Tampilkan postingan dengan label Cerita Dongeng Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Dongeng Anak. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Mei 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Mencari Calon Putra Mahkota

Cerita dongeng, Mencari Calon Putra Mahkota
Ada seorang raja tua yang mempunyai tiga orang anak laki-laki. Raja itu bingung memilih calon pengganti yang akan ditunjuk sebagai putra mahkota. Sebenarnya, bisa saja ia menunjuk salah seorang putra yang ia sukai, Akan tetapi, tetapi ia khawatir bahwa putra pilihannya itu tidak mencintai rakyatnya. Raja yang tidak cinta kepada rakyat tidak akan memikirkan nasib rakyat. Ia akan dimusuhi rakyatnya. 

Akhirnya raja mendapat ilham untuk menguji ketiga putranya. Ketiga putranya dipanggil menghadap. Raja berkata, "Anak-anakku tercinta, saat ini aku akan menguji kalian dengan satu pertanyaan. Siapa yang paling bagus jawabannya, pertanda ia berhak menjadi putra mahkota yang akan kunobatkan menjadi penggantiku. Bagaimana, siapkah kalian bertiga untuk menjawab?" 

"Siap, Ayah!" jawab ketiga putra itu. 

"Pertanyaannya begini, kalau kalian menjadi raja, seperti apa besar cintamu kepada rakyatmu?" 

Putra tertua mengacungkan tangan. Raja mempersilakan anak itu menjawab. 

"Cintaku kepada rakyatku setinggi gunung," jawab putra tertua. 

Kemudian putra kedua menjawab, " Cintaku kepada rakyatku setinggi bintang." 

"Kini, giliranmu untuk menjawab," kata raja kepada si bungsu. 

"Cintaku kepada rakyatku seperti garam," jawab si bungsu. 

"Sekarang aku ingin tahu, mengapa cintamu kepada rakyatmu setinggi gunung?" kata raja kepada putra tertua.
"Gunung itu tinggi dan besar. Di dunia ini tidak ada benda sebesar gunung. Karena itu, tak ada yang bisa menandingi cintaku kepada rakyatku," jawab putra tertua. 

"Di pulau Madura ini tak ada gunung, yang ada hanya bukit-bukit. Di manakah engkau pernah melihat gunung?" tanya raja. 

"Aku belum pernah melihat gunung. Kata orang di Jawa banyak gunung yang tinggi sampai ke awan." 

"Engkau telah membuat perumpamaan benda yang belum pernah engkau lihat," kata raja agak kecewa terhadap penjelasan putra tertua. Kemudian, ia menunjuk putra kedua untuk mengemukakan alasan. 

"Bintang itu benda paling tinggi, jika cintaku kepada rakyatku setinggi bintang, berarti cintakulah yang paling tinggi," kata putra kedua. 

"Mengapa cintamu kepada rakyatmu seperti garam?" tanya raja kepada si bungsu. 

"Karena hidupku sehari-hari membuat garam bersama orang-orang kecil. Selain itu, setiap manusia di dunia selalu memerlukan garam pada saat makan. Jika cintaku seperti garam, berarti semua orang akan merasakan secara nyata wujud cintaku. Tak seorangpun rakyatku yang tidak mendapat cintaku, Itu maksud cintaku seperti garam," jawab si bungsu. 

Mendengar jawaban si bungsu, raja mengangguk-angguk sambil tersenyum. Agaknya, raja puas sekali dengan jawaban terakhir itu. Setelah diam sejenak, raja pun berkata, "Sekarang tiba saatnya bagiku memberi penilaian terhadap jawaban kalian. Anakku tertua bermisal dengan benda yang belum pernah dilihat. Pikiranmu terpengaruh pada apa yang engkau dengar dari orang. Jawaban anakku nomor dua yang bermisal dengan bintang menunjukkan bahwa engkau terlalu berpikir tentang benda yang jauh dari bumi, sedangkan benda bumi sendiri kauabaikan. Kemudian, jawaban anakku yang bungsu menunjukkan bahwa engkau berpikir dengan kehidupan nyata yang ada di Pulau Madura ini. Cintamu kepada rakyatmu yang seperti garam sungguh jawaban yang sangat tepat. Hal itu menunjukkan bahwa engkau dekat dengan kehidupan rakyat kecil. Oleh karena itu, aku memutuskan, anak bungsuku yang berhak menjadi putra mahkota." 

Kesimpulan
Cerita ini bisa digolongkan ke dalam dongeng nasehat yang berisi ajaran penting bagi orang-orang yang akan menjadi pemimpin. Menurut cerita ini, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memikirkan kehidupan dan kepentingan rakyatnya sehari-hari. 
Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo
Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pak Molla

cerita dongeng anak pak molla
Malam itu Pak Molla mendayung perahu kecilnya yang bercadik menuju laut lepas. Ketika berangkat meninggalkan kampung nelayan yang kecil itu, hujan gerimis membasahi tubuhnya. Jangankan hujan gerimis, hujan lebat pun kadang-kadang ia abaikan untuk memperoleh ikan di laut. 

Pak Molla adalah seorang nelayan di salah satu pulau di Kepulauan Sapeken. Pulau itu dapat ditempuh dengan berlayar selama lima belas jam dari Pulau Madura. Penghasilannya dari memancing ikan tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk belanja sehari-hari. 

Setelah perahunya agak jauh dari darat, Pak Molla mulai membuka layar. Angin sepoi-sepoi membawa perahu itu melaju di atas ombak yang tidak terlalu besar. Kemudian, ia melemparkan pancing ke laut. Ia bernyanyi-nyanyi menunggu pancingnya didekati ikan. 

Setelah dua jam di laut, beberapa ikan tongkol berhasil ditangkap Pak Molla. Hatinya mulai gembira. Gerimis pun mulai reda. 

