Lamadukelleng adalah seorang laki-laki yang hidup di sebuah negeri di daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia. Saat masih bayi, ia dibuang oleh bibinya ke Sungai Jeneberang. Mengapa Lamadukelleng dibuang ke sungai? Dapatkah ia bertemu kembali dengan kedua orangtuanya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Lamadukelleng berikut ini.
Alkisah, di sebuah negeri di daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, hidup seorang raja muda yang arif dan bijaksana. Raja tersebut sangat perhatian terhadap kehidupan rakyatnya. Ia seringkali berjalan-jalan ke pelosok-pelosok desa untuk melihat langsung keadaan rakyatnya dengan menyamar sebagai rakyat biasa.
Pada suatu malam, sang Raja berjalan-jalan di sebuah perkampungan yang terletak di sekitar sungai Jeneberang. Ketika berada di perkampungan itu, tanpa sengaja, ia mendengar percakapan dua gadis miskin kakak-beradik yang cantik jelita.
“Kak, siapakah nanti yang ingin engkau jadikan suamimu?” tanya sang Adik.
“Aku ingin bersuamikan tukang masak Raja,” jawab sang Kakak.
“Kenapa, Kak?” sang Adik kembali bertanya.
“Kalau bersuamikan tukang masak Raja, kita tidak pernah merasa kelaparan lagi seperti ini,” jawab sang Kakak.
“Kalau kamu, siapakah yang engkau inginkan jadi suamimu?” sang Kakak balik bertanya.
“Kalau aku, ingin menjadi istri Raja,” jawab sang Adik.
“Wah, tinggi sekali angan-anganmu, Dik!” ucap sang Kakak.
“Iya, Kak! Aku ingin jadi penguasa negeri ini,” imbuh sang Adik.
Beberapa saat kemudian, keduanya pun tertawa mendengar jawaban masing-masing. Sementara itu, sang Raja yang mendengar percakapan mereka pun tersenyum.
“Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Aku akan mewujudkan angan-angan kalian,” kata sang Raja dalam hati seraya berlalu dari tempat itu.
Keesokan harinya, Sang Raja mengutus beberapa orang pengawal istana untuk memanggil kedua gadis miskin tersebut untuk menghadap kepadanya.
“Hai, Kalian! Ikutlah bersama kami ke istana untuk menghadap Raja!” seru utusan Raja.
“Maaf, Tuan! Kenapa kami disuruh menghadap Raja? Apa salah kami, Tuan?” tanya sang Kakak kepada utusan Raja dengan wajah pucat.
“Maaf, kami hanya menjalankan tugas,” jawab seorang utusan.
Dengan perasaan cemas, kedua gadis itu terpaksa mengikuti para utusan Raja. Di sepanjang perjalanan, hati keduanya terus diselimuti oleh perasaan cemas.
“Jangan-jangan Raja mengetahui percakapan kami semalam,” pikir mereka.
Sesampainya di istana, keduanya pun langsung memberi hormat kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami?” tanya sang Kakak.
“Aku sempat mendengar percakapan kalian semalam. Benarkah yang kalian katakan itu?” sang Raja balik bertanya.
Mendengar pertanyaan Raja, kedua gadis itu pun semakin ketakutan. Mereka takut berterus terang kepada Raja. Mereka hanya saling melirik.
“Kalian tidak usah takut. Jawab saja dengan jujur!” kata sang Raja.
Oleh karena didesak oleh Raja, akhirnya kedua gadis itu bercerita bahwa sang Kakak hendak bersuamikan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik ingin bersuamikan Raja. San Raja pun mengabulkan keinginan mereka.
“Baiklah, aku kabulkan keinginan kalian. Aku bersedia menikah denganmu,” kata sang Raja sambil menunjuk sang Adik.
Mendengar pernyataan sang Raja, kedua gadis yang semula takut berubah menjadi gembira dan bahagia.
“Benarkah itu, Baginda?” tanya sang Adik seakan-akan tidak percaya.
“Percayalah! Aku tidak akan berbohong kepada kalian,” jawab sang Raja.
“Terima kasih, Baginda Raja,” ucap kedua gadis itu serentak sambil memberi hormat.
