Tampilkan postingan dengan label Bengkulu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bengkulu. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putri Gading Cempaka

Putri Gading Cempaka adalah putri bungsu Raja Ratu Agung yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Menurut cerita, Putri Cempaka adalah leluhur dari raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, Bengkulu Utara. Bagaimana kisah selengkapnya? Ikuti dalam cerita Putri Gading Cempaka berikut ini. 

Dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu, pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sungai Serut. Pendiri sekaligus raja pertama kerajaan ini bernama Ratu Agung, yaitu seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi. Ratu Agung memerintah negeri itu dengan arif dan bijaksana. Walaupun rakyat yang diperintahnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan tinggi, tegap, dan besar, ia tetap sebagai raja yang disegani oleh seluruh rakyatnya.
Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra tersebut adalah Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam, dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka. Menurut cerita, kerajaan ini menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meskipun usianya baru beranjak remaja, keelokan paras sang Putri sudah terlihat sangat jelas, anggun dan mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya, namun semuanya ditolak oleh Ratu Agung karena sang Putri masih belum cukup umur.
Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka pun tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, penguasa Kerajaan Sungai Serut itu sakit keras. Ia mendapat firasat bahwa ajalnya tidak lama lagi tiba. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.
“Wahai, anak-anakku. Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia ini. Maka sebelum itu, Ayahanda akan menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata sang Ayah dengan suara lirih.
Mendengar perkataan itu, wajah ketujuh anak raja itu mendadak lesu, terutama Putri Gading Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya pun berderai membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah,” isak Putri Gading Cempaka seraya merangkul ayahandanya. 
“Sudahlah, Putriku. Semua ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ajal kita semua ada di tangan-Nya. Kita tidak kuasa menahan jika ajal itu datang,” ujar Raja Ratu Agung menengkan hati putrinya. Raja yang arif dan bijaksana itu kemudian menyampaikan wasiatnya.
“Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Aku mewasiatkan tahta Kerajaan Sungai Serut ini kepada putraku Anak Dalam. Aku berharap agar kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka,“ ujar Ratu Agung kepada putra-putrinya seraya melanjutkan wasiatnya yang kedua, “Sekiranya negeri Sungai Serut ditimpa musibah besar dan tidak bisa lagi dipertahankan, menyingkirlah kalian ke Gunung Bungkuk. Kelak di sana akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.”
Wasiat tentang tahta Kerajaan Sungai Serut itu pun diterima oleh Anak Dalam tanpa ada ada rasa iri hati dari kelima saudara tuanya. Bahkan, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta. Selang beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung pun menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh negeri pun berduka-cita. Putri Gading Cempaka seolah tidak rela melepas kepergian ayahanda yang amat dicintainya itu. Namun, sang Putri pun hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.
Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Namun, nama kerajaan itu kini bernama Kerajaan Bangkahulu. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam adalah pemimpin yang arif sehingga ia dan keenam saudaranya senantiasa hidup rukun dan damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat negeri kian dikenal. Sudah banyak bangsawan maupun pangeran yang datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. 
Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh hendak meminang sang Putri. Pangeran itu datang bersama segenap hulubalangnya dengan menggunakan kapal layar. Setiba di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke istana untuk menyampaikan pinangannya kepada Raja Anak Dalam.
“Ampun, Baginda. Hamba adalah  utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari Kerajaan Aceh. Saat ini beliau menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga,” kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.
“Apa yang bisa saya bantu untuk Pangeran kalian?” tanya Raja Anak Dalam.
“Sebenarnya kedatangan hamba ke mari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Putri Gading Cempaka,” jawab utusan itu.
Raja Anak dalam tidak mau mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak semua saudaranya untuk membicarakan masalah tersebut. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sejenak. Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan untuk menyampaikan hasil mufakat yang telah mereka putuskan.