Pada saat perahunya sedang melaju, tiba-tiba Pak Molla merasakan perahunya menabrak sesuatu. Dalam keadaan gelap, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Lalu, ia menghentikan perahunya dan menyelidiki sekitar tempat perahunya menabrak tadi. Setelah mencari ke sana kemari, tiba-tiba ia melihat sebilah papan. Setelah diperhatikan agak cermat, ternyata ada orang memeluk papan itu.

"Pasti awak perahu yang kena musibah di laut," pikir Pak Molla menaikkan orang itu ke perahu. Orang yang ditolong itu hampir tidak punya daya. Pak Molla menanyakan sesuatu kepada orang itu, tetapi ia tak bisa menjawab. Agaknya, ia belum sanggup berbicara karena ingatannya belum pulih benar.

Saat itu juga, Pak Molla memutar haluan menuju kampungnya. Setelah tiba di pantai, ia menambatkan perahunya. Lelaki yang ia tolong itu digendong ke rumah. Pak Molla segera mengganti pakaian orang yang belum diketahui dari mana asalnya itu. Kemudian, orang itu ditidurkan di balai-balai.

Pak Molla segera menyuruh istrinya membuat bubur. Setelah matang, bubur itu disuapkan kepada lelaki yang tidak dikenal itu.

"Meskipun tidak enak. Anda harus berusaha makan agar sehat kembali," kata Pak Molla kepada orang itu.

Lelaki itu mulai membuka mulut. Istri Pak Molla menyuapinya. Setelah kira-kira sepuluh sendok, orang itu menggelengkan kepala. Ia merasa sudah cukup.

Setiap hari lelaki tidak dikenal itu mendapat perawatan dan pelayanan yang memuaskan dari Pak Molla dan istrinya. Bahkan sejak di rumahnya ada lelaki itu, Pak Molla tidak pergi memancing ke laut agar ia bisa memberikan pelayanan dan pengobatan yang baik kepada lelaki malang itu.

Empat hari kemudian, lelaki dari seberang itu sudah mulai duduk. Pak Molla sangat senang karena orang yang ditolongnya punya harapan untuk hidup,

"Saya ingin tahu asal-usul Anda," tanya Pak Molla.

"Saya berasal dari Tanah Bugis, Sulawesi," jawab lelaki itu dengan suara hampir tidak terdengar. Kemudian ia melanjutkan. "Saya seorang awak perahu yang sedang berlayar menuju Pulau Jawa. Setelah beberapa hari berlayar, tiba-tiba perahu saya menabrak batu karang pada malam buta. Perahu itu hancur berkeping-keping. Untunglah, saya dapat berpegangan pada sekeping papan. Saya dihanyutkan arus dan dipermainkan gelombang kesana kemari. Entah beberapa malam saya berada di laut lepas sebelum Bapak menemukan saya."

Setelah mendengarkan pengalaman hidup orang itu. Pak Molla bertanya, "Apa maksud Anda kalau sudah sembuh? Apakah Anda tetap mau berkumpul bersama saya di sini atau Anda ingin kembali ke kampung halaman Anda?"

"Saya ingin sekali pulang," kata laki-laki itu, " saya punya istri dan anak. Mereka tentu sangat mengharapkan kepulangan saya. Saya juga sangat merindukan mereka. Tetapi, apa mungkin saya bisa pulang? Kampung halaman saya sangat jauh dari sini, sehingga saya perlu biaya besar, padahal saya sudah tidak punya apa-apa lagi."

"Tenanglah sahabat," kata Pak Molla sambil memegang pundak lelaki yang mulai meneteskan air mata itu. "Berdoalah kepada Tuhan, agar Anda segera berjumpa dengan anak istri Anda."

Setelah seminggu berada di rumah , Pak Molla, orang yang ditemukan di laut itu sehat kembali. Ia bisa berjalan cepat menuju sumur untuk mandi. Ia sangat berterima kasih atas keikhlasan hati Pak Molla merawatnya sampai ia sehat kembali.

Siang itu, Pak Molla mengajak istrinya ke tepi pantai. Istrinya heran karena hal itu jarang dilakukan Pak Molla. Biasanya Pak Molla mengajak istrinya berjalan-jalan ke pantai pada malam bulan purnama, sambil melihat air laut pasang mengantarkan buih-puih ke pantai.

"Ada apa engkau mengajakku ke pantai pada siang hari seperti ini?" tanya istrinya.

"Ada sesuatu yang perlu kurundingkan denganmu," jawab Pak Molla.

"Kenapa kita tidak berunding di rumah saja?" tanya istrinya.

"Kalau dilakukan di rumah akan terdengar orang yang kita tolong itu. Perundingan ini tidak boleh ia ketahui.

"O, begitu," kata istri Pak Molla. "Ayo katakan segera, aku ingin tahu."

"Begini. Aku akan bertanya kepadamu, bagaimana jika seandainya aku dengan perahuku terdampar di sebuah negeri yang jauh? Kemudian, aku tidak bisa pulang karena tidak punya ongkos, sedangkan aku sangat rindu padamu."

"Aku dan anakmu pasti akan sedih," jawab istri Pak Molla.

"Kemudian, dalam keadaan susah seperti itu, ada seseorang mengulurkan tangan memberi uang secukupnya kepadaku untuk pulang."

"Engkau akan gembira. Aku dan anakmu akan sangat gembira. Kita sangat berterima kasih kepada orang yang memberimu uang itu," kata istrinya.

"Nah, orang yang sangat memerlukan pertolongan untuk bertemu anak istrinya itu sekarang ada di rumah kita. Betapa gembira anak istrinya kalau ia bisa pulang ke kampungnya," kata Pak Molla.

"Apa yang bisa kita bantu? Kita sendiri tidak punya uang," kata istrinya.

"Asalkan engkau mau menolong, bisa saja ia pulang ke kampungnya. Apakah engkau mau menolongnya?" tanya Pak Molla.

"Mau. Aku akan senang menolongnya," jawab istrinya.

"Kalung yang tergantung di lehermu itu kalau dijual kukira cukup sebagai ongkos pulang ke Tanah Bugis," kata Pak Molla.