Seminggu kemudian, pesta perkawinan mereka pun dilangsungkan. Sang Kakak menikah dengan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik menikah dengan Raja. Namun, dalam hati sang Kakak terselip perasaan menyesal dan iri hati kepada adiknya yang bersuamikan Raja, sementara ia sendiri hanya bersuamikan tukang masak.
Setahun kemudian, sang Adik melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun, sebelum sang Adik sempat melihat bayinya karena pingsan saat melahirkan, sang Kakak yang membantu persalinannya menukar bayinya dengan seekor kucing dan segera membuang bayi itu ke Sungai Jeneberang. Setelah itu, ia memerintahkan beberapa pengawal untuk menyebarluaskan berita itu ke seluruh penghuni istana dan rakyat negeri bahwa istri Raja melahirkan seekor kucing. Sang Raja yang mendengar berita buruk itu pun menjadi malu dan murka kepada istrinya.
“Pengawal! Jika istriku sudah siuman, segera bawa dia ke penjara bawah tanah. Dia benar-benar telah membuatku malu!” seru sang Raja.
“Baik, Baginda!” jawab para pengawal.
Beberapa saat kemudian, sang Permaisuri pun siuman. Para pengawal istana segera membopong tubuhnya yang masih lemas itu ke penjara bawah tanah.
Sementara itu, bayi laki-laki yang dibuang ke Sungai Jeneberang hanyut terbawa arus menuju ke arah hilir. Kebetulan di daerah hilir ada seorang kakek sedang memancing ikan. Saat sedang asyik memancing, tiba-tiba sebuah bungkusan melintas di dekatnya.
“Hei, bungkusan apa itu?” gumam nelayan itu.
Rupanya, kakek itu tertarik melihat bungkusan itu. Ia pun segera mengambil sebatang bambu dan menggait bungkusan itu ke tepi sungai. Alangkah terkejutnya ia saat melihat seorang bayi mungil tergolek di dalamnya.
“Wah, bayi siapa ini? Sungguh tega orangtua yang telah membuang bayinya,” gumam kakek itu.
Tanpa berpikir panjang, kakek itu pun segera membawa bayi itu ke rumahnya dan menyerahkannya kepada istrinya. Alangkah bahagianya mereka, karena telah mendapatkan bayi yang sudah lama mereka idam-idamkan. Sebab, sudah puluhan tahun mereka menikah, tapi belum dikaruniai seorang anak. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ketika anak itu berumur belasan tahun, mereka pun membekalinya dengan berbagai pengetahuan, keterampilan berburu, serta ilmu bela diri. Mereka memberinya nama Lamadukelleng.
Waktu terus berjalan. Lamadukelleng tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Sang Kakek dan istrinya merasa bahwa kini saatnya mereka harus menceritakan asal usul Lamadukelleng. Pada suatu hari, ia pun menceritakan bahwa mereka sebenarnya bukanlah orangtua Lamadukelleng.
“Ketahuilah, Nak! Kami ini bukanlah orangtuamu yang telah melahirkanmu. Kami hanya menemukanmu hanyut terbawa arus di Sungai Jeneberang,” cerita si Kakek.
“Jika benar yang kalian katakan itu, lalu siapakah orangtuaku yang sebenarnya? Dan di mana mereka sekarang?” tanya Lamadukelleng penasaran.
“Maaf, Nak! Kami juga tidak tahu siapa sebenarnya orangtuamu. Tapi, jika kamu ingin mengetahui orang yang telah melahirkanmu, susurilah Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung, niscaya kamu akan menemukan mereka,” pesan si Kakek.
Keesokan harinya, Lamadukelleng pun bersiap-siap untuk berangkat hendak mencari orangtuanya. Sebelum berangkat, si Kakek membekalinya dua buah benda pusaka.
“Anakku, bawalah keris dan permata pusaka ini! Siapa tahu suatu saat kamu akan membutuhkannya,” kata si Kakek sambil menyerahkan kedua pusaka itu.
“Terima kasih atas semua kebaikan kalian. Kalian telah bersusah payah merawat dan membesarkanku. Kelak jika aku telah menemukan orangtuaku, aku pasti akan kembali menemui kalian,” ucap Lamadukelleng.
Usai berpamitan, Lamadukelleng berangkat menuju ke arah hulu Sungai Jeneberang. Berhari-hari lamanya ia berjalan menyusuri tepian Sungai Jeneberang. Pada suatu malam, ia berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat berlindung dari dinginnya angin malam, ia pun merebahkan tubuhnya dan langsung tertidur lelap karena kelelahan. Pada malam itu, ia bermimpi didatangi orang tua yang mengaku sebagai leluhurnya.