“Maafkan kami, wahai utusan. Pinangan Tuan kalian belum dapat kami kabulkan,” kata Raja Anak Dalam.
Serentak para utusan itu terkejut. Dengan perasaan kecewa, mereka segera kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa murkanya Pangeran dari Tanah Rencong itu saat mendengar laporan tersebut.
“Apa?! Mereka menolak pinanganku?!” kata Raja Muda Aceh geram.
Merasa dikecewakan, Raja Muda Aceh menjadi marah dan menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar tak terhindarkan dan berlangsung hingga berhari-hari dengan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Perang terus berkecamuk. Mayat-mayat yang sudah berhari-hari bergelimpangan tanpa terurus mulai membusuk. Raja Anak Dalam dan seluruh pasukannya tidak tahan lagi menahan bau busuk tersebut. Saat itulah, sang Raja teringat pada wasiat ayahandanya.
“Wahai saudara-saudaraku! Sesuai dengan pesan ayahanda bahwa jika negeri ini sudah tidak aman lagi, kita disarankan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk,” kata Raja Anak Dalam.
Akhirnya, Raja Anak Dalam serta keenam saudaranya segera menarik diri menuju Gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama pasukannya yang masih hidup kembali ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil.
Sepeninggal para pemimpinnya, Kerajaan Bangkahulu menjadi kacau. Mendengar kabar tersebut, datanglah empat pasirah (bangsawan) Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Namun, setelah berhasil menguasai negeri tersebut, mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan.
Menurut cerita, pertikaian keempat pasirah tersebut didamaikan oleh Maharaja Sakti. Ia adalah utusan Kerajaan Pagaruyung, kerajaan di Minangkabau yang diperintah oleh Seri Maharaja Diraja, untuk berkelana. Akhirnya, keempat pasirah tersebut segera menghadap Sultan Pagaruyung untuk memohon agar Maharaja Sakti yang adil dan bijaksana itu diangkat menjadi raja di Bangkahulu. Permohonan mereka dikambulkan. Upacara penobatan Maharaja Sakti pun dilaksanakan di balairung Kerajaan Pagaruyung.
Setelah itu, Baginda Maharaja Sakti berangkat menuju ke Bangkahulu dengan diiringi oleh ratusan pengawal dan juga oleh keempat pasirah. Setiba di sana, upacara penobatan sebagai raja di negeri itu pun telah disiapkan. Namun, ketika upacara itu akan dimulai, tiba-tiba langit menjadi gelap, lalu turunlah hujan yang sangat deras disertai angin kencang. Atas kesepakatan bersama, upacara itu akhirnya ditunda sambil menunggu cuaca kembali cerah. Namun, hingga malam hari, hujan dan badai tak kunjung berhenti.
Malam itu, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari sedang menari-nari di tengah hujan badai. Ajaibnya, tak sedikit pun tubuh bidadari itu basah terkena air hujan. Bidadari itu kemudian menuju ke Gunung Bungkuk. Keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti menceritakan perihal mimpinya kepada keempat pasirah yang kemudian meminta seorang peramal untuk menafsirkan mimpi tersebut.
“Ampun, Baginda. Ternyata, bidadari cantik yang ada di dalam mimpi Baginda adalah Putri Gading Cempaka, putri penguasa wilayah ini di masa lalu. Kini, ia tinggal di Gunung Bungkuk bersama keenam saudaranya. Jika Baginda bisa membawanya ke sini,  Baginda akan mendirikan negeri ini tegak kembali dengan selamat. Menurut ramalan hamba, Putri Gading Cempaka kelak akan menurunkan raja-raja di negeri ini,” ungkap peramal itu.
Mendengar keterangan tersebut, sang Baginda pun berhasrat meminang sang Putri. Ia lalu mengutus keempat pasirah dan beberapa pengawalnya untuk menjemput Putri Gading Cempaka di Gunung Bungkuk. Setiba di sana, mereka menghadap Raja Anak Dalam dan semua saudaranya.
“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan dari Tuanku Baginda Maharaja Sakti. Atas titah beliau, hamba diminta untuk menjemput Tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian. Baginda Maharaja Sakti bermaksud mengangkat Tuanku Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri di Negeri Bangkahulu,” ungkap para utusan itu.
Raja Anak Dalam bersama saudara-saudaranya pun menerima pinangan Maharaja Sakti sesuai dengan wasiat ayah mereka. Akhirnya, pesta pernikahan Putri Gading Cempaka dengan Maharaja Sakti pun dilangsungkan di Bangkahulu. Pesta berlangsung meriah karena bersamaan dengan upacara penobatan Maharaja Sakti menjadi raja di Negeri Bangkahulu.
Setelah menikah, dibangunlah istana baru yang megah sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena letak istana itu berada di Kuala Sungai Lemau, maka kerajaan itu pun berganti nama menjadi Kerajaan Sungai Lemau. Baginda Maharaja Sakti memimpin kerajaan itu dengan arif dan bijaksana. Ia dan permaisurinya pun hidup bahagia. Begitulah kisah Putri Gading Cempaka yang telah menurunkan raja-raja Kerajaan Sungai Lemau.
Demikian ceria Putri Gading Cempaka dari Bengkulu. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah anak yang taat kepada nasehat orangtua seperti Putri Gading Cempaka dan saudara-saudaranya pada akhirnya mendapat kebahagiaan.