"O, ya," ujar istri Pak Molla sambil tersenyum. Kemudian, ia melepaskan kalung itu dari lehernya." Juallah kalung ini, aku akan berbahagia  kalau ia bisa berkumpul dengan anak istrinya.

Hari itu juga kalung itu ditawarkan Pak Mola kepada tetangganya. Untunglah kalung emas itu terjual dengan harga yang pantas.

Keesokan harinya, Pak Molla dan istrinya naik perahu mengantarkan orang dari Tanah Bugis itu menuju pelabuhan Sapeken. Di pelabuhan Sapeken ia dilepas, ikut perahu besar menuju ke Surabaya. Dari Surabaya ia akan menumpang perahu ke Makasar, sekarang bernama Ujung Pandang.

Dua tahun telah berlalu, Pak Molla dan istrinya tetap hidup rukun dan damai. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat keluarga itu agak susah. Sejak membantu orang dari Tanah Bugis itu, rezeki Pak Molla makin berkurang. Jika ia pergi memancing, hasilnya sangat sedikit, tidak sampai sepertiga dari pendapatannya dulu.

"Seandainya kalung Ibu tidak dijual untuk menolong orang Bugis itu, kita tidak akan mengalami paceklik seperti ini," kata anak perempuannya yang sudah remaja.

"Sabarlah, Anakku," jawab istri Pak Molla. "sesuatu yang telah disedekahkan kepada orang tak perlu diingat lagi."

"Ibumu melepaskan kalung itu dengan ikhlas," kata Pak Molla kepada anaknya. "Jangan menggagalkan amal baik yang telah kita perbuat dengan menyesalinya seperti itu. Sepantasnya kita berbahagia karena telah mengorbankan sesuatu kepada orang lain."

Pada suatu malam, saat bulan sedang purnama. Pak Molla tidak pergi memancing karena ia ingin bergembira dengan anak istrinya di pantai. Cahaya bulan yang keemasan terpantul di atas permukaan laut.

Ketika Pak Molla sekeluarga sedang duduk bercanda di atas pasir pantai, tiba-tiba datang seseorang sambil berkata, "Saya ingin menjumpai Pak Molla."

"Ya, saya Pak Molla," jawab Pak Molla agak terkejut. Ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang tidak dikenal itu karena orang itu membelakangi cahaya bulan.

"Saya akan menyampaikan kiriman dari orang yang pernah Bapak tolong di tengah laut," kata orang itu sambil menyerahkan kantong yang tidak jelas isinya. "Uang ini mohon dibelikan kelapa. Hasil panen kelapa itu, untuk biaya hidup Bapak sekeluarga."

Setelah menerima kantong itu, Pak Molla segera membukanya. Terlihat uang logam berkilauan di bawah sorotan cahaya bulan.

"Uang emas! Uang emas!" teriak istri Pak Molla.

Agak lama Pak Molla sekeluarga terpana melihat satu kantong uang emas itu, mereka takjub bercampur gembira. Setelah itu, Pak Molla menoleh untuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menyampaikan kiriman itu. Ternyata, orang itu sudah tidak ada di situ. Pak Molla melihat ke sana kemari. Tidak ada orang. Kemudian, Pak Molla dan anak istrinya melihat ke arah laut. Mereka melihat ada orang berjalan di atas permukaan laut menuju arah bulan purnama. Di kejauhan orang itu menoleh dan melambaikan tangan. Sesudah itu, ia tidak tampak lagi.

Beberapa minggu kemudian, Pak Molla telah membeli seribu batang pohon kelapa dan beberapa hektar tanah. Tidak mengherankan kalau Pak Molla kemudian hidup bahagia lahir dan batin.

Kesimpulan
Cerita ini termasuk dongeng. Hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah orang yang ikhlas beramal untuk kemanusiaan pada suatu ketika akan mendapat berkat dari Tuhan.


Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo

Senin, 24 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Para Pedagang Kucing

para pedagang kucing (pulau tikus)
"Di kampung kita ini aku seperti tak bisa berbuat apa-apa," kata Jadrin kepada istrinya. "Berdagang kecil-kecilan sudah kucoba, tetapi rugi terus. Bertani sudah kulakukan, tetapi karena tanah yang kumiliki hanya sedikit, hasilnya hanya cukup dimakan tiga bulan. Kali ini aku akan mengadu untung di Pulau Jawa.

"Pekerjaan apa yang hendak kaulakukan di sana?" tanya istrinya. 

"Telah kupikirkan masak-masak, aku akan menjadi kuli. Pekerjaan apa saja yang diberikan orang kepadaku, akan kukerjakan. Pokoknya aku mendapatkan rezeki yang halal."

"Kalau begitu, aku akan ikut ke Jawa," kata istrinya. 

"Jangan dulu! Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan dan punya penghasilan tetap, engkau akan kujemput." 

"Baiklah kalau begitu," sahut istrinya. 

Tiga hari kemudian, berangkatlah Jadrin menuju pelabuhan. Di jalan ia bertemu dengan seorang perempuan yang menggendong seorang anak kecil. Baju perempuan itu compang-camping, pertanda bahwa ia orang yang sangat miskin. 

"Tolong, Pak," seru perempuan itu kepada Jadrin, "Kucing-kucing ini tolong dibeli. Anak saya ini yatim. Ia ditinggal mati ayahnya sejak dalam kandungan. Ia sekarang sakit karena kurang makan. Kalau Bapak mau membeli tiga ekor kucing saya ini, anak yatim ini baru bisa makan. 

Jadrin memperhatikan anak busung lapar yang berada dalam gendongan ibunya itu. Wajahnya sangat kuyu dan matanya cekung mengundang rasa kasihan. Jadrin pun memperhatikan ketiga ekor kucing dalam kurungan bambu yang ada di dekat kaki perempuan miskin itu. Kucing-kucing itu tampak meronta kesana kemari, ingin keluar dari kurungan. 