“Hai, Cucuku! Jika kamu berjalan naik ke arah gunung itu, kamu akan menemukan sebuah telaga yang terletak di lereng gunung. Mandilah di telaga itu dan celupkan keris dan permata pemberian orangtua asuhmu itu ke dalam air telaga. Dengan keris dan permata yang telah dilumuri air telaga itu, kamu dapat mengobati segala jenis penyakit,” pesan orang tua itu.
Keesokan harinya, Lamadukelleng pun segera melaksanakan pesan orang tua itu. Ketika sampai di lereng gunung, ia pun menemukan sebuah telaga yang sangat jernih airnya. Ketika ia akan mencebur ke dalam telaga itu, tiba-tiba seekor naga besar muncul ke permukaan telaga. Ia pun mundur beberapa langkah dan langsung teringat dengan pusaka pemberian orangtua asuhnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera mencabut kerisnya yang terselip di pinggangnya. Ular naga yang merasakan getaran dahsyat dari keris itu menjadi terpaku. Pada saat itulah Lamadukelleng segera menghujamkan kerisnya berulang-ulang ke tubuh ular naga itu hingga mati.
Usai beristirahat sejenak, Lamadukelleng pun mandi dan mencelupkan keris dan permatanya ke dalam air telaga. Ia berharap semoga dengan keris dan pusaka itu akan dapat menolong orang-orang yang membutuhkannya.
Setelah itu, Lamadukelleng melanjutkan perjalanan menuju ke arah gunung. Sebelum mencapai gunung itu, ia menemukan sebuah perkampungan yang tanahnya subur, indah dan sejuk. Namun, ketika memasuki perkampungan itu, ia melihat segerombolan perampok menyerbu dan merampas harta benda para warga. Para warga berusaha melakukan perlawanan. Namun karena jumlah perampok itu cukup banyak dan memiliki ilmu bela diri yang baik, para penduduk pun mulai terdesak. Lama-kelamaan korban pun mulai berjatuhan dari pihak warga.
Lamadukelleng yang melihat keadaan itu segera berkelebat ke tengah-tengah medan pertempuran untuk membantu para warga. Dengan kemampuan bela diri yang tinggi, ia bergerak ke sana kemari dengan gesitnya, menghantam para perampok dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi. Dalam waktu sekejap, ia berhasil menghalau para perampok tersebut. Penduduk sangat takjub melihat kesaktian Lamadukelleng.
Ketika suasana mulai tenang, Lamadukelleng segera menyuruh para warga untuk membawa korban ke tempat yang aman. Setelah itu, ia pun mulai mengobati para warga yang terluka terkena sabetan golok dan pedang. Dengan keris dan permata pusakanya, Lamadukelleng berhasil mengobati mereka. Melihat kesaktian Lamadukelleng, para pemuka masyarakat kampung itu pun memintanya agar bersedia mengobati warga lainnya yang terkena berbagai macam penyakit.
“Anak Muda! Bolehkah kami meminta bantuan lagi kepadamu?” pinta kepala kampung.
“Apa yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya Lamadukelleng.
“Warga kami banyak yang terkena penyakit, mulai dari kesurupan hingga teluh. Barangkali kamu bisa menyembuhkan mereka,” jawab kepala kampung.
Lamadukelleng pun menerima permintaan kepala kampung itu. Ia tinggal beberapa hari di kampung itu untuk mengobati para warga yang sedang sakit. Berkat keris dan permata pusakanya, ia berhasil menyembuhkan para warga dari berbagai macam penyakit yang menimpa mereka. Sejak saat itu, Lamadukelleng pun terkenal sebagai ahli bela diri dan pengobatan hingga ke berbagai penjuru negeri.
Pada suatu hari, berita tentang kesaktian Lamadukelleng itu pun sampai ke telinga Raja yang tinggal di wilayah pegunungan. Rupanya Raja itu tidak lain adalah ayah kandung Lamadukelleng. Ia sudah bertahun-tahun menderita penyakit lumpuh lantaran mengetahui istrinya melahirkan seekor kucing. Ia tidak bisa bangkit lagi dari tempat tidurnya. Berbagai orang pintar telah didatangkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya.