Selasa, 27 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Si Gulap Yang Sabar

Si Gulap adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara yang tinggal di sebuah desa di daerah Bengkulu. Suatu ketika, si Gulap dan keenam saudaranya bergantian melamar seorang putri raja karena mereka ingin hidup sejahtera. Namun, lamaran si Sulung hingga saudara yang keenam ditolak karena tidak mampu memenuhi syarat yang diajukan oleh sang Raja. Bagaimana dengan si Gulap? Berhasilkah ia menikahi putri raja itu? Simak kisahnya dalam cerita Si Gulap yang Sabar berikut ini.



Dahulu, di daerah Lampung, hiduplah seorang janda bersama tujuh orang anak laki-lakinya. Anak sulungnya bernama Umar, sedangkan anak bungsunya bernama si Gulap. Sehari-hari keluarga janda itu bekerja di ladang dengan menanam singkong dan sayur-sayuran. Hasilnya pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena ladang yang mereka miliki sangat sempit. Keadaan tersebut membuat Umar sering duduk termenung seorang diri. Hatinya gundah gulana memikirkan nasib ibu dan adik-adiknya.
Suatu hari, sepulang dari ladang, Umar duduk menyendiri di bawah pohon di samping rumah.
“Ya, Tuhan. Apakah hidup kami akan terus kekurangan begini?” keluh Umar.
Baru saja Umar selesai bergumam, tiba-tiba ibunya datang menghampiri.
“Umar, anakku. Ibu lihat akhir-akhir ini kamu sering termenung. Ada apa, Nak?” tanya ibunya.
“Umar sedih melihat Ibu dan adik-adik,” jawab Umar, “Umar ingin mengubah nasib kita, Bu.”
“Lalu, apa rencanamu, Anakku?” tanya ibunya.
Umar tidak langsung menjawab pertanyaan perempuan yang telah melahirkannya itu. Sejenak, ia menghela nafas panjang.
“Umar juga masih bingung, Bu. Tapi, Umar harus mencari akal untuk bisa memperbaiki nasib keluarga kita,” kata Umar.
“Baiklah, Anakku. Tapi, jangan sampai memikirkan hal itu lalu kamu lupa makan dan istirahat,” pesan ibunya seraya beranjak dari tempat itu.
‘Iya, Bu,” jawab Umar.
Hari sudah sore, Umar masih saja duduk termenung. Ia masih berpikir bagaimana cara bisa mensejahterakan keluarganya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di pikirannya.
“Hmmm… Jika aku bisa menikahi putri raja yang kaya raya itu, nasib keluargaku pasti akan membaik,” gumamnya, “Ya, hanya itu satu-satu jalan yang dapat kulakukan.”
Rupanya, Umar benar-benar berniat ingin melamar putri sang Raja. Malam harinya, ia pun menyampaikan niat itu kepada ibunya.
“Bu, tolong lamarkan sang Putri untukku,” pinta Umar.
Ibunya yang sedang menganyam tikar tersentak mendengar permintaan Umar.
“Sadarkah kamu dengan perkataanmu itu, Anakku?” tanya ibunya dengan terkejut, “Kita ini orang miskin, tidak pantas meminang seorang putri.”
“Umar menyadari itu, Bu. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita mencobanya dulu,” jawab Umar.
Meskipun sang Ibu berkali-kali menasehatinya, Umar tetap bersikeras ingin melamar putri raja. Maka dengan berat hati, sang Ibu pun memberanikan diri menghadap sang Raja pada esok harinya. Setiba di istana, perempuan paruh baya itu memberikan sembah hormat kepada sang Raja.
“Mohon ampun Baginda atas kelancangan hamba. Hamba datang menghadap untuk menyampaikan lamaran Umar anak hamba,” lapor ibu Umar.
Sang Raja tahu jika Umar yang akan menjadi menantunya itu berasal dari rakyat biasa. Sebagai seorang raja, tentu ia tidak ingin kewibawaan keluarga kerajaan tercoreng karena memiliki menantu dari kalangan orang biasa. Untuk itulah, ia harus memberikan syarat kepada Umar sebelum menerima lamarannya.
“Baiklah, lamaran Umar aku terima tapi dengan satu syarat,” kata sang Raja.
“Ampun, Baginda. Apakah syarat itu?” tanya ibu Umar.
“Sebelum pernikahan ini dilangsungkan, Umar harus tinggal di istana dalam waktu beberapa hari untuk mengikuti beberapa ujian. Selama tinggal di istana, ia tidak boleh marah sekali saja dengan tugas apa pun yang kuberikan. Jika ia melanggarnya, maka ia akan kujual sebagai budak ke negeri lain. Sebaliknya, jika aku yang marah karena perbuatan Umar, maka akulah yang harus dijual sebagai budak,” jelas sang Raja.
“Baik, Baginda. Syarat ini akan hamba sampaikan kepada anak hamba,” kata ibu Umar seraya mohon diri.
Setiba di rumah, janda itu pun menyampaikan syarat sang Raja kepada Umar. Maka, hari itu juga Umar berangkat ke istana. Setiba di sana, sang Raja pun langsung memberinya tugas.
“Hai, Umar. Aku perintahkan kamu membajak sawahku yang luas itu!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda Raja,” jawab Umar.
Umar pun mulai membajak sawah sang Raja. Ketika hari menjelang siang, ia kembali ke istana dengan keadaan haus dan lapar. Namun, setiba di istana, ia tidak diberi minum dan makan sedikit pun oleh sang Raja. Rupanya, Umar tidak tahan dengan perlakuan itu sehingga ia pun menjadi marah.
“Ampun, Baginda. Kenapa hamba tidak diberi makan dan minum? Padahal, hamba sudah bekerja keras membajak sawah Baginda,” kata Umar dengan perasaan kesal di hadapan sang Raja.
“Apakah kamu marah, Umar?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Siapa yang tidak marah jika diperlakukan seperti ini?” jawab Umar.