Sebenarnya, Jadrin tidak tertarik membeli kucing-kucing itu. Ia tidak yakin, setibanya di Pulau Jawa ada orang yang mau membeli kucing itu. Akan tetapi, kalau kucing itu tidak ia beli, anak yatim itu tidak akan segera mendapatkan makanan. 

"Berapa harga kucing yang akan ibu jual?" tanya Jadrin.

"Bayarlah lima gobang (1 gobang = 2,5 sen) saja!" 

"Saya hanya membawa sepuluh gobang untuk ongkos berlayar ke Jawa. Kalau Ibu setuju, akan saya bayar tiga gobang." 

Wajah perempuan itu tampak berseri-seri. Ia tidak menyangka kucingnya akan terjual semahal itu. Setelah disetujui, Jadrin pun membayar dengan uang tunai. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan sambil menjinjing kurungan berisi tiga ekor kucing. 

Tiba di pelabuhan, Jadrin langsung naik ke perahu. Di atas perahu, kucing-kucing itu mengeong. Orang-orang menjadi heran karena ada kucing akan dibawa ke Pulau Jawa. Lebih heran lagi setelah mereka mendapat penjelasan dari Jadrin bahwa kucing itu akan dijual. Sejak dulu, di Madura tidak ada orang berdagang kucing.

Perahu yang dinaiki Jadrin kini berada di laut lepas. Angin barat yang kencang membawa perahu layar itu melaju cepat. Para penumpang gembira karena perahu yang mereka naiki akan segera sampai di daratan Pulau Jawa. 

Pada malam harinya, turunlah gerimis bersama angin kencang. Bunyi petir bersahut-sahutan di udara memekakkan telinga. Para penumpang ketakutan. Juru mudi tidak mampu mengendalikan perahu karena angin dan arus yang bergerak ke timur. Seharusnya perahu itu menuju ke Selatan, tetapi untuk keselamatan penumpang, perahu dibiarkan mengikuti arah arus dan angin saja.

Keesokan harinya, mereka melihat daratan. Karena ada peralatan perahu yang perlu diperbaiki, pemilik perahu dan para penumpang bersepakat untuk singgah di pulau itu. Setelah tiba di darat, tahulah mereka bahwa daratan yang mereka singgahi itu bernama Pulau Tikus.

"Mengapa disebut Pulau Tikus?" tanya Jadrin kepada penguasa pulau yang ketika itu berada di pelabuhan.

"Sebab di sini banyak sekali tikus. Penduduk pulau tidak berdaya menghadapi puluhan ribu tikus yang setiap waktu menyerang tanaman dan simpanan makanan di dalam lumbung. Pada mulanya, pulau ini sangat makmur. Akan tetapi, setelah adanya tikus yang sangat banyak itu, hidup penduduk menjadi susah."

Kemudian Jadrin memberi tahu penguasa pulau bahwa ia membawa binatang yang suka sekali memakan tikus. Penguasa pulau sangat tertarik pada binatang yang dibawa Jadrin. Ia pun meminta Jadrin untuk mengambil binatang itu di perahu.

Setelah Jadrin menunjukkan ketiga ekor kucing itu, penguasa pulau dan sebagian penduduk di pelabuhan merasa kagum. Itulah kali pertama mereka melihat kucing. Kucing-kucing itu meronta ingin keluar dari kurungan karena mereka sangat lapar.

"Jika binatang ini benar-benar suka makan tikus, saya mau membeli dengan harga lima dinar (mata uang emas lama) seekor," ujar penguasa pula,"tetapi saya ingin melihat bukti dulu."

Bersama penguasa pulau dan para penduduk, Jadrin membawa kucingnya ke perkampungan yang banyak tikusnya. Kucing-kucing  lapar itu tampak semakin liar setelah melihat tikus. Jadrin pun membuka pintu kurungan. Dengan cepat, ketiga ekor kucing itu mengejar tikus-tikus yang sedang berkeliaran. Setelah melahap seekor tikus, kucing-kucing itu pun mengejar tikus yang lain. Berpuluh-puluh ekor tikus berhasil diterkam dan dicabik kucing-kucing itu. Penduduk yang menonton pun bersorak kegirangan.

Saat ketiga ekor kucing itu memburu tikus, penguasa pulau dan beberapa orang kaya membayar harga kucing itu kepada Jadrin. Jadrin menerima lima belas keping uang emas. Setelah itu, ia kembali ke pelabuhan dengan riang gembira.

Perahu yang dinaiki Jadrin sudah selesai diperbaiki. Beberapa saat kemudian, perahu itu mengangkat sauh dan bertolak menuju Pulau Jawa.

Tiba di Pulau Jawa, Jadrin merasa tidak perlu mencari pekerjaan karena ia telah banyak mengantongi uang emas. Ketika ada perahu yang hendak berlayar ke Madura, ia pun pulang untuk menjumpai istrinya. Ia berniat menetap di kampungnya lagi. Uang emas yang dimilikinya akan dipakai untuk membeli tanah pertanian yang subur.

Satu tahun kemudian, Jadrin telah menjadi orang yang hidup layak. Segala keperluan sehari-harinya terpenuhi karena ia rajin mengerjakan tanah dan ladangnya.

Kehidupan Jadrin yang berubah menjadi baik itu membuat heran para tetangganya. Ada yang bertanya langsung kepada Jadri, dari mana dan bagaimana bisa memperoleh harta sebanyak itu. Jadrin mengaku dengan jujur bahwa kekayaan itu didapatnya dengan menjual kucing ketika perahu yang ditumpanginya dihanyutkan arus ke Pulau Tikus.

Secara diam-diam, tiga orang tetangga Jadrin mulai membeli kucing ke kampung-kampung di sekitarnya. Ada  yang berhasil membeli dua puluh lima ekor, dua puluh ekor, dan tiga puluh dua ekor. Semua kucing itu mereka beli dengan dengan harga sangat murah.

