa, Guru? Gara-gara suara itu aku terbangun dari tapaku. Tentu para Dewa tidak akan menambah kesaktianku,” kata Arjuna.
“Maaf, Den! Justru tapamu itu telah membuat para Dewa menjadi resah. Lagi pula, untuk apalagi kamu meminta banyak kesaktian? Bukankah sudah cukup dengan kesaktian yang telah kamu miliki saat ini?” ujar Batara Semar.
“Benar kata Batara Semar, Den! Raden adalah seorang kesatria yang seharusnya memiliki sifat rendah hati. Apakah Raden tidak menyadari jika tapa Raden ini bisa mencelakakan banyak orang dan para Dewa?” imbuh Batara Togog.

Mendengar nasehat tersebut, Arjuna menjadi sadar dan mengakui semua kesalahannya. Ia juga tidak lupa berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara Togog karena telah menyadarkannya. Setelah itu, mereka pun segera meninggalkan gunung tersebut. 

Sejak itulah, gunung tempat Arjuna bertapa dinamakan Gunung Arjuna. Sementara itu, potongan gunung yang dilemparkan oleh Batara Semar dan Batara Togog dinamakan Gunung Wurung. Kata wurung berarti batal atau gagal. Artinya, tapa Arjuna menjadi batal atau gagal karena mendengar suara dentuman dari potongan gunung yang terjatuh.


Demikian cerita Legenda Gunung Arjuna dari daerah Malang, Jawa Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat serakah merupakan sifat yang tidak terpuji. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Arjuna yang tidak pernah merasa puas dengan kesaktian yang dimilikinya. Karena kesekarahannya, Arjuna pun mendapat teguran dari para Dewa. 

Pesan moral lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat mau mengakui kesalahan sendiri sebagaimana yang ditunjukkan oleh Arjuna. Dengan segala kerendahan hati, ia tidak malu mengakui kesalahannya. Bahkan, ia tidak sungkan untuk berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara Togog yang telah menasehatinya.

Jumat, 29 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Jaka Budug Dan Putri Kemuning

Jaka Budug adalah seorang pemuda miskin yang mengidap penyakit budug (sejenis penyakit kudis). Sebab itulah ia dipanggil dengan nama Jaka Budug. Meskipun kondisinya demikian, Jaka Budug berhasil menikahi seorang putri raja. Bagaimana Jaka Budug dapat menikahi putri raja itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Jaka Budug dan Putri Kemuning berikut ini.


Alkisah, di daerah Ngawi, Jawa Timur, tersebutlah seorang raja bernama Prabu Aryo Seto yang bertahta di Kerajaan Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Ia mempunyai seorang putri yang rupawan bernama Putri Kemuning. Sesuai namanya, tubuh sang Putri sangat harum bagaikan bunga kemuning.

Suatu hari, Putri Kemuning tiba-tiba terserang penyakit aneh. Tubuhnya yang semula berbau harum, tiba-tiba mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Sang Prabu menjadi sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau pemuda yang mau menikahi putrinya itu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh baginda, seperti memberikan putrinya obat-obatan tradisional berupa daun kemangi dan beluntas, namun penyakit sang putri belum juga sembuh. Sang Prabu juga telah mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan sang Putri.

Hati Prabu Aryo Seto semakin resah. Ia sering duduk melamun seorang diri memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata wayangnya. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan.

Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah ruang tertutup di dalam istana. Pada saat baginda larut dalam semedi, tiba-tiba terdengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya.
“Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto! Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit putrimu adalah daun sirna ganda. Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu.

Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun-alun untuk mengadakan sayembara.
“Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui perihal penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki-laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,” ujar Sang Prabu di depan rakyatnya.

Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meski demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja.

Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut adalah Jaka Budug. Jaka Budug adalah pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di dalam wilayah Kerajaan Ringin Anom. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh penyakit budug. Penyakit aneh itu sudah dideritanya sejak masih kecil. Meski demikian, Jaka Budug adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Namun, ia merasa malu dengan keadaan dirinya.

Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga hari keenam sayembara itu dilangsungkan, belum satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar kabar itu.

Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu.
“Ampun, Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban Sang Putri,” pinta Jaka Budug.

Prabu Aryo Seto tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik-bintik merah.
“Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu.
“Hamba Jaka Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Sang Prabu.


Pada mulanya, Prabu Aryo Seto ragu-ragu dengan kemampuan Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekad yang kuat, akhirnya Sang Prabu menyetujuinya.
“Baiklah, Jaka Budug! Karena tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” ucap Sang Prabu.

Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan-semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusakanya.

Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat hati-hati. Begitu ia mendekat, tiba-tiba naga itu menyerangnya dengan semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus bertubi-tubi menyerang sehingga Jaka Budug terlihat sedikit kewalahan. Lama-kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun habis.

Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari penyakit budug.

Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Naga sakti itu pun tewas seketika. Jaka Budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh badannya yang terkena penyakit budug. Seketika itu pula seluruh badannya menjadi bersih dan halus. Tak sedikit pun bintik-bintik merah yang tersisa. Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat tampan.

Setelah memetik beberapa lembar daun sirna ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang ke istana dengan perasaan gembira. Setibanya di istana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya berseri-seri. Sang Prabu hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, barulah Sang Prabu percaya dan terkagum-kagum.

Jaka Budug kemudian mempersembahkan daun sirna ganda yang diperolehnya kepada Sang Prabu. Sungguh ajaib, Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan daun sirna ganda itu. Kini, tubuh Sang Putri kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning.

Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera menikahkan Jaka Budug dengan putrinya, Putri Kemuning. Selang berapa lama setelah mereka menikah, Prabu Aryo Seto meninggal dunia. Setelah itu, Jaka Budug pun dinobatkan menjadi pewaris tahta Kerajaan Ringin Anom. Jaka Budug dan Putri Kemuning pun hidup berbahagia.
* * *
Demikian cerita legenda Jaka Budug dan Putri Kemuning dari daerah Ngawi, Jawa Timur. Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas di antaranya adalah keutamaan sifat pemberani dan pandai menepati janji. Sifat pemberani ditunjukkan oleh Jaka Budug yang tidak gentar melawan naga sakti. Berkat keberaniannya, ia berhasil mengalahkan naga itu dan mengambil daun sirna ganda untuk mengobati penyakit Sang Putri. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:  
wahai ananda banyakkan amal,
berani dengan gunakan akal
berbuat baik menari bekal
supaya mati tidak menyesal
 
Sementara itu, sifat pandai menepati janji terlihat pada sikap Prabu Aryo Seto yang menikahkan Jaka Budug dengan Putri Kemuning.