Mendengar jawab itu, sang Raja pun menyatakan bahwa Umar telah melanggar janji. Ia pun tidak boleh memperistri putri raja. Sialnya lagi, ia dijual sebagai budak ke luar negeri. Ibu dan adik-adik Umar yang mengetahui kabar tersebut menjadi sedih. Namun, hal itu tidak membuat adik-adik Umar berputus asa. Mereka pun mencoba untuk melamar sang Putri. Ketika anak kedua janda itu melamar sang Putri, ternyata dia juga gagal melalui ujian sehingga dijual sebagai budak ke luar negeri. Begitu pula anak ketiga hingga anak keenam janda itu mengalami nasib yang sama.
Kini, tinggal si Gulap yang menemani ibunya. Ketika ia berniat untuk melamar Putri raja, sang Ibu melarangnya.
“Jangan, Nak! Tinggal kamulah satu-satunya milik Ibu di dunia ini. Ibu tidak ingin kamu mengalami nasib sama seperti kakak-kakakmu. Lagi pula, Ibu sangat malu kepada Raja,” ujar sang Ibu.
“Tidak, Bu. Gulap tidak akan mengecewakan Ibu. Izinkanlah Gulap untuk mencobanya,” pinta Gulap.
Sang Ibu pun tidak bisa menolak keinginan putra bungsunya. Maka, ia terpaksa menghadap sang Raja lagi. Sang Raja pun bersedia menerima lamaran Gulap. Seperti keenam kakaknya, Gulap pun tinggal di istana. Ketika diperintahkan membajak sawah sang Raja yang luas itu, ia bekerja dengan tekun tanpa mengenal lelah. Meskipun tidak diberi makanan dan minuman, Gulap tetap bersabar menahan rasa lapar. Untuk melepas rasa dahaga, sekali-kali ia meminum air sawah. Akhirnya, pekerjaannya pun selesai saat hari mulai senja. Dengan rasa capai yang begitu berat, Gulap pulang ke istana.
“Hai, Gulap. Kenapa baru pulang? Apakah kamu tidak merasa haus dan lapar?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Sebenarnya hamba sangat lapar, tapi ada orang yang mengirimi hamba makanan,” jawab Gulap dengan tenang.
“Apakah kamu marah, Gulap?” tanya sang Raja.
“Tidak, Baginda,” jawab Gulap singkat.
“Tapi, kenapa wajahmu merah seperti itu?” tanya sang Raja lagi.
“Ampun, Baginda. Wajah hamba merah begini karena terkena terik matahari,” jawab Gulap.
Sang Raja tersenyum lebar. Ia amat puas melihat atas keberhasilan Gulap melalui ujian itu. Namun, hal itu bukan berarti Gulap sudah boleh menikah dengan sang Putri. Masih ada ujian lain yang harus dilaluinya. Keesokan hari, ia diajak oleh sang Raja ke kebun tebu yang amat luas miliknya sang Raja.
“Gulap, bersihkan dan buanglah daun-daun tebu itu!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda,” jawab Gulap.
Setelah sang Raja kembali ke istana, Gulap pun mulai bekerja. Namun, baru beberapa batang pohon tebu ia bersihkan tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya.
“Wah, kalau begini terus keadaannya, lama-lama kesabaranku bisa hilang,” gumam Gulap.
Gulap pun berpikir keras bagaimana cara membuat sang Raja marah. Jika hal itu terjadi, tentu sang Rajalah yang akan dijual sebagai budak ke luar negeri.
“Hmmm… aku harus melakukan sesuatu agar sang Raja marah,” gumamnya.
Pemuda cerdik itu pun segera membuat lubang besar untuk pembuangan daun-daun tebu. Setelah itu, ia membersihkan daun-daun tebu itu lalu membuangnya ke dalam lubang yang telah dibuatnya. Setelah selesai, ia kembali ke istana untuk melapor kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda. Hamba telah menyelesaikan tugas hamba,” lapor Gulap.
“Bagus, Gulap. Kamu memang pemuda yang tekun dan rajin,” puji sang Raja.
Namun, alangkah murkanya sang Raja ketika memeriksa kebun tebunya. Seluruh tanaman tebunya telah gundul.
“Hai, Gulap. Kenapa kamu menggundul semua tanaman tebuku?” tanya sang Raja dengan kesal.
“Apakah Baginda marah kepada hamba?” Gulap balik bertanya.
“Iya, aku sangat marah. Kamu telah menggundul seluruh tanaman tebuku, padahal belum saatnya dipanen,” jawab sang Raja dengan muka merah.
“Ampun, Baginda. Masih ingatkah dengan janji yang pernah Baginda ucapkan?” tanya Gulap.
Sang Raja pun terdiam. Ia baru sadar bahwa dirinya telah melanggar janji.
“Iya, kamu benar. Aku pernah berjanji bahwa jika aku marah karena perbuatanmu, akulah yang akan dijual sebagai budak,” kata sang Raja, “Tapi, aku mohon jangan jual aku, Gulap! Aku berjanji akan menikahkanmu dengan putriku.”
“Baiklah, Baginda. Tapi, hamba pun mempunyai satu permintaan,” kata Gulap.
“Apa permintaanmu, Gulap?” tanya sang Raja.
“Hamba mohon agar keenam kakak hamba ditebus dan dibawa ke istana,” pinta Gulap.
Sang Raja pun memenuhi permintaan Gulap. Setelah keenam kakaknya dikembalikan ke istana, pernikahaan Gulap dengan sang Putri pun dilangsungkan dengan meriah. Keduanya pun hidup berbahagia. Untuk melengkapi kebahagiaan itu, Gulap memboyong ibu dan saudara-saudaranya untuk tinggal di istana.
Beberapa tahun kemudian, Gulap dinobatkan sebagai raja menggantikan mertuanya yang sudah tua. Sejak itulah, Gulap memimpin kerajaan itu dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup aman, tenteram, dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Si Gulap yang Sabar dari daerah Bengkulu. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang sabar seperti Gulap pada akhirnya akan mendapat kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang suka marah seperti keenam kakaknya akan menerima ganjarannya, walaupun pada akhirnya mereka dibebaskan dari perbudakan.