Kemudian, mereka bertiga menyewa sebuah perahu untuk mengangkut kucing-kucing itu ke Pulau Tikus. Dalam perjalanan, tidak hentinya mereka membicarakan keuntungan yang akan mereka dapat. Bahkan, mereka sempat pula merencanakan rumah yang akan dibangun, serta memilih sawah yang hendak mereka beli. Deru ombak tidak mereka perhatikan lagi.

Setelah tiga hari tiga malam berlayar, sampailah mereka ke Pulau Tikus. Kurungan-kurungan kucing diturunkan ke darat. Kemudian mereka menjumpai penguasa pulau dan menyampaikan maksud bahwa mereka membawa tujuh puluh tujuh ekor kucing untuk dijual.

"Perlu kalian ketahui bahwa tikus di pulau ini sekarang sudah habis," kata penguasa pulau dengan suara tenang. "Setahun yang lalu, kami membeli tiga ekor kucing. Kucing-kucing itu membantu kami sehingga tikus-tikus punah. Kalaupun masih ada, sudah tinggal sedikit. Jadi, penduduk pulau ini sudah tidak memerlukan kucing lagi."

Ketiga pedagang kucing itu terkulai bagai orang letih. Mereka tidak menyangka akan rugi besar seperti itu. Mereka pun pulang ke Pulau Madura dengan penuh rasa kecewa.

Kesimpulan
Cerita yang bisa digolongkan dalam dongeng ini berisi aneka macam pelajaran, antara lain, orang yang senang membantu anak yatim dan orang yang sedang mengalami penderitaan akan mendapat bantuan tidak terduga. Selain itu, setiap kebaikan di balas Tuhan dengan kebaikan pula. Cerita ini juga menyarankan bagi orang yang akan berdagang atau bekerja untuk tidak berbuat hanya karena latah. Orang yang bekerja hanya karena latah, tanpa perhitungan matang dan seksama, akan tidak memperoleh keuntungan yang diharapkan.


Sumber : Buku Cerita Dari Madura
Penulis: D. Zamawi Imron 
Penerbit : Grasindo

Sabtu, 15 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Payung Sakti

payung sakti
Pak Esmo sering mendapat ke berbagai negara. Kini setelah tugas-tugasnya selesai, Pak Esmo dan keluarganya kembali ke tanah air. Pak Esmo dikaruniai dua orang anak. Soraj dan Meyko. Kedua anak ini lahir di luar negeri. 

Pada saat liburan panjang, Pak Esmo mengajak istri dan anak-anaknya mengunjungi Keraton Vohig, milik leluhur mereka. Soraj dan Meyko sangat gembira mendengar rencana liburan itu. Keluarga mereka yang tinggal di Keraton Vohig juga sangat gembira. Sebab mereka pun telah lama tidak berjumpa dengan Pak Esmo yang sering berada di luar negeri. 

Hari yang ditunggu-tunggu Soraj dan Meyko akhirnya tiba juga. Mereka kini tiba di depan gerbang Keraton Vohig. Pertama-tama mereka harus menghadap Pak Edfo, penasehat keraton itu. Pak Edfo tersenyum ramah. Walau sudah lama tidak berjumpa, ia masih mengingat nama Pak Esmo dan istrinya. 
"Esmo dan Eyda, senang sekali bisa melihat kalian lagi. Selamat datang di Keraton Vohig ini." 

Kini keluarga Esmo bisa bebas memasuki semua wilayah keraton. Beberapa prajurit keraton mengawal mereka. Namun Soraj dan Meyko tidak diizinkan masuk ke Kastil Yeik, tempat tersimpan rahasia pusaka Keraton Vohig. 

Pada suatu hari, Soraj dan Meyko bermain bersama sepupu mereka. 
"Hei, Digha!Tolong antar kami ke kastil Yeik, ya!" bujuk Soraj. 

"Untuk apa ? Kamu kan belum diwisuda. Hanya anggota keluarga yang sudah diwisuda yang boleh ke Kastil Yeik. Disitu disimpan payung sakti milik leluhur kita," ujar Digha melotot. 

"Waaah, kamu pelit Digha. Oylu, kamu saja deh yang mengantarkan kami," Soraj kini membujuk Oylu, adik Digha. 

"Aku tidak berani. Kalian kan belum di wisuda," jawab Oylu. 

"Malamnya, Soraj bercerita dan mengeluh pada ayahnya.

"Pak, kata Digha, aku dan Meyko harus di wisuda dulu baru bisa masuk ke Kastil Yeik. 

"Diwisuda apa sih?" Seperti kuliah saja!" 
"Oh, wisuda yang dimaksud Digha adalah wisuda di Keraton Vohig. Anggota keluarga yang sudah di wisuda berhak memakai gelar bangsawan. Juga ikut memiliki segala kekayaan Keraton Vohig," kata Pak Esmo. 

"Termasuk boleh ke Yeik tempat rahasia itu ?" tanya Meyko. 

"Iya," jawab Pak Esmo singkat. 

Agar anaknya tidak penasaran, Pak Esmo mengajak mereka berkeliling wilayah kekuasaan keraton. Mereka berjalan didampingi pengawal keraton. Mereka mengunjungi peternakan, juga perkebunan sayur mayur. Lalu mengunjungi pantai dan gunung yang masih berada di wilayah kekuasaan keraton. Di sepanjang pantai terdapat benteng dan meriam-meriam kuno. 

Ketika malam pertama, bulan purnama tiba,  Keraton Vohig mengadakan wisuda. Kali ini untuk memberi gelar kepada Soraj dan Meyko. Wisuda kali ini memang agak unik. Sebab wisuda biasanya dilaksanakan tidak lama setelah si bayi lahir. Soraj dan Meyko pun bisa melihat pusaka di Kastil Yeik. 

Pada puncak acara wisuda, Soraj dan Meyko diizinkan melihat kastil Yeik. Pak Edfo, penasehat keraton menerangkan pada mereka. 
"Inilah payung pusaka leluhur kita. Payung ini terbuat dari kulit binatang. Jari-jarinya terbuat dari tiga anak panah yang ujungnya dari emas putih. Jika payung ini dikembangkan, bisa menghentikan hujan. Jika dikuncupkan bisa mendatangkan hujan. Benda pusaka ini hanya digunakan jika diperlukan saja. Dan kesaktiaannya hanya di sekitar wilayah Keraton Vohig. 