Mendengar kabar tentang kehebatan seorang pemuda yang bernama Lamadukelleng, Raja pun memerintahkan beberapa orang pengawalnya untuk mengundang pemuda itu ke istana. Sesampainya di istana, sang Raja menatap pemuda itu dengan penuh perhatian. Pada saat itu tiba-tiba hati sang Raja bergetar. Dalam hatinya terbersit perasaan tali kasih terhadap pemuda itu. Demikian pula sebaliknya, Lamadukelleng pun merasakan hal yang sama saat berada di depan Raja. Walau demikian, Lamadukelleng berusaha menepis perasaan itu, karena ia harus berkonsentrasi untuk mengobati Raja.
“Maaf, Tuan! Tolong ambilkan aku segelas air minum!” pinta Lamadukelleng kepada seorang pelayan istana.
Setelah air minum tersedia, Lamadukelleng pun mencelupkan permata dan ujung kerisnya ke dalam air itu. Kemudian meminta kepada pelayan istana agar segera meminumkan air itu kepada Raja. Sang Raja pun merasakan minuman itu sangat nikmat dan langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Ajaibnya, sesaat kemudian sang Raja mampu menggerakkan tubuhnya yang lumpuh dengan pelan-pelan. Tak lama berselang, sang Raja pulih seperti sedia kala. Alangkah suka-citanya hati sang Raja. Ia tidak lupa berterima kasih kepada pemuda itu.
“Terima kasih, Nak! Kamu telah menyembuhkan penyakit yang aku derita selama puluhan tahun. Kalau boleh aku tahu, dari manakah asal usulmu? Dan Siapa kedua orangtuamu?” tanya sang Raja.
Mendengar pertanyaan itu, Lamadukelleng hanya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sebab ia sendiri sedang mencari kedua orangtuanya.
“Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu dari mana asal usul hamba. Tapi, menurut Kakek dan Nenek yang telah merawat hamba, hamba ditemukan terhanyut di Sungai Jeneberang saat hamba masih bayi. Kakek hanya berpesan supaya hamba menyusuri Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung agar dapat menemukan orangtua hamba yang sebenarnya,” cerita Lamadukelleng.
“Aku turut berduka cita atas keadaanmu, Nak! Semoga saja kelak kamu menemukan kedua orangtuamu,” ucap sang Raja.
“Terima kasih, Baginda! Hamba juga berharap demikian,” kata Lamadukelleng.
Setelah itu, Lamadukelleng pun disuruh tinggal beberapa hari di sebuah pondok di samping istana.
“Pelayan! Tolong layani pemuda itu dengan baik. Berikan kepadanya pakaian yang bagus dan makanan yang lezat!” titah sang Raja.
Saat malam menjelang, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Ia membayangkan kisah puluhan tahun yang lalu, ketika istrinya melahirkan seekor kucing. Dalam lamunannya, tiba-tiba sang Raja merasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ah, tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor binatang,” pikirnya.
Sang Raja pun teringat kepada kakak istrinya yang membantu persalinan istrinya. Ia pun segera memanggil kakak istrinya dan suaminya untuk segera menghadap. Sang Kakak dan suaminya pun terkejut mendengar panggilan Raja. Baru kali ini sang Raja memanggil mereka untuk menghadap. Mereka pun mulai ketakutan.
“Bang! Jangan-jangan Raja telah mengetahui semua kebohongan kita. Perasaan berdosa tiba-tiba menghantui hatiku,” kata sang Kakak kepada suaminya.
“Entahlah, Istriku,” kata suaminya dengan cemas.
Sesampainya di depan Raja, sepasang suami-istri itu pun langsung memberi hormat kepada Raja. Sang Raja pun menatap sang Kakak dengan pandangan yang tajam dan penuh wibawa.
“Seingatku, kamulah yang menjaga istriku saat melahirkan. Benarkah begitu?” tanya Raja kepada sang Kakak.
“Be... benar, Baginda!” jawab sang Kakak dengan gugup.
“Kalau begitu, aku mau bertanya kepadamu. Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ayo, jawablah dengan jujur!” bentak sang Raja.
Mendengar bentakan Raja, sang Kakak bersama suaminya pun langsung bersujud di hadapan Raja.