Senin, 11 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sinatung Natak

Sinatung Natak adalah sebuah cerita rakyat yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Lebong Selatan, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita ini telah melahirkan sebuah aturan atau hukum yang hingga kini masih berlaku di kalangan masyarakat setempat. Aturan apakah yang dilahirkan oleh cerita ini? Dan, bagaimana aturan tersebut lahir? Temukan jawabannya dalam cerita Sinatung Natak berikut ini.



Alkisah, di sebuah negeri di daerah Bengkulu, ada seorang raja yang bernama Serik Seri Nato. Ia mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Cerlik Cerilang. Berita tentang kecantikan sang Putri telah tersebar sampai ke berbagai negeri. Banyak pangeran dan pemuda yang penasaran ingin melihat kecantikannya dan bermaksud menyuntingnya. 

Berita tentang kecantikan Putri Cerlik Cerilang juga sampai di dusun Kutei Donok (sekarang bernama Desa Kota Donok, Kecamatan Lebong Selatan). Di dusun ini, ada seorang Batara Guru bernama Guru Tuo yang memiliki tujuh orang putra. Batara Guru Tuo sangat pandai dan sakti. Putra bungsunya bernama Sinatung Natak yang punya penyakit panu di sekujur tubuhnya. Meski demikian, ia sangat dimanja oleh orangtuanya karena sifatnya yang suka menolong terhadap sesama. 

Mendengar kabar kecantikan Putri Cerlik Cerilang, Sinatung Natak selalu termenung dan membayangkan kecantikan wajah sang Putri.
“Alangkah bahagianya aku jika mempunyai istri yang cantik. Tapi, mungkinkah sang Putri mau menikah denganku dengan kondisi tubuhku yang penuh dengan panu ini?” tanya Sinatung Natak dalam hati.
“Ah, aku tidak boleh menyerah sebelum mencoba,” tambahnya dengan penuh semangat.

Pada malam harinya, Sinatung Natak pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada orangtuanya dalam sebuah pertemuan keluarga.
“Maaf, Ayah! Natak ingin menyampaikan sesuatu kepada Ayah,” ungkap Natak, mengawali pembicaraannya.
“Ada apa, Anakku?” tanya sang Ayah.
“Maafkan Natak jika apa yang Natak sampaikan nanti tidak berkenan di hati Ayah,” katanya lebih lanjut.
“Apa yang ingin kau sampaikan, Anakku? Katakanlah!” desak Ayahnya penasaran.
“Natak ingin pergi jauh, Ayah,” jawab Natak.

Keenam kakaknya dan anggota keluarga lainnya yang ada pada saat itu kaget mendengar perkataan Sinatung Natak. Mereka tahu bahwa Natak tidak pernah bepergian jauh selama hidupnya.
“Hendak pergi kemanakah engkau, Anakku?” tanya sang Ayah ingin tahu.
“Negeri Serik Seri Nato, Ayah,” jawab Natak singkat sambil menundukkan kepala.
“Apakah Adik ingin menemui Putri Cerlik Cerilang yang terkenal cantik itu?” tanya kakaknya yang sulung.
“Benar, Bang! Adik bermaksud meminangnya,” jawab Natak.

Mendengar jawaban Natak, Ayahnya terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian, ia kembali bertanya kepadanya.
“Apa mungkin Putri Cerlik Cerilang akan menerima pinanganmu dengan kondisi tubuhmu yang penuh dengan panu itu, Anakku?”
“Tidak hanya itu, Anakku! Bukankah Negeri Serik Seri Nato itu sangat jauh dari sini?” tambah Ibunya.
“Iya, Natak menyadari akan semua hal itu. Tapi, Natak ingin sekali menemui putri itu, Bu!” jawab Natak dengan tekad bulat.

Oleh karena tekadnya begitu besar, akhirnya Batara Guru Tuo mengizinkan Natak pergi.
“Baiklah kalau itu keinginanmu, Anakku! Ayah merestui engkau menemui Putri Cerlik Cerilang. Tapi sebelum berangkat, Ayah akan menambah kesaktianmu untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang terjadi di sana,” ungkap Batara Guru Tuo.

Mendengar persetujuan Batara Guru Tuo, seluruh anggota keluarga lainnya pun ikut merestui kepergian Sinatung Natak. Setelah tiga hari tiga malam mendapat tambahan ilmu kesaktian dari ayahnya, berangkatlah Sinatung Natak menuju ke Negeri Serik Seri Nato untuk menemui Putri Cerlik Cerilang. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ia berjalan menuju ke arah matahari terbenam dengan menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai, naik dan turun gunung, dan melewati banyak dusun. Ia terkadang bermalam di tengah hutan seorang diri. Kepada setiap orang yang ditemuinya, ia selalu bertanya tentang di mana Negeri Serik Seri Nato, namun tak seorang pun yang mau memberi tahunya. 

Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, Sinatung Natak bertemu dengan seorang Sebei (nenek) sedang berjalan menggunakan tongkat sambil membawa bronang. Sebei itu baru saja pulang dari ladangnya. Sinatung Natak pun segera menghampirinya.
“Maaf, kalau saya mengganggu perjalanan Bei,” sapa Natak.
“Siapa kamu ini anak muda?” tanya Sebei itu.
“Natak, Bei!” jawab Natak.
“O ya, Bei! Kalau tidak keberatan, sudilah Sebei tunjukkan jalan menuju Serik Seri Nato,” pinta Natak kepada sebei itu.
“Apakah kamu bermaksud menemui Putri Cerik Cerilang yang cantik itu?” tanya sebei itu.
“Benar, Bei! Apakah Sebei mengenalnya?” Natak balik bertanya.