Kini Soraj dan Meyko baru mengerti, mengapa Digha dan Oylu dulu tidak mau mengantar mereka ke Kastil Yeik. Pusaka leluhur mereka itu ternyata hebat sekali. Berbahaya kalau jatuh ke tangan orang jahat. 

Keesokan paginya, Soraj dan Meyko minta diantar oleh pengawal untuk berkeliling desa. Di desa, kedua anak itu melihat penduduk desa mengangkut dari sungai. Anak-anak seumur mereka juga tampak giat mengangkut air. Air itu digunakan untuk menyiram kebun buah-buahan dan sayuran. 

"Pak, mengapa tidak mengambil air dari sumur?" Meyko bertanya pada salah seorang petani. 

"Ini musim kemarau, Nak. Sumur kami kering. Sudah lama hujan tidak turun," jawab si petani. Mendengar itu Soraj dan Meyko jadi sedih. Kasihan petani itu. Kasihan juga anak-anak di desa ini. Di saat liburan, mereka harus bekerja keras mengangkat air. Timbul keinginan Soraj dan Meyko untuk menolong penduduk desa. 

"Meyko, ayo kita kuncupkan payung sakti agar hujan turun," kata Soraj kepada adiknya. 

"Aku setuju, ini kan untuk kepentingan orang banyak, " jawab Meyko. 

Malam harinya, kakak beradik itu masuk ke Kastil Yeik. Mereka menguncupkan payung sakti. Baru saja mereka menguncupkan payung itu, terdengar suara petir menggelegar. Soraj dan Meyko lega karena hujan turun membasahi wilayah Keraton Vohig. Pagi harinya mereka segera mengembangkan payung sakti itu. Hujan pun berhenti. 

Soraj dan Meyko kembali berkeliling desa, para petani tampak sudah mengambil air dari sumur. Dan, anak-anak bermain riang di sungai. 

Sumber : Majalah Bobo Tanggal 19 Juni 2015. 
Penulis : Hernadi Setiawan

Kamis, 13 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Raja Minos dan Minotour

kisah raja minos dan minotour
Di sebuah pulau yang bernama Pulau Kreta, hiduplah seorang putra dewa. Ia sering dipanggil dengan nama Minos, putra Dewa Zeus, dewa tertinggi di negeri knossus dengan Dewi Europa, dewi tercantik di antara dewi-dewi yang lain.

Setelah dewasa, Minos diangkat menjadi raja untuk memimpin negeri Knossus. Semenjak Minos menjadi raja, ia sangat ditakuti dan disegani. Beberapa bulan kemudian, Minos mempersunting putri Helios salah satu dewa. Sang permaisuri yang bernama Pasiphae dibawa ke istananya yang mewah dan indah di Knossus. Dari perkawinannya itu, Raja Minos dikaruniai empat anak. Mereka adalah Andragonis, Blancus, Ariadne dan Phaedra. Semasa Minos meniliki seorang Abdi "Daedalus", seorang seniman ulung dan cerdas. 

Dengan keahliannya, Daedalus mampu menciptakan berbagai keperluan istana. Dari mulai senjata, patung, bahkan membuat puri pemujaan terhadap Dewi Aphrodite, dewi kecantikan yang sangat indah. 

Suatu ketika Raja Minos mendapat hadiah seekor banteng dari Dewa Poseidon, dewa penguasa lautan. Melihat keelokan banteng jantan ini, Permaisuri Pasiphae terpesona. Ia pun memerintahkan seniman ulung Daedalus, untuk membuat banteng betina yang tak kalah eloknya. Uniknya, permintaan itu sang banteng harus bisa hidup seperti layaknya banteng yang lain. 

"Tolong buatkan aku seekor banteng betina. Aku ingin banteng betina itu bisa hidup," kata permaisuri Pasiphae.

Daedalus terkejut mendengar permintaan permaisuri Pasiphae. Namun, ia tak berani menolak. Untuk memuaskan sang permaisuri, Daedalus segera mempersiapkan peralatan untuk bekerja membuat banteng betina. Dengan berpuasa dan memohon pada dewa, agar banteng ciptaannya bisa hidup. Setelah dirasa selesai, Daedalus berdoa memohon pada dewa. 

Ajaib!

Hanya dalam waktu singkat perlahan-lahan banteng betina dari kayu mulai bergerak. Hal itu membuat sang permaisuri sangat gembira. Beberapa bulan kemudian setelah, setelah dikawinkan dengan banteng putih Raja Minos, banteng betina itu melahirkan seekor anak yang sangat aneh. Atau lebih tepatnya mirip monster. Makhluk yang berkepala banteng, namun berbadan manusia. Oleh sang Permaisuri monster itu diberi nama Minotour.

Kabar tentang banteng yang melahirkan monster membuat Raja Minos marah. Segera Raja Minos memanggil Daedalus. Ia dianggap telah membuat kesalahan besar. Daedalus dan keluarganya dipenjara. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Daedalus tak menyangka, kalau perbuatannya justru menimbulkan petaka bagi keluarganya. Selama di penjara Daedalus berupaya untuk meloloskan diri. Berbekal keahliannya, ia membuat peralatan untuk bisa meloloskan diri.

Dalam beberapa hari, ia berhasil menciptakan beberapa pasang sayap yang disambung dan direkatkan dengan lilin. Dengan menggunakan tali, sayap kayu itu diikatkan ke tangan dan tubuhnya. Usaha untuk meloloskan diri berhasil. Daedalus keluarganya dapat terbang ke angkasa, tanpa sepengetahuan penjaga penjara. Namun malang bagi Ikaria, anak Daedalus. Karena kegirangan ia terbang melambung tinggi hingga melewati matahari.

"Anakku! Jangan terlalu tinggi! Marilah segera turun di tempat yang aman!" tegur Daedalus.

