Gobe termenung di kursi reot di depan rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar seruan yang memanggil namanya, "Gobe!". Gobe terkejut. Dari balik semak muncul seorang nenek. Wajahnya sungguh menakutkan. Gobe gemetar memandangi nenek itu.
"Hehehe.... kau terkejut ya? Namaku Nenek Bici. Kita sekarang tinggal bersebelahan. Aku tetangga barumu yang tinggal di rumah bercat kuning itu," si nenek menunjuk rumah di sebelah rumah Gobe. "Kemarin aku berkenalan dengan Nona Jessy yang tinggal di depan rumahku. Ia sempat bercerita sedikit tentangmu. Katanya kamu pandai membuat kue."
"Ah, Nona Jessy suka melebih-lebihkan," Jawab Gobe merendah.
"Gobe,ini kuberikan sekeranjang telur untukmu sebagai tanda persahabatan kita. Telur-telur ini dari peternakanku sendiri," kata Nenek Bici.
"Wah, terima kasih, Nek," ujar Gobe terkejut dan gembira.
Gobe kini sibuk di dapurnya menyiapkan bahan untuk membuat kue cokelat stroberi. Gobe tidak lagi takut pada Nenek Bici. Walaupun buruk rupa, Nenek Bici ternyata baik hati. Ia mempunyai peternakan ayam petelur di pinggir kota. Setiap pagi Nenek Bici pergi ke peternakannya, dan sore hari baru kembali ke rumah. Ia tinggal seorang diri di rumah barunya.
Nenek Bici selalu sibuk di peternakannya. Ia tak punya waktu untuk membuat roti atau kue yang akan dibawanya ke peternakan untuk para pekerjanya. Gobe senang setiap kali mendapat pesanan dari Nenek yang baik hati itu.
Suatu hari Gobe melihat Nenek Bici berjalan gontai di depan rumahnya. Wajahnya tampak sedih. Gobe segera menghampirinya.
"Sore ini Nenek tampak lesu. Nenek sakit?" tanya Gobe."
Nenek Bici memandang lemah ke arah Gobe. "Tidak. Aku hanya sedih."
"Mengapa?" tanya Gobe lagi.
"Sudah sebulan ini telur-telur dari peternakanku kurang laku di pasar. Banyak peternak baru yang juga menjual telur di pasar tempat aku menjual telur-telurku."
"Berarti telur-telur itu kini menumpuk di peternakan?"
"Ya. Aku bingung harus bagaimana. Aku khawatir bila terlalu lama, telur-telur itu akan membusuk."
Gobe mencari akal untuk membantu Nenek Bici.
"Nenek Bici, aku akan membantumu menjual telur-telur itu," kata Gobe dengan wajah cerah.
"Ah, semua pasar di kota ini sudah kudatangi. Hasilnya sama saja!" seru Nenek Bici dengan nada putus asa.
"Tenang saja, Nek. Aku punya cara sendiri. Yang penting besok aku tunggu telur-telur di rumah. Tapi Nenek baru boleh meminta hasil penjualan itu sebulan kemudian," kata Gobe bersemangat.
Nenek Bici percaya pada Gobe. Karena itu, ia menuruti saran Gobe. Keesokan harinya empat peti telur telah berada di rumah Gobe. Ia segera membawanya ke dapur. Gobe mengolahnya dengan gembira. Gone membuat banyak sekali kue cokelat stroberi. Siang itu ia mengirimkan semua kue buatannya ke toko-toko kue dan roti di kota itu. Sepulang mengantarkan kue, Gobe membuat kue lagi sampai malam. Esok paginya ia mengantarkan ke toko-toko yang sama.
Setelah hampir sebulan, telur-telur Nenek Bici mulai habis. Gobe pun menghitung hasil penjualan kuenya. Lumayan juga hasilnya. Aku akan menemui Nenek Bici malam ini, pikir Gobe.
Nenek Bici sedang merajut pakaian hangat ketika Gobe datang. Saat itu udara sangat dingin. Nenek Bici menyuguhkan secangkir teh hangat.
"Nek, telur-telur itu sudah habis. Sekarang saya membawa uang Nenek."
"Kemana kau jual telur-telur itu Gobe?" tanya Nenek Bici gembira.
"Telur-telur itu tidak saya jual, Nek. Saya gunakan untuk membuat kue cokelat stroberi. Lalu saya jual di toko-toko kue dan toko roti. Ternyata kue buatan saya disukai orang."
"Oh, syukurlah Gobe. Nenek senang mendengarnya."
"Sekarang saya akan selalu memesan telur kepada Nenek untuk bahan kue. Jadi Nenek Bici tidak perlu lagi bersusah payah menjual ke pasar."
"Oh, terima kasih Gobe. Kau sungguh baik," sambut Nenek Bici terharu.
Sejak itu Nenek Bici selalu mengirimkan telur-telur dari peternakannya ke rumah Gobe. Gobe pun semakin rajin membuat dan menciptakan kue-kue baru. Dan berkat usahanya, Gobe akhirnya mampu membuka sebuah toko kue yang diberi nama "TOKO KUE GOBE."
Sumber : Majalah Bobo Terbit Tanggal 19 Juni 2003.
Penulis : Ita D. Novita.
EmoticonEmoticon