Mendengar pertanyaan Natak, Sebei itu hanya tersenyum sambil memandang Natak yang tampak penasaran.
“Iya. Sebei banyak tahu tentang sang Putri. Tapi, sebaiknya kamu mampir dulu digubukku. Nanti Sebei ceritakan semua,” ajak Sebei itu.
“Terima kasih, Bei!” jawab Natak 

Akhirnya, keduanya pun berjalan menuju ke gubuk wanita tua itu. Natak membantu membawakan bronang sang Sebei

Pada malam harinya, Sebei itu pun menceritakan semua hal tentang Putri Cerlik Cerilang kepada Natak.
“Ketahuilah, Natak! Putri Cerlik Cerilang itu sudah mempunyai tunangan. Namanya Sinatung Bakas. Ia sangat kejam. Siapa pun yang berani mendekati sang Putri pasti akan dibunuhnya,” cerita sang Sebei.
“Tapi, Bei! Natak ingin sekali melihat sang Putri dan meminangnya,” kata Natak bersikukuh ingin menemui sang Putri.
“Oh, jangan, Natak! Itu sangat berbahaya! Nanti kamu akan dibunuh oleh tunangan sang Putri. Ia mempunyai puluhan orang algojo berbadan besar,” cegah Sebei itu.
“Tenang, Bei! Natak bisa jaga diri,” ucap Natak.

Melihat tekad kuat Sinatung Natak tersebut, Sebei itu pun tidak mampu memberi alasan lagi untuk menghalanginya pergi.

Keesokan harinya, Sinatung Natak pun berpamitan kepada Sebei sambil menyalaminya. Sinatung Natak melanjutkan perjalanan menuju ke Negeri Serik Seri Nato dengan menyusuri jalan sesuai petunjuk yang diberikan oleh Sebei itu. Setelah berjalan selama sehari semalam, sampailah Natak di sebuah negeri yang ramai. Banyak bangunan yang berdiri megah dan bagus. Para penduduknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ia pun menghampiri seorang pedagang yang sedang sibuk menjajakan barang dagangannya.

“Permisi, Tuan! Benarkah ini Negeri Serik Seri Nato?” tanya Sinatung Natak dengan sopan.
“Benar, anak muda! Kamu pasti akan menemui Putri Cerlik Cerilang,” jawab pedagang itu.
“Bagaimana Tuan bisa tahu?” tanya Natak dengan penuh keheranan.
“Setiap pemuda yang datang dari luar negeri ini pasti akan mencari sang Putri,” jawab pedagang itu.

Usai berkata begitu, pedagang itu menunjukkan istana tempat kediaman sang Putri kepada Sinatung Natak. Maka dengan semangatnya, Sinatung Natak segera menuju ke istana itu. Ketika sampai di istana, ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk sendirian di sebuah bangku bundar di tengah taman. Ia yakin gadis itu adalah Putri Cerlik Cerilang. Jantungnya pun mulai berdebar kencang. Perlahan-lahan ia melangkah menghampiri sang gadis.
“Maaf, Putri! Benarkah Putri adalah Cerlik Cerilang,” tanya Sinatung Natak dengan gugup.
“Benar. Aku Cerlik Cerilang,” jawab sang Putri dengan sopan.

Setelah itu, Sinatung Natak pun memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya. Baru beberapa saat mereka berkenalan, keduanya pun sudah tampak akrab. Oleh karena keasyikan berbincang-bincang, keduanya tidak menyadari kalau ada seseorang yang sedang memerhatikan mereka. Rupanya, orang itu adalah mata-mata Sinatung Bakas yang sengaja ditugaskan untuk mengawasi setiap pemuda yang mendekati Putri Cerlik Cerilang. Melihat keadaan itu, ia pun segera melapor kepada Sinatung Bakas.
“Gawat, Tuan! Ada seorang pemuda yang tak dikenal sedang menemui sang Putri di taman istana,” lapor orang suruhan Bakas itu.

Mendengar laporan itu, Sinatung Bakas pun langsung naik pitam. Wajahnya tiba-tiba merah membara bagai terbakar api.
“Siapa pemuda itu, berani sekali ia mendekati calon istriku!” ucap Bakas dengan geram. 

Bersama beberapa orang algojonya, Bakas langsung menuju ke taman istana tempat di mana Putri Cerlik Cerilang dan Sinatung Natak sedang asyik berbincang. Sesampainya di sana, tanpa berpikir panjang, ia langsung menusuk tubuh Sinatung Natak dari arah belakang dengan pedangnya. Sinatung Natak yang tidak mengetahui hal itu tidak dapat berbuat apa-apa. Maka, ia pun tewas seketika. Melihat kejadian itu, sang Putri segera berlari menuju ke istana untuk melapor kepada ayahandanya. Mulanya, sang Raja hendak menceritakan kejadian itu kepada warganya. Namun karena melihat Sinatung Bakas datang ke istana, akhirnya sang Raja pun membatalkan niatnya tersebut. Agar rahasianya tidak terbongkar, sang Raja pun memerintahkan pengawalnya untuk mengubur mayat Sinatung Natak di bawah bangku tempat sang Putri dan Sinatung Natak berbincang. 