"Sedikit lagi, Ayah. Aku ingin menikmati kebebasan ini," bantah Ikaria.

Ikaria terlalu menikmati penerbangannya, hingga lupa diri. Segala nasihat ayahnya tak dihiraukan. Tanpa disadari sayap yang dilumuri lilin itu pun kian lama kian meleleh, terkena sengatan matahari. Dalam waktu singkat keseimbangan Ikaria goyah. Ia tidak bisa mengendalikan sayapnya. Dan akhirnya jatuh di sebuah laut dan tenggelam di dasar laut.

Konon laut di mana anak Daedalus terjatuh dinamakan laut Ikaria.

Sementara itu, monster Minotour telah membuat penduduk negeri itu ketakutan. Karena setiap hari monster itu memakan manusia. akhirnya, masa kejayaan dan pemerintahan Raja Minos musnah bersama hilangnya peradaban Pulau Kreta dan binasanya monster minotour.

Sumber : Majalah Bobo Edisi 02 Thn III, 27 Mei - 3 Juni 2003
Diceritakan kembali oleh : Mazsoes
Ilustrasi oleh : Supriyanto

Senin, 10 April 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Ting Gegenting

ting gegenting
Seorang anak yatim tinggal dengan ibunya. Mereka hidup sebagai petani. Tinggalnya di suatu dusun di tepi hutan. 

Pada suatu hari, sang anak kelaparan. Ia berkata kepada Ibunya, "Ting, gegenting, perutku sudah genting kelaparan mau makan." 

"Ibunya menjawab, "Tunggulah, anakku, sebentar, Ibu mau menebas ladang dulu." 

Setelah ibunya selesai menebas ladang, si anak bangun dari tidurnya dan merengek kembali, "Ting, gegenting, perutku sudah genting kelaparan, mau makan!" 

Sekali lagi ibunya menjawab,"Tunggu, Nak, Ibu mau membakar ladang dulu." 

Karena lemah, sang anak tidur lagi. Setelah ibunya selesai membakar ranting-ranting dan daun-daun di atas ladang, si anak pun terjaga karena lapar perutnya. 

"Ting, gegenting, perutku sudah genting kelaparan, mau makan," tangisnya. 

Ibunya menjawab, Tunggu, Nak, Ibu mau menanam padi dulu." 

Si anak pun tertidur lagi. Setelah ibunya selesai menanam padi, si anak pun terbangun lalu menangis minta makan. 

"Ting, gegenting, perutku sudah kelaparan, mau makan!" 

Lagi-lagi ibunya menjawab, "Tunggu, Nak, Ibu masih mau merumput (membersihkan rumput yang tumbuh) dulu." 

Mendengar ini si anak tertidur kembali. Tidak lama kemudia si anak bangun dan menangis. 
"Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan, mau makan!" 

"Tunggu sebentar, Nak, padi sudah berbuah." 

Si anak pun tertidur kembali. 
"Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

Jawab Ibunya, "Tunggu, Nak, padi kita sudah menguning ujungnya." 

Si anak pun tertidur kembali. Setelah tidur cukup lama, si anak terbangun lagi dan merengek. 
"Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

Lagi-lagi si ibu menjawab. "Tunggu, Nak, padi kita sudah masak, Ibu mau memotong padi dulu." 

Mendengar janji ini, si anak segera tertidur. Tiba-tiba si anak bangun kembali dan menangis. 
"Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

"Tunggu, Nak, Ibu masih mau mengirik (memisahkan padi dari tangkainya) padi dulu." 

Anak pun tertidur kembali. Lewat beberapa waktu si anak pun bangun.
"Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

"Tunggu sebentar, Nak, Ibu mau menampi gabah dulu," 

Si anak tidur dengan hati gelisah. Perutnya yang lapar tak lama pun membangunkannya. Ia merasa lapar lagi. Ia menangis lagi. 
"Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

Ibunya menjawab," Tunggu, Nak, Ibu mau menjemur gabah dulu." 

Oleh karena kecewanya, si anak pun tidur lagi. Ia bangun dan menangis lagi. 
 "Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

Ibunya menjawab, " Tunggu Nak, Ibu mau menumbuk gabah dulu." 

Selesai menumbuk gabah, terdengar lagi suara anaknya merintih sedih," "Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

Jawab Ibunya, " Tunggu, Nak, Ibu mau menampi beras dulu." 

Setelah ibunya selesai mencuci beras, anaknya sudah terjaga sambil menangis, "Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan!"

"Sabar, Nak, Ibu masih mau menanak nasi dulu," jawab ibunya. 

Si anak yang sudah lemah badannya segera tertidur. Tak lama ia bangun lagi. Ia terus merengek dan menangis ...suaranya terengah-engah. 
"Ting ge....genting ... pe ... rutku ... suuu ... dah genting, ke ...laparan, mau maa....kaannn." 

Akhirnya ibunya menjawab," sebentar lagi, Nak. Ibu mau menempatkan nasi di piring dulu." 

Akan tetapi, ketika si anak bangun mau makan, tiba-tiba tingnggngng ... putuslah perutnya yang sudah genting karena sudah kelaparan, sehingga tidak dapat lagi melanjutkan hidupnya di dunia ini. 

Sang Ibu dengan hati sedih mendekati anaknya. Ia menangis sedih. 

Kesimpulan
Dongeng terdapat di daerah Endikat (Lahat) di Palembang dan diceritakan kepada anak-anak yang tidak suka makan agar mau makan. 
Dongeng ini mengajarkan kepada kita agar jangan rewel pada waktu makan, karena harus diingat, bahwa di dunia ini banyak sekali anak-anak yang mati kelaparan karena tidak ada persediaan makanan. 
Di samping itu dongeng ini juga sangat menarik, karena dapat membuktikan kepada kita bahwa untuk menghasilkan sepiring nasi saja tidak mudah, karena harus melewati berbagai tahap yang cukup memakan waktu dan tenaga. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali meremehkan nasi, yang setiap hari disajikan kepada kita oleh orang tua kita. 

Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo

Jumat, 31 Maret 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pengorbanan Alexander

Pengorbanan Alexander
Malam itu Yuri dan Anna, istrinya, dalam perjalanan pulang dari kota. Dmitry, bayi mereka tidur lelap di pelukan. Mobil tua bak terbuka milik Yuri menderu-deru di tengah lebatnya salju. Ketika sudah dekat rumah, lampu mobil menyorot benda berbulu tergeletak di jalan. Yuri turun untuk memeriksa. Ternyata seekor beruang. Jantungnya masih berdenyut. Yuri menaikkan beruang itu ke bak belakang dan menyelimutinya dengan karung bekas gandum.

Setiba di rumah, Yuri segera membasuh dan membalut luka-luka beruang itu. "Bagaimana kalau ia kita beri nama Alexander?" Yuri meminta pendapat istrinya. Anna mengangguk setuju. 

Tiga hari kemudian, Alexander mulai pulih. Ia sudah bisa leluasa bergerak, bergulungan di salju. Yuri dan Anna sangat kagum, ternyata beruang itu sangat lembut dan bersahabat. Alexander lebih sering menyembunyikan kuku-kukunya yang tajam dibalik tebalnya bulu-bulunya. 

Yuri dan Anna menganggap Alexander sebagai anggota keluarga mereka. Anna mengajari beruang itu cara menggoyang-goyang boks Dmitry dan memegangi botol susunya. Alexander melakukan semua itu dengan sempurna. 

Pada mulanya, orang-orang di sekitar mereka menganggap tindakan keluarga Yuri sangatlah berbahaya. Mereka buru-buru menutup pintu rumah jika melihat Alexander bermain-main di luar. 

"Kau harus membuktikan bahwa kau seperti mereka kira, Alexander," kata Yuri sambil mengelus-ngelus bulu Alexander. 

Alexander seperti mengerti perkataan Yuri. Ia menunjukkan kasih sayangnya pada lingkungan sekitarnya. Ia bercanda dengan Angus si sapi. Serta menggiring Olga domba ketika Yuri hendak memangkas bulu-bulu mereka untuk dibuat wool yang hangat. Ow, Alexander juga membantu Pak Tua Oliver mendorong gerobak jeraminya menaiki tanjakan. 

"Ouf, terima kasih, Alexander," kata Pak Tua Oliver sambil menyeka peluhnya. Pak Tua Oliver lalu memberikan Alexander sebuah apel.

Lambat laun, orang-orang mulai menerima Alexander di tengah-tengah mereka. Ia tidak lagi dianggap sebagai binatang buas berbahaya. 

Suatu malam, Yuri dan Anna diundang ke sebuah pesta agak jauh di kota. Dmitry ditinggal di rumah ditemani Alexander. Pintu rumah dikunci dari luar agar tidak dimasuki orang jahat. Yuri sangat percaya pada Alexander. 

Melihat Dmitry tidur nyenyak, Alexander merebahkan tubuhnya di dekat boks bayi. Semua keperluan Dmitry telah disiapkan di dekatnya. Jika bayi itu terbangun, Alexander tinggal memberikan botol susu, atau menggoyang-goyangkan boks bayinya. 

Ketika sedang terkantuk-kantuk. Hidung Alexander mencium bau benda terbakar. Ya ampun, ternyata api telah berkobar di dapur. Dan mulai menjilat gorden dan benda-benda mudah terbakar lainnya. Alexander agak panik. Untunglah ia teringat untuk menyelamatkan tuannya. Alexander segera mengangkat Dmitry dan menggendongnya di pundak. Di pecahkannya kaca jendela dan melompat keluar. Api yang mengganas membuatnya semakin takut dan berlari tak tentu arah. Tanpa sadar ia telah jauh masuk ke dalam hutan yang dihuni kawanan serigala. 

Kekalutan makin mencekam. Serigala-serigala pembunuh itu mengepung Alexander dan Dmitry . Arrgh! Alexander berulang kali mengeluarkan auman yang menakutkan. Serigala-serigala itu menggonggong sambil memamerkan tajamnya taring-taring mereka. 

Susah payah Alexander mencoba mengadakan perlawanan. Untuk pertama kalinya ia menggunakan cakar-cakarnya untuk mengusir serigala yang menyerangnya. Sementara sebelah tangannya erat memeluk Dmitry. Beberapa cakaran sempat bersarang di tubuh serigala-serigala itu. Namun, karena jumlah yang tak seimbang, justru Alexanderlah yang lebih banyak terluka. Dengan auman terakhir yang sangat keras, ia memaksa kawanan serigala itu lari tunggang langgang. Tak kuasa menahan pedihnya luka-luka di sekujur tubuhnya, Alexander roboh ke tanah yang diliputi salju. 

Orang-orang desa membantu keluarga Yuri memadamkan api di rumahnya yang sebagian besar telah hangus. Mereka menemukan keranjang Dmitry kosong tanpa pemiliknya. 

"Oh...Yuri! Di mana Dmitry, anak kita?" Anna menangis histeris. 

Tiba-tiba seseorang dari mereka berteriak, "Hei! Ada jejak Alexander di salju!" warga desa sepakat mengikuti jejak-jejak itu. 

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar tangis kecil Dmitry. Ketika ditemukan, ia dalam pelukan Alexander yang hangat. Ada bercak-bercak darah di wajah Dmitry, namun tak ditemukan sedikitpun luka padanya. Tapi sungguh tragis, si beruang sahabat warga desa itu tak dapat diselamatkan nyawanya. Ia telah kehilangan banyak darah. 

Alexander dikuburkan tak jauh dari peternakan. Pemakamannya dihadiri orang-orang yang pernah ditolong dan disapanya tiap pagi. Semua terharu akan pengorbanan seekor beruang untuk sahabat manusianya. 

Sumber : Majalah Bobo Terbitan 19 Juni 2003
Diterjemahkan oleh Tatas Ajidharma