“Ampuni hamba, Baginda! Hamba dan suami hamba telah bersalah. Kami telah menukar putra Baginda dengan seekor kucing. Ampuni kami, Baginda! Tolong jangan hukum kami!” pinta sang Kakak.
Mendengar jawaban itu, sang Raja bagai disambar petir. Ia benar-benar tidak menyangka jika sang Kakak bersama suaminya telah tega melakukan hal itu. Sang Raja pun tiba-tiba teringat kepada istrinya di penjara selama berpuluh-puluh tahun. Ia benar-benar merasakan kepedihan yang luar biasa, karena telah menghukum istrinya yang tidak bersalah. Dengan wajah merah padam, ia pun memalingkan wajahnya ke arah sang Kakak dan suaminya.
“Lalu, kamu apakan putraku waktu itu?” tanya sang Raja lebih lanjut.
“Ampun, Baginda! Hamba menghanyutkannya ke Sungai Jeneberang,” jawab sang Kakak.
Mendengar jawaban itu, tubuh sang Raja tiba-tiba bergetar. Saat itu pula, ia langsung teringat kepada pemuda yang telah mengobatinya. Maka muncullah dugaan dalam hatinya bahwa pemuda itu adalah putranya.
“Tidak salah lagi, pemuda itu adalah putraku. Pantas hatiku selalu bergetar bila menatapnya,” kata sang Raja dalam hati.
Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk membebaskan istrinya dan memanggil Lamadukelleng untuk menghadap. Ketika sang Raja bersama istri dan putranya berkumpul, sang Raja pun menceritakan kisahnya di masa lalu kepada istri dan putranya bahwa bayi yang dilahirkan istrinya dibuang ke Sungai Jeneberang oleh kakak iparnya.
Mendengar kisah Raja yang persis sama dengan kisah yang dialaminya, tanpa ragu lagi Lamadukelleng langsung memeluk Raja yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Sang Ayah pun membalas pelukan putranya dengan pelukan erat.
“Putraku! Sejak melihatmu, Ayah selalu merasakan getaran batin dan kasih sayang kepadamu. Rupanya itu pertanda bahwa kamu adalah putraku,” kata sang Raja sambil meneteskan air mata.
“Iya, Ayahanda! Ananda juga merasakan demikian,” sahut Lamadukelleng.
Istri Raja hanya mampu membisu memandangi suami dan anaknya yang sedang berpelukan dengan penuh rasa haru. Beberapa saat kemudian, sang Raja pun segera merangkul istrinya. Mereka pun saling berpelukan menumpahkan kerinduan masing-masing. Suasana haru itu berlangsung cukup lama.
“Maafkan aku, Dinda! Kanda telah mencampakkan kalian sehingga harus mengalami penderitaan hingga puluhan tahun,” ucap Sang Raja.
“Sudahlah, Kanda! Yang penting kita semua sudah berkumpul kembali. Kita akan memulai hidup baru yang lebih baik,” kata sang Istri menghibur suaminya.
Usai melepaskan kerinduan, Sang Raja pun segera berpaling ke arah kakak iparnya dan suaminya.
“Kalianlah yang telah menyebabkan kami menderita seperti ini. Kalian harus mendapat hukuman yang setimpal. Pengawal! Bawa mereka ke penjara bawah tanah!” titah sang Raja.
Seminggu kemudian, Lamadukelleng pun dinobatkan menjadi Raja menggantikan ayahnya yang sudah tua. Lamadukelleng memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana. Semua titahnya senantiasa ditaati oleh rakyatnya. Negerinya pun aman, makmur, dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Lamadukelleng dari daerah Gowa, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka menolong dan akibat buruk dari sifat iri hati.
Pertama, keutamaan sifat suka menolong. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Lamadukelleng yang suka menolong orang-orang yang sakit dengan perantraan keris dan permata pusakanya. Dengan demikian, ia pun menjadi terkenal dan dapat berkumpul kembali dengan kedua orangtuanya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda mustika ayah,
tulus dan ikhlas jangan berubah
berkorban jangan mengharap upah
supaya hidupmu membawa faedah
Kedua, akibat buruk dari sifat iri hati. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku sang Kakak yang telah membuang putra Raja ke Sungai Jeneberang karena iri hati kepada adiknya yang bersuamikan Raja. Akibatnya, ia dan suaminya harus menghabiskan masa tuanya di penjara bawah tanah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan benci
EmoticonEmoticon