Sementara itu, di rumah Sinatung Natak, seluruh keluarganya sedang bermusyawarah guna mengambil tindakan terkait dengan kejadian yang menimpa Sinatung Natak. Mereka mengetahui kejadian itu berkat kepandaian dan kesaktian Batara Guru Tuo. Hasil musyawarah itu memutuskan, Batara Guru Tuo bersama keenam saudara Sinatung Natak berangkat menuju Negeri Serik Seri Nato. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan melelahkan, akhirnya sampailah mereka di negeri itu. Mereka pun langsung menghadap Baginda Raja Negeri Serik Seri Nato.
“Ampun, Baginda Raja! Maafkan hamba jika kedatangan hamba bersama putra-putra hamba tidak berkenan di hati Baginda!” kata Batara Guru Tuo sambil memberi hormat.
“Hai, siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan kalian kemari?” tanya Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba adalah ayah Sinatung Natak. Kedatangan hamba kemari ingin mengambil putra hamba yang telah dibunuh oleh calon menantu, Baginda,” jawab Batara Guru Tuo.

Alangkah terkejutnya sang Raja mendengar jawaban itu. Dalam hatinya bertanya-tanya, pasti ada orang yang telah membocorkan rahasia mereka.
“Hei, Pak Tua! Kamu jangan mengada-ada! Bagaimana kamu tahu kalau calon menantukulah yang telah membunuh putramu?” tanya Raja penasaran.
“Ampun, Baginda Raja! Ayah kami adalah orang yang pandai dan sakti. Ia memiliki indra keenam dan mampu mengetahui hal-hal yang ghaib,” sahut putra sulung Batara Guru Tuo.
“Diam kau, anak muda!” bentak sang Raja.
“Ampun beribu ampun, Baginda! Jika Baginda tidak percaya, tanyalah ayah kami. Pasti beliau tau tempat di mana Sinatung Natak dibunuh!” tambah putra kedua Batara Guru Tuo.  

Baginda Raja pun menanyakan hal itu kepada Batara Guru Tuo. Ternyata benar, Batara Guru Tuo mengetahui jika Sinatung Natak dikuburkan di bawah bangku di taman istana. Ia pun meminta izin kepada Baginda Raja untuk membongkar tempat itu.
“Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba untuk membongkar tanah di bawah bangku itu!” pinta Batara Guru Tuo.

Baginda Raja semakin tidak bisa mengelak. Ia pun memenuhi permintaan tersebut. Keenam putra Batara Guru Tuo segera menggali tanah itu. Tidak berapa lama, mereka pun menemukan jasad Sinatung Natak yang sudah terbujur kaku. Namun, ada yang aneh pada jasad Sinatung Natak. Meskipun sudah berminggu-minggu di dalam tanah, tubuh dan kulitnya tidak berubah. Maka berkatalah Batara Guru Tuo:
“Rupo idak berubah, panau-panau masih ado,” (wajah belum berubah, panu masih ada).

Melihat kenyataan itu, Baginda Raja bersama beberapa pengawalnya hanya terdiam malu. Akhirnya, mereka mengaku telah berbuat salah dan meminta maaf kepada keluarga Batara Guru Tuo. Untuk menebus kesalahannya, Baginda Raja pun berjanji kepada Batara Guru Tuo.
“Apapun yang kamu minta, akan aku berikan.”
“Ampun, Baginda! Hamba tidak akan menuntut banyak, Baginda!” jawab Batara Guru Tuo.
“Katakanlah! Berapa banyak uang kamu minta?” tanya Baginda Raja.
“Ampun, Baginda! Hamba hanya menginginkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah panu yang ada pada tubuh Natak,” jawab Batara Guru Ruo.
“Baiklah, kalau begitu. Permintaanmu aku kabulkan,” kata Baginda Raja.

Setelah dihitung, jumlah panu yang ada di tubuh Sinatung Natak berjumlah delapan puluh buah panu. Satu panu diganti dengan uang satu rial. Namun, pada saat perhitungan panu dilakukan terjadi suatu peristiwa gaib. Setiap panu yang sudah dihitung tiba-tiba hilang satu per satu dari tubuh Natak tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Dan, ajaibnya lagi, ketika sampai pada hitungan kedelepan puluh, dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa, tiba-tiba Sinatung Natak hidup kembali. Alangkah terkejutnya Baginda Raja menyaksikan peristiwa ajaib itu. Begitu pula Sinatung Natak, ia terkejut saat melihat panu yang memenuhi tubuhnya hilang semua.
* * *
Demikian cerita Sinatung Natak dari daerah Bengkulu, Indonesia. Hingga kini, oleh masyarakat setempat cerita di atas dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan aturan pada kasus pembunuhan. Hutang nyawa tidak harus diganti dengan nyawa, akan tetapi tergantung kepada permintaan keluarga korban pembunuhan.

Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah keutamaan sifat tidak malu mengakui kesalahan. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Raja Serik Seri Nato yang mengakui kesalahannya dan segera meminta maaf kepada keluarga Batara Guru Tuo. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat ini sangatlah diutamakan untuk menghindari terjadinya perseteruan di antara sesama. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda kekasih ibu,
mengaku salah janganlah malu
memaafkan orang jangan menunggu
hati pemurah menjauhkan seteru

Minggu, 10 Maret 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Danau Tes

Danau Tes merupakan danau terbesar di Provinsi Bengkulu, yang terbentang di antara Dusun Kutei Donok dan Tes, Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong. Danau yang memiliki panorama indah ini sangat melegenda di kalangan masyarakat Lebong, Bengkulu. Konon, Danau Tes ini dulunya merupakan aliran Sungai Air Ketahun. Namun, karena terjadi suatu peristiwa, aliran itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah sebenarnya yang terjadi hingga menyebabkan aliran Sungai Air Ketahun tersebut berubah menjadi danau? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Tes berikut ini.



Alkisah, di Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak laki-lakinya. Oleh masyarakat Kutei Donok, orang sakti itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia dipanggil demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang mendasarinya. 

Pada suatu hari, si Lidah Pahit berniat untuk membuka lahan persawahan baru di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih lima kilometer dari dusun tempat tinggalnya. Setelah menyampaikan niatnya kepada para tetangganya dan mendapat izin dari Tuai Adat Kutei Donok, ia pun segera menyiapkan segala peralatan yang akan dipergunakan untuk membuka lahan persawahan baru.
“Anakku, kamu di rumah saja! Ayah hendak pergi ke daerah Baten Kawuk untuk membuka lahan persawahan baru,” ujar si Lidah Pahit kepada anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.

Setelah berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa kapak, parang, dan cangkul. Sesampainya di daerah Baten Kawuk, ia pun mulai menggarap sebuah lahan kosong yang terletak tidak jauh dari Sungai Air Ketahun. Si Lidah Pahit memulai pekerjaannya dengan menebangi pohon-pohon besar dengan kapak dan membabat semak belukar dengan parang. Setelah itu, ia pun segera mencangkul lahan kosong itu. Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun. 

Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas kurang lebih setengah hektar. Bagi masyarakat Kutei Donok waktu itu, termasuk si Lidah Pahit, untuk membuka lahan persawahan seluas satu hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena rata-rata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit melihat hasil pekerjaannya itu.  

Pada hari ketiga, si Lidah Pahit kembali ke Baten Kawuk untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan penuh semangat. Ia tidak memikirkan hal-hal lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar dapat dengan segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru itu. 

Namun, tanpa disadari oleh si Lidah Pahit, para ketua adat dan pemuka masyarakat di kampungnya sedang membicarakan dirinya. Mereka membicarakan tentang pekerjaannya  yang selalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun, sehingga menyebabkan aliran air sungai itu tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat Kutei Donok yang paling besar adalah jika si Lidah Pahit terus membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan menyumbat air sungai dan mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei Donok akan tenggelam.

Melihat kondisi itu, ketua adat bersama tokoh-tokoh masyarakat Kutei Donok lainnya segera bermusyawarah untuk mencari alasan agar pekerjaan si Lidah Pahit dapat dihentikan. Setelah beberapa jam bermusyawarah, mereka pun menemukan sebuah alasan yang dapat menghentikan pekerjaan si Lidah Pahit. Maka diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan alasan itu kepada si Lidah Pahit. Sesampainya di tempat si Lidah Pahit bekerja, mereka pun segera menghampiri si Lidah Pahit yang sedang asyik mencangkul. 

“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan.
“Berita duka apa yang kalian bawa untukku?” tanya si Lidah Pahit.
“Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan lainnya.
“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh keyakinan.

Beberapa kali para utusan tersebut berusaha untuk meyakinkannya, namun si Lidah Pahit tetap saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa hasil.
“Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat.
“Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.

Mendengar keterangan itu, ketua adat segera menunjuk tokoh masyarakat lainnya untuk menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah mati. Ia terus saja mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. 

Melihat keadaan itu, akhirnya ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan langsung alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah Pahit di tempat kerjanya.
“Wahai si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami! Anakmu benar-benar telah meninggal dunia,” kata ketua adat kepada si Lidah Pahit. 

Oleh karena sangat menghormati ketua adat dan pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya kepada mereka.
“Baiklah! Karena Tuan-Tuan terhormat yang datang menyampaikan berita ini, maka saya sekarang percaya kalau anak saya telah meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan suara pelan.
“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat.
“Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit.

Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah Pahit baru menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin betul bahwa anaknya yang sebenarnya tidak meninggal kemudian menjadi meninggal akibat ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun benar-benar telah meninggal dunia.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dengan perasaan kesal, ia pun melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya. Berkali-kali ia menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke Dusun Kutei Donok hendak melihat anaknya yang telah meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. 

Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah danau besar yang diberi nama Danau Tes.

Demikian cerita Asal Mula Danau Tes dari Provinsi Bengkulu. Hingga kini, Danau Tes menjadi sumber mata pencaharian penduduk Kota Donok dan airnya telah dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). 

Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keburukan sifat mudah percaya pada omongan orang-orang yang berpangkat atau penguasa, karena tidak selamanya ucapan seorang penguasa selalu benar. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku si Lidah Pahit yang mudah percaya dengan laporan ketua adat di kampungnya, sehingga mengakibatkan anak kesayangannya meninggal dunia.